Happy weekend ^^
Darius sudah bersiap mendengar komentar Denver yang selalu saja berlagak seperti juri kompetisi masak. Bahkan raut wajah Denver sangat terlihat serius, seolah sedang menelaah satu per satu cita rasa dari setiap bumbu yang dia kecap. "Gimana? Heh?" Darius menggeram kesal, karena Denver terlalu lama menanggapi. Dia sungguh tidak sabar mendapat pengakuan. Denver mengangkat kedua bahu sambil kembali menyuap sepotong kecil daging. "Not bad. Sedikit asin, tapi masih bisa dimakan." Darius menghela napas panjang. Padahal dia sudah berusaha mati-matian mencontek berbagai resep, bahkan sampai mengamati cara kerja chef restoran bintang lima. Hanya saja, entah kenapa, nalurinya untuk menambahkan garam tetap muncul di saat-saat terakhir. Akan tetapi, melihat bagaimana Denver melahap makanannya cukup membuat Darius lega. Apalagi. ketika dia memandang Maharani yang perlahan mulai makan sambil mengangguk-angguk, disusul Dewi dan Dirga yang tampak menikmati hasil masakannya. "Enak, Om! Asinnya dik
"Ada apa, Wi? Kenapa wajahmu tiba-tiba pucat?" tanya Maharani dengan dahi mengernyit, melihat keeceriaan sahabatnya menguap begitu saja.Dewi menarik napas dalam-dalam. Matanya yang sipit kini berkaca-kaca. Dia tidak langsung menjawab, hanya menatap kosong ke arah luar butik. Pemandangan yang barusan dilihatnya masih menancap kuat di benaknya."Tante Lani, tadi Mama lihat olang bajunya sobek-sobek, di ujung sana. Telus Mama nangis," ucap Dirga polos sambil memeluk paha Dewi erat-erat.Dewi spontan berjongkok, merengkuh pipi anak semata wayangnya dengan lembut. Tubuh kecil Dirga segera ditariknya dalam pelukan yang erat, seperti tidak ingin kehilangannya."Aduh ... Mama, aku nggak bisa napas, nih!" keluh Dirga, menepuk-nepuk bahu ibunya pelan. "Mama kenapa? Telepon Papa, deh."Dewi hanya menggeleng pelan, lalu berdiri dan merangkul Maharani dengan satu lengan. "Mungkin aku cuma salah lihat, Rani," gumamnya, suaranya terdengar rap
Pagi ini Dewi terbangun dan langsung meraba perutnya yang masih rata. Dia menghela napas pelan, merasa tubuhnya lebih mudah lelah dari biasanya. Mood-nya memang berubah, tetapi .. benarkah itu tanda-tanda kehamilan? Bukankah suaminya terlalu cepat menyimpulkan sesuatu?"Apa benar aku hamil?" gumam Dewi lirih, tatapannya kosong menatap langit-langit."Kamu tidak percaya, hmm?" tanya Denver dengan suara seraknya. Meskipun mata pria itu masih terpejam, Denver mendengar dengan jelas gumaman istrinya.Dewi berbalik, menghadap suaminya. Jemari rampingnya menyusuri wajah tampan itu, mengusap lembut dagu yang kini dihiasi janggut halus."Aku suka kamu berjanggut begini, Sayang," ucap Dewi pelan, "kelihatan lebih keren."Mata Denver langsung terbuka. Dia memeluk Dewi, menarik tubuh wanita itu lebih dekat. Pandangannya menatap dalam ke arah sepasang mata hitam yang kini hanya berjarak sejengkal. Lalu, dengan pelan dia mencium leher, dada, dan akhirnya turun ke perut Dewi."Jangan lupa, suamimu i
“Itu … benaran Caca?” tanya Dewi dengan suara lirih. Dia tidak menyangka anak itu sudah sebesar ini, dan, ya, wajahnya jelas mewarisi kecantikan Carissa.Meskipun baru beberapa kali melihat Caca dari kejauhan, tapi Dewi tahu anak itu tidak bersalah. Justru Dewi menyayanginya. Terlebih, Caca hidup sendirian, terlunta-lunta, tanpa keluarga yang bisa melindunginya.Seperti sekarang, Caca sedang duduk sambil makan dengan lahap. Meskipun berkebutuhan khusus, Caca tetap tenang. Makan hingga habis tanpa rewel, hanya saja mata polosnya terus menatap Dewi dalam diam.“Dia tidak mungkin tinggal di hotel terus, ‘kan?” ujar Dewi. “dia butuh lingkungan yang sehat.”Denver mengangguk, meski sebenarnya dia sudah menyiapkan semuanya. Pakaian baru, dan perawat khusus yang akan mendampingi kebutuhan harian Caca.“Malam ini aku akan ke rumah Niang. Bagaimanapun juga, Caca ini cicitnya,” ucap Denver sambil menoleh ke arah Dewi yang berdiri di sampingnya.Dewi mengangguk pelan. Keputusan sang suami sudah
“Aw … Sayang, sakit! Kamu lembut ke pasien lain, tapi sama istri kenapa kasar?” keluh Dewi dengan bibir mungil merah mudanya yang merengut manja.Denver terkekeh melihat istrinya yang belakangan lebih sering merajuk. Pria itu meraih dagu Dewi, lalu mengecup bibir sang istri dengan dalam dan lembut.Hari ini, tepat satu minggu mereka menanti untuk melakukan tes darah—untuk tahu apakah Dewi hamil atau tidak.“Jarumnya belum masuk, Sayang. Maaf aku cuma mencubit kamu,” sahut Denver sambil tertawa pelan, jelas lebih menikmati momen menjahili Dewi daripada prosedurnya sendiri.Pria itu pun dengan lembut mengoles alkohol di sekitar kulit lengan istrinya, lantas menusukkan jarum dan mulai mengambil sampel darah.“Seharusnya aku minta Sus Tiwi saja,” gumam Dewi, membuat Denver kembali tergelak.“Pratiwi sibuk. Ada tiga pasien persiapan operasi caesar sore nanti.” Denver memutar sedikit badannya, lalu menuangkan cairan merah ke dalam tabung sampel dan menyerahkannya pada petugas laboratorium.S
“Rani ... kamu di mana?” panggil Darius. Pria itu sudah menekan bel berkali-kali, tetapi tidak ada yang membukakan pintu pagar.Bahkan Darius mencoba menghubungi Maharani dan Bu Astuti, tetapi tak mendapat balasan. Hingga akhirnya, dia menggunakan kunci cadangan dan masuk ke dalam rumah.Suasana di dalam tampak rapi dan tenang, aroma pengharum kopi menguar dari sudut-sudut ruangan dan memberi kesan hangat yang familiar.“Rani? Sayang?” panggilnya lagi, sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu yang tertata apik. Tidak ada satu pun tanda kehadiran manusia.Dia meletakkan kantong makanan yang dibawanya di atas meja makan panjang putih. Matanya sempat tertumbuk pada vas bunga segar yang tertata manis di tengah meja.Bibir Darius tertarik membentuk senyum kecil. Rumah ini terasa jauh lebih hidup sejak ada sentuhan seorang wanita.“Bu? Bu Astuti?” Darius melongok ke taman belakang yang ukurannya tidak terlalu besar. Pandangannya menyapu seluruh sudut. Tetap tidak terlihat siapa
"Rani … apa yang kamu—"Protes Darius terputus begitu saja saat Maharani menatapnya tajam dan mengangkat telunjuk di depan bibirnya, memberi isyarat tegas agar pria itu diam."Tapi aku—""Jangan berisik, Dok!" tegur Maharani dengan tegas, sambil meraih handuk dan menghela napas panjang.Dia berbalik, mengambil pakaian dengan wajah jengkel, lalu mengenakannya secepat kilat.Beberapa detik kemudian, langkah kecil terdengar mendekat. Seorang anak laki-laki muncul di ambang pintu, membawa aroma tempe goreng yang menguar dari kotak kecil di tangannya."Tante Lani, tempe golengnya masih anget, enak loh dimakan pakai kecap!" celoteh Dirga ceria. Namun, matanya menyapu ke dalam kamar, tidak menemukan keberadaan Maharani."Tante Lani di mana?" tanyanya polos sambil mengetuk pintu, dia tidak berani masuk tanpa izin. Meskipun kakinya terlalu gatal ingin melangkah.Maharani segera melangkah dengan cepat menghampiri Dirga, sambil sibuk mengancingkan kancing baju. Senyum wanita itu dibuat selebar m
“Kamu kenapa? Ada yang sakit?” tanya Maharani sambil menatap Darius yang sejak tadi hanya bersedekap dada, duduk di pojokan kamar.Setelah Dewi dan Dirgantara dijemput Denver, Maharani langsung menghampiri Darius. Pria itu tidak menyambutnya dengan senyum atau pelukan, melainkan ekspresi super dingin, seperti freezer yang kelupaan ditutup.Apa mungkin Darius kesal karena dia terlalu lama menemani Dewi di kamar? Atau ... ada sesuatu yang tidak dia tahu?“Mulai sekarang jangan makan tempe goreng lagi!” geram Darius tiba-tiba. Nada suaranya seperti menegur pasien bandel.Maharani langsung melongo. Tadi pria ini begitu antusias ketika diberikan tempe goreng hangat. Sekarang mendadak berubah arah.“Kamu sakit perut karena makan tempe goreng?” tanya Maharani curiga. Matanya menyipit, memeriksa wajah calon suaminya dari atas ke bawah.Darius berdecak, lalu menggeleng cepat. “Bukan perut yang sakit, Rani. Tapi hati. Mengerti?!” ucapnya dengan desahan napas berat seperti habis lari maraton.“A
“Wah … itu adik? Tapi kenapa adiknya kecil banget, Pa?” tanya Dirga sambil menunjuk layar monitor dengan mata membulat penasaran.Dua minggu telah berlalu sejak hari pernikahan Darius dan Maharani. Semua kembali beraktivitas normal.Hari ini, Dewi memutuskan melakukan pemeriksaan kehamilan bersama suaminya di ruang praktik milik Denver. Sebenarnya, ini karena permintaan Dirga yang terus-menerus merengek ingin melihat calon adiknya.“Ya, perkembangan manusia memang dimulai dari yang sangat kecil, Nak. Kalau dijelaskan panjang lebar, kamu pasti bingung,” tutur Denver lembut. Senyumnya merekah melihat Dirga begitu terkesima memandangi layar.Sementara itu, Dewi terus menatap Denver tanpa berkedip. Ada rasa geli dan manis saat melihat pria tampan yang kini jadi suaminya itu serius memeriksanya—sebagai dokter kandungan. Lucu rasanya, diperiksa oleh suami sendiri.“Kenapa kamu lihat aku terus, Mon ange? Jangan goda aku di tempat kerja, hmm,” bisik Denver seraya mengerlingkan sebelah matany
“Sakit, Oma …,” adu Dirga sambil menunjuk kakinya yang tersembunyi di balik celana panjang. Bibir mungilnya maju ke depan, dan manik karamel bergerak gelisah, mencari dua sosok yang sejak tadi dinantikan.“Iya, itu sudah diobati, Sayang. Tidak ada luka apa pun, kan?” sahut Dwyne sembari membelai puncak kepala Dirgantara dengan sentuhan penuh kasih.“Olang itu jalannya sembalang, ah!” Dirga bersedekap dada. Kedua alisnya bertaut, bola matanya menatap tajam ke arah tamu-tamu yang masih ramai di taman, menikmati pesta.Wajah tampan anak itu merengut.Beberapa saat lalu, ketika mengambil makanan di meja, seorang anak kecil menabrak Dirga cukup keras hingga makanannya terjatuh. Beruntung tuksedo mininya tidak kotor, tetapi tubuh kecil Dirga ikut terhuyung dan tersungkur. Anak yang menabraknya pun menangis sehingga mengundang perhatian para tamu.“Dia lebih kecil dari kamu. Jadi … belum tahu cara menghindar,” ujar Dwyne, masih dengan nada lembut. Dalam hati, wanita paruh baya itu ingin sek
“Ah … Darius, kamu benar-benar penjahat,” lenguh Maharani, matanya terpejam sesaat, napasnya tersendat di tengah desahan halus. Dia menelan saliva, kini tubuhnya menegang seperti tersentuh listrik halus di bawah kulitnya.Tadi, pria itu membawanya langsung ke kamar hotel usai prosesi pernikahan mereka. Tanpa banyak kata, dengan antusiasme yang membuncah, Darius melucuti kebaya pengantin Maharani. Jemarinya bekerja luwes, sudah hafal setiap lipatan dan kancing, lalu membaringkan sang istri di ranjang pengantin berseprai putih yang bertabur kelopak mawar.Detik ini, mereka telah sama-sama polos, tidak ada lagi batas di antara kain dan kulit.Darius tampak sangat menguasai momen. Namun, di balik geraknya yang percaya diri, ada ketulusan yang menyelinap di setiap kecupan dan belaian.“Penjahat?” bisik Darius sembari menelusuri ceruk leher sang istri dengan ciuman yang membuat bulu kuduk Maharani meremang.“Umm … iya. Kamu menculikku. Pesta kita bahkan belum selesai, Da-Darius …, ah … ini
Setelah resmi menyandang status duda dan mempertahankan gelar itu selama kurang dari sebulan, akhirnya hari ini Darius melepas masa kesendiriannya dengan mempersunting Maharani.Bunga-bunga bermekaran indah menghiasi pelaminan serta taman. Bahkan pepohonan rindang pun seolah merestui hari penuh cinta ini. Suhu yang sejuk turut mendukung segalanya yang telah dirancang dengan saksama.Saat ini Darius mengenakan jas putih dengan rambut ditata rapi menggunakan pomade. Dia duduk bersama Denver dan Danis sebagai saksi pernikahan, menanti sang mempelai wanita yang belum juga tiba."Santai, Darius. Tenanglah, Maharani sedang bersiap. Kamu jangan bikin malu seperti ini," bisik Denver sambil melirik kaki Darius yang bergerak-gerak gelisah. Kening Darius juga dipenuhi keringat sebesar biji jagung."Aku tidak perlu nasihat. Aku butuh Maharani!" tegas Darius dengan wajah tegang.Denver terkekeh melihat mantan rivalnya panik. Dia pun menggoda lagi dengan suara rendah, "Ah … bagaimana kalau Maharani
Hari berikutnya, Darius masih cuti. Dia datang lebih awal ke persidangan kedua Dania. Pria itu duduk menyendiri di bangku tunggu, memandangi sisi kanan dan kiri ruang sidang yang masih sepi. Padahal dia sudah janjian dengan Denver, tetapi pria itu belum tampak.Darius memejamkan mata sambil menyandarkan punggung ke dinding dingin. Dia mencoba membayangkan wajah Maharani agar suasana hatinya lebih tenang, dan berhasil.Bahkan ketika Denver datang bersama Ruslan dan Rudi, Darius menyapa dengan santai. Termasuk saat bertemu Dania di ruang sidang, tatapan tajam sang mantan tidak lagi menggoyahkan hatinya.Sidang pun selesai. Jadwal sidang berikutnya masih menunggu konfirmasi. Hal ini membuat Darius sedikit cemas, lantaran pernikahannya dengan Maharani makin dekat.“Tidak baik melamun,” tegur Denver, melihat Darius tampak berpikir di depan pintu pengadilan.“Ah, bukan melamun. Aku sedang berpikir cari kado untuk anakmu.” Darius m
Minggu ini menjadi yang paling berat sepanjang hidup Darius. Bahkan dia sengaja mengajukan cuti dari rumah sakit hanya untuk menyelesaikan segala masalah yang selama ini menggantung.Sekarang, dengan ditemani pengacara serta pamannya yang sangat baik, Darius duduk di ruang sidang yang terasa dingin dan sunyi.Bau kertas tua bercampur aroma pembersih ruangan menyengat di hidung. Suara langkah sepatu para pengacara dan detik jarum jam di dinding terasa memekakkan di tengah ketegangan.Dia menoleh ke samping, menatap kursi kosong di sebelahnya—kursi yang seharusnya diisi oleh Dania. Namun, wanita itu hanya menghadiri sidang melalui layar ponsel, sebab pihak kepolisian tidak mengizinkannya keluar dari sel tahanan karena perilaku buruknya yang makin menjadi.Darius menarik napas panjang, terasa sesak dan perih di dadanya. Ketika hakim memintanya mengucap ikrar talak, sejenak dia terdiam. Ada kilatan ingatan yang muncul—saat pertama kali menggenggam tangan Dania di bawah langit sore, berjan
“Kamu kenapa? Ada yang sakit?” tanya Maharani sambil menatap Darius yang sejak tadi hanya bersedekap dada, duduk di pojokan kamar.Setelah Dewi dan Dirgantara dijemput Denver, Maharani langsung menghampiri Darius. Pria itu tidak menyambutnya dengan senyum atau pelukan, melainkan ekspresi super dingin, seperti freezer yang kelupaan ditutup.Apa mungkin Darius kesal karena dia terlalu lama menemani Dewi di kamar? Atau ... ada sesuatu yang tidak dia tahu?“Mulai sekarang jangan makan tempe goreng lagi!” geram Darius tiba-tiba. Nada suaranya seperti menegur pasien bandel.Maharani langsung melongo. Tadi pria ini begitu antusias ketika diberikan tempe goreng hangat. Sekarang mendadak berubah arah.“Kamu sakit perut karena makan tempe goreng?” tanya Maharani curiga. Matanya menyipit, memeriksa wajah calon suaminya dari atas ke bawah.Darius berdecak, lalu menggeleng cepat. “Bukan perut yang sakit, Rani. Tapi hati. Mengerti?!” ucapnya dengan desahan napas berat seperti habis lari maraton.“A
"Rani … apa yang kamu—"Protes Darius terputus begitu saja saat Maharani menatapnya tajam dan mengangkat telunjuk di depan bibirnya, memberi isyarat tegas agar pria itu diam."Tapi aku—""Jangan berisik, Dok!" tegur Maharani dengan tegas, sambil meraih handuk dan menghela napas panjang.Dia berbalik, mengambil pakaian dengan wajah jengkel, lalu mengenakannya secepat kilat.Beberapa detik kemudian, langkah kecil terdengar mendekat. Seorang anak laki-laki muncul di ambang pintu, membawa aroma tempe goreng yang menguar dari kotak kecil di tangannya."Tante Lani, tempe golengnya masih anget, enak loh dimakan pakai kecap!" celoteh Dirga ceria. Namun, matanya menyapu ke dalam kamar, tidak menemukan keberadaan Maharani."Tante Lani di mana?" tanyanya polos sambil mengetuk pintu, dia tidak berani masuk tanpa izin. Meskipun kakinya terlalu gatal ingin melangkah.Maharani segera melangkah dengan cepat menghampiri Dirga, sambil sibuk mengancingkan kancing baju. Senyum wanita itu dibuat selebar m
“Rani ... kamu di mana?” panggil Darius. Pria itu sudah menekan bel berkali-kali, tetapi tidak ada yang membukakan pintu pagar.Bahkan Darius mencoba menghubungi Maharani dan Bu Astuti, tetapi tak mendapat balasan. Hingga akhirnya, dia menggunakan kunci cadangan dan masuk ke dalam rumah.Suasana di dalam tampak rapi dan tenang, aroma pengharum kopi menguar dari sudut-sudut ruangan dan memberi kesan hangat yang familiar.“Rani? Sayang?” panggilnya lagi, sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu yang tertata apik. Tidak ada satu pun tanda kehadiran manusia.Dia meletakkan kantong makanan yang dibawanya di atas meja makan panjang putih. Matanya sempat tertumbuk pada vas bunga segar yang tertata manis di tengah meja.Bibir Darius tertarik membentuk senyum kecil. Rumah ini terasa jauh lebih hidup sejak ada sentuhan seorang wanita.“Bu? Bu Astuti?” Darius melongok ke taman belakang yang ukurannya tidak terlalu besar. Pandangannya menyapu seluruh sudut. Tetap tidak terlihat siapa