Setelah beberapa hari Sarah terus mengawasi Alexander, ia bisa merasakan bahwa Alexander benar-benar berubah. Alexander yang sering pulang malam,jarang makan dirumah bahkan ia sering memberikan perhatian kecil padahal tidak diinginkan oleh Sarah. "Mama, aku izin keluar bentar." "Sarah, mau kemana sayang?." "Emm,, aku ingin bertemu dengan ayah biasa mah aku lagi kangen pengen lihat ayah dari jauh" ucap Sarah. Elizabeth tersenyum ia mengangguk iya, bahkan Elizabeth menawarkan penjagaan yang ketat dengan Sarah agar tidak terjadi sesuatu di luar sana. "Ngga perlu mah, aku baik-baik saja kok. Cukup pergi dengan sopir aja. " ucap Sarah. "Iya sudah jika emang seperti itu, aku akan pinta Daniel untuk menemanimu. " Sarah mengalihkan pandangannya, ia berfikir jika dia pergi dengan Daniel maka semuanya akan tahu. Sarah tak ingin jika Elizabeth mengetahui bahwa Alexander sudah berubah. "Sarah, ada apa?." "Ngga apa-apa kok ma, aku pergi sendiri saja dengan sopir lain. Daniel biark
Irwan melihat Amelia duduk sendrian di teras rumah, ia menghampiri Amelia yang sedang melamun. "Amel,, " sapa Irwan. "Eh, ayah ada apa? kok kesini, kak Sarah dimana?." tanya Amelia. "Sarah ada, sedang di kamar nya. " Amelia tersenyum mengangguk, ia mengalihkan pandangannya kearah lain seraya memanyunkan bibirnya. Irwan bisa merasakan perasaan Amelia sekarang. "Sayang, terimakasih ya." "Emm,, terimakasih untuk apa yah?." tanya Amelia bingung. "Terimakasih karena kamu memberikan kesempatan untuk ayah bertemu dengan Sarah. Ayah benar merindukan nya, ayah sangat bahagia nak diusia ayah yang tak lagi muda akhirnya bisa melihat kedua putri ayah dirumah ini. " ucap Irwan. Amelia menundukkan kepala nya, ia menghela nafas panjangnya merasakan ada kebahagiaan kecil ada juga rasa sakit saat ayah nya berbicara seperti itu. "Haha,, apaan sih yah, lagian aku tadi liat dia didepan gerbang rumah kita iya udah aku suruh sekalian masuk kan. " ucap Amelia. "Iya ayah tahu, sebenarnya h
Kebetulan Sarah pulang dari rumah ayahnya agak malam, ia tiba pukul 20:30.Dimana keadaan rumah sudah mulai rusuh karena kuatir dengan keadaan Sarah, mana lagi telepon nya tak dapat dihubungi. "Selamat malam." sapa Sarah tersenyum. Sarah melihat mama dan papa nya menatap tanpa ekspresi ditambah tatapan tajam dari Alexander. Sarah merasakan bulu nyan berdiri, ia takut jika mereka marah terhadapnya. "Kau lihat disana." ucap Alexander menujuk kearah belakang Sarah. Sarah berbalik badan, ia melihat jam dinding besar menunjukkan jarum ke angka setengah sembilan. Seketika Sarah menelan ludahnya, ia bisa merasakan hawa panas kemarahan dari Alexander. "Iya aku melihat nya. ""Lalu kenapa kamu pulang lewat dari jam 3 sore, dimana kamu seharian?, apa kamu bertemu dengan Dr. Bayu hah?." tanya Alexander. "Hah,, ngga lah mas. Aku pulang kerumah ayah, aku jengukin dia. ""Ngga usah berbohong Sarah, aku tahu bahwa ibu dan adik mu tak memberikan izin kepada mu untuk berubah temu dengan ayah mu.
Hati Sarah benar-benar terasa teriris, ia merasakan pilu dikehidupannya. Sarah hanya mampu menangis di ujung tempat tidur seraya mengelus perutnya. krekkkk,, suara pintu kamar terbuka,bayangan tinggi besar memasuki kamar Sarah, dengan secara perlahan ia berjalan menuju kearah Sarah. "Sarah aku ingin berbicara empat mata dengan mu.""Bukan kah dikamar ini hanya terdapat kita berdua mas.""Sarah, bukan maksud ku melukai mu. Tapi ku mohon kamu juga ngertiin aku, aku sayang dengan Emily aku ngga bisa kehilangan dia untuk kedua kalinya. " ucap Alexander. Hati Sarah terasa amat sakit mendengar pengakuan suaminya, ia merasa hidup nya tak ada gunanya sama sekali. Sarah tinggal di rumah besar, dengan kehidupan serba ada namun ia harus merasakan sakit hati. "Baiklah, lalu kenapa mas Alex melarang aku untuk dekat dengan dokter Bayu, kenapa mas fitnah aku yang melakukan perselingkuhan, kenapa mas?." tanya Sarah dengan air mata terus mengalir. "Sarah aku ngga pernah nuduh kamu selingkuh, aku
Alexander datang ke rumah Emily atas permintaan Emily. Dia beralasan bahwa keran di rumahnya tiba-tiba bocor, dan Alexander merasa wajib untuk membantu.Saat Alexander mengetuk pintu, Emily membukanya dengan senyum manis. "Terima kasih sudah datang, Alex. Keran di dapur benar-benar kacau. Aku tidak tahu harus menghubungi siapa lagi.""Di mana kerannya? Aku akan coba melihat apa yang bisa kulakukan." ucap Alexander mengangguk, berusaha tetap tenang meskipun hatinya penuh keraguan.Emily memimpin Alexander ke dapur, tetapi ketika mereka sampai di sana, Alexander segera menyadari bahwa tidak ada yang salah dengan keran itu. Semuanya tampak normal. Dia berbalik untuk menatap Emily dengan tatapan curiga."Emily, apa maksud semua ini? Kerannya baik-baik saja."Emily tersenyum, tetapi ada kilatan licik di matanya. "Alex, aku merindukanmu. Kita sudah terlalu lama berpisah. Aku ingin kita menghabiskan waktu bersama, seperti dulu." "Emily,kau menelpon ku hanya untuk hal bodoh seperti ini,aku s
Amelia menemui Daniel yang sedang berada di kantor, melihat kedatangan Amelia membuat Daniel terkejut untuk apa ia datang ke kantor seperti ini. "Amel, ada apa kamu kemari?." tanya Daniel penasaran. "Aku mau minta tolong dengan anda.""Ohiya, apa itu?." "Beritahu aku dimana pelakor itu tinggal, aku ingin berbicara dengannya penting. " ucap Amelia tanpa ragu. Daniel terdiam sejenak sebelum angkat bicara, ia bertanya untuk apa Amelia ingin mencari tahu tentang Emily. "Iya bukan apa-apa sih, aku hanya ingin memberi pelajaran sedikit saja, tolong lah beritahu aku dimana dia tinggal." pinta Amelia. "Nggak bisa mel, ini melanggar. Aku ngga bisa kasih tahu kamu, gimana kalo tuan tahu akan dapat masalah aku. ""Aihh, kamu akan aman kak ayoo lah. Kak Alex ngga bakal tahu, ini demi kebaikan kak Sarah ku mohon. " ucap Amelia. Daniel tetap menggelengkan kepalanya, ia meminta Amelia untuk pulang karena ini bukan masalah untuk anak kecil, sebelum Alexander tiba dikantor lebih baik Amelia pul
Emily duduk di ruang tamu rumahnya, masih terkejut dan kecewa setelah mengetahui bahwa Alexander telah menikah. Dia merasa dikhianati, tidak percaya bahwa Alexander bisa menyembunyikan hal sebesar itu darinya. "Ngga mungkin kan Alexander menikah?, dia menikah dengan siapa?, berani sekali dia menikah selain dengan ku. " ucap Emily kesal. Emily memutuskan bahwa dia harus mendapatkan jawaban langsung dari Alexander. Perasaannya campur aduk antara marah, kecewa, dan bingung. Dia tidak bisa lagi menunggu penjelasan yang tidak pernah datang. Pagi itu, dia bertekad untuk mendatangi kantor Alexander dan menanyakan kebenarannya.Emily memasuki gedung kantor dengan langkah cepat, jantungnya berdebar kencang. Dia melewati resepsionis yang sudah mengenalnya dan berjalan langsung menuju lift. Begitu pintu lift terbuka di lantai tempat kantor Alexander berada, dia melangkah keluar dengan keyakinan.Dia mengetuk pintu kantor Alexander dan langsung membukanya tanpa menunggu jawaban. Alexander yang
Alexander pulang ke rumah dengan ekspresi marah yang tidak bisa disembunyikan. Langkah kakinya terdengar berat dan penuh amarah saat ia memasuki rumah. Sarah, Elizabeth, yang sedang duduk di ruang tamu, melihat ekspresi putranya dan segera merasa ada yang tidak beres."Alexander, ada apa? Mengapa kau begitu marah?" tanya Sarah dengan suara penuh kekhawatiran.Alexander menatap Elizabeth dengan tatapan tajam. "Siapa yang memberitahu Emily tentang pernikahanku dengan Sarah?" suaranya tegas dan penuh kecurigaan. "Apa maksudmu, Alexander? Aku tidak mengerti." ucap Sarah bingung dan terkejut. Alexander menghela napas dengan frustrasi. "Emily tahu tentang pernikahan ini, Sar. Dan aku yakin seseorang di rumah ini yang membocorkannya."Richard, ayah Alexander, yang baru saja memasuki ruangan, mendengar percakapan tersebut. "Alexander, tenanglah. Tidak ada seorang pun di sini yang akan membocorkan hal itu. Kita semua tahu betapa pentingnya kerahasiaan pernikahanmu."Elizabeth mengangguk, me
Kebahagiaan yang sempat Adrian rasakan saat kelahiran putrinya berubah menjadi kekhawatiran yang dalam. Ia tak bisa benar-benar tenang, mengingat betapa berbahayanya situasi antara Daniel dan Alexander. Adrian tahu bahwa satu-satunya cara untuk menghentikan siklus dendam ini adalah dengan menghadapi Daniel dan menemukan solusi yang benar-benar damai.Alexander juga menyadari ancaman yang belum sepenuhnya berlalu. Meski sempat tersentuh oleh kebahagiaan Adrian, pikirannya tak bisa lepas dari bayang-bayang pertemuan terakhirnya dengan Daniel. Dalam pertemuan itu, Daniel menunjukkan kemarahan dan kebencian yang mendalam, terutama setelah merasa dikhianati oleh Adrian. Alexander memahami bahwa dendam yang tersimpan dalam hati Daniel tak akan hilang begitu saja.Adrian akhirnya memutuskan bahwa ia harus berbicara langsung dengan Daniel. Ia mengatur pertemuan rahasia di tempat yang jauh dari hiruk-pikuk kota, berharap bisa melunakkan hati sepupunya itu. Sebelum pergi, ia menatap Amelia dan
Amelia duduk di kursi malas di rumah sakit, perutnya yang besar jelas menunjukkan bahwa ia sudah sangat dekat dengan waktu persalinan. Adrian duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat-erat. Meski bibirnya tersenyum lembut, ada ketegangan yang jelas di wajahnya. Hari itu, hari yang seharusnya dipenuhi kebahagiaan, malah diwarnai kekhawatiran karena ancaman Daniel yang masih menggantung di udara."Semua akan baik-baik saja," bisik Adrian, berusaha menenangkan istrinya. "Kita fokus pada kelahiran bayi kita dulu. Jangan pikirkan hal-hal yang lain."Amelia mengangguk, meskipun ia tahu Adrian juga sedang memikirkan hal yang sama. Ia tahu suaminya tertekan dengan situasi yang melibatkan Daniel. Namun, saat ini, yang terpenting baginya adalah menyambut buah hati mereka.Tiba-tiba, Amelia merasakan rasa sakit yang tajam di perutnya, seperti ada kontraksi yang datang lebih kuat dari sebelumnya. Ia mengerang pelan, membuat Adrian segera panik.“Amelia, kamu baik-baik saja?” Adrian langsung
Malam itu, suasana rumah Alexander dipenuhi ketenangan setelah kelahiran anak keduanya. Namun, di luar sana, badai besar sedang mendekat. Daniel, yang masih dikuasai amarah dan dendam, tidak bisa menerima kenyataan bahwa Adrian, adik sepupunya, memilih untuk melawan dan menghentikan niatnya.Sementara itu, di rumah sakit, Sarah telah dipindahkan ke kamar pemulihan bersama bayi perempuannya yang sehat. Alexander tak lepas dari sisi istrinya. Meski ia merasa lega karena anak keduanya lahir dengan selamat, pikirannya tetap terpecah dengan ancaman yang menggantung di atas kepala mereka—Daniel.“Alex,” bisik Sarah dengan suara lembut, menggenggam tangan suaminya. “Kamu kelihatan sangat khawatir. Ada apa? Apakah sesuatu terjadi dengan Daniel?”Alexander mengangguk pelan. Ia tak ingin menyembunyikan apapun dari Sarah, meskipun ia tahu bahwa ini bukan saat yang tepat untuk membicarakan masalah besar. Namun, Sarah mengenalnya terlalu baik untuk dibiarkan dalam kegelapan.“Daniel... dia... mara
Suara napas Sarah semakin cepat, tubuhnya bergetar menahan rasa sakit yang semakin tak tertahankan. Pecahnya ketuban membuat semua orang di rumah panik, terutama Amelia yang tidak pernah melihat kakaknya dalam keadaan selemah ini. Amelia segera memegang tangan Sarah dengan erat, mencoba menenangkan kakaknya meski hatinya sendiri dipenuhi kekhawatiran. Sementara itu, Adrian sedang dalam perjalanan, berusaha secepat mungkin untuk menemukan Alexander."Adrian, tolong cepat kembali! Kak Sarah tidak sanggup lagi!" suara Amelia terdengar putus asa melalui telepon.Adrian mempercepat langkahnya, berpacu dengan waktu. Di tengah perjalanan, ia tak henti-hentinya mencoba menghubungi Alexander, tetapi ponselnya tetap mati. Rasa takut dan kekhawatiran merayap dalam dirinya. Ia tahu bahwa Daniel mungkin sudah melancarkan rencananya, dan jika Alexander tidak segera ditemukan, semuanya bisa berakhir buruk. Namun, saat ini, Adrian tidak hanya memikirkan Alexander, tapi juga Sarah dan bayinya yang aka
Di ruang gawat darurat rumah sakit, situasi semakin tegang. Sarah yang berbaring di ranjang rumah sakit sudah tampak pucat pasi. Pecah ketubannya datang lebih cepat dari perkiraan, dan rasa sakit yang menyiksanya semakin hebat. Amelia menggenggam erat tangan kakaknya, mencoba menenangkan Sarah, namun ketegangan tetap terasa jelas di wajahnya."Amelia... aku tidak bisa... ini terlalu sakit," bisik Sarah dengan suara yang nyaris putus asa."Sabar, Sarah. Kamu kuat. Aku di sini bersamamu, dan Adrian sedang berusaha menghubungi Alexander," ucap Amelia dengan nada lembut, meski dalam hatinya ia sendiri mulai panik. Adrian, yang berdiri tak jauh dari pintu, terlihat mondar-mandir sambil terus menempelkan ponselnya di telinga, mencoba menghubungi Alexander berkali-kali."Kenapa teleponnya selalu mati?" gumam Adrian, frustrasi. Ia menghela napas panjang, matanya terarah ke arah Sarah yang sedang berjuang. Rasa tanggung jawab mulai menekan hatinya. Apalagi dengan firasat buruk yang terus mengg
Malam itu, Sarah terbangun dengan rasa mulas yang menusuk di perutnya. Ia mengerang pelan, tangannya memegangi perut yang semakin membesar. Detik itu juga ia tahu bahwa ini adalah tanda bahwa waktu kelahiran anak keduanya telah tiba. Namun, Alexander belum juga kembali. Ia mencoba menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam, tapi kontraksi semakin kuat.Dengan tangan gemetar, Sarah meraih ponselnya dan segera menghubungi adiknya, Amelia. Sambil menunggu Amelia mengangkat panggilan, Sarah menggigit bibirnya, menahan rasa sakit yang semakin tak tertahankan."Amelia... aku butuh bantuanmu," suara Sarah terdengar panik saat Amelia akhirnya mengangkat telepon.Amelia yang mendengar suara panik kakaknya langsung terbangun dari tidurnya. "Sarah? Ada apa? Kau baik-baik saja?""Ini... aku rasa aku akan melahirkan, Amelia. Alexander belum juga pulang. Bisa kau datang ke sini dengan Adrian? Aku tidak kuat..."Mendengar suara lemah Sarah, Amelia langsung bergegas membangunkan Adrian yang masih te
Setelah Daniel pergi, Adrian duduk termenung di ruangannya, memikirkan langkah berikutnya. Situasi semakin memburuk. Meski ia sudah mencoba berbicara dengan Daniel, semuanya malah semakin rumit. Kini, ia harus memikirkan cara untuk menghentikan Daniel sebelum balas dendam itu benar-benar menghancurkan semua orang, termasuk Amelia yang kini menjadi pusat perhatian di antara mereka.Amelia, yang selama ini selalu tampak ceria, belakangan mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan emosional. Adrian menyadari betapa sulitnya bagi Amelia untuk berada di tengah konflik yang ia sendiri mungkin tidak sepenuhnya pahami. Ia tak pernah membayangkan bahwa Amelia akan terjebak di antara dendam keluarga yang tak berkesudahan ini.Setelah beberapa saat berpikir, Adrian memutuskan untuk pulang lebih awal. Ia ingin berbicara dengan Amelia tentang semua yang terjadi. Ada banyak hal yang belum Amelia ketahui, dan Adrian merasa ini adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan semuanya. Di satu sisi, Adrian ta
Daniel berjalan bolak-balik di dalam ruangan gelap dengan wajah tegang. Pikiran tentang pengkhianatan Adrian terus membayangi. Adrian, yang seharusnya berada di sisinya, justru mulai menunjukkan sikap sebaliknya. Dan sekarang, Adrian bahkan meminta dia berhenti dari rencana balas dendam yang sudah lama dia susun. Suara langkah kaki Daniel menggema di ruangan itu, hingga akhirnya dia menghentikan gerakannya dan memandang Adrian dengan sorot mata marah."Kenapa kau tiba-tiba berubah pikiran, Adrian?" tanya Daniel dengan nada dingin yang menggigilkan. "Kita sudah sepakat bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk membalas dendam pada Alexander. Kenapa sekarang kau memutuskan untuk mengkhianatiku?"Adrian, yang berdiri di sudut ruangan, menghela napas panjang. Wajahnya tampak lelah, dan dia menatap Daniel dengan tatapan tenang, tapi tegas. "Ini bukan soal pengkhianatan, Daniel. Ini soal menghentikan siklus kebencian yang tak ada gunanya. Apa yang kau harapkan dari semua ini? Kehancuran Ale
Hari itu, Alexander kembali ke rumah dengan hati yang penuh beban. Pikirannya tak bisa lepas dari pesan-pesan di ponsel tua yang ia temukan di kantor lama Daniel. Jika benar Daniel masih hidup, apa tujuan dari semua ini? Apa yang sebenarnya sedang dia rencanakan? Di dalam hatinya, Alexander tahu ini bukan lagi sekadar balas dendam pribadi, ada sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, yang terpendam di bawah permukaan.Sesampainya di rumah, Alexander disambut oleh Sarah yang sedang bermain bersama Zacky di ruang tengah. Melihat kebahagiaan di wajah istri dan anaknya sedikit meredakan kegelisahan yang menghantuinya."Kamu pulang terlambat lagi, Sayang," kata Sarah sambil tersenyum hangat. "Ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan?"Alexander tersenyum tipis, mendekati Sarah dan mencium pipinya. "Banyak yang terjadi di kantor, tapi aku tidak ingin membebanimu dengan masalah itu."Sarah menatap Alexander dengan penuh perhatian, mengetahui bahwa suaminya sedang menutupi sesuatu. Namun, dia memi