Sosok Kalina berdiri dihadapanku, aku hampir tidak percaya,“Kaget ya, om? Aku sengaja tidak kasih tahu kalau aku mau datang.” ujar Kalina.“Ya kagetlah.. kamu datang tiba-tiba gitu. Yuk! Masuk Kalina..”Setelah aku tutup pintu kamar, aku ceritakan pada Kalina bahwa aku mau pindah hotel.“Kenapa om? Kok pindah hotel? Inikan hotel yang terbaik di Surabaya?”“Panjang ceritanya, Kal.. nanti om akan ceritakan semuanya.”“Terus.. om mau pindah ke hotel mana? Mau gak aku carikan?”“Gak usah, Kal, kebetulan pihak kantor yang sudah urus semuanya. Kita tunggu aja kabar dari kantor.”Sembari menunggu kabar dari kantor, aku bercengkrama dengan Kalina. Meskipun pikiranku masih terngiang-ngiang dengan kata-kata yang kurang ‘genah’ dari calon suami Ita yang sangat angkuh.Tidak ada tanda-tanda kalau Kalina ingin memanfaatkan waktu untuk bercinta. Kalina sangat pasif dan gestur tubuhnya pun tidak memberikan isyarat apa-apa.Setelah pihak kantor cabang di Surabaya memberitahukan aku harus pindah ke h
Kalina yang ada disampingku terlihat mulai gelisah, karena Jatimin terlalu lama mengajakku bicara. Satu sisi aku prihatin dengan apa yang dialami Jatimin, disisi lain aku pun tidak ingin Kalina kecewa.Aku akhir pembicaraan dengan Jatimin, “Jat.. maaf saya harus menyelesaikan pekerjaan dulu ya. Lakukan aja yang terbaik untuk Noni.”Aku tidak peduli Jatimin suka atau tidak aku menyelesaikan pembicaraan tersebut. Sebagai orang yang baru aku kenal, Kalina haruslah aku hargai.Aku minta maaf pada Kalina, “Kalina.. maaf ya, obrolannya tadi terlalu panjang.” Aku katakan itu sembari memeluk Kalina.Kalina hanya menatapku penuh harap, dari tatapannya aku bisa merasakan kalau Kalina sangat mengharapkan agar aku berinisiatif untuk memenuhi hasratnya.Aku menanggalkan pakaianku satu persatu tanpa ada yang tersisa. Di bawah selimut aku tahu kalau Kalina pun tanpa dibalut sehelai pakaian pun.Kalina tidak seperti gadis-gadis lain yang pernah aku kencani, dia begitu dingin meskipun aku sudah mencum
Waktu berlalu begitu cepat, tanpa terasa aku sudah masuk hari ke 4 di Surabaya. Saat aku sedang di kantor cabang Surabaya, Widarti telepon dan memberitahukan kalau Noni sedang di rawat di Rumah Sakit,“Mas Danu.. kami sangat mencemaskan keadaan Noni, saat ini Noni sedang di ruang ICU. Kami ingin mas ada di sisi Noni saat ini.” ujar Widarti di seberang telepon.Aku terperangah mendengar kabar tentang Noni, aku tidak menyangka kalau penyakitnya kembali kambuh. Aku kembali terbayang wajah Noni saat pertama kali melihatnya di rumah sakit.“Baik, Wid.. aku akan segera ke Bandung.” Cuma itu yang aku katakan pada Widarti.Setelah selesai bicara dengan Widarti, aku segera hubungi pak Anggoro untuk minta izin menjenguk Noni. Aku menceritakan segala situasi pekerjaan di Surabaya, dan aku jelaskan juga tentang kondisi kesehatan Noni.Begitu dapat izin dari pak Anggoro, aku segera tinggalkan Surabaya. Aku telepon Kalina agar dia tidak mencariku di hotel,“Hallo, Kal.. om hari ini harus ke Bandung
Dari balik kaca jendela ruang ICU, aku melihat dokter dan tim medis secara intensif melakukan tindakan terhadap Noni. Dengan penuh Kecemasan, Widarti dan Jatimin menatap ke dalam dari balik jendela kaca ruang ICU.Aku menghampiri Widarti dan Jatimin, “Memang seperti itulah kondisi Noni, saat kembali anpal. Itulah yang mas alami saat mendampinginya di rumah sakit.”Widarti terus menangis, begitu juga Jatimin. “Aku gak kuat mas melihat keadaan Noni, aku sangat merasa bersalah.”“Wid.. Kita tidak pernah tahu, apa rencana Tuhan dibalik semua ini. Tidak usah terlalu merasa bersalah.”Jatimin sendiri lebih merasa bersalah, karena sejak lahir sampai Noni berusia 20 tahun Jatimin tidak pernah tahu nasib Noni.“Kalau Tuhan sembuhkan Noni, saya akan tebus dosa dan kesalahan saya pada Noni, mas.” ucap Jatimin lirih.Dokter keluar dari ruang ICU dan menemui kami, “Bisa bicara dengan orang tua pasien?” tanya dokter.Jatimin langsung menjawab, “Bisa dok!”Dokter mengajak Jatimin ke ruangannya, seme
Ada kecemasan terhadap Clara. Tapi, kecemasanku terhadap Noni pun lebih dari itu. Namun, karena Clara tak kunjung berbicara, akupun menutup sambungan telepon.Jatimin kembali mengajakku bicara, “Mas Danu, bagaimana sebaiknya sikap saya menghadapi Noni? tanya Jatimin.“Hanya bersabar untuk sementara waktu, siapa tahu setelah dia sembuh ada perubahan. Tetaplah ikuti situasi hati Noni, karena dia sering berubah-ubah.”Aku juga jelaskan pada Jatimin, kalau Noni secara psikis seperti menghadapi trauma masa lalu. Dan aku minta pada Jatimin untuk bersabar sampai Noni bisa sembuh dari trauma tersebut.Sengaja aku sampaikan itu, agar Jatimin mau mencari tahu sendiri apa yang perah dialami Noni. Aku tidak ingin dia tahu masalah itu dari mulutku.“Kompleksitas yang dialami Noni itu, membuat dia tertekan. Dia butuh seseorang yang sungguh-sungguh menyayanginya, Jat.”Sengaja aku tekanan hal itu pada Jatimin, aku ingin dia fokus untuk menyayangi Noni.“Aku sudah berusaha untuk menyayangi Noni, mas.
Saat aku merapikan selimut yang tidak menutup bagian tubuhnya, Clara terbangun dan memasarkan pandangannya dengan menyipitkan matanya. “Om Danu ya? Kapan datang, om?” tanya Clara“Baru saja, Clara.. selimut kamu berantakan tadi.”“Masak sih? Om sempat lihat dong?” canda ClaraAku hanya bisa tersenyum pada Clara, aku katakan padanya bahwa aku numpang nginap di Paviliunnya. Clara dengan senang hati menerima, karena memang itu yang diinginkannya.“Aku malah senang om mau nginap di sini, aku lagi sakit, om. Bagian paha sampai ke tumit aku sakit banget, om.”Clara membuka selimut dan memperlihatkan bagian paha dan tumitnya yang sakit. Pada bagian itu terlihat sedikit memar dan lebam.“Kenapa bisa begitu, Clara? Kamu tergelincir atau bagaimana?”Clara jelaskan bahwa, saat sedang di Treadmill dia tergelincir. Kebetulan dia memang sedang mencoba untuk nge-gym sekarang ini. Meskipun masih diawasi instruktur, namanya keteledoran bisa saja terjadi“Kalau yang seperti ini, kamu harus ditangani ol
Aku terbangun saat matahari menembus tirai kamar, Clara masih terlelap dengan pulasnya. Agaknya, pijatanku memang membuatnya nyaman.Aku bergegas ke kamar mandi, pagi ini aku harus berada di rumah sakit. Tidak ada yang terjadi antara aku dan Clara tadi malam, dengan pijatanku yang ala kadarnya sudah mampu membuatnya nyaman.Saat keluar dari Paviliun Clara, sengaja aku tidak membangunkannya. Aku tidak ingin Clara malah minta morning seks seperti kebiasaannya.Di rumah sakit, Widarti dan Jatimin wajahnya terlihat kuyu. Sepertinya mereka tidak tidur semalaman.“Pagi Wid.. Jat, kalian belum tidur sepertinya? Kenapa Wid? Noni anpal lagi?”“Iya mas, kami sangat cemas melihat kondisi kesehatannya yang turun naik. Aku bergantian berjaga dengan mas Jatimin.”“Kenapa aku gak diberi kabar, Wid? Kan aku bisa jaga dengan Jatimin, kamu bisa istirahat pulang?”Widarti tidak ingin merepotkan aku, itulah alasan yang dikemukakannya. Namun, aku merasa sangat bersalah. Aku tidak bisa bayangkan kalau sesu
Meskipun masih diliputi perasaan cemas, aku tetap pulang ke Jakarta. Noni masih dalam kondisi lemah dan tidak bisa diajak berkomunikasi saat aku tinggalkan. Saat sampai di Jakarta, di rumah aku tidak menemukan isteri dan anakku. Kondisi rumah kosong tanpa berpenghuni, aku menduga kalau isteriku sedang berada di rumah Rani. Setelah istirahat sejenak, aku pergi ke rumah Rani. Begitu sampai di rumah Rani, rumahnya dalam keadaan terkunci. Berkali-kali aku ketuk pintunya tidak ada yang menyahut. Aku telepon Sri isteriku, untuk mencari tahu, “Hallo.. Sri, sedang berada di mana? Mas lagi di rumah Rani, tapi rumahnya terkunci.”“Rani masuk rumah sakit mas..” sahut Sri. Sri memberitahukan nama rumah sakit dan alamatnya. Dia juga menceritakan kondisi kesehatan Rani. Aku buru-buru meninggalkan rumah Rani dengan perasaan galau. Aku takut terjadi sesuatu dengan kehamilan Rani. Jelas aku sangat khawatir dengan kesehatan Rani, karena dia adalah anak kandungku. Kalau pada kesehatan Noni saja aku