Sinyal yang diberikan Anya untuk kencan sangatlah nyata, hanya tinggal waktu untuk eksekusinya. Aku sudah berencana untuk mengajaknya ckeck in di hotel dan Anya sendiri tidak keberatan. Baru saja aku dan Anya ingin meninggalkan Cafe, tiba-tiba ponselku ada nada sambung masuk. Tertera nama pak Anggoro di layar ponselku, aku berdebar ingin mengangkatnya. Ada ketakutan menyelinap di hatiku, aku khawatir pak Anggoro tahu kalau aku baru saja ketemu Adriana. “Ya pak.. ada yang bisa saya bantu pak?”“Pak Danu di mana? Bisa ketemu sekarang gak?”“Saya lagi ngopi di Cafe sebelah kantor pak... Bisa pak, saya segera ke kantor.” Aku menyudahi pembicaraan dengan pak Anggoro. Kencanku dengan Anya terpaksa aku batalkan. “Anya.. lain waktu aja ya kita ketemu, om harus balik ke kantor.”“Okey om.. gak masalah kok. Nanti aku telepon om kalau aku mau ketemu.” Ujar Anya. Dengan tergesa-gesa aku tinggalkan Anya, aku beranjak menuju ke kantor. Di dalam ruang kerja pak Anggoro, beliau sedang melamun sen
Dengan terpaksa aku pun harus jelaskan pada pak Anggoro, bahwa Noni bukanlah anak kandungku, “Adriana bukan keponakan saya pak.. Ternyata Noni bukan anak kandung saya. Ini semua saya ketahui dari Mamanya Noni.”Aku jelaskan seperti apa cerita masa lalu antara aku dan Widarti, Mamanya Noni. Masih ada tabir rahasia yang belum terungkap, siapa ayah biologis Noni yang sebenarnya. “Wah! Bisa begitu ya pak? Tapi Noni tidak tahu kalau pak Danu bukan ayahnya?”“Iya pak, Mamanya Noni menginginkan agar saya tetap merahasiakan itu pada Noni. Tapi, pada Adriana sudah saya jelaskan.”Pak Anggoro senang dengan semua pengakuanku, di mata beliau aku tetaplah dianggap sebagai orang yang jujur. Sebagai atasan, tidak ada yang aku rahasiakan pada pak Anggoro. Selama bekerja diperusuhaannya pun aku selalu bersikap jujur. Itulah yang membuat beliau tetap mempertahankan aku, meskipun aku sudah masuk masa pensiun. Hubungan aku dengan pak Anggoro sangat baik, beliau tidak segan-segan menceritakan urusan pr
Aku terangkat pada pak Supriatna, bahwa aku tidak berhak menjadi wali nikah Noni. “Pak Supriatna gak usah khawatir, dalam waktu dekat Mamanya Noni akan pulang ke Indonesia. Siapa ayah biologis Noni, dialah yang tahu.”Aku memang perlu jelaskan itu pada pak Supriatna, karena aku tidak ingin sikapnya terhadapku ada kaitannya dengan Noni. “Baik pak.. sekarang saya jadi lebih tahu, saya terima kasih pada pak Danu yang sudah menjelaskan masalah ini.”“Saya juga akan jelaskan soal ini pada Noni pak, supaya dia tidak terus beranggapan saya adalah Papanya.”***Saat istirahat makan siang, aku ajak Noni berbicara di sebuah restoran yang tidak jauh dari kantor. Sambil makan siang, aku katakan apa yang barusan aku jelaskan pada pak Supriatna, “Non.. kamu harus tahu soal rahasia ini, Papa gak ingin masalah ini berlarut-larut. Meskipun Mama belum boleh mengatakannya.” aku katakan itu dengan sangat hati-hati pada Noni. Noni menatapku dengan mengernyitkan dahinya, “Rahasia apa lagi Pa? Noni jadi
Noni memang mempunyai magnet tersendiri yang tidak dimiliki oleh gadis lain yang pernah aku kencani. Aku sendiri tidak tahu apa yang membuat aku selalu tenggelam dan hanyut dalam cintanya. “Aku tidak akan mengubah panggilanku pada Papa, meskipun Papa bukanlah ayahku.” Itu diucapkan Noni sambil berbaring dan memelukku. “Kenapa kamu tidak mengubahnya? Kamu nyaman dengan panggilan itu?”“Entahlah Pa.. aku selalu merasa nyaman dengan Papa.”Aku cerita pada Noni tentang pertemuanku dengan Adriana. Aku katakan juga kalau Adriana masih sangat cemburu pada dirinya. Noni masih belum bisa menerima aku kencan dengan Adriana, dia sangat cemburu. “Kenapa Papa ceritakan itu sama aku! Papa kan tahu aku gak suka!!” Noni bangun dan duduk menatap tajam kearahku. Aku sadar kalau aku sudah melakukan kesalahan, “Maafkan Papa Non.. Papa gak tahu kalau kamu masih cemburu pada Adriana.”“Adriana itu lebih segalanya dibandingkan aku Pa! Hidup jauh lebih enak dibandingkan aku!!”Aku bangun dan duduk di sis
Keesokan harinya Setelah selesai meeting soal proyek baru dengan pak Supriatna dan stafnya, aku meninggalkan kantor cabang Bandung menuju ke Paviliun Clara di Setiabudi. Clara menyambut dengan hati senang, “Apa kabar om.. kangen juga nih sama Om.” Clara melabuhkan sebuah kecupan di pipiku. “Baik Clara.. kamu gimana kabarnya? Papa dan Mama kamu gimana kabarnya?”“Aku seperti yang om lihat sekarang ini.. Papa dan Mama sudah akur lagi om.”Hari itu Clara mengenakan mini dress tipis, tubuhnya menerawang dibalik mini dress tersebut. Kami ngobrol di sofa panjang di ruang tamu Paviliun. Sambil ngobrol Clara terus merapat dan memelukku. “Om masih suka kencan sama Sinta?” tiba-tiba Clara menanyakan itu. “Udah lama juga sih gak ketemu dia, karena om sendiri juga sibuk.”“Om kalau di Bandung nginap di mana sih?”“Kemarin om nginap di hotel, kemungkinan hari ini pulang ke Jakarta.”“Lho? Kok nginap di hotel? Om bisa nginap di sini kalau om mau. Kalau pun aku gak ada, om tinggal temui sekurit
Aku sangat faham apa yang Clara inginkan, aku memilih untuk memegang kendali agar bisa menganhantarkan Clara pada puncak pelepasan yang maksimal. Dengan berbagai sentuhan yang lembut aku menjelajahi bukit-bukit Clara sampai ke lembah terlarangnya. Desah nafas dan rintihan Clara mengiringi setiap penjelajahanku. Sejenak kemudian Clara memintaku untuk segera melakukan penetrasi. Pada puncak pelepasan, Clara melenguh dengan rintihan panjang. Peluh bersimbah disekujur tubuhku dan Clara yang terkulai di tempat tidurnya. Disaat aku mengatur napas yang masih tersengal, sebuah panggilan masuk di ponselku. Ternyata dari Noni, “Hallo Non.. kenapa Non?”“Pa.. Mama ada di rumah sekarang, Papa di mana?” sahut Noni dengan balik bertanya. Aku tercenung sejenak, aku tidak menyangka kalau Widarti sudah pulang ke Indonesia. “Yaudah Non.. nanti sebelum pulang ke Jakarta, Papa mampir ke sana ya. Papa lagi ada pertemuan dengan teman dulu.” setelah mengatakan itu aku menutup ponsel. Aku segera bangki
Satu minggu kemudian Atas permintaan Widarti, aku datang ke Bandung menemui Widarti di rumahnya yang baru di Buah Batu. Sebuah rumah di perumahan yang cukup elite dengan type minimalis. Mantan suami Widarti ternyata memberikan sebuah rumah untuk Widarti, selain itu juga biaya hidup yang cukup setiap bulannya untuk Widarti dan anaknya. Dalam pertemuan itu ada nenek dan Noni yang hari itu belum berangkat kerja. Widarti menjelaskan status ayah biologis Noni yang sebenarnya, “Bu.. sebelumnya Wiwid minta maaf, karena selama ini merahasiakan soal ini.” Widarti membuka pembicaraan. “Soal apa ini Wid? Apa yang kamu rahasiakan selama ini?”Widarti tidak langsung menjawab pertanyaan nenek, pandangannya menerawang ke masa lalu. “Mas Danu bukan ayah kandung Noni, bu..” jawab Widarti“Lho? Gimana sih kamu? Kan sewaktu kamu ibu suruh tinggal di kampung, kamu sedang hamil Noni?”Widarti jelaskan pada nenek, bahwa saat di kampung dia menggugurkan kandungannya, dan Widarti sempat berhubungan deng
Semua mata memandang kearah kedatangan mobil di halaman rumah. Seorang lelaki sangat parlente turun dari mobil, lelaki yang aku perkirakan berusia sekitar 40 tahunan. Lelaki itu menuju kearah pintu masuk. Saat sampai di depan pintu, lelaki itu mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum...”Secara serentak, kami yang ada di dalam rumah secara serentak membalas ucapan salamnya, “Wa alaikum salam.. “Widarti berdiri dan menghampiri lelaki tersebut, “Silahkan masuk mas Jat.. kenalkan ini ibu saya, ini mas Danu, dan ini Noni anakmu.. “ Widarti memperkenalkan lelaki itu. Reaksi Noni saat bertemu Papanya di luar dugaan, dia justeru berlari masuk ke kamar. Aku menduga kalau Noni tidak bisa menerima kenyataan itu. Widarti berusaha untuk menahan Noni, “Noni!! Kamu mau kemana? Ini Papa kamu datang!!” teriak Widarti. Nenek agak terkejut melihat reaksi Noni, namun hanya membiarkan Noni berlalu ke kamar. “Biarkan saja Wid.. mungkin dia belum mau ketemu saya.” Jatimin berusaha untuk menetralisir k