Malam Kak Beberapa hari ini Pak Dokter update 1 Bab dulu ya. Nanti setelah lebaran semoga bisa update normal lagi. Makasih Kakak-kakak ^^
“Benarkah Dokter? Kalau begitu … apa ini?” Maharani meraih ponsel dan menggeser layar. Sebelum menunjukkan pada Darius, dia menarik napas panjang lebih dulu. Darius memicingkan mata, menatap layar ponsel Maharani dengan rahang mengeras. Deretan panggilan keluar, serta pesan masuk yang ditunjukkan wanita itu jelas bukan darinya. Dia tahu pasti. Bahkan Darius sadar 100% ponselnya tak pernah mengirim pesan semacam itu, tak ada satu pun panggilan masuk dari Maharani yang diterima. Namun, menanyakan lebih jauh hanya akan memicu perdebatan yang tidak perlu. Dia menarik napas, menekan amarahnya. "Maaf," ucapnya singkat, "aku hanya banyak pikiran karena pekerjaan." Maharani menatap Darius cukup lama sebelum tersenyum kecut. Refleks wanita itu menyentuh perutnya. Bahkan demi jabanh bayi dalam rahimnya pun, Darius enggan meluangkan waktu. Miris. “Rani—” “Tidak apa, Dok. Untung saja di RS ada Dokter Denver, kalau tidak, pasti kamu kehilangan anak ini,” sarkas ibu hamil itu, tangannya merem
"Dania!" panggil Darius dengan suara menggelegar.Mata Darius menyorot tajam dan langkahnya lebar memasuki rumah. Embusan napasnya agak memburu, amarah yang sudah dia tekan sejak kemarin kini nyaris meluap.Tidak ada jawaban. Hanya kesunyian yang menyambutnya—seperti biasa. Darius menggeram, kedua tangannya mengepal kuat. Seorang asisten rumah tangga yang tengah menyapu ruang tengah langsung menoleh dengan wajah tegang."Bu Dania masih tidur, Pak," ucapnya pelan.Darius mendengkus kesal. Tanpa menunggu lebih lama, dia melangkah cepat menuju kamar utama. Begitu membuka pintu, dia menemukan Dania masih terbuai dalam mimpinya, berselimut tebal dengan wajah tenang. Seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan dalam hidupnya.Akan tetapi, Darius tidak akan membiarkannya begitu saja.Tanpa ragu, dia merenggut selimut yang menutupi tubuh sang istri. Dania mengerjap kaget, lalu menatapnya dengan kesal."Darius, apa-apaan ini?!" bentak wani
Suasana ruangan menegang. Dewi menegang, tangannya hendak mencengkeram pergelangan Dania, siap menyeret wanita itu keluar. Namun, suara lembut dan tegas terdengar di belakangnya."Jangan, Wi. Biarkan … dia masuk."Mata Dewi melebar. Dia menoleh cepat ke arah Maharani, berharap dia hanya salah dengar. Namun, yang dilihatnya justru raut wajah tenang Maharani, seakan kehadiran Dania bukanlah ancaman."Apa maksudmu?" tanya Dewi, suaranya serak, "kenapa kamu biarkan dia bertamu?"Maharani tidak langsung menjawab. dia menghela napas dan melirik Dania, yang kini memasang senyum penuh kemenangan. "Dia sudah di sini. Mengusirnya hanya akan membuat suasana makin buruk."Dewi mengatupkan rahang, jelas tak setuju. Namun, Maharani sudah melangkah ke arah ruang tamu.. Dengan anggun, dia menunjuk sofa yang berada di sudut ruangan. "Silakan duduk, Dokter Dania."Dania tersenyum puas dan melangkah santai ke sofa, lalu duduk dengan penu
Dewi menatap Maharani lekat-lekat, mencari sesuatu di balik ekspresi sahabatnya itu. "Kamu suka Darius, kan?" tanyanya pelan. Maharani tertegun. Jemari ibu hamil itu meremas ujung baju, lalu dengan cepat menggeleng. "Ti—tidak," jawabnya, "aku … tidak suka." Dewi tidak langsung merespons. Istri Arkatama Denver itu hanya menatap lebih dalam, membaca isyarat tak terucapkan. "Umm … bagus kalau begitu," kata Dewi. Dia menggenggam tangan Maharani. "Jangan sampai seperti aku dulu, sakit hati melihat Dokter Denver dan Bu Carissa." Maharani tidak menjawab. Ucapan itu membuatnya mendadak nyeri pada dada. Kata-kata itu terngiang di kepalanya bahkan setelah Dewi pergi. Malamnya, Maharani berbaring di kasur. Bukan tidur, melainkan menatap langit-langit, rasanya hampa. Benaknya teringak bagaimana Darius mencuri kecupan darinya, tetapi hari ini semua seolah tidak berarti. "Aku tidak boleh merebut suami orang," gumamnya pelan, berusaha yakin atas pilihannya. "Ini semua hanya perasaan sesaat
"Jangan mengusirku, Rani. Aku menginginkanmu."Maharani tersenyum pahit. Menginginkan apa? Dirinya? Tubuhnya? Atau anak yang tengah dia kandung? Rasa sesak menghimpit dadanya. Hampir saja dia terlena oleh kehangatan pria itu, tetapi kesadarannya kembali. Darius bukan miliknya, dan dia tak seharusnya membiarkan dirinya terjatuh lebih dalam.“Seharusny, Dokter menemui Dokter Dania," lirih Maharani, bergetar, tetapi mencoba dengan ketegasan.Darius tidak menjawab, tatapan tajamnya tidak lepas dari wajah Maharani. Tanpa aba-aba, dia kembali mendekat, menekan tubuh Maharani ke dinding, dan meraih wajahnya untuk mencium bibir itu dengan lebih dalam, lebih menuntut.Pria itu makin menahannya dalam jeratan yang lebih erat. Bibir Darius melumat, mencuri oksigen dari paru-paru Maharani, membuat Maharani hampir kehilangan kendali.Ibu hamil itu berusaha melawan, kedua tangannya menekan dada bidang Darius, tetapi tenaga Darius masih jauh lebih kuat."Lepaskan aku, Darius!" Maharani memukul dada bi
“Sialan!” Darius meraba dadanya yang terasa sesak. Napas pria itu agak berat, seperti ada sesuatu yang menghimpit tulang dada tanpa alasan jelas. Dia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Bodoh, pikirnya. Dia tertawa hambar, menyadari betapa mudah dirinya terpengaruh oleh satu wanita. Tanpa berpikir panjang, dia melangkah menuju poli jantung. Setelah pemeriksaan lengkap, Dokter James duduk di seberangnya, menatap Darius dengan tenang. “Apa yang Anda rasakan?” tanya dokter itu. “Sesak … seperti terhimpit. Kadang juga berdebar.” Dokter James mengangguk, lalu membaca hasil pemeriksaan. “Ini bukan gejala penyakit jantung, Dokter Darius. Saya rasa, ini lebih ke stres atau faktor emosional.” Darius diam. Stres? Emosi? Dia tertawa dalam hati. Jadi, hanya karena seorang pemandangan tadi tubuhnya bereaksi sejauh ini? Keluar dari poli jantung, dia mengeluarkan ponsel. Jemarinya melayang di atas layar, menekan nama yang terlalu sering ada dalam pikirannya. Sebuah pesan hampir t
Maharani berdiri tegak di tengah kolam, matanya bertemu langsung dengan tatapan tajam Darius. Meskipun dadanya berdegup kencang, dia tidak menunjukkan kepanikan. Dengan ekspresi datar, dia mengangguk."Ya, dia tunangan aku," ucapnya tenang.Darius menyipitkan mata. Bibir pria itu melengkung sinis. "Tunangamu?" Dia terkekeh kecil. "Sejak kapan tunanganmu seorang sopir taksi online?"Napas Maharani menjadi cepat, tetapi dia berusaha tetap santai. Wanita itu mengangkat bahu, dan menyahut, "Memangnya kenapa?"Darius terdiam sesaat, lalu mendengkus. "Kamu pikir aku bodoh, Rani? Jangan buat cerita yang tidak masuk akal."Maharani tetap bergeming, kali ini napasnya mulai terasa berat. "Untuk apa aku bohong? Lagipula, dari mana Dokter tahu aku bareng dia di rumah sakit?"Darius tersenyum miring."Aku selalu tahu gerak-gerikmu, Rani," ucap pria itu dengan intonasi dalam dan menekan, membuat bulu kuduk Maharani meremang.Ibu hamil itu melangkah mundur sedikit, menciptakan jarak. Namun, Darius me
Napas Maharani terengah ketika Darius melepaskan bibirnya. Dia menggigit bibirnya yang kini terasa panas dan agak membengkak. Jantung wanita itu berdegup tidak karuan saat kulitnya kembali bersentuhan dengan Darius.“Ahh,” lenguhnya.Sentuhan itu asing, belum pernah dirasakannya hingga sedewasa ini. Dia tidak polos, dia tahu bahwa yang dilakukan Darius ini akan membawanya terbang mengarungi luasnya langit. Tubuhnya pun seolah memiliki pikiran sendiri, merespons setiap gerakan pria itu dengan gemetar yang halus.“Dokter … Darius … ahh, ja—jangan ….” Suaranya bergetar, tetapi tangannya tetap mencengkeram lengan pria itu, seolah-olah meminta lebih meski bibirnya mengatakan sebaliknya.Darius tidak menjawab. Bibir pria itu sudah bergerak turun, menyapu lembut leher Maharani dengan kecupan yang menghanyutkan. Embusan napas sang dokter terasa hangat, mengalir di kulit ibu hamil bagai bara api yang menyala pelan, membakar setiap inci tubuhnya.Bahkan lidah pria itu menelusuri area sensitif di
“Wah … itu adik? Tapi kenapa adiknya kecil banget, Pa?” tanya Dirga sambil menunjuk layar monitor dengan mata membulat penasaran.Dua minggu telah berlalu sejak hari pernikahan Darius dan Maharani. Semua kembali beraktivitas normal.Hari ini, Dewi memutuskan melakukan pemeriksaan kehamilan bersama suaminya di ruang praktik milik Denver. Sebenarnya, ini karena permintaan Dirga yang terus-menerus merengek ingin melihat calon adiknya.“Ya, perkembangan manusia memang dimulai dari yang sangat kecil, Nak. Kalau dijelaskan panjang lebar, kamu pasti bingung,” tutur Denver lembut. Senyumnya merekah melihat Dirga begitu terkesima memandangi layar.Sementara itu, Dewi terus menatap Denver tanpa berkedip. Ada rasa geli dan manis saat melihat pria tampan yang kini jadi suaminya itu serius memeriksanya—sebagai dokter kandungan. Lucu rasanya, diperiksa oleh suami sendiri.“Kenapa kamu lihat aku terus, Mon ange? Jangan goda aku di tempat kerja, hmm,” bisik Denver seraya mengerlingkan sebelah matany
“Sakit, Oma …,” adu Dirga sambil menunjuk kakinya yang tersembunyi di balik celana panjang. Bibir mungilnya maju ke depan, dan manik karamel bergerak gelisah, mencari dua sosok yang sejak tadi dinantikan.“Iya, itu sudah diobati, Sayang. Tidak ada luka apa pun, kan?” sahut Dwyne sembari membelai puncak kepala Dirgantara dengan sentuhan penuh kasih.“Olang itu jalannya sembalang, ah!” Dirga bersedekap dada. Kedua alisnya bertaut, bola matanya menatap tajam ke arah tamu-tamu yang masih ramai di taman, menikmati pesta.Wajah tampan anak itu merengut.Beberapa saat lalu, ketika mengambil makanan di meja, seorang anak kecil menabrak Dirga cukup keras hingga makanannya terjatuh. Beruntung tuksedo mininya tidak kotor, tetapi tubuh kecil Dirga ikut terhuyung dan tersungkur. Anak yang menabraknya pun menangis sehingga mengundang perhatian para tamu.“Dia lebih kecil dari kamu. Jadi … belum tahu cara menghindar,” ujar Dwyne, masih dengan nada lembut. Dalam hati, wanita paruh baya itu ingin sek
“Ah … Darius, kamu benar-benar penjahat,” lenguh Maharani, matanya terpejam sesaat, napasnya tersendat di tengah desahan halus. Dia menelan saliva, kini tubuhnya menegang seperti tersentuh listrik halus di bawah kulitnya.Tadi, pria itu membawanya langsung ke kamar hotel usai prosesi pernikahan mereka. Tanpa banyak kata, dengan antusiasme yang membuncah, Darius melucuti kebaya pengantin Maharani. Jemarinya bekerja luwes, sudah hafal setiap lipatan dan kancing, lalu membaringkan sang istri di ranjang pengantin berseprai putih yang bertabur kelopak mawar.Detik ini, mereka telah sama-sama polos, tidak ada lagi batas di antara kain dan kulit.Darius tampak sangat menguasai momen. Namun, di balik geraknya yang percaya diri, ada ketulusan yang menyelinap di setiap kecupan dan belaian.“Penjahat?” bisik Darius sembari menelusuri ceruk leher sang istri dengan ciuman yang membuat bulu kuduk Maharani meremang.“Umm … iya. Kamu menculikku. Pesta kita bahkan belum selesai, Da-Darius …, ah … ini
Setelah resmi menyandang status duda dan mempertahankan gelar itu selama kurang dari sebulan, akhirnya hari ini Darius melepas masa kesendiriannya dengan mempersunting Maharani.Bunga-bunga bermekaran indah menghiasi pelaminan serta taman. Bahkan pepohonan rindang pun seolah merestui hari penuh cinta ini. Suhu yang sejuk turut mendukung segalanya yang telah dirancang dengan saksama.Saat ini Darius mengenakan jas putih dengan rambut ditata rapi menggunakan pomade. Dia duduk bersama Denver dan Danis sebagai saksi pernikahan, menanti sang mempelai wanita yang belum juga tiba."Santai, Darius. Tenanglah, Maharani sedang bersiap. Kamu jangan bikin malu seperti ini," bisik Denver sambil melirik kaki Darius yang bergerak-gerak gelisah. Kening Darius juga dipenuhi keringat sebesar biji jagung."Aku tidak perlu nasihat. Aku butuh Maharani!" tegas Darius dengan wajah tegang.Denver terkekeh melihat mantan rivalnya panik. Dia pun menggoda lagi dengan suara rendah, "Ah … bagaimana kalau Maharani
Hari berikutnya, Darius masih cuti. Dia datang lebih awal ke persidangan kedua Dania. Pria itu duduk menyendiri di bangku tunggu, memandangi sisi kanan dan kiri ruang sidang yang masih sepi. Padahal dia sudah janjian dengan Denver, tetapi pria itu belum tampak.Darius memejamkan mata sambil menyandarkan punggung ke dinding dingin. Dia mencoba membayangkan wajah Maharani agar suasana hatinya lebih tenang, dan berhasil.Bahkan ketika Denver datang bersama Ruslan dan Rudi, Darius menyapa dengan santai. Termasuk saat bertemu Dania di ruang sidang, tatapan tajam sang mantan tidak lagi menggoyahkan hatinya.Sidang pun selesai. Jadwal sidang berikutnya masih menunggu konfirmasi. Hal ini membuat Darius sedikit cemas, lantaran pernikahannya dengan Maharani makin dekat.“Tidak baik melamun,” tegur Denver, melihat Darius tampak berpikir di depan pintu pengadilan.“Ah, bukan melamun. Aku sedang berpikir cari kado untuk anakmu.” Darius m
Minggu ini menjadi yang paling berat sepanjang hidup Darius. Bahkan dia sengaja mengajukan cuti dari rumah sakit hanya untuk menyelesaikan segala masalah yang selama ini menggantung.Sekarang, dengan ditemani pengacara serta pamannya yang sangat baik, Darius duduk di ruang sidang yang terasa dingin dan sunyi.Bau kertas tua bercampur aroma pembersih ruangan menyengat di hidung. Suara langkah sepatu para pengacara dan detik jarum jam di dinding terasa memekakkan di tengah ketegangan.Dia menoleh ke samping, menatap kursi kosong di sebelahnya—kursi yang seharusnya diisi oleh Dania. Namun, wanita itu hanya menghadiri sidang melalui layar ponsel, sebab pihak kepolisian tidak mengizinkannya keluar dari sel tahanan karena perilaku buruknya yang makin menjadi.Darius menarik napas panjang, terasa sesak dan perih di dadanya. Ketika hakim memintanya mengucap ikrar talak, sejenak dia terdiam. Ada kilatan ingatan yang muncul—saat pertama kali menggenggam tangan Dania di bawah langit sore, berjan
“Kamu kenapa? Ada yang sakit?” tanya Maharani sambil menatap Darius yang sejak tadi hanya bersedekap dada, duduk di pojokan kamar.Setelah Dewi dan Dirgantara dijemput Denver, Maharani langsung menghampiri Darius. Pria itu tidak menyambutnya dengan senyum atau pelukan, melainkan ekspresi super dingin, seperti freezer yang kelupaan ditutup.Apa mungkin Darius kesal karena dia terlalu lama menemani Dewi di kamar? Atau ... ada sesuatu yang tidak dia tahu?“Mulai sekarang jangan makan tempe goreng lagi!” geram Darius tiba-tiba. Nada suaranya seperti menegur pasien bandel.Maharani langsung melongo. Tadi pria ini begitu antusias ketika diberikan tempe goreng hangat. Sekarang mendadak berubah arah.“Kamu sakit perut karena makan tempe goreng?” tanya Maharani curiga. Matanya menyipit, memeriksa wajah calon suaminya dari atas ke bawah.Darius berdecak, lalu menggeleng cepat. “Bukan perut yang sakit, Rani. Tapi hati. Mengerti?!” ucapnya dengan desahan napas berat seperti habis lari maraton.“A
"Rani … apa yang kamu—"Protes Darius terputus begitu saja saat Maharani menatapnya tajam dan mengangkat telunjuk di depan bibirnya, memberi isyarat tegas agar pria itu diam."Tapi aku—""Jangan berisik, Dok!" tegur Maharani dengan tegas, sambil meraih handuk dan menghela napas panjang.Dia berbalik, mengambil pakaian dengan wajah jengkel, lalu mengenakannya secepat kilat.Beberapa detik kemudian, langkah kecil terdengar mendekat. Seorang anak laki-laki muncul di ambang pintu, membawa aroma tempe goreng yang menguar dari kotak kecil di tangannya."Tante Lani, tempe golengnya masih anget, enak loh dimakan pakai kecap!" celoteh Dirga ceria. Namun, matanya menyapu ke dalam kamar, tidak menemukan keberadaan Maharani."Tante Lani di mana?" tanyanya polos sambil mengetuk pintu, dia tidak berani masuk tanpa izin. Meskipun kakinya terlalu gatal ingin melangkah.Maharani segera melangkah dengan cepat menghampiri Dirga, sambil sibuk mengancingkan kancing baju. Senyum wanita itu dibuat selebar m
“Rani ... kamu di mana?” panggil Darius. Pria itu sudah menekan bel berkali-kali, tetapi tidak ada yang membukakan pintu pagar.Bahkan Darius mencoba menghubungi Maharani dan Bu Astuti, tetapi tak mendapat balasan. Hingga akhirnya, dia menggunakan kunci cadangan dan masuk ke dalam rumah.Suasana di dalam tampak rapi dan tenang, aroma pengharum kopi menguar dari sudut-sudut ruangan dan memberi kesan hangat yang familiar.“Rani? Sayang?” panggilnya lagi, sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu yang tertata apik. Tidak ada satu pun tanda kehadiran manusia.Dia meletakkan kantong makanan yang dibawanya di atas meja makan panjang putih. Matanya sempat tertumbuk pada vas bunga segar yang tertata manis di tengah meja.Bibir Darius tertarik membentuk senyum kecil. Rumah ini terasa jauh lebih hidup sejak ada sentuhan seorang wanita.“Bu? Bu Astuti?” Darius melongok ke taman belakang yang ukurannya tidak terlalu besar. Pandangannya menyapu seluruh sudut. Tetap tidak terlihat siapa