Shanaya terlihat sudah berbaring di atas ranjang saat Oriaga masuk ke kamar. Menyadari gadis itu pasti sangat lelah, Oriaga pun memutuskan untuk tidak mendekat lebih dulu. Dia pergi ke kamar ganti, mandi, mengecek pekerjaan sekitar tiga puluh menit kemudian baru mendekat ke arah ranjang untuk berbaring di samping Shanaya. Oriaga menarik selimut Shanaya yang sedikit melorot, dia berbaring menghadap istrinya itu lantas memainkan helaian rambut Shanaya menggunakan telunjuk. "Kenapa lama sekali? Apa yang kamu bicarakan dengan Paman Isaak?" Oriaga kaget, tapi tak lama dia menyunggingkan senyuman karena Shanaya mencurukkan kepala ke dadanya."Aku sudah selesai bicara dengannya sekitar satu jam yang lalu, tapi mengecek pekerjaan dulu." Oriaga membalas sambil menepuk pelan punggung Shanaya. "Kamu harus menjaga kesehatan, karena sudah hampir pergantian musim. Jika perlu konsumsilah multivitamin." Oriaga mengangguk pelan dan kembali memulas senyum. Perbedaan umur yang cukup jauh ternyata t
Aston terharu, matanya bahkan berkaca-kaca karena Oriaga ternyata mengajaknya ke sebuah showroom mobil yang cukup terkenal di kota mereka. Aston tak menyangka, bahkan masih merasa dirinya sedang bermimpi. Bagaimana bisa ada orang yang dengan enteng berkata padanya ââPilih saja satu mobil yang kamu suka!ââApa Anda bercanda?â Tanya Aston sambil memasang muka melongo saat Oriaga selesai membuka mulut."Ck ... apa kamu pernah melihatku bercanda?"Oriaga mengerutkan kening, hingga Aston pun mengalihkan pandangan ke karyawan showroom â yang tentu saja menganggap dirinya sangat beruntung. "Saya tidak mau sampai Anda berubah pikiran ya, Pak!" Aston mencari penegasan dari Oriaga. Dia akhirnya berjalan mendekat ke salah satu mobil dengan riang saat Oriaga menganggukkan kepala."Kamu lolos ujian karena bertahan lebih dari tiga bulan menjadi sekretarisku. Jadi anggap ini hadiah."Oriaga menarik sudut bibir kemudian memilih masuk ke ruang tunggu. Pria itu merogoh ponsel dari kantong celana untu
Wajah Aston yang semringah berbanding terbalik dengan wajah Oriaga yang tampak masam. Hal ini membuat Aston berpikir kalau Oriaga merasa terpaksa membelikannya mobil seharga dua ratus lima puluh juta.Hingga saat tiba di ruang kerja sang atasan, Aston pun berkata, "Pak, kalau Anda merasa harga mobil pilihan saya tadi terlalu mahal, maka saya akan mengembalikan setengah dari harganya."Oriaga yang kebetulan sedang memunggungi Aston pun memutar tumit. Keningnya berkerut tipis mencoba memahami maksud ucapan sekretarisnya ini.âTapi mohon boleh dicicil lima tahun,â imbuh Aston."Kenapa kamu bicara seperti itu? Apa kamu sedang meremehkan aku?"Nada bicara Oriaga yang dingin membuat Aston kaget. Dia hanya bisa menelan ludah, menggeleng kemudian berbisik di dalam hati."Apa bukan karena harga mobil? Lalu kenapa dia tiba-tiba begini?"Aston yang sedikit banyak paham akan sifat Oriaga pun tak banyak bicara lagi. Dia undur diri untuk memeriksa kesiapan ruang rapat yang akan atasannya hadiri seb
"Pak, saya tidak menyangka Anda akan mengajak saya makan di tempat semewah ini." Aditya merasa sungkan, apalagi dia tahu kalau restoran yang dia datangi saat ini merupakan salah satu restoran termahal yang ada di kotanya."Tidak perlu sungkan, sebagai pegawai dan atasan kamu pasti tahu kita belum pernah membicarakan masalah pekerjaan dengan tenang dan semestinya," balas Oriaga. Aditya menganggukkan kepala, di melirik Aston yang terlihat menikmati makanan siang sambil mendengarkan perbincangan sang atasan dan temannya. Aditya merasa ada yang janggal, kenapa Aston bersikap sangat santai, tanpa tahu bahwa sebuah kunci mobil baru sudah berada di tangan temannya itu."Mulai besok, aku ingin kamu mencari tahu siapa orang yang mengikuti istriku."Aditya baru saja menyuapkan makanan ke dalam mulut saat Oriaga memberinya perintah, sehingga dia pun harus buru-buru mengambil serbet untuk mengusap bibir sebelum menjawab."Baik, Pak! Apa ada detail yang Anda butuhkan? Kalau ada maka silahkan jang
âOom!â Shanaya berjalan cepat mengejar Oriaga yang sedang kesal. Setelah membuat Isaak melarikan diri karena takut dibawa ke rumah sakit, Oriaga pun masuk ke dalam lift menuju kamar tanpa mengatakan apapun ke Shanaya. âSayang, kenapa marah?â Tanya Shanaya yang terus berusaha membuat Oriaga bersuara. Gadis itu berjengket kaget saat suaminya malah membuang jas yang sejak tadi berada di tangan ke lantai. Shanaya pun buru-buru memungut jas itu lantas berjalan cepat, dia menahan pintu kamar yang hampir tertutup sambil melihat Oriaga masuk ke kamar ganti. Pria itu melonggarkan dasi dengan kasar, sedangkan Shanaya sendiri tidak tahu kenapa Oriaga bisa semarah ini. âSayang, maaf! Aku benar-benar tidak memiliki maksud apa-apa, aku hanya takut Paman Isaak benar-benar terkena serangan jantung.â Shanaya menutup mata dan mengatupkan bibir rapat-rapat setelah bicara. Dia memeluk erat jas milik Oriaga di depan dada karena pria itu tiba-tiba mendorongnya sampai tersudut ke tembok. Shanaya menela
âApa hanya kita saja yang makan malam?â Kirana bingung, dia menoleh ke Masayu lantas pelayan yang berdiri di dekatnya. Kirana menunggu penjelasan dari siapapun tapi nihil. Hanya kebingungan yang menyelimuti benaknya saat ini. âApa Mama tidak mau menjawab? Apa sesuatu terjadi saat aku tidak di rumah tadi?â Kirana mencecar Masayu karena penasaran.âSudah makan saja! Mama setelah ini mau keluar karena ada urusan.â Masayu membalas dengan sangat santai. Sedangkan Kirana kesal menyadari dia ketinggalan sebuah informasi yang mungkin saja penting. Kirana tidak bisa menikmati makan malam, apalagi dia baru saja pulang dari jalan-jalan bersama teman-temannya hingga perut pun masih terasa kenyang. âMama, aku ingin mengadakan pesta di rumah utama akhir pekan ini,â ucap Kirana sambil mengaduk-aduk makanan di piring tanpa berniat menyuapkannya ke dalam mulut. âTidak usah aneh-aneh, minta izin ke Pamanmu sendiri. Apa kamu tidak tahu kalau Mama saat ini sedang dalam masa percobaan?â Masayu mengu
Shanaya tak mengerti mau ke mana sebenarnya Oriaga mengajaknya bicara. Pria itu masuk ke kamar ganti lalu mencari-cari sesuatu dan keluar dalam keadaan bingung karena tidak menemukan barang yang dia cari."Apa kamu tidak punya jaket tebal?" Shanaya menggeleng karena memang tidak memiliki barang itu. Alisnya semakin bergelombang saat Oriaga kembali masuk dan keluar membawa jaketnya. "Ayo!" Oriaga mengajak pergi sambil meraih tangan Shanaya. Dalam diam Shanaya pun merasa lega karena Oriaga mau menggandengnya seperti ini. Dia pun buru-buru mengeratkan jemari sambil sedikit menarik ke dua sudut bibir."Kita mau ke mana?" Tanya Shanaya yang semakin penasaran karena Oriaga mengajaknya masuk ke lift. "Melihat bintang!""Apa kita akan menempuh perjalanan jauh? Tapi kamu belum makan malam, bagaimana kalau nanti masuk angin?" Shanaya menyergap lengan Oriaga untuk menahan pria itu. Namun, Oriaga malah tersenyum dan memintanya untuk tidak perlu khawatir. Shanaya semakin kaget karena lift itu
Diam-diam sepanjang malam Oriaga membaca buku diary milik ibunda Shanaya. Sebelum tidur Shanaya memang sudah memintanya untuk melanjutkan membaca diary itu esok hari. Namun, semakin menyimak setiap halaman demi halaman tulisan milik wanita yang melahirkan istrinya itu, Oriaga semakin menyadari sesuatu. Hari berikutnya Oriaga bangun lebih awal dan mendapati buku diary yang semalaman dia baca berada di atas perut. Perlahan dia bangkit dari atas ranjang dan memastikan tidak mengganggu tidur Shanaya. Oriaga melangkah menuju meja belajar sang istri dan meletakkan buku diary dengan sampul berwarna cokelat tua itu di sana. Sejenak Oriaga tertegun menatap inisal nama di atas buku harian itu, sebelum menoleh ke Shanaya yang masih meringkuk lelap di atas ranjang. Jam masih menunjukkan pukul empat pagi, tapi entah kenapa seolah ada yang berbisik di telinga Oriaga untuk turun melihat suasana rumahnya. Oriaga pun ke bawah, dia membuat beberapa pelayan yang sudah bangun kaget bukan main. Bahkan
Hari itu mungkin menjadi hari yang paling ditunggu oleh semua orang. Sebuah pesta pernikahan digelar megah, senyum serta canda tampak kentara di wajah keluarga terutama dua pasang mempelai yang kini sedang berdansa. Oriaga melihat Shanaya yang tersenyum, lantas mendekatkan bibir ke telinga istrinya itu kemudian berbisik, âApa kamu ingin pesta pernikahan seperti ini?â Shanaya semakin melebarkan senyum lantas menoleh suaminya. âBukankah sudah terlambat kalau kita membuat pesta?â tanya balik Shanaya. Oriaga menanggapi ucapan Shanaya dengan senyuman karena apa yang dikatakan memang benar. Pesta pernikahan Andra, Mauri, Elkan, dan Kirana berlangsung hari itu. Shanaya menatap ke para pengantin baru itu, setelah semua yang dilalui, kini semua orang mendapat kebahagiaan tak terkecuali. âMereka sangat bahagia,â ucap Shanaya ke Oriaga. âKita juga,â balas pria itu sambil menggenggam erat tangan Shanaya. Shanaya melebarkan senyum lantas menyandarkan kepala di pundak Oriaga.
Pagi itu selepas Oriaga berangkat ke kantor, Shanaya tampak duduk di taman bersama Pak Wira yang punya tugas tambahan mengawasinya satu kali dua puluh empat jam.Pak Wira terlihat membawa buku catatan dan pulpen di tangannya. Pria tua itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung sebelum berkata,âSaya sudah membuat daftar barang yang harus disiapkan sebelum Anda melahirkan.âTernyata diam-diam Pak Wira memiliki catatan barang apa saja yang harus disiapkan Shanaya untuk menyambut kelahiran anaknya.Shanaya pun memperhatikan Pak Wira yang memegang buku catatan itu, hingga mulai membaca apa saja yang tertulis di sana.âBaju new born lima lusin, baju tidur tiga lusin, selimut sepuluh, sepatu sepuluh, lalu--â Belum juga Pak Wira selesai menyebutkan semua barang yang dicatat, Shanaya sudah menghentikan pria itu.âKenapa banyak sekali, Pak? Bayi tidak perlu baju sebanyak itu, lagipula yang Pak Wira sebutkan itu baju, bukan popok sekali pakai,â ucap Shanaya.âMemangnya Pak Wira men
âKenapa mendadak seperti ini? Sebenarnya tidak perlu dijemput tidak apa-apa, aku bisa pergi ke sana sendiri,â ucap Mauri. Dia terkejut karena Andra tiba-tiba menghubungi.âItu Kirana sudah di bawah, tidak masalah! Pergi saja bersama dengannya,â ucap Andra dari seberang panggilan.Mauri benar-benar tak percaya mendengar ucapan Andra, tapi karena tak ingin Kirana lama menunggu, Mauri pun buru-buru menyambar tasnya menuju lobi.Hari itu secara mendadak Andra memberitahu bahwa Kirana akan datang untuk mengajak Mauri pergi ke butik.Mauri yang merasa belum mengenal dekat Kirana jelas merasa sungkan, apalagi saat sampai di lobi Kirana sudah berdiri di sana lantas menghampirinya.âApak amu sudah siap?â tanya Kirana saat bertemu sang calon kakak ipar. Mauri kaget sekaligus senang mendapati sikap ramah Kirana. Namun, masih ada sedikit rasa sungkan di hatinya, hingga Mauri hanya mengangguk membalas pertanyaan Kirana.Tak menunggu lama Kirana pun mengajak Mauri masuk ke mobilnya yang masih terp
Baru saja masuk kamar, tapi Oriaga langsung ditodong pertanyaan dari Shanaya yang ternyata menunggu dirinya pulang. Shanaya yang sedang bersantai duduk di atas ranjang seketika menegakkan badan. Wanita itu antusias bertanya,âBagaimana tadi pertemuan dengan orang tuanya Mauri?â âLancar dan tentu saja Ayah Mauri langsung merestui,â jawab Oriaga. Oriaga berjalan mendekat ke Shanaya yang sejak tadi ternyata sedang membaca buku. Oriaga naik ke ranjang, lantas tanpa permisi mengambil buku Shanaya kemudian berbaring terlentang untuk membaca buku itu. âKenapa bacanya sambil berbaring? Baca sambil duduk, nanti matamu sakit kalau membaca dengan posisi seperti itu,â ucap Shanaya sambil menatap Oriaga. âAku memang sudah 43 tahun, tapi mataku ini masih bisa melihat dengan jelas. Kamu tenang saja,â balas Oriaga dengan santainya tanpa mengganti posisi. âSombong, awas saja nanti kalau kamu mengeluh matamu gatal atau berair.â Shanaya bicara dengan nada candaan, dia menggeser dudu
Malam harinya Andra pun pergi ke rumah orang tua Mauri bersama Oriaga dan Masayu. Andra tak bisa bersikap tenang, dia terlihat sangat gugup saat baru saja turun dari mobil.âJangan gugup, tarik napas panjang lalu embuskan perlahan,â ucap Masayu sambil merapikan kemeja Andra. Dia memulas senyum, menyadari bahwa sang putra mungkin sedang tidak baik-baik saja.Andra menatap sang mama, dia mengangguk kemudian melakukan apa yang dikatakan oleh Masayu.Masayu kemudian menggandeng tangan Andra, bersama Oriaga berjalan menuju pintu rumah Abraham.Saat sampai di depan rumah, ibu Mauri menyambut mereka dengan ramah meski wanita itu terlihat pucat dan tubuhnya masih kurang bugar.âApa Anda baik-baik saja? Jika masih kurang sehat, seharusnya tak perlu menyambut kami di depan,â ucap Masayu berpindah menggandeng tangan ibu Mauri.Ibu Mauri pun mengajak semuanya masuk sambil digandeng Masayu. Meski baru pertama kali bertemu, tapi mereka tampak dekat.âApa kondisi Anda sudah membaik?â tanya Masayu ka
Andra sudah sangat panik hingga memutuskan membuang status sebagai atasan dan bawahan lalu mencoba menghubungi nomor pamannya sendiri. âAda apa?â Suara Oriaga terdengar dari seberang panggilan. Detak jantung Andra seketika mulai normal kembali, dia terlihat sangat lega karena panggilannya dijawab oleh Oriaga. âPaman ada di mana?â tanya Andra dengan suara yang masih panik. âAku sedang ada urusan di luar,â jawab Oriaga, âada apa?â tanya pria itu lagi. âBagini Paman, ayah Mauri memintaku membawa Paman ke rumahnya nanti malam." Andra memberitahu Oriaga tanpa ada lagi basa-basi. âSudah kuduga karena hal itu kamu menghubungi dengan suara panik seperti ini,â ucap Oriaga dari seberang panggilan. âBagaimana aku tidak panik, aku ke ruangan Paman dan di sana sepi, bagaimana jika tiba-tiba saja Paman ke luar kota,â balas Andra. âTenang saja, aku akan datang dan memastikan kalau kamu akan menikah dengan Mauri,â ucap Oriaga mencoba menenangkan Andra. Andra pun bernapas dengan
Setelah berbincang dengan Oriaga, Andra tak menunggu lama untuk menghubungi Mauri, memberitahu kabar baik yang didapatnya.âApa kamu masih di rumah sakit?â tanya Andra saat panggilannya dijawab Mauri.âIya,â jawab Mauri dari seberang panggilan.âAku sudah menemui pamanku, dia setuju untuk membantu kita,â ucap Andra lagi. Ia mendengar suara helaan napas kasar dari seberang panggilan, hingga kemudian Mauri bicara.âSyukurlah kalau memang seperti itu.âAda kelegaan di wajah Mauri yang tidak bisa Andra lihat karena mereka tidak sedang bersama. Bahkan jika saat ini berdekatan Mauri sangat ingin memeluk erat Andra.âSampaikan ke papamu, pamanku bilang ingin bertemu, mau di rumah utama atau di rumahmu terserah yang penting papamu percaya.ââHm ⌠aku akan coba bertanya dulu ke Papa,â balas Mauri dari seberang panggilan.âAku akan menunggu kabar darimu, kalau bisa cepatnya,â ucap Andra.âPasti aku kabari segera,â balas Mauri. âOh ⌠ya, hari ini aku izin tidak ke kantor sehari lagi, aku sedang
Pagi itu Andra datang ke rumah utama. Saat sampai di sana, dia bertemu dengan Shanaya yang baru saja keluar dari lift dan heran melihat kedatangannya. Andra awalnya hendak menyapa, tapi melihat rambut Shanaya yang basah di pagi hari membuat Andra tertegun, bahkan pikiran pria itu sampai ke mana-mana. âAndra, tumben kamu datang pagi sekali?â sapa Shanaya. âIya." Andra menjawab sekenanya. Masih kaget karena pikiran liar di kepala. âItu ... memangnya wanita hamil boleh sering melakukan .... ?â Andra menjeda lisan, tanpa sadar mengungkapkan isi kepala. Shanaya terkejut mendengar pertanyaan Andra, hingga dia pun membalas, âMaksudmu bercinta? Itu malah sangat penting untuk menjaga kestabilan hormon.â Andra mengedip beberapa kali, dia bingung mendengar penjelasan Shanaya. Namun, agak sungkan untuk bertanya. âMakanya kamu cepetan nikah supaya tahu hal semacam ini,â ucap Shanaya saat melihat Andra bingung. Andra mengerucutkan bibir mendengar hinaan Shanaya, hingga dia pun mem
âTidak bisa! Aku harus bicara serius ke papamu, jika masalah ini tidak dibereskan dan dituntaskan, maka akan terus berlarut,â ujar Andra mencoba meyakinkan Mauri.Mauri tertegun melihat Andra yang terlihat serius, hingga akhirnya mengangguk pelan mengizinkan pria itu pergi. âBaiklah, tapi hati-hati,â ucap Mauri yang masih menyimpan perasaan cemas.Andra mengangguk lalu menyentuh lembut pipi Mauri, dia lantas menoleh ke ibu Mauri yang terbaring lemah. Dia tersenyum tipis ke wanita itu seolah meminta izin.Setelahnya Andra pun keluar dari kamar inap itu, dan berlari mengejar Abraham yang berjalan di koridor hingga menghadang dan membuat Abraham berhenti melangkah.âTunggu, saya ingin bicara dengan Anda,â ucap Andra. Meskipun menerima perlakuan buruk, tapi dia tetap bersikap sopan.Abraham terlihat kesal melihat Andra. Pria itu tak mau bicara, lebih memilih berjalan melewati Andra lagi tapi kembali dihadang.âIzinkan saya bicara pada Anda Pak,â ucap Andra membujuk.âTidak ada yang perlu