Sebuah tamparan keras mengenai pipi Elvaro. Melanie tak menyangka sebuah kalimat pertama kali di keluarkan sang suami saat sampai di rumah bukan kalimat cinta atau rindu. Akan tetapi, sebuah kata yang membuat hidupnya hancur.“Gila kamu!” Elvaro mengelus pipinya, mungkin ia pantas menerima perlakuan seperti ini dari sang istri. Bukannya datang memadu kasih, ia malah memberikan sebuah kejutan yang menyayat hati.“Iya aku memang gila!” “Apa kamu menemukan wanita lain sehingga kamu meminta cerai dariku?” “Kalau pun iya, apa pedulimu? Selama ini apa kamu memedulikan aku? Aku butuh kamu, tapi tidak pernah ada waktu sedikit pun kita bersama. Apa aku harus bertahan dengan wanita sepeti kamu?” Bibir Melanie bergetar hebat mendengar semua pengakuan sang suami. Ia selalu berpikir Elvaro begitu sayang dan cinta hingga membiarkannya bebas melakukan apa pun yang diinginkannya. Namun, bagaimana bisa prahara ini terjadi pikirnya. “Tapi aku selama ini setia padamu,” ujar Melanie.“Mungki
Elevaro menggeleng, ia beranjak dari tempat tidur dan mengambil baju lalu memakainya. Sama halnya dengan sang istri, Melanie pun menghampiri sang suami. Dia kembali mencoba menahan Elvaro. “Mau kemana?” tanya Melanie.“Aku ada janji sama Papa. Maaf aku harus pergi,” ujar Elvaro “El, tinggal sebentar saja. Kenapa kamu malah tidak mau berlama-lama di sini?” tanya Melanie.Elvaro diam saja, ia malah sibuk berkemas baju juga beberapa keperluan dirinya. Setelah itu ia pamit dan gegas melangkah ke luar kamar.Melanie mencoba mengejarnya, tapi sang suami langsung masuk ke mobil. Baju tidur tipis itu kembali hanya dirinya yang melihat. Sementara, bersama dengan Elvaro pun belum terasa nikmat dan lama. Sang suami sudah pergi entah merasa bosan atau memang benar ada keperluan pikirnya.“Apa ini yang dirasakan olehnya selama ini. Aku datang, lalu kembali pergi.” Melanie bergumam sendiri.Melanie melangkah ke dapur, ia kembali menyeduh teh hangat untuk sedikit menenangkan diri. Walau sud
Bella semakin takut, ia berharap tidak sampai pintu terdobrak dari luar. Sementara, Tuan El seperti sudah kehabisan energi karena ia memang sedang tidak sadarkan diri. Suara itu lama-lama menghilang dan tidak terdengar lagi. Namun, Bella masih ketakutan jika tiba-tiba Tuan El kembali berteriak. Mendengar suara gaduh, Bu Siti yang berada di kamar pun ke luar lalu menghampiri sumber suara. Ia terkejut melihat Tuan El yang sudah kacau menggedor pintu kamar Bella. “Astagfirullah Tuan El,” ujar Bu Siti. Wanita Tuan itu mencoba membantu sang tuan yang sudah tertidur. “Non, buka dulu.”Mendengar suara Bu Siti, Bella pun beranjak dari tempat tidur dan menghampiri pintu. “Bu, aku takus sama Tuan El,” ujar Bella.“Dia sudah tertidur. Buka saja,” ucap Bu Siti.Dengan ragu, Bella membuka pintu kamar. Ia melirik tubuh besar yang menerkamnya tadi kini sudah tertidur. “Bantu Ibu, angkat ke kamar kamu.”“Hah, jangan, aku takut kalau Tuan El sadar.”“Ya ampun, kamu jangan tidur di sin
“Kamu tetap di sini, Bella.” Bella menoleh ke arah Tuan El, ada Bu Siti saja ia merasa ketakutan, apalagi tidak ada. Ia bergidik ngeri jika membayangkan beringasnya pria itu saat menciuminya. Apalagi saat sedang mabuk, ia bahkan menarik kasar baju yang dikenakannya. “Tuan, saya takut kalau enggak ada Tuan.” Bella kembali protes. Bu Siti pun hanya bergeming, ia tidak bisa menjawab karena semua keputusan ada di tangan sang tuan. “Bu, apa tidak bisa di batalkan saja?” tanya Bella.“Maaf, Non Bella. Tidak bisa,” ujar Bu Siti.Bella melirik kembali Tuan El yang santai dengan makanannya. Ia sedikit masam karena sudah pasti pria itu menyiapkan sebuah pikiran kotor setelah ini. Apalagi mengingat keberingasannya malam itu.Tuan El terlihat tenang, ia pun langsung pamit untuk pergi ke perusahaan kembali. Sementara Bella sedang berpikir bagaimana ia harus menjalani hidup sendiri tanpa Bu Siti.Pria dengan jambang tipis itu melirik ke arah rumahnya, ia sedikit bimbang dengan kebersama
Bella langsung menunduk agar tidak terlihat oleh penjaga. Ia bertahan di pojok yang sangat bau. Ia satpam celingukan lalu setelah memeriksa tidak ada orang, mereka pun kembali ke tempatnya. Bela mengelus dada, ia bangkit dari jongkok lalu mencoba memindik lagi. Tangannya meraih tembok dan mencoba naik. Untung saja ada akar pohon hingga ia bisa menaikinya untuk memanjat. Bella agak oleng saat melihat ke bawah, ia takut jika turun melompat dalam posisi yang salah. Pelan tapi pasti, ia pun memilih untuk meloncat. “Ya Tuhan, aduh hampir saja kaki ini terkilir. Dengan modal uang yang aku ambil dari jaket Tuan El yang ada di gantungan kamar, lumayan untuk aku kabur.” Bella bergumam sendiri.Bella berjalan dengan cepat walau kakinya masih sangat sakit. Ia menaiki ojek yang sedang mangkal dan memintanya mengantarkan ke rumah sang ibu. Hatinya merasa gelisah, walau ia tahu kapan pun Tuan El bisa menemukannya. Hanya saja kali ini ia butuh bertemu dengan sang ibu. Akhirnya Bella sampai
Mobil melesat begitu kencang, Bella tak bisa berkutik karena obat bius. Suruhan Tuan El terpaksa membungkam mulutnya agar Bella tak banyak bergerak yang akan membuat sopir tidak berkonsentrasi. Mereka langsung menelepon dan mengabari Tuan El. Setelah itu melajukan mobil kembali ke titik di mana kini Tuan El berada. Sementara, Tuan El pun kini menyendiri di sebuah hotel. Pria itu tidak mengerti dengan apa yang kini dirasakannya. Sebuah rasa tidak ingin kehilangan Bella, muncul begitu besar. Bahkan, saat sang istri menghubungi pun ia tidak membalasnya. Hari ini ada sebuah pertemuan dengan beberapa rekan bisnis gelapnya di hotel yang akan melangsungkan acara itu. Sudah berulang kali ia mengatakan ingin mundur, tapi tetap saja mendapat undangan. Apalagi dengan adanya Lady, wanita yang mengejar-ngejar dirinya.Sebuah pesan masuk dari Lady membuatnya sedikit menyunggingkan senyum.[Hari ini kau harus datang]“Lady, apa maumu. Sudah aku katakan, seleraku bukan kamu.” Tuan El kemba
Bella berada di ranjang, sedangkan Tuan El duduk di sofa menatap keheranan wanita yang ada di hadapannya. Apalagi sejak tadi Bella seperti sedang menahan hasratnya. Dia menggeliat, lalu menutup seluruh tubuh dengan selimut.“Bella katakan, kenapa kamu sepeti ini?” tanya Tuan El.“Tuan, aku juga enggak tahu.” Tiba-tiba dia membuka bajunya. Bella pun tidak mengerti kenapa dengan dirinya. Hawa panas kian menjalar ke seluruh tubuh.Tuan El merasa bingung, apalagi Bella sudah dalam keadaan tak berbusana di dalam selimut. Tangannya meremas seprei sepeti sedang menahan hawa napsu.“Tadi saya melihat wanita yang mendekati Tuan. Saya lihat dari menaburkan sesuatu ke gelas Tuan. Makanya saya pikir dia akan meracuni Tuan, jadi saya takut Tuan mati.” “Lalu kamu sengaja meminumnya agar kamu saja yang mati?”Bella bergeming, ia kembali mengeliat di kasur. Melihat Tuan El, rasanya ingin sekali ia menyentuhnya. Tuan El menepuk keningnya, ia paham kenapa Bella seperti itu. “Itu bukan racun, t
“Terima kasih. Saya tahu sepetinya di mana rumah itu.”“Tuan El sekarang berada di hotel Marsa. Sepertinya memang sudah beberapa hari di sana.”“Baik, pembayaran sudah saya transfer. Jika ada kelanjutannya, bisa hubungi saya.”“Baik, Bu.”Pria itu pamit dan meninggalkan rumah Melanie. Sementara, Marta menenangkan sang anak. Namun, tetap saja Melanie tak bisa tenang. Selama ini ia berpikir jika suaminya setia. Tidak pernah bermain api dengan siapa pun. Akan tetapi, kenyataannya berbeda. Kini, ia merasa terhantam batu yang jatuh menimpa kepalanya.“Sudah seperti ini, apa yang akan kau lakukan?” “Aku akan merebut suamiku kembali.”“Bagaimana bisa kamu melakukan hal itu. Dia itu sudah memiliki pengganti kamu. Mungkin dia bisa mendapatkan anak dari wanita itu.”Tidak ada jawaban dari Melanie. Wanita dengan wajah cantik itu kian memanas saat kembali menatap foto keduanya. Perubahan sang suami seharusnya ia sadari sejak lama, tapi ia terlalu sibuk memikirkan karier ke artisannya.
Setelah mendapat ancaman dari suaminya, Deswita pun diam. Kali ini apa yang di katakan Ferdinand membuat wanita itu tidak berkutik. Ibu dari Elvaro itu bungkam seribu bahasa dan memilih masuk kamar. Terdengar suara pintu begitu keras hingga membuat telinga sang suami perih. Ferdinan hanya menggeleng melihat apa yang di lakukan oleh Deswita. Ia sudah sangat muak dan tidak bisa mentolerir semua perbuatannya. Hanya itu yang bisa ia lakukan, mengancam dengan cara itu yang bisa membuatnya diam dan bungkam. Ferdinand pun terduduk lesu membayangkan bagaimana nasib Elvaro kini. Dengan kaki yang lumpuh, apa bisa dia melakukan aktivitas, pikirnya. Pria itu mendesah, mungkin besok ia bisa berpikir jernih jika sudah beristirahat.Sementara, di kamar Deswita beberapa kali bergumam kesal kenapa bisa hanya karena Bella sang suami dan anaknya sampai membuat dirinya tersudut. Ia kali ini kalah dengan ancaman sang suami yang baginya adalah musibah dan perkara terbesar jika hal itu terjadi. "Lebih ba
Bella menahan emosinya dengan ucapan Melani kali ini. Di hadapan semua orang mantan istri suaminya mencoba mempermalukan dirinya. Bella bukan wanita lemah seperti dulu, ia kini siap melawan siapapun yang ingin merusak rumah tangganya maksud Melani."Jangan mengarang cerita, anak yang kau kamu ini adalah anak Elvaro. Kamu pikir dengan mengatakan hal itu suamiku akan peduli dan lebih percaya dengan ucapan dari wanita yang berselingkuh di belakangnya."Wajah Melani mulai panik dengan setiap ucapan yang terlontar dari mulut Bella. Gimana bisa wanita kampung itu membuat dirinya tidak berkutik."Bahkan menunda punya anak dengan alasan karir padahal dirinya hanya ingin bebas bermain dengan pria manapun tanpa takut hamil dan tahu anak siapa yang akan ia kandung." Lagi Bella mulai mempermalukan Melani. Lagi Bella siapa yang memulai Ia yang harus menanggung semua resikonya.Elvaro meminta Bella untuk sabar dengan menggenggam tangannya. Sang suami meminta untuknya diam dan tidak meladeni setiap
Dua jam perjalanan, mereka akhirnya sampai di rumah. Bella menatap sekeliling halaman tempat di mana lima bulan lalu ia meninggalkannya. Sembari tersenyum, Bella menggenggam tangan sang suami lalu mendorong kursi rodanya masuk. Sekian lama akhirnya Bella sadar jika dirinya begitu merindukan rumah itu. Begitu pun dengan sang suami. Mereka pernah salah paham, tapi kini semua telah berlalu. Bella bersama Elvaro masuk ke kamar, dia tidak menyangka akan kembali ke kamarnya. Setelah itu ia mulai merapikan pakaiannya. Lalu, menghampiri sang suami yang kini duduk memperhatikannya dirinya."Kamu bahagia?" tanya Elvaro."Aku sangat bahagia apalagi bisa kembali bersama kamu dan merasa dicintai saat sedang hamil.""Kondisiku seperti ini tidak bisa berjalan," ujar Elvaro terlihat murung.Bella menggenggam tangan sang suami, dirinya tidak tega melihat Elvaro bersedih sepeti itu. Ia menyesal karena ulah Edo telah membuat Elvaro menderita.Bella mencoba menyajikan sang suami untuk tetap bersabar. Y
Walau masih sangat gengsi, Sinta pun menemui Bella di kamar. Ia pun langsung mengajak Bella berbicara empat mata. Memang harusnya dirinya ikut senang dengan permasalahan Bella yang sudah selesai. Bella pun sedikit canggung dengan kondisi keduanya setelah pertengkaran di rumah sakit kemarin."Aku tahu kalau semua yang terjadi salah. Aku pun mau mengakui jika memang selama ini aku begitu egois mementingkan perasaan sendiri dari pada kamu dan Mas Bagas."Sinta menatap kembali Bella yang masih bergeming di hadapannya. Apa yang terjadi kemarin sebenarnya masih membuat dirinya kecewa. Hanya saja, Bella sadar jika tidak usah memperpanjang masalah karena ia tahu sebenarnya Sinta itu orang baik.Sebenarnya tidak terpikirkan oleh Bella jika majikannya itu akan datang dan meminta maaf. "Sekali lagi aku meminta maaf, jika kamu tidak berkenan, setidaknya aku sudah meminta maaf." "Nyonya, sebelum itu aku pun mau meminta maaf. Aku paham apa yang di pikirkan oleh nyonya, hanya saja aku juga memili
Sementara, di ruangan tidak jauh dari ruang Elvaro, Sinta sedikit kecewa karena sang suami mengizinkan Bella untuk menemui sang suami. Ia mesti nggak rela ketika Bella kembali pada Elvaro."Kamu tidak bisa seperti itu, biarkan Bella bahagia. Kamu harusnya berusaha bagaimana bisa membahagiakan aku. Sadar Sin, tidak ada yang mustahil di hidup ini. Kamu dan anak kita akan sehat sampai lahir." Bagas berusaha tidak emosi saat bicara dengan Sinta yang sedang merajuk.Sinta membuang wajahnya, kecewa dengan apa yang dikatakan oleh Bagas suaminya. Kenapa harus ada Elvaro kembali ke hidup Bella pikirnya. Bagas pun tidak mengambil pusing, ia telah menemui sang dokter kondisi istri sudah lebih baik dan diperbolehkan untuk pulang. Dirinya tinggal menunggu Bella kembali agar membantunya berkemas.Bella sudah berjanji sebelum ia kembali pada sang suami dirinya akan menyelesaikan semua dengan baik bersama Sinta. Hanya saja mungkin sang istri belum bisa menerima dengan baik. "Kita akan pulang hari i
Dengan perasaan berdebar Bella bertahan di belakang David. Hingga David menyingkir dari ambang pintu, semua orang yang berada di dalam ruangan langsung tertuju pada Bella.Bella terpaku beberapa saat di ambang pintu. Tubuhnya memang berdiri tegak, tetapi rasanya seperti sedang berdiri tanpa tulang. Persendiannya seolah-olah hilang. Jika tidak bertahan, mungkin wanita itu akan jatuh melorot ke lantai.Tatapan Bella langsung tertuju pada seseorang yang terbaring lemah di atas ranjang. Dan sebaliknya, hingga mereka beradu pandang untuk beberapa saat. Rasa haru dan bahagia bercampur menjadi satu saat itu. Saat matanya kembali menatap laki-laki yang sangat dia sayang. Dia tidak menyangka jika akhirnya dia berada sedekat itu dengan sang suami. Sementara itu, di dalam ruangan tersebut, dua orang yang menemani Elvaro juga terkejut melihat kedatangan Bella yang sangat tiba-tiba.Mellisa dan Bu Siti saling pandang tidak percaya jika Bella kini ada di hadapan mereka. Bu Siti terutama, asisten r
Mata Elvaro terbuka setelah beberapa jam beristirahat. Pria itu mencoba menggerakkan tangan dan kakinya, rasa lemas masih dirasakan. Dia mencoba mengenali tempat sekeliling juga mengingat-ingat apa yang sebelumnya dia lakukan, hingga akhirnya perlahan memori ingatannya kembali. Elvaro melirik ke arah Mellisa dan David yang duduk di sofa. Saat sadar Elvaro sudah siuman keduanya segera beranjak menghampirinya. Mereka sangat senang terutama Mellisa. "Ada yang Tuan inginkan?" tanya David siaga. "Aku cuma mau ketemu Bella," jawab Elvaro. David terkesiap, tapi dia segera bersikap biasa. Padahal mereka saat ini ada di bawah atap yang sama, tapi David tak berani mengatakan yang sebenarnya jika Bella ada juga di rumah sakit ini. Ini karena Bella yang terus bilang belum siap. "Kita lanjutkan pencarian kalau Kakak sudah pulih!" Mellisa yang menjawab. Matanya menatap tajam ke arah kakaknya itu, mencebik kesal sebab kakaknya itu tampak tak peduli dengan kondisinya sendiri. "Benar, Tuan. Anda
Bella ke luar dari ruangan tempat Sinta dirawat. Dia segera mencari keberadaan Bagas. Untungnya pria itu belum terlalu jauh. Di tempatnya Bella bisa melihat ke arah mana pria itu berjalan. Dengan langkah kaki yang lebar, Bella segera mengejarnya. Hingga jarak mereka beberapa meter saja, Bella lekas memanggilnya."Tuan Bagas!" panggilnya.Bagas menoleh. Dia terkejut melihat Bella ngos-ngosan."Ada apa, Bella?" tanya Bagas seraya mengajak wanita itu duduk di kursi yang tersedia sepanjang koridor.Bella mengatur napas untuk beberapa saat. Dia tadi memang setengah berlari demi mengejar tuannya itu. Dan saat ini terlihat sekali dia kesulitan bernapas hingga menyulitkannya untuk bicara."Tuan mau ke mana?" tanya Bella kemudian dengan napas yang masih tersengal-sengal."Entahlah. Aku ingin mencari angin segar," jawab Bagas. Dia masih merasakan emosi yang tadi sempat meluap di ruang rawat istrinya."Tapi, sebaiknya Tuan temani saja Nyonya. Dia lebih membutuhkan Tuan saat ini," ungkap Bella. "
Saat itu Bella beranjak mencoba pergi sementara Sinta di tempatnya kebingungan. Ingin mencegah tapi tak kuasa. Hingga Bella nyaris benar-benar pergi, seseorang masuk membuka pintu. Tak lain dia adalah Bagas.Bagas menautkan kedua alisnya, merasa heran dengan atmosfer yang dia rasakan. Terasa canggung dan penuh emosi pada kedua wanita yang kini tengah menatapnya. Bagas pun akhirnya bertanya pada keduanya."Apa yang terjadi?" Bagas menatap heran Bella dan Sinta secara bergantian.Sinta segera tersenyum menyambut kedatangan suaminya. Dia merentangkan tangannya seakan-akan sudah menunggu suaminya itu sejak tadi."Hai, Sayang! Dari mana saja?"Sinta mengabaikan pertanyaan suaminya itu. Dia mencoba mengalihkan pembicaraan. Namun, Bagas tampak tak mudah terpedaya begitu saja. Dia tak menanggapi sambutan istrinya dan masih memasang wajah yang bertanya-tanya."Kami sedang bersitegang. Aku tak menyangka kalian mengecewakanku," ujar Bella tiba-tiba.Sinta langsung tercekat. Dia benar-benar tak p