Ummm gemana Darius? mau menyerah aja kah? udah deh kamu hidup aja sama Dania.
“Sialan!” Darius meraba dadanya yang terasa sesak. Napas pria itu agak berat, seperti ada sesuatu yang menghimpit tulang dada tanpa alasan jelas. Dia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Bodoh, pikirnya. Dia tertawa hambar, menyadari betapa mudah dirinya terpengaruh oleh satu wanita. Tanpa berpikir panjang, dia melangkah menuju poli jantung. Setelah pemeriksaan lengkap, Dokter James duduk di seberangnya, menatap Darius dengan tenang. “Apa yang Anda rasakan?” tanya dokter itu. “Sesak … seperti terhimpit. Kadang juga berdebar.” Dokter James mengangguk, lalu membaca hasil pemeriksaan. “Ini bukan gejala penyakit jantung, Dokter Darius. Saya rasa, ini lebih ke stres atau faktor emosional.” Darius diam. Stres? Emosi? Dia tertawa dalam hati. Jadi, hanya karena seorang pemandangan tadi tubuhnya bereaksi sejauh ini? Keluar dari poli jantung, dia mengeluarkan ponsel. Jemarinya melayang di atas layar, menekan nama yang terlalu sering ada dalam pikirannya. Sebuah pesan hampir t
Maharani berdiri tegak di tengah kolam, matanya bertemu langsung dengan tatapan tajam Darius. Meskipun dadanya berdegup kencang, dia tidak menunjukkan kepanikan. Dengan ekspresi datar, dia mengangguk."Ya, dia tunangan aku," ucapnya tenang.Darius menyipitkan mata. Bibir pria itu melengkung sinis. "Tunangamu?" Dia terkekeh kecil. "Sejak kapan tunanganmu seorang sopir taksi online?"Napas Maharani menjadi cepat, tetapi dia berusaha tetap santai. Wanita itu mengangkat bahu, dan menyahut, "Memangnya kenapa?"Darius terdiam sesaat, lalu mendengkus. "Kamu pikir aku bodoh, Rani? Jangan buat cerita yang tidak masuk akal."Maharani tetap bergeming, kali ini napasnya mulai terasa berat. "Untuk apa aku bohong? Lagipula, dari mana Dokter tahu aku bareng dia di rumah sakit?"Darius tersenyum miring."Aku selalu tahu gerak-gerikmu, Rani," ucap pria itu dengan intonasi dalam dan menekan, membuat bulu kuduk Maharani meremang.Ibu hamil itu melangkah mundur sedikit, menciptakan jarak. Namun, Darius me
Napas Maharani terengah ketika Darius melepaskan bibirnya. Dia menggigit bibirnya yang kini terasa panas dan agak membengkak. Jantung wanita itu berdegup tidak karuan saat kulitnya kembali bersentuhan dengan Darius.“Ahh,” lenguhnya.Sentuhan itu asing, belum pernah dirasakannya hingga sedewasa ini. Dia tidak polos, dia tahu bahwa yang dilakukan Darius ini akan membawanya terbang mengarungi luasnya langit. Tubuhnya pun seolah memiliki pikiran sendiri, merespons setiap gerakan pria itu dengan gemetar yang halus.“Dokter … Darius … ahh, ja—jangan ….” Suaranya bergetar, tetapi tangannya tetap mencengkeram lengan pria itu, seolah-olah meminta lebih meski bibirnya mengatakan sebaliknya.Darius tidak menjawab. Bibir pria itu sudah bergerak turun, menyapu lembut leher Maharani dengan kecupan yang menghanyutkan. Embusan napas sang dokter terasa hangat, mengalir di kulit ibu hamil bagai bara api yang menyala pelan, membakar setiap inci tubuhnya.Bahkan lidah pria itu menelusuri area sensitif di
Darius melangkah masuk ke dalam rumah dengan wajah tegang. Hasratnya masih menggelora, tertahan, membuat emosinya tak menentu. Namun, senyum sumringah Dania menyambutnya seolah tidak ada yang terjadi."Sayang, kamu pulang juga!" Dania melangkah cepat, memeluk pria itu dengan erat. Tapi saat wajahnya menyentuh dada Darius, dia mengernyit. "Hmm ... aroma ini ...." Dia menarik diri, menatap suaminya dengan mata menyipit. "Kamu bau jalang!"Darius terperanjat dan rahangnya mengeras. "Apa maksudmu?"Dania menyilangkan tangan di dada. "Jangan pura-pura, Darius. Aku tahu bau ini milik siapa."Darius hendak membalas, ingin membela diri, tetapi suara kecil mengalihkan perhatian mereka."Om!" Dirga berlari menghampiri, tangan kecilnya terulur. Darius merentangkan tangan dan segera menggendongnya. Anak itu terkikik, lalu wajahnya berbinar."Om Dalius, nih, lama banget pulangnya. Aku ‘kan kangen!"Darius tersenyum, mencium pipi tembam
Darius berjalan cepat menuju mobil yang terparkir di depan rumah Maharani. Perasaannya tidak enak sejak tadi, dan sekarang firasat itu makin kuat. Saat dia mengintip ke dalam, jantungnya langsung berdegup kencang.Maharani dan Bibi duduk di kursi belakang dengan tangan dan kaki terikat. Mulut bibi dilakban, sementara Maharani tampak ketakutan, air matanya mengalir deras.Tanpa pikir panjang, Darius membuka pintu mobil dengan kasar. Pria bertopeng yang duduk di kursi depan menoleh kaget."Sialan!" Pria itu berusaha mengambil sesuatu dari sakunya, tetapi Darius lebih cepat. Satu pukulan keras mendarat di wajah pria itu, membuatnya terhuyung ke belakang.Pria bertopeng itu tidak tinggal diam. Dia balas menyerang dengan tinju, tetapi Darius menangkisnya dengan lengan."Hei! Ada apa?!"Suara teriakan dari dalam rumah membuat Darius menoleh sekilas. Seorang pria lain berlari keluar dengan panik. Mata Darius langsung tertuju pada benda di tangan pria itu—sebilah pisau."Lepasin dia atau gue
Matahari pagi baru saja menyelinap masuk melalui celah gorden ketika Maharani perlahan membuka mata. Rasa kantuknya langsung menguap saat merasakan sesuatu yang berat dan hangat melingkari perut buncitnya.Dia membeku, menyadari tangan besar itu milik Darius!Perutnya sedikit menonjol ke kanan, seakan sang bayi merespons sentuhan ayahnya. Maharani terpaku, menikmati gerakan kecil itu di bawah telapak tangan Darius. Bayinya seolah mengerti perhatian ini. Tanpa sadar, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis.‘Kamu suka, ya, diperhatiin sama Ayah?’ bisik wanita itu dalam hati, menatap perutnya dengan lembut.Akan tetapi, secepat senyumnya muncul, Maharani meneguhkan hati. Ini semua hanya demi bayinya. Hanya itu, bukan karena yang lain.Saat dia masih terlarut dalam pikiran, tiba-tiba tengkuknya terasa lembab dan hangat. Jantung Maharani mencelos."Pagi," sapa Dokter itu, dengan suara seraknya.Darius mempererat pelukannya,
Maharani berdiri di dekat jendela, menatap langit yang mulai cerah. Pikiran wanita itu melayang ke berbagai hal yang masih mengganjal di kepalanya.Udara pagi yang seharusnya menenangkan justru terasa menyesakkan. Dia menarik napas dalam, mencoba menormalkan suasana hati.Tiba-tiba, bel kamar berbunyi. Tubuhnya menegang.Siapa yang datang sepagi ini? Dengan hati-hati, dia melangkah ke arah pintu. Namun, sebelum sempat membuka, ponselnya bergetar di atas nakas.Mata Maharani langsung tertuju pada layar. Nama Darius tertera di sana. Dengan sedikit ragu, dia membuka pesan itu.[Sebentar lagi room service mengantar sarapan dan pakaian bersih untukmu. Makanlah yang banyak.]Maharani terdiam. Hatinya menghangat seketika, meskipun sebagian dirinya masih menolak untuk terbawa perasaan. Dia melirik ke arah pintu, lalu perlahan membukanya. Sesuai dengan pesan Darius, seorang petugas hotel berdiri di depan pintu, mendorong troli berisi makanan dan satu
Maharani menggigit bibir, napasnya memburu ketika jemari Darius menyusuri kulitnya. Sensasi itu membakar, membuat Maharani melenguh tanpa sadar.“Ahh … Darius.” Tubuh ibu hamil itu melenting, menanggapi setiap sentuhan yang begitu lihai. Darius tahu cara mempermainkan perasaannya, bagaimana membawa wanita itu hanyut dalam arus yang tak bisa dia kendalikan.Darius menatap Maharani dengan sorot mata penuh kepuasan. "Lihat? Kamu menikmatinya, Rani," bisik Dokter itu, suaranya rendah dan menggoda.Maharani ingin membantah, tetapi sial, tubuhnya sudah lebih dulu menyerah.Darius mulai melucuti dress hamil yang membalut tubuh Maharani, jari-jarinya begitu sabar menyingkirkan tiap helai kain yang menghalangi. Maharani menelan ludah, menyadari bahwa ini bukan pertama kalinya dia berada dalam keadaan polos seperti ini di hadapan Darius.Kali kedua, tetapi sensasinya terasa lebih menggetarkan.Tatapan wan
“Wah … itu adik? Tapi kenapa adiknya kecil banget, Pa?” tanya Dirga sambil menunjuk layar monitor dengan mata membulat penasaran.Dua minggu telah berlalu sejak hari pernikahan Darius dan Maharani. Semua kembali beraktivitas normal.Hari ini, Dewi memutuskan melakukan pemeriksaan kehamilan bersama suaminya di ruang praktik milik Denver. Sebenarnya, ini karena permintaan Dirga yang terus-menerus merengek ingin melihat calon adiknya.“Ya, perkembangan manusia memang dimulai dari yang sangat kecil, Nak. Kalau dijelaskan panjang lebar, kamu pasti bingung,” tutur Denver lembut. Senyumnya merekah melihat Dirga begitu terkesima memandangi layar.Sementara itu, Dewi terus menatap Denver tanpa berkedip. Ada rasa geli dan manis saat melihat pria tampan yang kini jadi suaminya itu serius memeriksanya—sebagai dokter kandungan. Lucu rasanya, diperiksa oleh suami sendiri.“Kenapa kamu lihat aku terus, Mon ange? Jangan goda aku di tempat kerja, hmm,” bisik Denver seraya mengerlingkan sebelah matany
“Sakit, Oma …,” adu Dirga sambil menunjuk kakinya yang tersembunyi di balik celana panjang. Bibir mungilnya maju ke depan, dan manik karamel bergerak gelisah, mencari dua sosok yang sejak tadi dinantikan.“Iya, itu sudah diobati, Sayang. Tidak ada luka apa pun, kan?” sahut Dwyne sembari membelai puncak kepala Dirgantara dengan sentuhan penuh kasih.“Olang itu jalannya sembalang, ah!” Dirga bersedekap dada. Kedua alisnya bertaut, bola matanya menatap tajam ke arah tamu-tamu yang masih ramai di taman, menikmati pesta.Wajah tampan anak itu merengut.Beberapa saat lalu, ketika mengambil makanan di meja, seorang anak kecil menabrak Dirga cukup keras hingga makanannya terjatuh. Beruntung tuksedo mininya tidak kotor, tetapi tubuh kecil Dirga ikut terhuyung dan tersungkur. Anak yang menabraknya pun menangis sehingga mengundang perhatian para tamu.“Dia lebih kecil dari kamu. Jadi … belum tahu cara menghindar,” ujar Dwyne, masih dengan nada lembut. Dalam hati, wanita paruh baya itu ingin sek
“Ah … Darius, kamu benar-benar penjahat,” lenguh Maharani, matanya terpejam sesaat, napasnya tersendat di tengah desahan halus. Dia menelan saliva, kini tubuhnya menegang seperti tersentuh listrik halus di bawah kulitnya.Tadi, pria itu membawanya langsung ke kamar hotel usai prosesi pernikahan mereka. Tanpa banyak kata, dengan antusiasme yang membuncah, Darius melucuti kebaya pengantin Maharani. Jemarinya bekerja luwes, sudah hafal setiap lipatan dan kancing, lalu membaringkan sang istri di ranjang pengantin berseprai putih yang bertabur kelopak mawar.Detik ini, mereka telah sama-sama polos, tidak ada lagi batas di antara kain dan kulit.Darius tampak sangat menguasai momen. Namun, di balik geraknya yang percaya diri, ada ketulusan yang menyelinap di setiap kecupan dan belaian.“Penjahat?” bisik Darius sembari menelusuri ceruk leher sang istri dengan ciuman yang membuat bulu kuduk Maharani meremang.“Umm … iya. Kamu menculikku. Pesta kita bahkan belum selesai, Da-Darius …, ah … ini
Setelah resmi menyandang status duda dan mempertahankan gelar itu selama kurang dari sebulan, akhirnya hari ini Darius melepas masa kesendiriannya dengan mempersunting Maharani.Bunga-bunga bermekaran indah menghiasi pelaminan serta taman. Bahkan pepohonan rindang pun seolah merestui hari penuh cinta ini. Suhu yang sejuk turut mendukung segalanya yang telah dirancang dengan saksama.Saat ini Darius mengenakan jas putih dengan rambut ditata rapi menggunakan pomade. Dia duduk bersama Denver dan Danis sebagai saksi pernikahan, menanti sang mempelai wanita yang belum juga tiba."Santai, Darius. Tenanglah, Maharani sedang bersiap. Kamu jangan bikin malu seperti ini," bisik Denver sambil melirik kaki Darius yang bergerak-gerak gelisah. Kening Darius juga dipenuhi keringat sebesar biji jagung."Aku tidak perlu nasihat. Aku butuh Maharani!" tegas Darius dengan wajah tegang.Denver terkekeh melihat mantan rivalnya panik. Dia pun menggoda lagi dengan suara rendah, "Ah … bagaimana kalau Maharani
Hari berikutnya, Darius masih cuti. Dia datang lebih awal ke persidangan kedua Dania. Pria itu duduk menyendiri di bangku tunggu, memandangi sisi kanan dan kiri ruang sidang yang masih sepi. Padahal dia sudah janjian dengan Denver, tetapi pria itu belum tampak.Darius memejamkan mata sambil menyandarkan punggung ke dinding dingin. Dia mencoba membayangkan wajah Maharani agar suasana hatinya lebih tenang, dan berhasil.Bahkan ketika Denver datang bersama Ruslan dan Rudi, Darius menyapa dengan santai. Termasuk saat bertemu Dania di ruang sidang, tatapan tajam sang mantan tidak lagi menggoyahkan hatinya.Sidang pun selesai. Jadwal sidang berikutnya masih menunggu konfirmasi. Hal ini membuat Darius sedikit cemas, lantaran pernikahannya dengan Maharani makin dekat.“Tidak baik melamun,” tegur Denver, melihat Darius tampak berpikir di depan pintu pengadilan.“Ah, bukan melamun. Aku sedang berpikir cari kado untuk anakmu.” Darius m
Minggu ini menjadi yang paling berat sepanjang hidup Darius. Bahkan dia sengaja mengajukan cuti dari rumah sakit hanya untuk menyelesaikan segala masalah yang selama ini menggantung.Sekarang, dengan ditemani pengacara serta pamannya yang sangat baik, Darius duduk di ruang sidang yang terasa dingin dan sunyi.Bau kertas tua bercampur aroma pembersih ruangan menyengat di hidung. Suara langkah sepatu para pengacara dan detik jarum jam di dinding terasa memekakkan di tengah ketegangan.Dia menoleh ke samping, menatap kursi kosong di sebelahnya—kursi yang seharusnya diisi oleh Dania. Namun, wanita itu hanya menghadiri sidang melalui layar ponsel, sebab pihak kepolisian tidak mengizinkannya keluar dari sel tahanan karena perilaku buruknya yang makin menjadi.Darius menarik napas panjang, terasa sesak dan perih di dadanya. Ketika hakim memintanya mengucap ikrar talak, sejenak dia terdiam. Ada kilatan ingatan yang muncul—saat pertama kali menggenggam tangan Dania di bawah langit sore, berjan
“Kamu kenapa? Ada yang sakit?” tanya Maharani sambil menatap Darius yang sejak tadi hanya bersedekap dada, duduk di pojokan kamar.Setelah Dewi dan Dirgantara dijemput Denver, Maharani langsung menghampiri Darius. Pria itu tidak menyambutnya dengan senyum atau pelukan, melainkan ekspresi super dingin, seperti freezer yang kelupaan ditutup.Apa mungkin Darius kesal karena dia terlalu lama menemani Dewi di kamar? Atau ... ada sesuatu yang tidak dia tahu?“Mulai sekarang jangan makan tempe goreng lagi!” geram Darius tiba-tiba. Nada suaranya seperti menegur pasien bandel.Maharani langsung melongo. Tadi pria ini begitu antusias ketika diberikan tempe goreng hangat. Sekarang mendadak berubah arah.“Kamu sakit perut karena makan tempe goreng?” tanya Maharani curiga. Matanya menyipit, memeriksa wajah calon suaminya dari atas ke bawah.Darius berdecak, lalu menggeleng cepat. “Bukan perut yang sakit, Rani. Tapi hati. Mengerti?!” ucapnya dengan desahan napas berat seperti habis lari maraton.“A
"Rani … apa yang kamu—"Protes Darius terputus begitu saja saat Maharani menatapnya tajam dan mengangkat telunjuk di depan bibirnya, memberi isyarat tegas agar pria itu diam."Tapi aku—""Jangan berisik, Dok!" tegur Maharani dengan tegas, sambil meraih handuk dan menghela napas panjang.Dia berbalik, mengambil pakaian dengan wajah jengkel, lalu mengenakannya secepat kilat.Beberapa detik kemudian, langkah kecil terdengar mendekat. Seorang anak laki-laki muncul di ambang pintu, membawa aroma tempe goreng yang menguar dari kotak kecil di tangannya."Tante Lani, tempe golengnya masih anget, enak loh dimakan pakai kecap!" celoteh Dirga ceria. Namun, matanya menyapu ke dalam kamar, tidak menemukan keberadaan Maharani."Tante Lani di mana?" tanyanya polos sambil mengetuk pintu, dia tidak berani masuk tanpa izin. Meskipun kakinya terlalu gatal ingin melangkah.Maharani segera melangkah dengan cepat menghampiri Dirga, sambil sibuk mengancingkan kancing baju. Senyum wanita itu dibuat selebar m
“Rani ... kamu di mana?” panggil Darius. Pria itu sudah menekan bel berkali-kali, tetapi tidak ada yang membukakan pintu pagar.Bahkan Darius mencoba menghubungi Maharani dan Bu Astuti, tetapi tak mendapat balasan. Hingga akhirnya, dia menggunakan kunci cadangan dan masuk ke dalam rumah.Suasana di dalam tampak rapi dan tenang, aroma pengharum kopi menguar dari sudut-sudut ruangan dan memberi kesan hangat yang familiar.“Rani? Sayang?” panggilnya lagi, sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu yang tertata apik. Tidak ada satu pun tanda kehadiran manusia.Dia meletakkan kantong makanan yang dibawanya di atas meja makan panjang putih. Matanya sempat tertumbuk pada vas bunga segar yang tertata manis di tengah meja.Bibir Darius tertarik membentuk senyum kecil. Rumah ini terasa jauh lebih hidup sejak ada sentuhan seorang wanita.“Bu? Bu Astuti?” Darius melongok ke taman belakang yang ukurannya tidak terlalu besar. Pandangannya menyapu seluruh sudut. Tetap tidak terlihat siapa