Keesokan harinya, Ibu tirinya Sarah menghubungi Sarah kembali dengan alasan bahwa uang yang diberikan oleh Sarah kemarin tidak cukup untuk membayar hutang-hutang ayahnya. "Apa bu, bu itu 35 juta beserta bunganya. Uang segitu ngga mungkin ngga cukup kan ?." Tanya Sarah kesal mendengar keluhan ibu tirinya. "Sarah kau pikir ibu mu berbohong hah, uang itu emang ngga cukup membuat membayar hutang-hutang ayah mu. Masih banyak hutang ayah mu maka berikan lagi uang nya ayo." pinta Dewi. Sarah menolak keinginan ibu nya, ia tak bisa meminta uang dengan Alexander hanya dengan jeda satu hari. Lagian mana mungkin Alexander akan memberikannya, Sarah juga tak ingin di cap sebagai wanita yang gila uang."Sarah kau pikir ibu tidak tahu, kau menikah dengan tuan Alexander karena kamu sudah hamil duluan kan?, perempuan tidak punya malu kamu, bagaimana perasaan ayah mu jika tahu tentang itu." "Ibu, maksudnya apa ?." Tanya Sarah dengan ketakutan. Suara ketawa Dewi terdengar jelas oleh Sarah, ia mengan
Malam hari Alexander pulang ke rumah dalam keadaan kelelahan, di kantor nya Alexander sangat frustasi dengan pekerjaan kantornya. "Tuan Alex, lebih baik anda istirahat. Seperti nya anda sangat kelelahan bekerja seharian." Ucap Daniel. "Emm,, baiklah.""Tuan Alex.. Alexander menghentikan langkah kaki, ia berbalik badan melihat kearah Daniel. Alexander, menunggu Daniel berbicara. " Ada apa Daniel ?." Tanya Alexander. "Umm,, ini tuan aku ingin berbicara mengenai Nona Sarah. ""Jika tidak penting, lebih baik tidak perlu." Ucap Alexander berbalik badan. Daniel ingin membahas tentang keluarga Sarah yang terus menerus meminta uang kepada Sarah, tapi seperti nya Alexander sedang tak ingin membahas yang lain. "Baiklah tuan jika seperti itu lebih baik anda istirahat saja.""Hemm,, "Alexander langsung masuk ke dalam rumah, ia melihat sekeliling tak menemukan seseorang pun. Alexander berjalan dan melewati sebuah foto yang terpanjang besar diruang tamu. "Daniel.. " Iya tuan ada apa ?." t
Suasana malam yang sangat menegangkan bagi keluarga Richard, ia yang masih menjadi pemimpin keluarganya belum bisa mengontrol emosi Alexander. "Mah, kenapa melakukan tidak berdiskusi terlebih dahulu dengan papa." "Pah, apa yang ingin di diskusi kan, lagian ya wajar saja kan kalo mama pasang foto pernikahan dia." Ucap Elizabeth yang tak ingin di salahkan. "Tapi kasian dengan Sarah, dia tidak tahu apa-apa harus mendapatkan amarah dari Alex." Sarah memotong percakapan mereka, Sarah memberitahu mereka, bahwa Sarah tak mempermasalahkan keadaan itu. Ia sudah terbiasa dengan segala sesuatu yang terjadi dirumah ini, Sarah meminta maaf jika karena nya keluarga mereka menjadi seperti ini. "Sarah, apa yang kamu katakan hah ?, ngga apa-apa nak, sudah jangan diambil hati ucapan Alex nya. " ucap Elizabeth mengelus rambut panjang Sarah. "Iya mah, terimakasih. " Walaupun mereka tidak marah terhadap Sarah, tapi tetap saja Sarah tak enak hati jika seperti ini terus menerus. Disisi lain
Sarah sudah mempelajari semua tentang Alexander, mana yang tidak ia sukai dan mana yang ia sukai. Sarah ingin menunjukkan bahwa dirinya pantas menjadi istri dan calon ibu yang baik untuk keturunan Alexander nanti. "Siapa yang menyiapkan ini." Alexander yang melihat pakaian kerja nya diatas tempat tidur, dan ini pakaian yang biasa Alexander pakai pada hari tertentu. "Aku yang menyiapkan nya." Ucap Sarah dibelakang Alexander. "Untuk apa ka.. " Ohiya, ini aku juga menyiapkan jam tangan dari Emily kekasih mu, dan ini dasi juga serasi dengan pakaian kerja mu. Aku letakan disini ya lex. " Ucap Sarah tersenyum. Alexander terdiam melihat perilaku Sarah, ia melihat Sarah membereskan tempat tidur, menjemur handuk bekas Alexander dengan santai. "Ada apa dia ?, apa karena masalah kemarin ?." Batin Alexander melihat perubahan Sarah. "Ohiya lex, setelah kamu mengganti pakaian. Aku akan bantu mengganti perban luka mu." Sarah tersenyum manis, ia keluar dari kamar meninggal kan Alexander yang
Malam nya, Alexander pulang dari tempat kerja nya. Ia masuk ke dalam kamar, melihat Sarah tertidur pulas diatas sofa. Hal tersebut membuat Alexander terdiam, ia masuk dengan perlahan-lahan, meletakan jas nya dan tak sengaja melihat sebuah berkas hasil USG bayi nya. "heh, ternyata benar-benar nyata, hemm dia tumbuh dengan sehat. " ucap Alexander. Alexander mengecilkan AC nya, mengambil selimut lalu menyelimuti Sarah. Alexander berfikir bahwa ia harus melakukan ini demi anak di dalam perut nya, jika ia tidak bisa jadi suami yang baik setidak nya dia jadi ayah yang baik untuk anak nya. "Maafkan aku Sarah, maaf jika belum bisa menerima kenyataan, belum bisa menerima mu sebagai suami mu. Tapi tenang aku akan bertanggungjawab,dan melakukan yang terbaik untuk calon anak ku" ucap Alexander. Alexander beranjak bangun, ia meraih handuk dan segera pergi ke kamar mandi. Setelah kepergian Alexander, Sarah terbangun ia melihat dirinya diselimuti oleh Alexander tersenyum tipis. "Kamu benar Alex
Alexander langsung beranjak bangun, segera meraih jaket nya dan keluar meninggalkan Sarah dan Elizabeth. "Sudah sana ikutin Daniel." ucap Elizabeth. "Baik nyonya."Daniel langsung pergi mengikuti alexander, sedangkan Sarah tersenyum bahagia karena keinginan akan terkabulkan, tapi disisi lain ia tak enak hati dengan Alexander. "Sarah ada apa ?, kenapa wajahnya ditekuk gitu?.""Gini mah, apakah aku salah meminta Alex untuk mencari ubi cilembu.""Ngga apa-apa sayang, itu sudah kewajiban dia sebagai suami mu. Sudah biarkan saja, lebih baik kamu istirahat saja sambil tunggu Alex." ucap Elizabeth tersenyum. Sarah mengganguk iya, ia berharap jika Alexander akan datang tepat waktu sehingga makanan yang ia ingin masih diinginkan.Sedangkan Alexander masuk kedalam mobil dengan wajah ditekuk, ia merasa kesal dengan Sarah. Kenapa juga ia ingin ubi cilembu bakar dijam seperti ini. "Tuan, kita akan mencari nya dimana?." tanya Daniel. "Dan, jika aku tahu aku sudah beli sejak tadi. Lagian ub
Hampir satu jam perjalanan mereka, akhirnya ia tiba dijawa barat. Alexander langsung meminta Daniel untuk mencari keberadaan ini cilembu tersebut. "Tapi tuan, kita akan mencari dimana ?." tanya Daniel kebingungan. "Kenapa jadi tanya aku, kamu cari lah kan kamu yang bilang kalo disini.""Iya emang tuan Alex, tapi kan dijakarta pastinya ada."Alexander menaiki alis nya, ia menatap mata Daniel dengan tajam. Ia tetap ngetot bahwa Daniel lah yang bilang bahwa ubi cilembu tersebut berada di Jawa Barat. "Tapi tuan.... " Sstttt,, cepat cari dimana keberadaannya." ucap Alexander. Daniel menghela nafas nya, ia mengeluarkan ponselnya lalu melihat dimana keberadaan ubi cilembu. Setelah menemukan tempatnya, ia segera memberitahu Alexander. "Iya udah segera ayo." ucap Alexander. "Tapi kesana naik apa tuan ?.""Emm,, itu tugas mu lah." ucap Alexander berjalan terlebih dahulu. Daniel menghela nafas nya, padahal hari ini dia sangat lelah,mengantuk tapi tuan nya masih saja ingin berjalan menca
Alexander pulang ke Jakarta pada pukul 07:15 wib, kedatangannya membuat seluruh isi rumah dari pelayan, penjaga, Sarah dan kedua orang tua Alexander terkejut. "Alex, kamu bawa apaan ?." tanya Elizabeth kebingungan melihat beberapa makanan. "Ubi." jawab Alexander santai. "Alex, ini Ubi apaan yang kamu beli hah." "Emm, nyonya semua makanan ini berbahan ubi." ucap Daniel menyaut pertanyaan Elizabeth. Elizabeth menghela nafas, ia melihat makanan ini untuk apa sebanyak ini, lagian Sarah sudah memakannya tapi tak habis hanya sebagai formalitas saja. "Itu, silakan makan." ucap Alexander. "Tapi lex, sebanyak ini apa aku yang harus habisin ?." tanya Sarah kebingungan. "Tentu saja, bukan kah kamu menginginkan ubi cilembu jadi apapun makanan yang terbuat dari itu aku berikan." jelas Alexander. Sarah melihat Elizabeth dan Daniel, ia bingung harus bagaimana?.Mana bisa ia makan sebanyak itu, sedangkan nafsu makan nya saja tak ada lagi. "Tapi lex, seperti nya aku ngga bisa deh makan makana
Kebahagiaan yang sempat Adrian rasakan saat kelahiran putrinya berubah menjadi kekhawatiran yang dalam. Ia tak bisa benar-benar tenang, mengingat betapa berbahayanya situasi antara Daniel dan Alexander. Adrian tahu bahwa satu-satunya cara untuk menghentikan siklus dendam ini adalah dengan menghadapi Daniel dan menemukan solusi yang benar-benar damai.Alexander juga menyadari ancaman yang belum sepenuhnya berlalu. Meski sempat tersentuh oleh kebahagiaan Adrian, pikirannya tak bisa lepas dari bayang-bayang pertemuan terakhirnya dengan Daniel. Dalam pertemuan itu, Daniel menunjukkan kemarahan dan kebencian yang mendalam, terutama setelah merasa dikhianati oleh Adrian. Alexander memahami bahwa dendam yang tersimpan dalam hati Daniel tak akan hilang begitu saja.Adrian akhirnya memutuskan bahwa ia harus berbicara langsung dengan Daniel. Ia mengatur pertemuan rahasia di tempat yang jauh dari hiruk-pikuk kota, berharap bisa melunakkan hati sepupunya itu. Sebelum pergi, ia menatap Amelia dan
Amelia duduk di kursi malas di rumah sakit, perutnya yang besar jelas menunjukkan bahwa ia sudah sangat dekat dengan waktu persalinan. Adrian duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat-erat. Meski bibirnya tersenyum lembut, ada ketegangan yang jelas di wajahnya. Hari itu, hari yang seharusnya dipenuhi kebahagiaan, malah diwarnai kekhawatiran karena ancaman Daniel yang masih menggantung di udara."Semua akan baik-baik saja," bisik Adrian, berusaha menenangkan istrinya. "Kita fokus pada kelahiran bayi kita dulu. Jangan pikirkan hal-hal yang lain."Amelia mengangguk, meskipun ia tahu Adrian juga sedang memikirkan hal yang sama. Ia tahu suaminya tertekan dengan situasi yang melibatkan Daniel. Namun, saat ini, yang terpenting baginya adalah menyambut buah hati mereka.Tiba-tiba, Amelia merasakan rasa sakit yang tajam di perutnya, seperti ada kontraksi yang datang lebih kuat dari sebelumnya. Ia mengerang pelan, membuat Adrian segera panik.“Amelia, kamu baik-baik saja?” Adrian langsung
Malam itu, suasana rumah Alexander dipenuhi ketenangan setelah kelahiran anak keduanya. Namun, di luar sana, badai besar sedang mendekat. Daniel, yang masih dikuasai amarah dan dendam, tidak bisa menerima kenyataan bahwa Adrian, adik sepupunya, memilih untuk melawan dan menghentikan niatnya.Sementara itu, di rumah sakit, Sarah telah dipindahkan ke kamar pemulihan bersama bayi perempuannya yang sehat. Alexander tak lepas dari sisi istrinya. Meski ia merasa lega karena anak keduanya lahir dengan selamat, pikirannya tetap terpecah dengan ancaman yang menggantung di atas kepala mereka—Daniel.“Alex,” bisik Sarah dengan suara lembut, menggenggam tangan suaminya. “Kamu kelihatan sangat khawatir. Ada apa? Apakah sesuatu terjadi dengan Daniel?”Alexander mengangguk pelan. Ia tak ingin menyembunyikan apapun dari Sarah, meskipun ia tahu bahwa ini bukan saat yang tepat untuk membicarakan masalah besar. Namun, Sarah mengenalnya terlalu baik untuk dibiarkan dalam kegelapan.“Daniel... dia... mara
Suara napas Sarah semakin cepat, tubuhnya bergetar menahan rasa sakit yang semakin tak tertahankan. Pecahnya ketuban membuat semua orang di rumah panik, terutama Amelia yang tidak pernah melihat kakaknya dalam keadaan selemah ini. Amelia segera memegang tangan Sarah dengan erat, mencoba menenangkan kakaknya meski hatinya sendiri dipenuhi kekhawatiran. Sementara itu, Adrian sedang dalam perjalanan, berusaha secepat mungkin untuk menemukan Alexander."Adrian, tolong cepat kembali! Kak Sarah tidak sanggup lagi!" suara Amelia terdengar putus asa melalui telepon.Adrian mempercepat langkahnya, berpacu dengan waktu. Di tengah perjalanan, ia tak henti-hentinya mencoba menghubungi Alexander, tetapi ponselnya tetap mati. Rasa takut dan kekhawatiran merayap dalam dirinya. Ia tahu bahwa Daniel mungkin sudah melancarkan rencananya, dan jika Alexander tidak segera ditemukan, semuanya bisa berakhir buruk. Namun, saat ini, Adrian tidak hanya memikirkan Alexander, tapi juga Sarah dan bayinya yang aka
Di ruang gawat darurat rumah sakit, situasi semakin tegang. Sarah yang berbaring di ranjang rumah sakit sudah tampak pucat pasi. Pecah ketubannya datang lebih cepat dari perkiraan, dan rasa sakit yang menyiksanya semakin hebat. Amelia menggenggam erat tangan kakaknya, mencoba menenangkan Sarah, namun ketegangan tetap terasa jelas di wajahnya."Amelia... aku tidak bisa... ini terlalu sakit," bisik Sarah dengan suara yang nyaris putus asa."Sabar, Sarah. Kamu kuat. Aku di sini bersamamu, dan Adrian sedang berusaha menghubungi Alexander," ucap Amelia dengan nada lembut, meski dalam hatinya ia sendiri mulai panik. Adrian, yang berdiri tak jauh dari pintu, terlihat mondar-mandir sambil terus menempelkan ponselnya di telinga, mencoba menghubungi Alexander berkali-kali."Kenapa teleponnya selalu mati?" gumam Adrian, frustrasi. Ia menghela napas panjang, matanya terarah ke arah Sarah yang sedang berjuang. Rasa tanggung jawab mulai menekan hatinya. Apalagi dengan firasat buruk yang terus mengg
Malam itu, Sarah terbangun dengan rasa mulas yang menusuk di perutnya. Ia mengerang pelan, tangannya memegangi perut yang semakin membesar. Detik itu juga ia tahu bahwa ini adalah tanda bahwa waktu kelahiran anak keduanya telah tiba. Namun, Alexander belum juga kembali. Ia mencoba menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam, tapi kontraksi semakin kuat.Dengan tangan gemetar, Sarah meraih ponselnya dan segera menghubungi adiknya, Amelia. Sambil menunggu Amelia mengangkat panggilan, Sarah menggigit bibirnya, menahan rasa sakit yang semakin tak tertahankan."Amelia... aku butuh bantuanmu," suara Sarah terdengar panik saat Amelia akhirnya mengangkat telepon.Amelia yang mendengar suara panik kakaknya langsung terbangun dari tidurnya. "Sarah? Ada apa? Kau baik-baik saja?""Ini... aku rasa aku akan melahirkan, Amelia. Alexander belum juga pulang. Bisa kau datang ke sini dengan Adrian? Aku tidak kuat..."Mendengar suara lemah Sarah, Amelia langsung bergegas membangunkan Adrian yang masih te
Setelah Daniel pergi, Adrian duduk termenung di ruangannya, memikirkan langkah berikutnya. Situasi semakin memburuk. Meski ia sudah mencoba berbicara dengan Daniel, semuanya malah semakin rumit. Kini, ia harus memikirkan cara untuk menghentikan Daniel sebelum balas dendam itu benar-benar menghancurkan semua orang, termasuk Amelia yang kini menjadi pusat perhatian di antara mereka.Amelia, yang selama ini selalu tampak ceria, belakangan mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan emosional. Adrian menyadari betapa sulitnya bagi Amelia untuk berada di tengah konflik yang ia sendiri mungkin tidak sepenuhnya pahami. Ia tak pernah membayangkan bahwa Amelia akan terjebak di antara dendam keluarga yang tak berkesudahan ini.Setelah beberapa saat berpikir, Adrian memutuskan untuk pulang lebih awal. Ia ingin berbicara dengan Amelia tentang semua yang terjadi. Ada banyak hal yang belum Amelia ketahui, dan Adrian merasa ini adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan semuanya. Di satu sisi, Adrian ta
Daniel berjalan bolak-balik di dalam ruangan gelap dengan wajah tegang. Pikiran tentang pengkhianatan Adrian terus membayangi. Adrian, yang seharusnya berada di sisinya, justru mulai menunjukkan sikap sebaliknya. Dan sekarang, Adrian bahkan meminta dia berhenti dari rencana balas dendam yang sudah lama dia susun. Suara langkah kaki Daniel menggema di ruangan itu, hingga akhirnya dia menghentikan gerakannya dan memandang Adrian dengan sorot mata marah."Kenapa kau tiba-tiba berubah pikiran, Adrian?" tanya Daniel dengan nada dingin yang menggigilkan. "Kita sudah sepakat bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk membalas dendam pada Alexander. Kenapa sekarang kau memutuskan untuk mengkhianatiku?"Adrian, yang berdiri di sudut ruangan, menghela napas panjang. Wajahnya tampak lelah, dan dia menatap Daniel dengan tatapan tenang, tapi tegas. "Ini bukan soal pengkhianatan, Daniel. Ini soal menghentikan siklus kebencian yang tak ada gunanya. Apa yang kau harapkan dari semua ini? Kehancuran Ale
Hari itu, Alexander kembali ke rumah dengan hati yang penuh beban. Pikirannya tak bisa lepas dari pesan-pesan di ponsel tua yang ia temukan di kantor lama Daniel. Jika benar Daniel masih hidup, apa tujuan dari semua ini? Apa yang sebenarnya sedang dia rencanakan? Di dalam hatinya, Alexander tahu ini bukan lagi sekadar balas dendam pribadi, ada sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, yang terpendam di bawah permukaan.Sesampainya di rumah, Alexander disambut oleh Sarah yang sedang bermain bersama Zacky di ruang tengah. Melihat kebahagiaan di wajah istri dan anaknya sedikit meredakan kegelisahan yang menghantuinya."Kamu pulang terlambat lagi, Sayang," kata Sarah sambil tersenyum hangat. "Ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan?"Alexander tersenyum tipis, mendekati Sarah dan mencium pipinya. "Banyak yang terjadi di kantor, tapi aku tidak ingin membebanimu dengan masalah itu."Sarah menatap Alexander dengan penuh perhatian, mengetahui bahwa suaminya sedang menutupi sesuatu. Namun, dia memi