Hari pun berganti dan matahari sudah menampakkan sinarnya menghangatkan bumi. Beberapa menit yang lalu Shanaya membuka pintu kamar menemui Pak Wira yang datang untuk menanyakan— apakah sang tuan ingin sarapan bersama yang lain."Suamiku masih tidur, jadi bawakan saja sarapan kami ke kamar ya, Pak!" Pinta Shanaya."Tidak biasanya, Nona. Apa Tuan sakit?" Tanya Pak Wira khawatir. Bagaimanapun juga kepala pelayan rumah utama itu menyadari kemarin Oriaga dan Shanaya sedang bertengkar."Tidak, hanya saja dia kemarin tidur larut malam." Pak Wira mengangguk kemudian berniat pergi untuk melakukan apa yang Shanaya minta, tapi sebelum itu Pak Wira memilih memastikan kembali apakah Oriaga benar baik-baik saja."Apa Pak Wira mau masuk? Tapi suamiku hanya memakai selimut," balas Shanaya.Pak Wira seketika malu, sedangkan Mbok Sarni yang ikut ke lantai tiga harus menahan tawa menyadari perubahan ekspresi wajah pria paruh baya itu."Maaf Nona, apa bisa saya membawa keranjang baju kotor ke bawah untu
Merasa apa yang akan Shanaya sampaikan sangat serius, Pak Wira pun mengajak gadis itu ke bagian rumah yang sepi. Namun, Shanaya menolak dengan berkata tempat di rumah utama yang paling aman tentu saja hanya lantai tiga. "Bagaimana kalau kita bicara di ruang tamu lantai 3?" Tawar Shanaya.Pak Wira awalnya ragu, tapi karena apa yang Shanaya katakan memang benar, dia pun akhirnya setuju dan kini duduk bersama gadis itu di tempat yang sama beberapa bulan lalu, saat dia mengajari hal-hal apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan, juga sederet daftar tentang kebiasaan Oriaga."Silahkan sampaikan apa yang ingin Nona katakan!" Pinta Pak Wira memecah keheningan yang terjadi.Meskipun Pak Wira sudah mempersilahkan, tapi Shanaya masih diam. Gadis itu seolah sedang mengumpulkan keberanian, padahal beberapa saat yang lalu dia penuh percaya diri menemui Pak Wira untuk mengajak bicara."Nona! Apa ada masalah penting?"Pertanyaan Pak Wira malah membuat Shanaya menelan ludah. Tangannya mengepal di
Pak Wira tentu saja tidak bisa mencegah apa yang diinginkan Shanaya, dia hanya bisa mengikuti sang nona sampai ke halaman rumah lalu meminta sopir membawa mobil dengan hati-hati. Sesaat setelah sopir melajukan mobil yang ditumpangi Shanaya, Masayu yang sejak tadi diam-diam memperhatikan tingkah Shanaya dan Pak Wira pun mendekat. "Mau ke mana dia sampai terburu-buru begitu?"Masayu menghentikan langkah dan memandang salah satu sedan mewah milik kakaknya menjauh. Dia pun menoleh Pak Wira, menatap kesal karena kepala pelayan itu tak segera membalas pertanyaannya."Apa pendengaran Pak Wira sudah terganggu? Kenapa tidak menjawab pertanyaanku?""Apa Anda bertanya pada saya?" Pak Wira berpura-pura bingung sambil menoleh ke kanan dan kiri kemudian lanjut bicara." Oh ... Nona Shanaya ingin menemui Tuan Oriaga." Pak Wira menjawab kemudian membungkuk ke Masayu sebagai bentuk undur diri. Dia pamit kembali masuk ke dalam rumah seolah enggan jika harus mendapat pertanyaan dan sindirian pedas lag
“Nona, kita sampai.” Meski sopir sudah memberitahu, tapi Shanaya masih diam memandang gedung perusahaan milik Oriaga dari dalam mobil. Dia seketika merasa takut saat menyadari tidak semua orang tahu kalau dirinya dan Oriaga telah menikah. “Nona!” Panggil si sopir sekali lagi karena Shanaya tidak merespon. “Pak Roni, aku berubah pikiran. Bisa tidak Bapak mengantarku ke Wonderflo,” ucap Shanaya. Sopir bernama Roni itu pun mengangguk kemudian membawa mobil menuju tempat yang Shanaya sebutkan. Shanaya sendiri buru-buru mengirim pesan ke Pak Wira untuk memberitahu bahwa dirinya tidak jadi menemui Oriaga.[ Aku akan meminta pak Roni untuk merahasiakannya juga, jadi Bapak bilang saja hari ini aku minta diantar Pak Roni ke kampus ] Shanaya membuang napas lega setelah mendapat balasan dari Pak Wira yang mengiyakan permintaannya. Gadis itu bepikir lagi, Oriaga mungkin akan marah jika dia muncul secara tiba-tiba di depan publik dan mengaku sebagai istrinya, bagaimanapun juga Oriaga sama seka
Oriaga tak percaya sang sahabat tiba-tiba muncul di rumahnya seperti ini. Apalagi karena memiliki nama panggilan Ori, Isaak dengan tidak tau sopan santun memanggilnya dengan nama anti KW. Sejak dulu Isaak memang terkadang sangat menyebalkan."Apa ini adik ipar?" Tanya Isaak. Pria itu mengurai pelukan lantas bertanya sambil memandangi wajah Kirana."Uncle Isaak, ini aku Kirana."Mendengar jawaban Kirana, Isaak pun memandang Oriaga berpura-pura kebingungan. Pria itu memang memiliki sebuah rencana di kepala. Lagipula bagaimana bisa Isaak salah mengira Kirana adalah Shanaya jika Leonel sudah mengirimkan foto Shanaya kepadanya."Ah... anak Masayu?" Balas Isaak. " Maaf aku pikir kamu istri Ori, karena dia bilang sudah menikah dengan gadis yang 20 tahun lebih muda darinya," imbuh Isaak lalu tertawa-tawa.Kirana sendiri hanya bisa tersenyum canggung, gadis itu memutuskan pamit untuk pergi ke kamar saat menyadari ekspresi wajah Oriaga berubah."Apa yang .... "Belum juga Oriaga menyelesaikan p
Mendengar pujian Isaak ke Shanaya tentu membuat Oriaga kesal. Dia tahu Isaak sedang menjalani proses perceraian, sebagai sesama pria Oriaga meyakini, meski Isaak berkata tidak memiliki perasaan pada sang istri, tapi tetap saja proses perpisahan tak mudah untuk dilalui. Oriaga berpikir harus bicara empat mata dengan Isaak nanti, menanyakan tujuan dan alasan kenapa bisa datang ke Indonesia lalu hendak tinggal sementara di rumahnya."Shana, kamu tidak boleh dekat-dekat orang ini, berbahaya!" Ucap Oriaga.Terang saja tak hanya Isaak, Shanaya dan Pak Wira yang belum beranjak dari sana pun kaget. Pak Wira bahkan sampai buru-buru pergi agar tidak perlu mendengarkan kalimat-kalimat posesif lainnya dari mulut Oriaga. "Astaga! Memang aku ini harimau? Atau ular beracun?" Sahut Isaak mendengar larangan Oriaga ke Shanaya."Bukan, tapi kamu buaya," ketus Oriaga. Dia berpaling dan menggandeng tangan Shanaya menuju lift.Sambil berlalu pergi Oriaga lanjut berkata,"Aku akan meminta pelayan mengantarm
Masayu duduk di kursi lalu meraih gelas berisi air di hadapannya. Dia sama sekali tak menoleh ke Isaak yang setelah mengeluh kelaparan lantas menekuk tangan ke depan dada. Masayu tidak ingin terlihat salah tingkah di depan Isaak, dia pun meraih ponsel kemudian berlagak sibuk dengan benda itu. “Apa kamu sudah memiliki kekasih?” “Apa?” Pertanyaan Isaak yang tiba-tiba membuat Masayu salah tingkah. Dia memang pernah memiliki perasaan ke teman kakaknya ini, tapi tak menyangka masih saja grogi padahal dia sudah tak muda lagi. “Kenapa kamu kaget? Apa kamu memilih menjadi janda selama ini karena menungguku menjadi duda?” Masayu tak bisa berkata-kata dan hanya megap-megap bak ikan kehabisan oksigen, dia tak percaya setelah sekian lama tidak bertemu, hal yang dilakukan Isaak adalah menggodanya seperti ini. Beruntung pelayan yang Masayu perintah untuk pergi bertanya ke kamar Oriaga sudah kembali. Pelayan itu mengatakan kalau sang tuan akan turun sebentar lagi. Dan benar saja, Oriaga dan S
Sebelum masuk ke kamarnya, Oriaga memastikan Isaak turun ke lantai dua. Dia memandang heran sahabatnya itu yang masih bisa melambaikan tangan sambil tersenyum seolah tanpa dosa, padahal menurutnya Isaak baru saja menceritakan sebuah rahasia besar."Lahir di keluarga ini adalah sebuah kutukan," ucap Oriaga. Dia balik badan menuju kamar setelah punggung Isaak tak terlihat lagi. Sedangkan Isaak berjalan buru-buru seraya menyugar rambut ke belakang. Isaak mengumpati dirinya sendiri karena sudah mengarang cerita.Ya.Perihal melakukan seks dengan Masayu memang bukanlah sebuah kebohongan yang Isaak buat-buat. Namun, kalau sampai membuat wanita itu hamil lalu melahirkan Andra dan Kirana jelas itu mustahil."Isaak, dasar pria gila bagaimana kalau Oriaga memintamu menikahi Masayu setelah ini." Isaak bicara pada dirinya sendiri lalu berbelok menuju kamarnya. Namun, tak dia sangka, Andra yang baru saja pulang melihatnya yang berjalan sambil komat-kamit. "Paman Isaak?" "Mati aku! Siapa lagi?" I
Hari itu mungkin menjadi hari yang paling ditunggu oleh semua orang. Sebuah pesta pernikahan digelar megah, senyum serta canda tampak kentara di wajah keluarga terutama dua pasang mempelai yang kini sedang berdansa. Oriaga melihat Shanaya yang tersenyum, lantas mendekatkan bibir ke telinga istrinya itu kemudian berbisik, “Apa kamu ingin pesta pernikahan seperti ini?” Shanaya semakin melebarkan senyum lantas menoleh suaminya. “Bukankah sudah terlambat kalau kita membuat pesta?” tanya balik Shanaya. Oriaga menanggapi ucapan Shanaya dengan senyuman karena apa yang dikatakan memang benar. Pesta pernikahan Andra, Mauri, Elkan, dan Kirana berlangsung hari itu. Shanaya menatap ke para pengantin baru itu, setelah semua yang dilalui, kini semua orang mendapat kebahagiaan tak terkecuali. “Mereka sangat bahagia,” ucap Shanaya ke Oriaga. “Kita juga,” balas pria itu sambil menggenggam erat tangan Shanaya. Shanaya melebarkan senyum lantas menyandarkan kepala di pundak Oriaga.
Pagi itu selepas Oriaga berangkat ke kantor, Shanaya tampak duduk di taman bersama Pak Wira yang punya tugas tambahan mengawasinya satu kali dua puluh empat jam.Pak Wira terlihat membawa buku catatan dan pulpen di tangannya. Pria tua itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung sebelum berkata,“Saya sudah membuat daftar barang yang harus disiapkan sebelum Anda melahirkan.”Ternyata diam-diam Pak Wira memiliki catatan barang apa saja yang harus disiapkan Shanaya untuk menyambut kelahiran anaknya.Shanaya pun memperhatikan Pak Wira yang memegang buku catatan itu, hingga mulai membaca apa saja yang tertulis di sana.“Baju new born lima lusin, baju tidur tiga lusin, selimut sepuluh, sepatu sepuluh, lalu--” Belum juga Pak Wira selesai menyebutkan semua barang yang dicatat, Shanaya sudah menghentikan pria itu.“Kenapa banyak sekali, Pak? Bayi tidak perlu baju sebanyak itu, lagipula yang Pak Wira sebutkan itu baju, bukan popok sekali pakai,” ucap Shanaya.“Memangnya Pak Wira men
“Kenapa mendadak seperti ini? Sebenarnya tidak perlu dijemput tidak apa-apa, aku bisa pergi ke sana sendiri,” ucap Mauri. Dia terkejut karena Andra tiba-tiba menghubungi.“Itu Kirana sudah di bawah, tidak masalah! Pergi saja bersama dengannya,” ucap Andra dari seberang panggilan.Mauri benar-benar tak percaya mendengar ucapan Andra, tapi karena tak ingin Kirana lama menunggu, Mauri pun buru-buru menyambar tasnya menuju lobi.Hari itu secara mendadak Andra memberitahu bahwa Kirana akan datang untuk mengajak Mauri pergi ke butik.Mauri yang merasa belum mengenal dekat Kirana jelas merasa sungkan, apalagi saat sampai di lobi Kirana sudah berdiri di sana lantas menghampirinya.“Apak amu sudah siap?” tanya Kirana saat bertemu sang calon kakak ipar. Mauri kaget sekaligus senang mendapati sikap ramah Kirana. Namun, masih ada sedikit rasa sungkan di hatinya, hingga Mauri hanya mengangguk membalas pertanyaan Kirana.Tak menunggu lama Kirana pun mengajak Mauri masuk ke mobilnya yang masih terp
Baru saja masuk kamar, tapi Oriaga langsung ditodong pertanyaan dari Shanaya yang ternyata menunggu dirinya pulang. Shanaya yang sedang bersantai duduk di atas ranjang seketika menegakkan badan. Wanita itu antusias bertanya,“Bagaimana tadi pertemuan dengan orang tuanya Mauri?” “Lancar dan tentu saja Ayah Mauri langsung merestui,” jawab Oriaga. Oriaga berjalan mendekat ke Shanaya yang sejak tadi ternyata sedang membaca buku. Oriaga naik ke ranjang, lantas tanpa permisi mengambil buku Shanaya kemudian berbaring terlentang untuk membaca buku itu. “Kenapa bacanya sambil berbaring? Baca sambil duduk, nanti matamu sakit kalau membaca dengan posisi seperti itu,” ucap Shanaya sambil menatap Oriaga. “Aku memang sudah 43 tahun, tapi mataku ini masih bisa melihat dengan jelas. Kamu tenang saja,” balas Oriaga dengan santainya tanpa mengganti posisi. “Sombong, awas saja nanti kalau kamu mengeluh matamu gatal atau berair.” Shanaya bicara dengan nada candaan, dia menggeser dudu
Malam harinya Andra pun pergi ke rumah orang tua Mauri bersama Oriaga dan Masayu. Andra tak bisa bersikap tenang, dia terlihat sangat gugup saat baru saja turun dari mobil.“Jangan gugup, tarik napas panjang lalu embuskan perlahan,” ucap Masayu sambil merapikan kemeja Andra. Dia memulas senyum, menyadari bahwa sang putra mungkin sedang tidak baik-baik saja.Andra menatap sang mama, dia mengangguk kemudian melakukan apa yang dikatakan oleh Masayu.Masayu kemudian menggandeng tangan Andra, bersama Oriaga berjalan menuju pintu rumah Abraham.Saat sampai di depan rumah, ibu Mauri menyambut mereka dengan ramah meski wanita itu terlihat pucat dan tubuhnya masih kurang bugar.“Apa Anda baik-baik saja? Jika masih kurang sehat, seharusnya tak perlu menyambut kami di depan,” ucap Masayu berpindah menggandeng tangan ibu Mauri.Ibu Mauri pun mengajak semuanya masuk sambil digandeng Masayu. Meski baru pertama kali bertemu, tapi mereka tampak dekat.“Apa kondisi Anda sudah membaik?” tanya Masayu ka
Andra sudah sangat panik hingga memutuskan membuang status sebagai atasan dan bawahan lalu mencoba menghubungi nomor pamannya sendiri. “Ada apa?” Suara Oriaga terdengar dari seberang panggilan. Detak jantung Andra seketika mulai normal kembali, dia terlihat sangat lega karena panggilannya dijawab oleh Oriaga. “Paman ada di mana?” tanya Andra dengan suara yang masih panik. “Aku sedang ada urusan di luar,” jawab Oriaga, “ada apa?” tanya pria itu lagi. “Bagini Paman, ayah Mauri memintaku membawa Paman ke rumahnya nanti malam." Andra memberitahu Oriaga tanpa ada lagi basa-basi. “Sudah kuduga karena hal itu kamu menghubungi dengan suara panik seperti ini,” ucap Oriaga dari seberang panggilan. “Bagaimana aku tidak panik, aku ke ruangan Paman dan di sana sepi, bagaimana jika tiba-tiba saja Paman ke luar kota,” balas Andra. “Tenang saja, aku akan datang dan memastikan kalau kamu akan menikah dengan Mauri,” ucap Oriaga mencoba menenangkan Andra. Andra pun bernapas dengan
Setelah berbincang dengan Oriaga, Andra tak menunggu lama untuk menghubungi Mauri, memberitahu kabar baik yang didapatnya.“Apa kamu masih di rumah sakit?” tanya Andra saat panggilannya dijawab Mauri.“Iya,” jawab Mauri dari seberang panggilan.“Aku sudah menemui pamanku, dia setuju untuk membantu kita,” ucap Andra lagi. Ia mendengar suara helaan napas kasar dari seberang panggilan, hingga kemudian Mauri bicara.“Syukurlah kalau memang seperti itu.”Ada kelegaan di wajah Mauri yang tidak bisa Andra lihat karena mereka tidak sedang bersama. Bahkan jika saat ini berdekatan Mauri sangat ingin memeluk erat Andra.“Sampaikan ke papamu, pamanku bilang ingin bertemu, mau di rumah utama atau di rumahmu terserah yang penting papamu percaya.”“Hm … aku akan coba bertanya dulu ke Papa,” balas Mauri dari seberang panggilan.“Aku akan menunggu kabar darimu, kalau bisa cepatnya,” ucap Andra.“Pasti aku kabari segera,” balas Mauri. “Oh … ya, hari ini aku izin tidak ke kantor sehari lagi, aku sedang
Pagi itu Andra datang ke rumah utama. Saat sampai di sana, dia bertemu dengan Shanaya yang baru saja keluar dari lift dan heran melihat kedatangannya. Andra awalnya hendak menyapa, tapi melihat rambut Shanaya yang basah di pagi hari membuat Andra tertegun, bahkan pikiran pria itu sampai ke mana-mana. “Andra, tumben kamu datang pagi sekali?” sapa Shanaya. “Iya." Andra menjawab sekenanya. Masih kaget karena pikiran liar di kepala. “Itu ... memangnya wanita hamil boleh sering melakukan .... ?” Andra menjeda lisan, tanpa sadar mengungkapkan isi kepala. Shanaya terkejut mendengar pertanyaan Andra, hingga dia pun membalas, “Maksudmu bercinta? Itu malah sangat penting untuk menjaga kestabilan hormon.” Andra mengedip beberapa kali, dia bingung mendengar penjelasan Shanaya. Namun, agak sungkan untuk bertanya. “Makanya kamu cepetan nikah supaya tahu hal semacam ini,” ucap Shanaya saat melihat Andra bingung. Andra mengerucutkan bibir mendengar hinaan Shanaya, hingga dia pun mem
“Tidak bisa! Aku harus bicara serius ke papamu, jika masalah ini tidak dibereskan dan dituntaskan, maka akan terus berlarut,” ujar Andra mencoba meyakinkan Mauri.Mauri tertegun melihat Andra yang terlihat serius, hingga akhirnya mengangguk pelan mengizinkan pria itu pergi. “Baiklah, tapi hati-hati,” ucap Mauri yang masih menyimpan perasaan cemas.Andra mengangguk lalu menyentuh lembut pipi Mauri, dia lantas menoleh ke ibu Mauri yang terbaring lemah. Dia tersenyum tipis ke wanita itu seolah meminta izin.Setelahnya Andra pun keluar dari kamar inap itu, dan berlari mengejar Abraham yang berjalan di koridor hingga menghadang dan membuat Abraham berhenti melangkah.“Tunggu, saya ingin bicara dengan Anda,” ucap Andra. Meskipun menerima perlakuan buruk, tapi dia tetap bersikap sopan.Abraham terlihat kesal melihat Andra. Pria itu tak mau bicara, lebih memilih berjalan melewati Andra lagi tapi kembali dihadang.“Izinkan saya bicara pada Anda Pak,” ucap Andra membujuk.“Tidak ada yang perlu