“Apa hanya kita saja yang makan malam?” Kirana bingung, dia menoleh ke Masayu lantas pelayan yang berdiri di dekatnya. Kirana menunggu penjelasan dari siapapun tapi nihil. Hanya kebingungan yang menyelimuti benaknya saat ini. “Apa Mama tidak mau menjawab? Apa sesuatu terjadi saat aku tidak di rumah tadi?” Kirana mencecar Masayu karena penasaran.“Sudah makan saja! Mama setelah ini mau keluar karena ada urusan.” Masayu membalas dengan sangat santai. Sedangkan Kirana kesal menyadari dia ketinggalan sebuah informasi yang mungkin saja penting. Kirana tidak bisa menikmati makan malam, apalagi dia baru saja pulang dari jalan-jalan bersama teman-temannya hingga perut pun masih terasa kenyang. “Mama, aku ingin mengadakan pesta di rumah utama akhir pekan ini,” ucap Kirana sambil mengaduk-aduk makanan di piring tanpa berniat menyuapkannya ke dalam mulut. “Tidak usah aneh-aneh, minta izin ke Pamanmu sendiri. Apa kamu tidak tahu kalau Mama saat ini sedang dalam masa percobaan?” Masayu mengu
Shanaya tak mengerti mau ke mana sebenarnya Oriaga mengajaknya bicara. Pria itu masuk ke kamar ganti lalu mencari-cari sesuatu dan keluar dalam keadaan bingung karena tidak menemukan barang yang dia cari."Apa kamu tidak punya jaket tebal?" Shanaya menggeleng karena memang tidak memiliki barang itu. Alisnya semakin bergelombang saat Oriaga kembali masuk dan keluar membawa jaketnya. "Ayo!" Oriaga mengajak pergi sambil meraih tangan Shanaya. Dalam diam Shanaya pun merasa lega karena Oriaga mau menggandengnya seperti ini. Dia pun buru-buru mengeratkan jemari sambil sedikit menarik ke dua sudut bibir."Kita mau ke mana?" Tanya Shanaya yang semakin penasaran karena Oriaga mengajaknya masuk ke lift. "Melihat bintang!""Apa kita akan menempuh perjalanan jauh? Tapi kamu belum makan malam, bagaimana kalau nanti masuk angin?" Shanaya menyergap lengan Oriaga untuk menahan pria itu. Namun, Oriaga malah tersenyum dan memintanya untuk tidak perlu khawatir. Shanaya semakin kaget karena lift itu
Diam-diam sepanjang malam Oriaga membaca buku diary milik ibunda Shanaya. Sebelum tidur Shanaya memang sudah memintanya untuk melanjutkan membaca diary itu esok hari. Namun, semakin menyimak setiap halaman demi halaman tulisan milik wanita yang melahirkan istrinya itu, Oriaga semakin menyadari sesuatu. Hari berikutnya Oriaga bangun lebih awal dan mendapati buku diary yang semalaman dia baca berada di atas perut. Perlahan dia bangkit dari atas ranjang dan memastikan tidak mengganggu tidur Shanaya. Oriaga melangkah menuju meja belajar sang istri dan meletakkan buku diary dengan sampul berwarna cokelat tua itu di sana. Sejenak Oriaga tertegun menatap inisal nama di atas buku harian itu, sebelum menoleh ke Shanaya yang masih meringkuk lelap di atas ranjang. Jam masih menunjukkan pukul empat pagi, tapi entah kenapa seolah ada yang berbisik di telinga Oriaga untuk turun melihat suasana rumahnya. Oriaga pun ke bawah, dia membuat beberapa pelayan yang sudah bangun kaget bukan main. Bahkan
Pelayan rumah yang diutus Oriaga tadi turun dan langsung mencari keberadaan Isaak. Dia sempat bertemu dengan sesama pelayan yang menanyakan kenapa membawa sikat gigi dari lantai atas. Pelayan itu pun menjelaskan sesuai dengan apa yang Oriaga perintahkan, kemudian pergi ke luar untuk menemukan pria yang sedang dirinya cari. Isaak ternyata masih berada di tempat yang sama seperti saat berbincang bersama Oriaga tadi. Pelayan itu pun menyapa memberitahu pesan Oriaga untuk Isaak sambil masih memegang sikat gigi milik Shanaya."Kenapa dia tadi tidak mengatakannya sendiri? Apa baru kepikiran?" Gumam Isaak. Dia mengangguk dan tanpa sengaja matanya tertuju pada sikat gigi berwarna merah muda yang berada di tangan pelayan itu."Tunggu! Sikat gigi siapa itu?" Tanya Isaak yang tiba-tiba memiliki harapan di dalam hati kalau sikat gigi itu milik Shanaya."Ini milik Nona Shana, Tuan tidak sengaja menjatuhkannya, dia meminta saya mencarikan sikat gigi yang sama karena Nona sangat menyukai warnanya,
“Tentu saja, jika Shanaya mau.”Kirana terlihat memaksakan senyuman, berharap Oriaga akan mengizinkan setelah dia menjawab seperti ini. Namun, di dalam hati gadis itu bersumpah, jika Oriaga masih tidak mengizinkan, maka dia akan melampiaskan kekesalannya pada Shanaya di kampus nanti. Perasaan ini timbul akibat Kirana merasa tersisihkan. Sebelum kedatangan Shanaya di rumah utama hanya dialah satu-satunya tuan putri di sana, Oriaga bahkan selalu menuruti apapun keinginannya tanpa bertanya, tapi sekarang meminta sesuatu ke pamannya saja terasa sangat sulit.“Tapi Shanaya sudah berjanji menemaniku bermain golf Sabtu ini," tukas Oriaga. Kirana yang merasa sang paman akan menarik izin bergegas mengatakan kalau pesta itu akan diadakan di malam hari. "Bukankah Paman bermain golf pagi?" Tanyanya.“Baiklah, kamu boleh mengadakan pesta, dengan catatan tetap menjaga ketertiban dan kenyamanan penghuni lainnya.” Kirana lega dan tersenyum lebar, dia mengucapkan terima kasih berkali-kali ke Oria
Oriaga sudah bisa menerka ke mana Isaak akan pergi setelah melihat pria itu mampir membeli seikat bunga matahari. Oriaga mengingat jelas tulisan ibu Shanaya yang mengatakan sangat menyukai bunga itu dalam buku hariannya, bahkan bukan tanpa alasan Seruli memberi nama sang putri 'Shanaya' — yang memiliki arti cahaya pertama dari matahari. "Kita agak menjaga jarak saja, Pak! Aku tidak ingin Isaak tahu sedang dibuntuti." Meskipun memberi perintah ke Pak Ali, tapi mata Oriaga terus tertuju pada Isaak yang sedang berbicara ke penjaga tempat pemakaman umum di mana wanita yang melahirkan Shanaya dikebumikan."Apa Pak Isaak punya saudara yang meninggal di sini, Tuan?"Pak Ali yang penasaran akhirnya memberanikan diri bertanya ke Oriaga. Dia merasa bersalah dan buru-buru meminta maaf saat sang Tuan tak kunjung memberi jawaban."Bapak tidak perlu meminta maaf, si bodoh itu mendatangi makam wanita yang sangat dicintainya."Oriaga menjawab dengan tatapan terus tertuju ke Isaak. Sahabatnya itu t
“Aku membaca buku di perpustakaan.” “Ehem .... lalu?” Shanaya menggerakkan bola mata ke kiri dan kanan karena bingung menjawab Oriaga yang sejak selesai mandi tak henti menanyakan tentang apa yang dia kerjakan seharian. “Mengikuti perkuliahan sampai selesai kemudian pulang.” “Setelah itu apa lagi yang kamu kerjakan?” Oriaga bertanya lagi. Saat ini pria itu berbaring miring di atas kasur sambil menyanggah kepala menggunakan tangan kanan. Di depannya Shanaya duduk bersila memeluk bantal seperti seorang tersangka. “Aku tidur-tiduran di kamar,” jawab Shanaya tanpa curiga. Dia menggaruk tengkuk sebelum melayangkan protes ke Oriaga. “Kenapa kamu bertanya seolah-olah aku baru saja melakukan tindakan kriminal?” “Tersenyum manis ke pria lain, duduk berdekatan dengan pria lain saat kamu sudah memiliki suami bagiku itu tindakan kriminal,” kata Oriaga. Shanaya membentuk huruf O dengan mulut setelah mengerti maksud sang suami. Dia tidak mau Oriaga menyalahkannya dan berkata,” Kamu sudah men
"Ini!" Oriaga menyerahkan sebuah kartu ke Shanaya saat gadis itu mengantarnya sampai halaman rumah seperti biasa."Ingat! Hari ini kamu harus mengikuti apa yang aku mau." Oriaga mengulang perkataannya kemarin. Dia sengaja bersikap dingin agar Shanaya semakin tak enak hati."Lalu, apa yang harus aku lakukan?" Tanya Shanaya sambil memandang kartu itu sebelum menggenggam dan menurunkan tangan ke sisi badan."Aku akan mengatakannya lewat pesan." Oriaga membalas datar dan semakin membuat perasaan Shanaya semakin tak karuan. Setelah mengatakan itu Oriaga menuju mobil dan meminta Pak Ali segera membawanya pergi ke kantor.Pak Wira dan beberapa pelayan yang berada di sana pun bisa merasakan sikap berbeda Oriaga ke Shanaya. Namun, tentunya tak berani untuk menggunjing dan berkomentar karena tentu saja jika sampai Oriaga mendengar, mereka bisa terkena hukuman."Apa Nona butuh sesuatu?" Tanya Pak Wira. Shanaya membuang napas sampai pundaknya luruh. Hal ini membuat Pak Wira menyadari bahwa san
Hari itu mungkin menjadi hari yang paling ditunggu oleh semua orang. Sebuah pesta pernikahan digelar megah, senyum serta canda tampak kentara di wajah keluarga terutama dua pasang mempelai yang kini sedang berdansa. Oriaga melihat Shanaya yang tersenyum, lantas mendekatkan bibir ke telinga istrinya itu kemudian berbisik, “Apa kamu ingin pesta pernikahan seperti ini?” Shanaya semakin melebarkan senyum lantas menoleh suaminya. “Bukankah sudah terlambat kalau kita membuat pesta?” tanya balik Shanaya. Oriaga menanggapi ucapan Shanaya dengan senyuman karena apa yang dikatakan memang benar. Pesta pernikahan Andra, Mauri, Elkan, dan Kirana berlangsung hari itu. Shanaya menatap ke para pengantin baru itu, setelah semua yang dilalui, kini semua orang mendapat kebahagiaan tak terkecuali. “Mereka sangat bahagia,” ucap Shanaya ke Oriaga. “Kita juga,” balas pria itu sambil menggenggam erat tangan Shanaya. Shanaya melebarkan senyum lantas menyandarkan kepala di pundak Oriaga.
Pagi itu selepas Oriaga berangkat ke kantor, Shanaya tampak duduk di taman bersama Pak Wira yang punya tugas tambahan mengawasinya satu kali dua puluh empat jam.Pak Wira terlihat membawa buku catatan dan pulpen di tangannya. Pria tua itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung sebelum berkata,“Saya sudah membuat daftar barang yang harus disiapkan sebelum Anda melahirkan.”Ternyata diam-diam Pak Wira memiliki catatan barang apa saja yang harus disiapkan Shanaya untuk menyambut kelahiran anaknya.Shanaya pun memperhatikan Pak Wira yang memegang buku catatan itu, hingga mulai membaca apa saja yang tertulis di sana.“Baju new born lima lusin, baju tidur tiga lusin, selimut sepuluh, sepatu sepuluh, lalu--” Belum juga Pak Wira selesai menyebutkan semua barang yang dicatat, Shanaya sudah menghentikan pria itu.“Kenapa banyak sekali, Pak? Bayi tidak perlu baju sebanyak itu, lagipula yang Pak Wira sebutkan itu baju, bukan popok sekali pakai,” ucap Shanaya.“Memangnya Pak Wira men
“Kenapa mendadak seperti ini? Sebenarnya tidak perlu dijemput tidak apa-apa, aku bisa pergi ke sana sendiri,” ucap Mauri. Dia terkejut karena Andra tiba-tiba menghubungi.“Itu Kirana sudah di bawah, tidak masalah! Pergi saja bersama dengannya,” ucap Andra dari seberang panggilan.Mauri benar-benar tak percaya mendengar ucapan Andra, tapi karena tak ingin Kirana lama menunggu, Mauri pun buru-buru menyambar tasnya menuju lobi.Hari itu secara mendadak Andra memberitahu bahwa Kirana akan datang untuk mengajak Mauri pergi ke butik.Mauri yang merasa belum mengenal dekat Kirana jelas merasa sungkan, apalagi saat sampai di lobi Kirana sudah berdiri di sana lantas menghampirinya.“Apak amu sudah siap?” tanya Kirana saat bertemu sang calon kakak ipar. Mauri kaget sekaligus senang mendapati sikap ramah Kirana. Namun, masih ada sedikit rasa sungkan di hatinya, hingga Mauri hanya mengangguk membalas pertanyaan Kirana.Tak menunggu lama Kirana pun mengajak Mauri masuk ke mobilnya yang masih terp
Baru saja masuk kamar, tapi Oriaga langsung ditodong pertanyaan dari Shanaya yang ternyata menunggu dirinya pulang. Shanaya yang sedang bersantai duduk di atas ranjang seketika menegakkan badan. Wanita itu antusias bertanya,“Bagaimana tadi pertemuan dengan orang tuanya Mauri?” “Lancar dan tentu saja Ayah Mauri langsung merestui,” jawab Oriaga. Oriaga berjalan mendekat ke Shanaya yang sejak tadi ternyata sedang membaca buku. Oriaga naik ke ranjang, lantas tanpa permisi mengambil buku Shanaya kemudian berbaring terlentang untuk membaca buku itu. “Kenapa bacanya sambil berbaring? Baca sambil duduk, nanti matamu sakit kalau membaca dengan posisi seperti itu,” ucap Shanaya sambil menatap Oriaga. “Aku memang sudah 43 tahun, tapi mataku ini masih bisa melihat dengan jelas. Kamu tenang saja,” balas Oriaga dengan santainya tanpa mengganti posisi. “Sombong, awas saja nanti kalau kamu mengeluh matamu gatal atau berair.” Shanaya bicara dengan nada candaan, dia menggeser dudu
Malam harinya Andra pun pergi ke rumah orang tua Mauri bersama Oriaga dan Masayu. Andra tak bisa bersikap tenang, dia terlihat sangat gugup saat baru saja turun dari mobil.“Jangan gugup, tarik napas panjang lalu embuskan perlahan,” ucap Masayu sambil merapikan kemeja Andra. Dia memulas senyum, menyadari bahwa sang putra mungkin sedang tidak baik-baik saja.Andra menatap sang mama, dia mengangguk kemudian melakukan apa yang dikatakan oleh Masayu.Masayu kemudian menggandeng tangan Andra, bersama Oriaga berjalan menuju pintu rumah Abraham.Saat sampai di depan rumah, ibu Mauri menyambut mereka dengan ramah meski wanita itu terlihat pucat dan tubuhnya masih kurang bugar.“Apa Anda baik-baik saja? Jika masih kurang sehat, seharusnya tak perlu menyambut kami di depan,” ucap Masayu berpindah menggandeng tangan ibu Mauri.Ibu Mauri pun mengajak semuanya masuk sambil digandeng Masayu. Meski baru pertama kali bertemu, tapi mereka tampak dekat.“Apa kondisi Anda sudah membaik?” tanya Masayu ka
Andra sudah sangat panik hingga memutuskan membuang status sebagai atasan dan bawahan lalu mencoba menghubungi nomor pamannya sendiri. “Ada apa?” Suara Oriaga terdengar dari seberang panggilan. Detak jantung Andra seketika mulai normal kembali, dia terlihat sangat lega karena panggilannya dijawab oleh Oriaga. “Paman ada di mana?” tanya Andra dengan suara yang masih panik. “Aku sedang ada urusan di luar,” jawab Oriaga, “ada apa?” tanya pria itu lagi. “Bagini Paman, ayah Mauri memintaku membawa Paman ke rumahnya nanti malam." Andra memberitahu Oriaga tanpa ada lagi basa-basi. “Sudah kuduga karena hal itu kamu menghubungi dengan suara panik seperti ini,” ucap Oriaga dari seberang panggilan. “Bagaimana aku tidak panik, aku ke ruangan Paman dan di sana sepi, bagaimana jika tiba-tiba saja Paman ke luar kota,” balas Andra. “Tenang saja, aku akan datang dan memastikan kalau kamu akan menikah dengan Mauri,” ucap Oriaga mencoba menenangkan Andra. Andra pun bernapas dengan
Setelah berbincang dengan Oriaga, Andra tak menunggu lama untuk menghubungi Mauri, memberitahu kabar baik yang didapatnya.“Apa kamu masih di rumah sakit?” tanya Andra saat panggilannya dijawab Mauri.“Iya,” jawab Mauri dari seberang panggilan.“Aku sudah menemui pamanku, dia setuju untuk membantu kita,” ucap Andra lagi. Ia mendengar suara helaan napas kasar dari seberang panggilan, hingga kemudian Mauri bicara.“Syukurlah kalau memang seperti itu.”Ada kelegaan di wajah Mauri yang tidak bisa Andra lihat karena mereka tidak sedang bersama. Bahkan jika saat ini berdekatan Mauri sangat ingin memeluk erat Andra.“Sampaikan ke papamu, pamanku bilang ingin bertemu, mau di rumah utama atau di rumahmu terserah yang penting papamu percaya.”“Hm … aku akan coba bertanya dulu ke Papa,” balas Mauri dari seberang panggilan.“Aku akan menunggu kabar darimu, kalau bisa cepatnya,” ucap Andra.“Pasti aku kabari segera,” balas Mauri. “Oh … ya, hari ini aku izin tidak ke kantor sehari lagi, aku sedang
Pagi itu Andra datang ke rumah utama. Saat sampai di sana, dia bertemu dengan Shanaya yang baru saja keluar dari lift dan heran melihat kedatangannya. Andra awalnya hendak menyapa, tapi melihat rambut Shanaya yang basah di pagi hari membuat Andra tertegun, bahkan pikiran pria itu sampai ke mana-mana. “Andra, tumben kamu datang pagi sekali?” sapa Shanaya. “Iya." Andra menjawab sekenanya. Masih kaget karena pikiran liar di kepala. “Itu ... memangnya wanita hamil boleh sering melakukan .... ?” Andra menjeda lisan, tanpa sadar mengungkapkan isi kepala. Shanaya terkejut mendengar pertanyaan Andra, hingga dia pun membalas, “Maksudmu bercinta? Itu malah sangat penting untuk menjaga kestabilan hormon.” Andra mengedip beberapa kali, dia bingung mendengar penjelasan Shanaya. Namun, agak sungkan untuk bertanya. “Makanya kamu cepetan nikah supaya tahu hal semacam ini,” ucap Shanaya saat melihat Andra bingung. Andra mengerucutkan bibir mendengar hinaan Shanaya, hingga dia pun mem
“Tidak bisa! Aku harus bicara serius ke papamu, jika masalah ini tidak dibereskan dan dituntaskan, maka akan terus berlarut,” ujar Andra mencoba meyakinkan Mauri.Mauri tertegun melihat Andra yang terlihat serius, hingga akhirnya mengangguk pelan mengizinkan pria itu pergi. “Baiklah, tapi hati-hati,” ucap Mauri yang masih menyimpan perasaan cemas.Andra mengangguk lalu menyentuh lembut pipi Mauri, dia lantas menoleh ke ibu Mauri yang terbaring lemah. Dia tersenyum tipis ke wanita itu seolah meminta izin.Setelahnya Andra pun keluar dari kamar inap itu, dan berlari mengejar Abraham yang berjalan di koridor hingga menghadang dan membuat Abraham berhenti melangkah.“Tunggu, saya ingin bicara dengan Anda,” ucap Andra. Meskipun menerima perlakuan buruk, tapi dia tetap bersikap sopan.Abraham terlihat kesal melihat Andra. Pria itu tak mau bicara, lebih memilih berjalan melewati Andra lagi tapi kembali dihadang.“Izinkan saya bicara pada Anda Pak,” ucap Andra membujuk.“Tidak ada yang perlu