Adriana menatap Noni yang ada di sampingku, seakan-akan dia menerima apa yang dikatakan Noni. Aku yang berada diantara mereka berdua, melihat sebuah realitas sosial yang pada kenyataannya dialami oleh anakku sendiri. Noni dan Adriana adalah cerminan anak yang tidak mendapatkan kasih sayang dan perhatian orang tua. Sementara, apa yang dialami Rani, anakku pun tidak jauh berbeda. “Aku selalu iri sama kamu Non.. sekarang kamu penuh kasih sayang dari kedua orang tua kamu.”“Dri.. kamu jangan lihat aku sekarang, kamu gak tahu apa yang aku alami selama sepuluh tahun. Aku hanya hidup berdua dengan nenek, dan aku harus menafkahi nenek, Dri.”Aku berusaha menengah, “Kalian berdua itu sama-sama hebat, bisa survive ditengah kesulitan hidup.”Seketika suasana hening, kami larut dalam pikiran masing-masing. Aku tidak bisa membayangkan kalau Radith bukanlah lelaki yang bertanggung jawab, bisa-bisa kehidupan Rani lebih buruk dari Adriana dan Noni. “Sekarang, sebaiknya kalian mensyukuri apa yang s
Keesokan harinya Sebelum ke Surabaya, aku sempatkan untuk sarapan pagi dengan keluarga. Ada suasana yang berbeda, Rani tidak lagi berada diantara kami. Hanya ada isteriku dan Priska, aku baru merasa kehilangan Rani. “Sri.. kalau kamu rindu dengan Rani, kamu bisa nginap di rumahnya selama mas di Surabaya.” Aku tatap wajah isteriku yang begitu murung. “Nanti saja mas.. Priska gak mungkin aku tinggal sendiri di rumah.”“Kalau Mama kangen sama kak Rani, aku temani Mama ke sana.” Priska menimpali. Sejak menikah, Rani memang memilih untuk tinggal di rumah yang sudah disiapkan Radith. Dia ingin hidup mandiri, ingin merasakan hidup berumah tangga tanpa dicampur orang tua. Pernikahan Rani dan Radith memang hanya dilakukan antar keluarga, tanpa ada resepsi. Itu memang sudah menjadi kesepakatan antara aku dengan besanku. Untuk menghindari stigma negatif terhadap Rani dan Radith. Kegagalan mengawasi Rani, membuat isteriku lebih hati-hati dalam menjaga Priska. Sri tidak ingin hal yang sama t
Aku melihat kalau Ita tidak begitu nyaman saat berbicara denganku. Setelah aku memberitahukan nomor kamarku, Ita tergesa-gesa segera pamit. Aku hanya bisa menyaksikan kepergiannya dengan menyisakan banyak pertanyaan dibenakku. Setelah urusanku di resepsionis selesai, aku segera menuju ke lift untuk naik ke lantai 7. Sampai di lantai 7 aku menyusuri koridor hotel mencari kamar 707. Sebelum masuk ke kamar, seorang gadis keluar dari kamar 706 dan melintas di depan kamarku. Aku tidak terlalu menghiraukannya, karena pikiranku masih tertuju pada Ita dan Kalina. Aku membuka ponsel dan membaca pesan-pesan yang masuk sembari mengaso di tempat tidur. Salah satu pesan masuk dari Kalina, [Om Danu.. kalau tidak keberatan, boleh aku tahu nomor di Hotel mana om menginap? Jangan lupa kasih tahu nomor kamarnya, ya?] itulah pesan dari Kalina. “Waduh! Godaan apa lagi nih?” tanyaku dalam hati. Apa iya setiap pertemuan dengan seorang gadis selalu berakhir di atas Ranjang? Pertanyaan seperti itu mengha
Sebelum membuka pintu hatiku berdebar, aku menebak-nebak apakah Kalina atau Ita yang datang. Perlahan-lahan aku buka pintu kamar, ternyata yang berdiri dihadapanku bukanlah Kalina atau pun Ita. Tapi, seorang gadis belia yang cantik, molek dengan dandanan yang juga modis. “Adik cari siapa?” tanyaku “Hhhmm.. maaf om, kayaknya aku salah kamar.” Jawab gadis itu. Aku masih mencoba menahannya dengan sebuah pertanyaan, “Emang kamu cari kamar nomor berapa?”“Nomor kamarnya sih benar, om. Tapi, orangnya bukan om.”Aku merasa aneh dengan jawaban gadis itu, kok bisa nomor kamarnya sama. Tapi, orang yang dicarinya malah beda. Aku dan gadis itu terus bicara di depan kamar. “Coba telepon dulu deh, kok bisa salah kamar?”Gadis itu mencoba mendial ponselnya, namun rupanya tidak tersambung. “Masuk dulu aja yuk! Gak apa-apa kok, om juga hanya sendiri di kamar.”“Gak usah om.. di luar aja.”“Kenapa? Takut ya sama Om? Jangan khawatir, om tidak akan tutup pintunya.” aku berusaha untuk meyakini dia.
Flora yang merasa kurang nyaman atas kedatangan Ita, berdiri dari duduknya dan pamit untuk meninggalkan kamar ku. “Yaudah, om.. aku pamit dulu ya.” Flora menyalami aku dan Ita sembari berlalu dari kamarku. “Okey, Flo.. nanti kasih tahu saja sama Peter, kalau kamu sudah ketemu om.” Aku katakan itu saat Flora keluar dari kamarku. Ita masih tercengang melihat situasi yang ada di kamar itu, dia tanya padaku, “Itu siapa, om? Tamu dari kantor?”“Iya Ita, dia diutus untuk menyambut kedatangan om di Surabaya.”Aku menutup pintu kamar dan mengajak Ita berbicara di tempat tidur. “Kamu sudah berapa hari nginap di hotel ini?”“Baru dua hari, om.. rencananya satu minggu di hotel ini. Kebetulan calon suamiku lagi ada proyek di Surabaya.”Ita menceritakan kalau dia sehari-hari hanya di kamar saat calon suaminya bertemu klien. Dia merasa sangat menderita menghadapi keadaan seperti itu.“Tapi, om lihat kamu begitu sehat sekarang ini? Tubuh kamu semakin sintal?”“Memang sih, om.. Gimana gak sehat?
Begitu pintu terbuka, dihadapanku berdiri seorang lelaki berusia muda dengan tubuh tegap dan atletis. Hatiku semakin berdebar, aku merasa sedang berhadapan dengan sebuah masalah.“Maaf.. bung siapa? Mau cari siapa?” tanyaku.Lelaki itu melongok-longok ke dalam kamar seakan mencari seseorang. Tanpa mengindahkan pertanyaanku, lelaki itu seketika berteriak,“Ita!! Keluar kamu!!”“Sebaiknya bung masuk saja, tidak elok berteriak di depan kamar.” aku membuka pintu kamar lebih lebar untuk mempersilahkannya masuk.“Tidak penting!!” lelaki itu menolak tawaranku dengan tatapan tajam.Ita dengan penuh ketakutan menghampiri laki-laki itu, tanpa bicara sepatah kata pun dia berlalu begitu saja dengan lelaki itu. Aku hanya bisa memandang kepergian Ita dengan perasaan sedih. Lelaki itu menyeret Ita dengan sekuat tenaganya.Seorang karyawan hotel yang berpapasan dengan lelaki itu memberikan hormat sambil menundukkan kepala. Aku penasaran siapa lelaki itu? Kok karyawan hotel sangat menghormatinya. Saat
Sosok Kalina berdiri dihadapanku, aku hampir tidak percaya,“Kaget ya, om? Aku sengaja tidak kasih tahu kalau aku mau datang.” ujar Kalina.“Ya kagetlah.. kamu datang tiba-tiba gitu. Yuk! Masuk Kalina..”Setelah aku tutup pintu kamar, aku ceritakan pada Kalina bahwa aku mau pindah hotel.“Kenapa om? Kok pindah hotel? Inikan hotel yang terbaik di Surabaya?”“Panjang ceritanya, Kal.. nanti om akan ceritakan semuanya.”“Terus.. om mau pindah ke hotel mana? Mau gak aku carikan?”“Gak usah, Kal, kebetulan pihak kantor yang sudah urus semuanya. Kita tunggu aja kabar dari kantor.”Sembari menunggu kabar dari kantor, aku bercengkrama dengan Kalina. Meskipun pikiranku masih terngiang-ngiang dengan kata-kata yang kurang ‘genah’ dari calon suami Ita yang sangat angkuh.Tidak ada tanda-tanda kalau Kalina ingin memanfaatkan waktu untuk bercinta. Kalina sangat pasif dan gestur tubuhnya pun tidak memberikan isyarat apa-apa.Setelah pihak kantor cabang di Surabaya memberitahukan aku harus pindah ke h
Kalina yang ada disampingku terlihat mulai gelisah, karena Jatimin terlalu lama mengajakku bicara. Satu sisi aku prihatin dengan apa yang dialami Jatimin, disisi lain aku pun tidak ingin Kalina kecewa.Aku akhir pembicaraan dengan Jatimin, “Jat.. maaf saya harus menyelesaikan pekerjaan dulu ya. Lakukan aja yang terbaik untuk Noni.”Aku tidak peduli Jatimin suka atau tidak aku menyelesaikan pembicaraan tersebut. Sebagai orang yang baru aku kenal, Kalina haruslah aku hargai.Aku minta maaf pada Kalina, “Kalina.. maaf ya, obrolannya tadi terlalu panjang.” Aku katakan itu sembari memeluk Kalina.Kalina hanya menatapku penuh harap, dari tatapannya aku bisa merasakan kalau Kalina sangat mengharapkan agar aku berinisiatif untuk memenuhi hasratnya.Aku menanggalkan pakaianku satu persatu tanpa ada yang tersisa. Di bawah selimut aku tahu kalau Kalina pun tanpa dibalut sehelai pakaian pun.Kalina tidak seperti gadis-gadis lain yang pernah aku kencani, dia begitu dingin meskipun aku sudah mencum
196. EndingTiga bulan kemudian Noni yang pada awalnya tidak tertarik dengan Nara, menjalin hubungan hanya untuk menyenangkan hati orang tuanya. Lambat laun cintanya berlabuh juga pada Nara, “Mas.. Kok kamu sabar sekali menghadapi aku?” itu dikatakan Noni satu hari sebelum akad nikahnya dengan Nara padaku. “Non, aku sangat yakin dengan kekuatan cinta, mencintai itu seperti titik air di atas batu. Harus intens dan serius, itulah yang akhirnya aku dapatkan.” jawab Nara penuh keyakinan Noni memeluk Nara sangat erat, “Kamu hebat, mas, kesabaran kamulah yang membuat aku jatuh cinta pada akhirnya.” bisik Noni. Nara jelaskan pada Noni, bukan hanya dalam mencintai harus yakin pada perasaan. Tapi, dalam segala hal manusia harus serius pada tujuan hidupnya. Bagi Nara, cukuplah penderitaan sudah menjadi bagian hidupnya. Sekarang dia ingin menghiasi cintanya pada Noni penuh dengan kebahagiaan. “Aku sangat berharap Papa besok hadir pada pernikahanku, tanpa ada Papa hidupku belumlah lengkap.
Satu bulan kemudianPernikahan pak Anggoro dan Adriana tidaklah dirayakan secara meriah, mengingat isteri pak Anggoro juga belum lama meninggal. Sebuah pernikahan yang sangat sederhana, yang dirayakan di villa pak Anggoro di puncak. Aku hadir bersama isteriku, sengaja aku minta Sri untuk menemaniku. Tadinya Sri tidak ingin pergi, karena dia tahu di acara itu pasti ada Widarti Mama Noni, yang merupakan mantanku sebelum menikahi Sri. “Mas.. biarlah aku di rumah saja, aku tidak ingin nanti Widarti malah tidak menerima kehadiranku.” ucap Sri saat itu“Sri.. mas justeru ingin perlihatkan pada Widarti, bahwa aku bahagia bersama kamu. Aku ingin semua orang tahu, bahwa aku bangga sama kamu, Sri.”Akhirnya Sri bersedia menemaniku malam itu. Sri terlihat cantik sekali, karena memang dia tidak pernah berdandan seperti itu. Kami berangkat dari rumah dengan menggunakan mobil kantor yang dipinjamkan pak Anggoro. Sampai di Villa kami agak terlambat, sehingga kedatangan kami menjadi perhatian bany
“Dalam keadaan habis sakit aja stamina om masih okey, gimana sebelumnya ya?” puji Virna “Om cuma bisanya seperti tadi itu, Virna, maaf ya performa om kurang bagus.” aku sedikit merendahkan diriVirna memelukku, “Om.. apa yang aku rasakan tadi sudah lebih dari cukup. Makanya aku membayangkan om saat masih sehat.”Aku jelaskan pada Virna, bahwa sesuai dengan usiaku saat ini performaku sudah jauh menurun. Namun, Virna menganggap kalau aku masih mampu mengimbangi durasinya dalam bercinta. Selama ini Virna bisa merasakan seperti itu jika berhubungan dengan lelaki seusianya. Baginya apa yang aku suguhkan padanya sudah lebih dari cukup. “Ada yang istimewa dari om, cara om memperlakukan aku. Om benar-benar pakai perasaan saat melakukannya.”“Kalau itu soal kebiasaan aja, Vir, om selalu menganggap pasangan bercinta itu adalah kekasih. Om tidak akan bercinta dengan wanita yang tidak om sukai.”Virna mempererat pelukannya, “Terima kasih om sudah perlakukan aku dengan penuh cinta.” ucap Virna
Keesokan harinya Pulang dari Bandung aku semakin percaya diri, terlebih lagi setelah kencan dengan Noni. Ternyata aku memang harus membebaskan diri dari berbagai ketakutan, aku harus lebih santai menghadapi keadaan. Virna memang tidak mungkin telepon aku, karena dia hanya memasukkan nomor ponselnya di daftar kontakku. Aku sangat yakin kalau dia mau menguji aku, apakah aku bersedia untuk meneleponnya. Saat aku berada di taman perumahan aku telepon Virna, “Hai Vir.. kok kamu gak kelihatan di taman?” tanyaku Virna katakan pagi itu dia tidak di rumah, dia sedang berada di luar rumah. Virna mengajakku untuk bertemu, “Di mana Virna?” tanyaku lagiVirna katakan kalau dia sedang staycation di sebuah hotel dan dia memberikan nama hotelnya, juga nomor kamarnya. Aku tidak buang kesempatan itu, aku segera pulang ke rumah untuk segera mandi. Saat aku sedang berpakaian, Sri masuk ke kamar, “Tuh kan! Kalau sudah sehat aja gak betah di rumah, mas mau kemana rapi gitu?” tanya Sri penuh kecurig
Di kantor, aku, Nara dan Noni membicarakan rencana pernikahan Noni dan Nara. Keluarga Noni menginginkan pernikahan dilaksanakan enam bulan lagi. Berbeda dengan keinginan Noni dan Nara, yang menginginkan pernikahan dilaksanakan tahun depan. Noni dan Nara butuh masukan dariku, “Pernikahan itu bisa dilaksanakan tergantung kesiapan kalian, karena yang akan menikah adalah kalian,” itu yang bisa aku katakan“Iya Pa, aku dan mas Nara siapnya tahun depan, tapi Papa dan Mama maunya lebih cepat dari itu.” ujar NoniNara pun menjelaskan, secara finansial dia baru bisa melaksanakan tahun depan. Namun, menurut Nara Jatimin menyanggupi untuk menutupi seluruh biaya. Alasan Jatimin, karena Noni anaknya satu-satunya. “Jadi, sebetulnya alasan kalian menunda juga terlalu prinsip, ya. Ikuti saja keinginan Papa kamu, Non, itulah yang paling baik. Aku jelaskan juga alasan Nara menunda bisa ditanggulangi Jatimin, jadi alasan Nara tidaklah menjadi halangan bagi keluarga Noni. Keluarga Noni tidak terlalu
Satu minggu kemudian Aku dijemput Noni dan Nara, alasannya Noni dan Nara banyak yang ingin dibicarakan di Bandung terkait rencana pernikahan mereka. Di Bandung aku nginap di rumah Nara, rumah yang pernah aku tempati sebagai kepala cabang. Saat aku di kantor menemani Nara dan bertemu dengan karyawan, Noni mengajakku keluar. Alasannya, dia ingin memberikan kejutan padaku. Aku minta izin pada Nara, “Nara.. om izin jalan sama Noni ya, Noni mau kasih kejutan pada om.”“Iya mas.. gak lama kok, aku mau perlihatkan sesuatu pada Papa.”“Okey.. Gak apa-apa kok, silahkan aja Pa.. saya belum bisa menemani karena lagi padat hari ini.” ucap Nara. Noni menyetir mobilnya, aku mendampinginya di depan. Noni cerita, bahwa rumah nenek sudah di renovasi, itulah yang ingin diperlihatkannya padaku. “Rumahnya sudah bagus Pa, yang renovasi Papa Jatimin.”“Jadi kamu mau kasih lihat rumah nenek sama Papa?”“Iya Pa, biar gimanapun rumah itu banyak kenangan kita, Pa. Papa senang gak aku ajak ke sana?”Aku me
Virna belum tahu situasi di kompleks perumahan, dengan entengnya dia mengajakku mampir ke rumahnya, “Om keberatan gak kalau aku ajak mampir ke rumah?”“Keberatan sih gak, Virna, masalahnya kompleks perumahan ini bukanlah seperti perumahan pondok indah. Apa kata warga entar lihat om ke rumah kamu.” aku menolak dengan halus. “Om.. aku mau tanya, sekarang performa om gimana?”Sepertinya Virna mau menguji staminaku, “Performa sih lumayan dibandingkan beberapa bulan yang lalu.”Virna pembicaraannya sudah mulai rada panas, dia menanyakan vitalitasku sudah kembali normal atau belum. Dari gestur tubuhnya Virna terlihat sangat gelisah, seperti ada yang ingin buru-buru dia tuntaskan. Virna mengulurkan tangannya, “Om pegang deh telapak tangan aku..” Aku ambil telapak tangannya, “Lho? Kok basah gini, Vir? Kenapa tuh?” tanyaku pura-pura polos“Aku gitu om.. kalau sudah ketemu yang aku inginkan, aku jadi nervous kalau tidak aku dapatkan.”Aku sebetulnya tahu apa yang Virna sedang alami dan ras
Kesehatanku sudah berangsur pulih, setiap pagi aku mulai melakukan olah raga ringan dengan gerak jalan. Selain itu aku juga mengubah penampilan, yang tadinya lebih klimis, sekarang wajahku mulai ditumbuhi kumis dan brewok tipis. Di taman komplek perumahan aku berlari-lari kecil untuk jarak pendek, sekadar menggerakkan tubuh agar berkeringat. Banyak juga penduduk disekitarnya yang ikut berolahraga. Saat sedang melepas lelah di bangku taman, seorang gadis menghampiriku, “Pagi om.. maaf om warga disekitar komplek ini ya?” tanya gadis itu“Iya dik.. adik juga warga sini ya? Kok om baru lihat kamu?” aku berusaha bersikap seramah mungkin“Kenalin om.. Virna, aku warga baru di sini, baru dua bulan pindah ke sini.” Dia mengulurukan tangan dan memperkenalkan diriAku pun membalas jabatan tangannya sambil memperkenalkan diri, “Danu.. om warga pertama di komplek ini.”Virna yang memakai outfit sport yang ketat dengan belahan depan rendah, sehingga memperlihatkan setiap lekuk tubuhnya yang men
Yosi pada akhirnya datang ke rumahku, dia kaget saat tahu aku lagi sakit, “Ya Tuhan, om.. aku benar-benar gak tahu kalau om sakit. Emang Maura tahu dari mana om sakit, tante?”“Tante juga gahu Yosi, yang jelas dia datang ke rumah saat om lagi sakit. Dia bawa anaknya yang berusia hampir satu tahun.”Yosi ceritakan pada isteriku kenapa dia kenalkan Maura padaku, alasan dia semata-mata karena aku sering menolong orang lain. Yosi katakan kalau dia kasihan pada Maura yang sedang hamil, tapi cowoknya kabur. Saat itu aku hanya diminta mencari solusinya, dan aku memberikan solusinya. “Yang aku tahu gitu tante, Maura juga bilang sama aku kalau om Danu baik dan tidak macam-macam.”“Kamu sering menemui om ya?”“Gak sering tante, baru sekali itu aja.. benar kan om?”“Ya Sri.. Yosi ketemu aku baru kali itu aja.”“Emang Maura cerita apa sama tante soal om?”Sri katakan pada Yosi, bahwa Maura tidak banyak bicara. Maura hanya prihatin melihat keadaanku, dia belum sudah lama tidak bertemu denganku.