“Di mana Dokter Denver?” tanya Dewi. Dia menatap ke penjuru sudut apartemen mewah ini. Sepi. Dia sempat berpikir mungkin saja Denver ada di dapur. Ternyata … tidak ada sosok pria bertelanjang dada yang biasanya sedang memasak. “Non, ayo, sarapan.” Ucapan asisten rumah tangga membuat fokus Dewi buyar. Gadis itu tersenyum dan menatap piring berisi sandwich ikan dan telur dilengkapi sayuran hijau dan tomat segar. Kemudian di sampingnya ada segelas susu serta potongan buah. Pundak gadis itu terkulai lemas karena bosan dan sarapan seperti ini tidak sesuai dengan lidahnya. Dia merindukan makanan lain. Sekarang hidup Dewi terikat dan terkekang dengan perjanjian gila ini. “Dihabiskan, Non. Ini Pak Denver yang masak.” Asisten rumah tangga itu menaruh secarik kertas berisi kata-kata tulis tangan. Dewi menatap kertas putih berbentuk segiempat, lalu menatap pelayan dan berkata, “Terima kasih, Bik.” Sambil berusaha menikmati sarapannya, dia membaca isi pesan Denver. [Habiskan sarapanmu, ja
Sepulang kerja, Dewi memutuskan menemui Danu di rumah Bima.“Sampai Ayah sembuh, Kakak mau menginap di sini,” tegas Danu sambil memperhatikan sepasang suami istri yang terlihat kaku dan bermusuhan. “Kamar tamu di mana?” tanyanya.Dewi menjadi panik, berbanding terbalik dengan Bima yang tersenyum puas melihat kesulitan sang istri. Telunjuk Bima tertuju pada lorong sempit di samping dapur.“Umm … Kak, aku—”Ucapan Dewi terpotong karena Danu menyela, “ Adik-adik sudah Kakak titip sama Budhe. Debt collector datang terus ke rumah.”“Kakak nunggak bayar cicilan?” geram Dewi melihat Danu yang seenak jidat kabur dari masalah.“Makanya Kakak bilang sama kamu pinjam uang 50 juta!” sembur pria itu membuat Dewi geleng-geleng. Kemudian, Danu melenggang pergi menuju salah satu kamar tamu.Sedangkan Bima tampak menikmati perdebatan antara Kakak dan Adik. Pria itu duduk santai di sofa sambil bertepuk tangan tak bersuara.“Apa kubilang. Minta saja sama Pak Rudi. Gampang Dewi. Sekalian mobil dan rumah,
[Nona Dewi ada di apartemen, Pak.] Pesan teks itu dibaca oleh Denver. Dia langsung memutar arah laju mobil menuju apartemen. Setengah jam kemudian, Denver menginjakkan kaki di The Luxury RB Apartement. Dia pun menaruh ibu jari pada alat sensor. Detik itu juga terdengar suara kecil pertanda kunci berhasil terbuka. Terdengar kebisingan dari dapur, Denver memelankan langkah sepatu derby-nya. Sudut bibir pria itu melengkung melihat Dewi sedang berdiri menghadap kompor. Iris cokelat karamelnya juga tertuju pada bokong berisi milik gadis itu. Jakun Denver turun naik melihat lekuk tubuh Dewi. Padahal gadis itu menggunakan celana panjang dan kaos berlengan pendek dengan gambar Kuromi. Namun, gairah Dokter tampan bergejolak. Lagi, Denver mengendap sampai berdiri tepat di belakang gadis miliknya. Pria itu melingkarkan tangan pada perut rata dan menempelkan pipi di telinga Dewi. “Ya ampun!” pekik Dewi. Refleks dia mengangkat sendok sayur hendak memukul Denver, tetapi setelah melihat paras t
"Perempuan itu ...," gumam Dewi yang mematung, tubuhnya membeku. Sosok yang terbaring di ranjang IGD membuat dadanya sesak dan napasnya mendadak berat. Itu Yessy. Di bilik informasi, Denver berdiri tenang, berbicara dengan dokter jaga. Sosok bertubuh jangkung itu terlihat kokoh, berbeda dengan Dewi yang hampir kehilangan keseimbangan. “Dewi? Kenapa kamu di sini? Ini bukan jam tugas kamu!” Suara seorang teman perawat mengejutkan Dewi. Temannya itu sibuk dengan tumpukan obat-obatan. Dewi tersentak, buru-buru mencari alasan. “Itu... ada barang ketinggalan,” jawabnya tergagap. Wajah Dewi menunduk, berusaha menghindari tatapan temannya. Dia tidak ingin kedatangannya bersama Denver menjadi bahan pembicaraan. “Oh, bantu aku, ya. Hubungi keluarga pasien Yessy. Kandungannya keguguran,” kata temannya cepat sebelum berlalu. 'Kandungannya ... keguguran,' ulang Dewi dalam hati bagai dihantam palu godam. Tangannya refleks memegangi perut, seolah rasa sakit Yessy menjalar ke tubuhnya sendiri. Ma
[Aku ada di depan rumahmu! Cepat suruh pengawal membuka pintu!] Carissa menghela napas panjang membaca pesan itu. Naskah sinetron yang tadinya digenggam dilempar ke meja. Dengan wajah masam, dia melangkah keluar kamar, sepatu hak tingginya mengetuk lantai marmer menuju lantai bawah. “Buka gerbang!” perintah Carissa kepada pengawal. Bima masuk dengan langkah lebar dan sikap meledak-ledak. Carissa duduk bersandar di sofa mewah ruang tamu. Dia melipat tangan di depan dada, menatap adik sepupu dengan alis terangkat. “Mau apa?” hardiknya, “ganggu orang aja!” Bima melangkah mendekat. Dia tidak membuang waktu untuk basa-basi. “Jaga suamimu! Jangan sibuk syuting terus, nanti Denver selingkuh!” Kata-kata itu menghentak di ruang tamu seperti pecahan kaca. Carissa tidak langsung merespons. Dia memiringkan kepala, mencoba mencerna ucapan itu, sebelum akhirnya meledak dan tawa keras menggema. “Kamu serius?” Carissa berdiri, bertolak pinggang. Matanya menyipit, penuh ejekan. “Dengar, y
“Jangan kasihan padaku, Dokter,” kata gadis itu, “berikan saja uang sesuai kesepakatan.” Dewi memejamkan mata dan menggigit bibir bawahnya. Satu detik berikutnya dia merasakan sentuhan lembut menyapu kedua belah bibir merah muda. Gadis itu membuka mata dan tatapannya terkunci kepada Denver. Dokter tampan itu tidak tersenyum, tetapi makna tersirat cukup jelas melalui sorot matanya. Seketika Dewi merasa dilindungi dan nyaman, ya, sesuatu yang belum pernah dia dapatkan dari Bima, suaminya. “Lalu bagaimana caramu membayarnya?” tanya Denver, ada penekanan pada ucapannya. “Dicicil dengan gajiku, tentunya. Setelah melahirkan, aku akan lanjut kuliah lagi. Bukankah gajiku juga bertambah, Dokter?” Pertanyaan Dewi membuat Denver tertawa kecil. Sebagai pria yang memiliki segalanya, tentu saja dia ingin gadisnya memohon. Namun, tidak dengan Dewi, justru gadis itu memilih berjuang sendiri. “Kamu bisa mengikuti seleksi beasiswa di J&B Pharmacy. Semoga lulus,” goda Denver seraya mengerling sebel
Beberapa hari ini Dewi banyak melamun, karena gagalnya proses pembuahan. Dia menatap televisi, tetapi tidak fokus. Sampai akhirnya dering ponsel di atas meja mengejutkan gadis itu. Dengan cepat dia menerima panggilan suara itu. “Turunlah, aku tunggu di basement," titah seseorang di seberang sana. “Ta--pi, halo? Halo?” Panggilan suara itu terputus sepihak. Dewi mengerutkan kening dan menatap jam pada layar pipih. Waktu menunjukkan pukul sembilan pagi. Akhir pekan ini momen pas untuk bersantai. Hanya saja dia sungkan membantah perintah orang itu. Ya, Dewi merapikan penampilannya dan bergegas turun ke basement. Sesampainya di ruang bawah tanah, netra sipit Dewi disuguhkan keindahan dari motor yang memiliki desain elegan dan berkelas. Dia mengagumi kendaraan berlapis krom mengilap, berpadu dengan cat merah burgundy serta bagian knalpot ganda berbahan stainless steel dan velg klasik dengan roda besar. Kendaraan itu menjadikan seorang pria di atasnya makin memesona dan iris hitam Dewi
“Dokter mau apa?” tanya Dewi. Netra hitam pekatnya mengamati setiap gerakan Denver.Suara maskulin Denver menyahut, “Menurutmu aku mau apa?”Gadis itu mereguk saliva ketika Denver menanggalkan jaket kulit dan melempar pelan ke arah Dewi. Namun, dia tidak bisa menangkap dengan baik, sebab kedua tangannya mendadak tremor.Ekspresi Denver tampak dingin, seolah pria itu berniat menghardik Dewi karena menjatuhkan jaket kulit. Gadis itu gelagapan ketika Denver mengikis jarak dan berdiri tepat di hadapannya. Denver mengambil jaketnya dan menyerahkan ke pelukan Dewi.Kegugupan Dewi makin bertambah kala Denver mengangkat tubuh mungilnya dan mendudukkan gadis itu di atas meja konter besar.“Ah!” pekik Dewi.“Tunggulah di sini,” bisik pria itu seraya menyapukan jemari ramping di pipi Dewi.Setelah itu, Denver menggunakan apron dan memfillet ikan dori. Ya, Dokter tampan membawa Dewi ke dapur salah satu café terkenal di Ibu Kota. Tadinya, gadis itu berpikir akan berakhir mendesah di atas ranjang e
Langkah Denver menghentak keras menyusuri koridor rumah. Napasnya memburu dan rahangnya mengeras. Tanpa ragu, dia mengempaskan pintu kamar Carissa hingga terbuka lebar.Carissa yang sedang duduk di depan meja rias, tersentak kaget. Lipstik di tangan wanita itu jatuh ke lantai."Denver?! Apa-apaan sih?" seru Carissa, berusaha bangkit.Akan tetapi, tatapan Denver yang membara membuat langkah Carissa tertahan. Mata cokelat karamel pria itu menatap tajam seolah ingin membakar habis wanita di depannya."Apa yang kamu lakukan pada Dewi?!" Suara Denver menggelegar, dan agak bergetar karena amarah yang ditahan.Carissa berusaha tersenyum, meski wajahnya kini memucat. "Aku … enggak tahu apa yang kamu bilang. Dewi? Aku enggak ketemu sama dia. Kamu tahu sendiri kemarin aku seharian di rumah Oma."Habis sudah kesabaran Denver. Dia menghantam meja rias di depannya, membuat botol parfum dan kosmetik berjatuhan. Bahkan beberapa pecah."Jangan bohong! Aku tahu kamu yang mendorong Dewi di tangga darur
Suara napas Dewi memburu di lorong dingin itu. Tangannya bergetar memegangi perut yang terasa nyeri hebat. Pandangan Ibu hamil itu kabur, dan rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh. Perlahan dia mencoba merangkak, mencari pegangan di sekitar tangga."Tidak ... aku harus melindungi kamu," gumamnya pelan sambil menahan rasa sakit di perut.Sayang, langkahnya goyah. Cairan merah mulai mengalir di antara kedua kakinya. Sebelum tubuh mungil itu sempat menghantam lantai lebih keras, sepasang tangan langsung menangkapnya.“Astaga, Dewi!” pekik Valerie, lalu berteriak meminta tolong ke arah tangga.Tidak lama kemudian Mama Dwyne yang baru datang dari lantai atas segera berlari menghampiri. Mata wanita paruh baya itu membelalak melihat darah di lantai."Kita harus bawa dia ke rumah sakit!" seru Mama Dwyne panik dan tanpa pikir panjang langsung membantu Valerie mengangkat tubuh Dewi.Mama Dwyne berkali-kali melirik ke arah Dewi yang setengah sadar di dalam mobil. Jantungnya berdegup kencang."Apa
Denver melangkah cepat menuju lobi apartemen, rahangnya mengeras, matanya menajam saat melihat seorang pria berdiri santai di depan pintu masuk. Kecurigaan langsung mengendap di benak Denver.Pria paruh baya dengan setelan rapi tampak sedang bertanya banyak hal pada resepsionis."Apa yang kamu lakukan di sini?" Suara Denver terdengar dingin dan penuh kewaspadaan.Pria itu menunduk hormat. "Maaf, Tuan. Saya hanya mengantarkan dokumen penting dari Nyonya Dwyne untuk rekan bisnisnya di sini."Denver mengepalkan tangan dan napasnya berat. Tentu saja dia tidak memercayai ucapan asisten mamanya."Sebaiknya kamu pergi sekarang! Sampaikan pada Mama jangan campuri urusanku," gertak pria itu dengan tatapan intimidasi.Akan tetapi, sebelum Denver sempat bertindak lebih jauh, ponselnya berdering keras. Itu panggilan dari rumah sakit."Dokter, pasien melahirkan dalam kondisi darurat. Anda harus segera ke sini!"Denver berdecak pelan dan menggertakkan giginya. Dengan terpaksa, dia melangkah mundur
Dewi sadar, dia seharusnya tidak perlu merasa terkhianati melihat foto tadi. Denver dan Carissa adalah suami istri yang sah. Sudah sepatutnya mereka berbagi peluh, menyalurkan hasrat berdua. Akan tetapi, tanpa bisa dicegah, rasa nyeri terasa di dada Dewi. Dia bahkan tidak sadar telah menghentikan taksi, sebelum kemudian sang sopir menegurnya karena kesal. “Mbak, jadi naik enggak?” Dewi langsung gelagapan. Pikirannya langsung teralihkan saat itu juga. “Oh, iya. Maaf,” balas Dewi sambil tersenyum tipis. Baru dia memasuki mobil dan bersiap menutup pintu, suara seseorang menghentikan gerakannya. “Dewi,” panggil sosok itu dengan intonasi rendah dan tegas. Detik itu, jantung Dewi semakin berpacu. Nyeri di hatinya makin terasa hingga dia tidak berani menatap mata teduh itu lama-lama. “Dokter Denver? Kenapa … ada di sini?” Dokter tampan itu melangkah makin dekat, berhenti tepat di samping Dewi. Tatapan Denver intens, seolah tengah mencari sesuatu di wajah gadis itu. Pria
Denver terduduk di sofa kamarnya. Dia mengepalkan tangan. Ingatannya tentang bagaimana dia tertidur karena lelah tidak seharusnya berakhir seperti ini. Mata cokelat karamel melirik ke arah Carissa yang masih tertidur dengan wajah tenang. Ketidakadilan situasi ini membuat dada pria itu sesak. Dengan cepat, dia berdiri dan berjalan ke sisi tempat tidur. "Bangun!" seru Denver dengan nada keras, membuat Carissa terlonjak kaget. Carissa membuka matanya perlahan, senyum kecil muncul di bibirnya. "Selamat pagi, Baby," sapa wanita itu lembut, seolah-olah tidak ada yang salah. "Apa yang kamu campur di minumanku semalam, Carissa?" Suara Denver naik satu oktaf. "Apa yang sedang kamu rencanakan?" Carissa menghela napas panjang, lalu matanya menatap Denver dengan tatapan dingin. "Aku enggak melakukan apa-apa, Denver. Kamu sendiri yang capek dan tertidur. Jangan berlebihan." "Jangan berlebihan?!" teriak Denver, emosinya memuncak. "Kamu memanfaatkan aku! Kamu pikir aku tidak tahu apa yang ka
Pagi ini langit tampak kelabu dan hujan gerimis mulai turun, membuat Dewi enggan beranjak dari ranjang. Dia meringkuk lebih dalam di bawah selimut, tetapi matanya terpaku pada jendela yang dihiasi tetesan air. Hati Ibu hamil itu bergejolak. Perasaan rindu, khawatir, dan bimbang bercampur aduk. “Apa kamu merindukan papamu?” bisiknya sambil membelai lembut perut yang masih rata. “Kita akan bertemu dengannya nanti di rumah sakit, ya.” Setelah menarik napas panjang, Dewi memutuskan untuk bangkit. Pada pukul enam pagi, dia sudah bersiap-siap untuk bekerja. Tidak ada Denver atau Pak Agus yang menjemputnya pagi ini. Dewi memesan taksi online seperti biasa. Saat menunggu di lobi apartemen, seorang resepsionis menyapanya dan menyerahkan sebuah amplop cokelat. Hanya ada namanya sebagai penerima. “Ini untuk Anda, Nona Dewi. Baru saja dikirim.” Dewi menerima amplop itu dengan rasa penasaran. Begitu membukanya, sepasang netra sipit langsung tertumbuk pada selembar surat perjanjian. Itu adalah
Pukul lima sore, Dewi berdiri di depan pintu rumah ayahnya. Udara dingin menyapa, tetapi pikirannya lebih dingin lagi. Dalam perutnya, terdapat gerakan samar seperti kedutan. Ini mengingatkan Dewi akan kenyataan yang tidak bisa dia abaikan. Dalam perjalanan ke rumah Danang, dia sempat mengirim pesan kepada Denver. Namun, tidak ada balasan,.dia yakin Dokter tampan itu sedang bersama istrinya. Pintu rumah terbuka, menampilkan wajah Danang yang mulai dipenuhi kerutan usia. Mata pria paruh baya itu menyipit, menelisik penampilan putrinya dengan perhatian seorang Ayah. “Kamu datang lagi, Nak?” tanya Danang sambil menarik pelan tangan Dewi ke dalam. “Ayo masuk. Ayah masak ayam goreng d. sambal kesukaanmu. Pasti kamu lapar, ya?” Dewi tersenyum kecil, senyuman yang terasa bagai sebuah tameng. “Iya, Ayah. Dewi lapar banget.” Tangan Ibu hamil itu refleks mengusap perut, mencoba menyalurkan kasih sayang yang tidak berani dia ungkapkan. Keduanya berjalan ke ruang makan. Aroma rempah
Dewi berdiri terpaku di depan pintu ruang praktik Denver. Tangannya yang menggenggam gagang pintu gemetar, berusaha menahan diri agar tidak membuka pintu itu lagi. Dari dalam, suara tawa renyah Carissa terdengar jelas, mengiris perasaan Dewi seperti sembilu.“Ada perlu apa, Carissa?” Suara Denver terdengar tegas, membuat dada Dewi sesak.“Mengunjungi suami sendiri dan menjaganya dari pelakor, apa itu salah?” Carissa sengaja mengeraskan suaranya, memastikan setiap kata yang dia ucapkan dapat menembus telinga Dewi di balik pintu.Dewi meremas gagang pintu lebih erat, buku jarinyanya memutih. Dia menundukkan kepala, air mata menggenang di pelupuk matanya. Namun, kakinya seakan terpaku di lantai, tak mampu melangkah pergi.“Dewi bukan pelakor! Jangan mengganggunya lagi, Carissa! Dia sedang hamil anakku.” Suara Denver meluncur penuh peringatan. “Apalagi sampai melibatkan orang lain!”Dewi tersentak mendengar ucapan itu. ‘Melibatkan orang lain? Apa maksudnya?’ pikirnya bingung. Jantungnya b
Bisikan Denver menghipnotis Dewi, membuatnya patuh tanpa ragu. Dengan tangan sedikit gemetar, dia melepas celana pendek Denver dan menaruhnya di ujung sofa.Pandangannya jatuh pada bukti gairah pria itu yang begitu nyata. Saliva tertelan perlahan, dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.“Bukankah hubungan intim disarankan pada usia kehamilan trimester kedua?” Dewi bertanya dengan nada ragu.Denver tersenyum lembut dan memperbaiki posisi duduknya.“Benar, terutama jika Ibu memiliki keluhan atau gangguan. Tapi, Dewi ....” Jemari pria itu mulai menari di sepanjang kulit Dewi yang masih tertutupi gaun. “Kamu tidak mengalami keluhan apa pun, ‘kan?”Dewi mengangguk pelan, mencoba menenangkan debaran jantungnya. Ketika bibir Denver mengecup perutnya, dia menggeliat kecil. Gelak tawa menggantung di udara.Akan tetapi, saat tubuhnya bersentuhan langsung dengan milik Denver, dia membelalak.“Kamu sengaja, ya?” goda Denver dengan intonasi agak manja.Dewi mendesah pelan. “Bukan aku yang senga