Shanaya masih kesakitan saat dinaikkan ke brankar dan dibawa masuk ke UGD.Isaak sesekali menatap cemas gadis itu sambil menjelaskan ke dokter kalau Shanaya — yang merupakan putrinya tengah dalam kondisi mengandung.Karena menggunakan bahasa Belanda, Shanaya pun tidak tahu kalau Isaak baru saja menyebut dirinya anak."Tenang saja! Kami akan memeriksa pasien, apa pasien bisa berbahasa Inggris?" Tanya dokter.Isaak pun menjawab dengan anggukkan kepala, setelahnya dia menyesal karena dokter meminta perawat mengusirnya keluar."Tidak!Tidak! Dia hanya bisa menggunakan bahasa Indonesia," teriak Isaak. Sayangnya dia sudah berada di ambang pintu dan perawat langsung menutupnya."Kenapa mulutku sejak tadi tidak bisa dikondisikan?" Keluh Isaak meratapi kesalahan.Isaak merasa sangat khawatir. Dia terus berdiri di depan pintu UGD sampai tiba-tiba mundur dengan tubuh sedikit limbung.Beruntung Amora sudah datang dan langsung menahannya."Apa kamu baik-baik saja? Bagaimana Shanaya?" Amora bertanya
"Shana, sebaiknya kamu bicara lagi dengan Isaak. Aku tahu ini tidak mudah, tapi lari dari masalah pun tidak baik," kata Amora. "Aku pernah merasakan hal yang serupa, membenci Isaak karena sikap dan pilihannya, tapi mendiamkan atau memilih untuk tidak bertegur sapa juga malah akan membuatmu lelah sendiri karena perasaan kesal di hati, jadi lebih baik kalian bicara," ucap Amora panjang lebar. Setelah bicara dia menoleh Andra memberi isyarat agar meninggalkan Shanaya berdua dengan Isaak. Andra yang memahami hal itu pun bergegas memutar tumit pergi, sedangkan Amora masih sempat menepuk dan mengusap lembut lengan Shanaya sambil mengangguk kecil."Semua akan baik-baik saja, ungkapkan saja semua yang ada di hatimu," ucap Amora. Shanaya hanya diam, sementara Isaak perlahan sudah mendekat lalu berhenti tak jauh dari ranjang pesakitan di mana Shanaya berbaring.Amora juga pergi, tapi sebelum itu juga melakukan hal yang sama ke Isaak. Dia mengusap lengan suaminya seolah memberi kekuatan dan
Sementara Oriaga sedang berbincang serius dengan Pak Wira. Masayu dan Arumi berada di apartemen menemui orang suruhan mereka.Keduanya memilih tempat itu agar tidak ada yang curiga, terutama Oriaga dan Pak Wira.“Bagaimana? Informasi apa yang kalian dapat?” tanya Arumi yang sudah tidak sabaran menunggu orang-orangnya bicara.“Maaf Nyonya, kami tidak mendapatkan informasi apa pun soal Nona Shanaya, bahkan keluarganya saja berkata jika sudah tidak mau mengurusinya,” ujar pria itu memberikan laporan.“Mungkinkah Shanaya pergi jauh karena diancam Kak Oriaga, bahkan keluarganya sampai tak mau menampung dan mengurusinya lagi?” Masayu pun mengemukan pendapat setelah mendengar informasi yang disampaikan.“Aku merasa tidak seperti itu,” balas Arumi yang tak sependapat dengan apa yang dikatakan Masayu.“Aku masih curiga jika masalah ini tak sesederhana itu,” imbuh Arumi lagi terlihat berpikir karena masih tak percaya jika Shanaya menghilang begitu saja.Masayu pun diam mencoba mencerna ucapan A
Andra menemani Shanaya yang akan menjalani operasi usus buntu hari itu. Mereka masih di kamar menunggu jadwal Shanaya masuk ruang operasi kurang lebih satu jam lagi.Di sela menunggu, Andra menyadari sesuatu. Sejak tadi wajah gadis yang masih disukainya itu tampak gelisah dan cemas.“Ada apa?” tanya Andra saat melihat Shanaya beberapa kali mengembuskan napas kasar.Shanaya menatap Andra, hingga kemudian menjawab pertanyaan pemuda itu.“Aku hanya takut, apa operasi ini aman untuk calon anakku?"“Dokter sudah menjelaskan kalau ini aman, kamu jangan mencemaskan apa pun,” ucap Andra. Dia ingin meraih telapak tangan Shanaya untuk digenggam. Namun, Shanaya langsung menarik tangannya menjauh.Shanaya menolak Andra yang ingin menyentuh. Jujur saja dia tak ingin memberi harapan palsu untuk keponakan suaminya itu. Shanaya merasa menerima perhatian Andra sama saja membuka peluang harapan yang hanya akan menyusahkan mereka pada akhirnya.Andra menyadari posisi juga sikap Shanaya, sehingga tak mara
Sorenya Shanaya sudah menjalani operasi dan kini dia berada di ruang inap dan masih tidur karena pengaruh obat bius.Setelah beberapa jam tidak sadarkan diri pasca operasi, Shanaya pun akhirnya membuka mata. Dia merasa melihat wajah Oriaga di sampingnya, tapi saat membuka lebar mata, Shanaya baru menyadari jika Isaak yang berada di sana.“Kenapa Paman masih di sini?” tanya Shanaya sambil memberikan tatapan tidak senang ke pria yang merupakan ayah kandungnya itu.Isaak hendak menjawab, tapi Shanaya lebih dulu kembali bicara.“Lebih baik Paman pergi, aku masih tidak suka melihat wajah Paman.”Shanaya seperti ngelantur. Bahkan matanya masih terlihat sangat mengantuk. Isaak menebak kalau Shanaya pasti masih berada di bawah pengaruh obat bius."Kenapa dengan wajahku? Bukankah aku tampan? Jangan membenciku Shana, kamu sedang hamil. Bagaimana kalau nanti anakmu malah sangat mirip denganku?"Amora yang berada di dekat Isaak sampai memutar bola matanya menyadari sang suami malah bercanda. Seda
Oriaga sendiri memilih untuk tidak banyak mengecek ponsel karena takut, dia takut menjadi reaksioner dan malah mengacaukan semuanya karena Arumi.Demi apapun, Oriaga ingin sekali menghentikan langkah kaki lalu memergoki Arumi yang terus membuntutinya sampai ke hotel. Arumi bahkan memesan kamar yang berada satu lantai dengannya. Tujuan wanita itu pasti tak lain dan tak bukan untuk terus memantau apa yang akan dia lakukan."Tolong kamu hubungi Aditya dan minta dia untuk terus berjaga, aku ingin istirahat," ujar Oriaga ke Aston."Baik, Pak! Anda tenang saja," balas Aston seraya membungkukkan kepala. Aston memandangi punggung Oriaga yang masuk ke kamar lantas melirik ke kiri. Aston menyadari ada yang mengawasi. Dia menggeleng pelan saat menyadari kalau Arumi masih saja memantau."Wanita itu kurang kerjaan sekali," gumam Aston. Dia menggeleng pelan lantas masuk ke dalam kamarnya.Sementara itu, Arumi tak menyadari kalau Oriaga sudah mengetahui gerak-geriknya. Baru saja meletakkan koper ke
Shanaya benar-benar sedih karena Oriaga tidak datang, bahkan setelah dirinya selesai operasi pun sang suami masih tidak mengunjunginya. Muka Shanaya semakin masam, apalagi Isaak yang berjanji akan mendatangkan Oriaga juga terkesan berdusta padanya.“Bahkan menjawab panggilanku pun tidak,” gerutu Shanaya karena Oriaga tak membalas atau menghubungi balik dirinya. Shanaya akhirnya memutuskan untuk tak menyentuh ponsel sama sekali karena tak ingin berharap Oriaga menghubungi. Dia mengembuskan napas kasar, memilih duduk di ranjang pesakitannya sambil memandang Issa yang sedang sibuk bermain jenga di sofa.Isaak membuka pintu dan mengintip, dia memandang Shanaya lantas merasa kasihan melihat gadis itu murung dan sedih.“Oriaga memang brengsek! Bagaimana bisa dia menelantarkan istrinya seperti ini! Bahkan memberi kabar pun tidak!” Isaak benar-benar geram dengan sikap Oriaga.Amora memandang Isaak yang menutup pintu kembali setelah mereka membeli makanan dari luar. Wanita itu heran mendapa
Oriaga tak membalas ucapan Arumi. Sebenarnya masih ada satu hal lagi yang membuatnya sampai sekarang terus bersabar menghadapi tingkah dua adik perempuannya yaitu tentang fakta kematian ibu Masayu dan Arumi.Namun, jika sampai Arumi dan Masayu tahu kebenaran bahwa ibu mereka meninggal karena menyelamatkan nyawanya, Oriaga yakin baik Arumi dan Masayu pasti akan membencinya. Namun, apa bedanya dengan sekarang? Arumi dan Masayu bahkan seperti tidak suka melihat kebahagiaannya. Oriaga menepis tangan Arumi secara kasar, tapi wanita itu malah menghambur padanya dan hampir saja mencium bibirnya. “Aku benar-benar akan mengirimmu ke rumah sakit jiwa,” ucap Oriaga sambil mendorong Arumi hingga mundur. Oriaga mendekat ke nakas dan mengambil ponsel hendak menghubungi Aditya dan Aston agar datang ke kamarnya, tapi belum juga dia melakukan itu, Arumi sudah lebih dulu memeluk pinggangnya dari belakang.Oriaga mengembuskan napas kasar, dia melepas paksa tangan Arumi dan menghempaskan tubuh adikny
Hari itu mungkin menjadi hari yang paling ditunggu oleh semua orang. Sebuah pesta pernikahan digelar megah, senyum serta canda tampak kentara di wajah keluarga terutama dua pasang mempelai yang kini sedang berdansa. Oriaga melihat Shanaya yang tersenyum, lantas mendekatkan bibir ke telinga istrinya itu kemudian berbisik, “Apa kamu ingin pesta pernikahan seperti ini?” Shanaya semakin melebarkan senyum lantas menoleh suaminya. “Bukankah sudah terlambat kalau kita membuat pesta?” tanya balik Shanaya. Oriaga menanggapi ucapan Shanaya dengan senyuman karena apa yang dikatakan memang benar. Pesta pernikahan Andra, Mauri, Elkan, dan Kirana berlangsung hari itu. Shanaya menatap ke para pengantin baru itu, setelah semua yang dilalui, kini semua orang mendapat kebahagiaan tak terkecuali. “Mereka sangat bahagia,” ucap Shanaya ke Oriaga. “Kita juga,” balas pria itu sambil menggenggam erat tangan Shanaya. Shanaya melebarkan senyum lantas menyandarkan kepala di pundak Oriaga.
Pagi itu selepas Oriaga berangkat ke kantor, Shanaya tampak duduk di taman bersama Pak Wira yang punya tugas tambahan mengawasinya satu kali dua puluh empat jam.Pak Wira terlihat membawa buku catatan dan pulpen di tangannya. Pria tua itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung sebelum berkata,“Saya sudah membuat daftar barang yang harus disiapkan sebelum Anda melahirkan.”Ternyata diam-diam Pak Wira memiliki catatan barang apa saja yang harus disiapkan Shanaya untuk menyambut kelahiran anaknya.Shanaya pun memperhatikan Pak Wira yang memegang buku catatan itu, hingga mulai membaca apa saja yang tertulis di sana.“Baju new born lima lusin, baju tidur tiga lusin, selimut sepuluh, sepatu sepuluh, lalu--” Belum juga Pak Wira selesai menyebutkan semua barang yang dicatat, Shanaya sudah menghentikan pria itu.“Kenapa banyak sekali, Pak? Bayi tidak perlu baju sebanyak itu, lagipula yang Pak Wira sebutkan itu baju, bukan popok sekali pakai,” ucap Shanaya.“Memangnya Pak Wira men
“Kenapa mendadak seperti ini? Sebenarnya tidak perlu dijemput tidak apa-apa, aku bisa pergi ke sana sendiri,” ucap Mauri. Dia terkejut karena Andra tiba-tiba menghubungi.“Itu Kirana sudah di bawah, tidak masalah! Pergi saja bersama dengannya,” ucap Andra dari seberang panggilan.Mauri benar-benar tak percaya mendengar ucapan Andra, tapi karena tak ingin Kirana lama menunggu, Mauri pun buru-buru menyambar tasnya menuju lobi.Hari itu secara mendadak Andra memberitahu bahwa Kirana akan datang untuk mengajak Mauri pergi ke butik.Mauri yang merasa belum mengenal dekat Kirana jelas merasa sungkan, apalagi saat sampai di lobi Kirana sudah berdiri di sana lantas menghampirinya.“Apak amu sudah siap?” tanya Kirana saat bertemu sang calon kakak ipar. Mauri kaget sekaligus senang mendapati sikap ramah Kirana. Namun, masih ada sedikit rasa sungkan di hatinya, hingga Mauri hanya mengangguk membalas pertanyaan Kirana.Tak menunggu lama Kirana pun mengajak Mauri masuk ke mobilnya yang masih terp
Baru saja masuk kamar, tapi Oriaga langsung ditodong pertanyaan dari Shanaya yang ternyata menunggu dirinya pulang. Shanaya yang sedang bersantai duduk di atas ranjang seketika menegakkan badan. Wanita itu antusias bertanya,“Bagaimana tadi pertemuan dengan orang tuanya Mauri?” “Lancar dan tentu saja Ayah Mauri langsung merestui,” jawab Oriaga. Oriaga berjalan mendekat ke Shanaya yang sejak tadi ternyata sedang membaca buku. Oriaga naik ke ranjang, lantas tanpa permisi mengambil buku Shanaya kemudian berbaring terlentang untuk membaca buku itu. “Kenapa bacanya sambil berbaring? Baca sambil duduk, nanti matamu sakit kalau membaca dengan posisi seperti itu,” ucap Shanaya sambil menatap Oriaga. “Aku memang sudah 43 tahun, tapi mataku ini masih bisa melihat dengan jelas. Kamu tenang saja,” balas Oriaga dengan santainya tanpa mengganti posisi. “Sombong, awas saja nanti kalau kamu mengeluh matamu gatal atau berair.” Shanaya bicara dengan nada candaan, dia menggeser dudu
Malam harinya Andra pun pergi ke rumah orang tua Mauri bersama Oriaga dan Masayu. Andra tak bisa bersikap tenang, dia terlihat sangat gugup saat baru saja turun dari mobil.“Jangan gugup, tarik napas panjang lalu embuskan perlahan,” ucap Masayu sambil merapikan kemeja Andra. Dia memulas senyum, menyadari bahwa sang putra mungkin sedang tidak baik-baik saja.Andra menatap sang mama, dia mengangguk kemudian melakukan apa yang dikatakan oleh Masayu.Masayu kemudian menggandeng tangan Andra, bersama Oriaga berjalan menuju pintu rumah Abraham.Saat sampai di depan rumah, ibu Mauri menyambut mereka dengan ramah meski wanita itu terlihat pucat dan tubuhnya masih kurang bugar.“Apa Anda baik-baik saja? Jika masih kurang sehat, seharusnya tak perlu menyambut kami di depan,” ucap Masayu berpindah menggandeng tangan ibu Mauri.Ibu Mauri pun mengajak semuanya masuk sambil digandeng Masayu. Meski baru pertama kali bertemu, tapi mereka tampak dekat.“Apa kondisi Anda sudah membaik?” tanya Masayu ka
Andra sudah sangat panik hingga memutuskan membuang status sebagai atasan dan bawahan lalu mencoba menghubungi nomor pamannya sendiri. “Ada apa?” Suara Oriaga terdengar dari seberang panggilan. Detak jantung Andra seketika mulai normal kembali, dia terlihat sangat lega karena panggilannya dijawab oleh Oriaga. “Paman ada di mana?” tanya Andra dengan suara yang masih panik. “Aku sedang ada urusan di luar,” jawab Oriaga, “ada apa?” tanya pria itu lagi. “Bagini Paman, ayah Mauri memintaku membawa Paman ke rumahnya nanti malam." Andra memberitahu Oriaga tanpa ada lagi basa-basi. “Sudah kuduga karena hal itu kamu menghubungi dengan suara panik seperti ini,” ucap Oriaga dari seberang panggilan. “Bagaimana aku tidak panik, aku ke ruangan Paman dan di sana sepi, bagaimana jika tiba-tiba saja Paman ke luar kota,” balas Andra. “Tenang saja, aku akan datang dan memastikan kalau kamu akan menikah dengan Mauri,” ucap Oriaga mencoba menenangkan Andra. Andra pun bernapas dengan
Setelah berbincang dengan Oriaga, Andra tak menunggu lama untuk menghubungi Mauri, memberitahu kabar baik yang didapatnya.“Apa kamu masih di rumah sakit?” tanya Andra saat panggilannya dijawab Mauri.“Iya,” jawab Mauri dari seberang panggilan.“Aku sudah menemui pamanku, dia setuju untuk membantu kita,” ucap Andra lagi. Ia mendengar suara helaan napas kasar dari seberang panggilan, hingga kemudian Mauri bicara.“Syukurlah kalau memang seperti itu.”Ada kelegaan di wajah Mauri yang tidak bisa Andra lihat karena mereka tidak sedang bersama. Bahkan jika saat ini berdekatan Mauri sangat ingin memeluk erat Andra.“Sampaikan ke papamu, pamanku bilang ingin bertemu, mau di rumah utama atau di rumahmu terserah yang penting papamu percaya.”“Hm … aku akan coba bertanya dulu ke Papa,” balas Mauri dari seberang panggilan.“Aku akan menunggu kabar darimu, kalau bisa cepatnya,” ucap Andra.“Pasti aku kabari segera,” balas Mauri. “Oh … ya, hari ini aku izin tidak ke kantor sehari lagi, aku sedang
Pagi itu Andra datang ke rumah utama. Saat sampai di sana, dia bertemu dengan Shanaya yang baru saja keluar dari lift dan heran melihat kedatangannya. Andra awalnya hendak menyapa, tapi melihat rambut Shanaya yang basah di pagi hari membuat Andra tertegun, bahkan pikiran pria itu sampai ke mana-mana. “Andra, tumben kamu datang pagi sekali?” sapa Shanaya. “Iya." Andra menjawab sekenanya. Masih kaget karena pikiran liar di kepala. “Itu ... memangnya wanita hamil boleh sering melakukan .... ?” Andra menjeda lisan, tanpa sadar mengungkapkan isi kepala. Shanaya terkejut mendengar pertanyaan Andra, hingga dia pun membalas, “Maksudmu bercinta? Itu malah sangat penting untuk menjaga kestabilan hormon.” Andra mengedip beberapa kali, dia bingung mendengar penjelasan Shanaya. Namun, agak sungkan untuk bertanya. “Makanya kamu cepetan nikah supaya tahu hal semacam ini,” ucap Shanaya saat melihat Andra bingung. Andra mengerucutkan bibir mendengar hinaan Shanaya, hingga dia pun mem
“Tidak bisa! Aku harus bicara serius ke papamu, jika masalah ini tidak dibereskan dan dituntaskan, maka akan terus berlarut,” ujar Andra mencoba meyakinkan Mauri.Mauri tertegun melihat Andra yang terlihat serius, hingga akhirnya mengangguk pelan mengizinkan pria itu pergi. “Baiklah, tapi hati-hati,” ucap Mauri yang masih menyimpan perasaan cemas.Andra mengangguk lalu menyentuh lembut pipi Mauri, dia lantas menoleh ke ibu Mauri yang terbaring lemah. Dia tersenyum tipis ke wanita itu seolah meminta izin.Setelahnya Andra pun keluar dari kamar inap itu, dan berlari mengejar Abraham yang berjalan di koridor hingga menghadang dan membuat Abraham berhenti melangkah.“Tunggu, saya ingin bicara dengan Anda,” ucap Andra. Meskipun menerima perlakuan buruk, tapi dia tetap bersikap sopan.Abraham terlihat kesal melihat Andra. Pria itu tak mau bicara, lebih memilih berjalan melewati Andra lagi tapi kembali dihadang.“Izinkan saya bicara pada Anda Pak,” ucap Andra membujuk.“Tidak ada yang perlu