Keesokan harinya Setelah selesai meeting soal proyek baru dengan pak Supriatna dan stafnya, aku meninggalkan kantor cabang Bandung menuju ke Paviliun Clara di Setiabudi. Clara menyambut dengan hati senang, “Apa kabar om.. kangen juga nih sama Om.” Clara melabuhkan sebuah kecupan di pipiku. “Baik Clara.. kamu gimana kabarnya? Papa dan Mama kamu gimana kabarnya?”“Aku seperti yang om lihat sekarang ini.. Papa dan Mama sudah akur lagi om.”Hari itu Clara mengenakan mini dress tipis, tubuhnya menerawang dibalik mini dress tersebut. Kami ngobrol di sofa panjang di ruang tamu Paviliun. Sambil ngobrol Clara terus merapat dan memelukku. “Om masih suka kencan sama Sinta?” tiba-tiba Clara menanyakan itu. “Udah lama juga sih gak ketemu dia, karena om sendiri juga sibuk.”“Om kalau di Bandung nginap di mana sih?”“Kemarin om nginap di hotel, kemungkinan hari ini pulang ke Jakarta.”“Lho? Kok nginap di hotel? Om bisa nginap di sini kalau om mau. Kalau pun aku gak ada, om tinggal temui sekurit
Aku sangat faham apa yang Clara inginkan, aku memilih untuk memegang kendali agar bisa menganhantarkan Clara pada puncak pelepasan yang maksimal. Dengan berbagai sentuhan yang lembut aku menjelajahi bukit-bukit Clara sampai ke lembah terlarangnya. Desah nafas dan rintihan Clara mengiringi setiap penjelajahanku. Sejenak kemudian Clara memintaku untuk segera melakukan penetrasi. Pada puncak pelepasan, Clara melenguh dengan rintihan panjang. Peluh bersimbah disekujur tubuhku dan Clara yang terkulai di tempat tidurnya. Disaat aku mengatur napas yang masih tersengal, sebuah panggilan masuk di ponselku. Ternyata dari Noni, “Hallo Non.. kenapa Non?”“Pa.. Mama ada di rumah sekarang, Papa di mana?” sahut Noni dengan balik bertanya. Aku tercenung sejenak, aku tidak menyangka kalau Widarti sudah pulang ke Indonesia. “Yaudah Non.. nanti sebelum pulang ke Jakarta, Papa mampir ke sana ya. Papa lagi ada pertemuan dengan teman dulu.” setelah mengatakan itu aku menutup ponsel. Aku segera bangki
Satu minggu kemudian Atas permintaan Widarti, aku datang ke Bandung menemui Widarti di rumahnya yang baru di Buah Batu. Sebuah rumah di perumahan yang cukup elite dengan type minimalis. Mantan suami Widarti ternyata memberikan sebuah rumah untuk Widarti, selain itu juga biaya hidup yang cukup setiap bulannya untuk Widarti dan anaknya. Dalam pertemuan itu ada nenek dan Noni yang hari itu belum berangkat kerja. Widarti menjelaskan status ayah biologis Noni yang sebenarnya, “Bu.. sebelumnya Wiwid minta maaf, karena selama ini merahasiakan soal ini.” Widarti membuka pembicaraan. “Soal apa ini Wid? Apa yang kamu rahasiakan selama ini?”Widarti tidak langsung menjawab pertanyaan nenek, pandangannya menerawang ke masa lalu. “Mas Danu bukan ayah kandung Noni, bu..” jawab Widarti“Lho? Gimana sih kamu? Kan sewaktu kamu ibu suruh tinggal di kampung, kamu sedang hamil Noni?”Widarti jelaskan pada nenek, bahwa saat di kampung dia menggugurkan kandungannya, dan Widarti sempat berhubungan deng
Semua mata memandang kearah kedatangan mobil di halaman rumah. Seorang lelaki sangat parlente turun dari mobil, lelaki yang aku perkirakan berusia sekitar 40 tahunan. Lelaki itu menuju kearah pintu masuk. Saat sampai di depan pintu, lelaki itu mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum...”Secara serentak, kami yang ada di dalam rumah secara serentak membalas ucapan salamnya, “Wa alaikum salam.. “Widarti berdiri dan menghampiri lelaki tersebut, “Silahkan masuk mas Jat.. kenalkan ini ibu saya, ini mas Danu, dan ini Noni anakmu.. “ Widarti memperkenalkan lelaki itu. Reaksi Noni saat bertemu Papanya di luar dugaan, dia justeru berlari masuk ke kamar. Aku menduga kalau Noni tidak bisa menerima kenyataan itu. Widarti berusaha untuk menahan Noni, “Noni!! Kamu mau kemana? Ini Papa kamu datang!!” teriak Widarti. Nenek agak terkejut melihat reaksi Noni, namun hanya membiarkan Noni berlalu ke kamar. “Biarkan saja Wid.. mungkin dia belum mau ketemu saya.” Jatimin berusaha untuk menetralisir k
Aku begitu senang melihat Noni akhirnya mau bertemu dengan Jatimin, ayah kandungnya. Itulah masa depan yang akan membawa Noni mencapai kebahagiaan. Aku tidak ingin larut dalam suasana itu, biarlah Noni tidak melihat aku diantara ayah kandungnya. Aku pamit pada mereka semua, aku ingin istirahat di Paviliun Clara. “Wid.. nek, saya pamit dulu mau ke rumah keluarga yang ada di Bandung.”Noni sepertinya belum bisa melepas kepergianku begitu saja, “Papa mau kemana? Kok buru-buru amat?” Noni melepaskan pelukannya pada Jatimin. “Papa masih ada urusan lain Noni, lepaskanlah kerinduan kamu pada Papa dan Mama kamu.”“Kapan mas Danu kemari lagi.. anggaplah rumah ini juga rumah keluarga mas Danu.” ucap Widarti. “In Shaa Allah, kapan ke Bandung lagi aku mampir Wid..”Setelah menyalami mereka semua, aku tinggalkan rumah Widarti. Meskipun terasa berat meninggalkan Noni yang sangat aku sayangi. Dengan menggunakan taksi online, aku menuju ke Paviliun Clara di daerah Setiabudi. Dalam perjalanan aku
Clara representasi gadis yang hidup dengan berbagai kecukupan fasilitas, namunmiskin kasih sayang. Begitu menemukan kasih sayang yang diimpikannya, maka dia akan larut di dalamnya. Di Jakarta tinggal di sebuah apartemen yang mewah, di Bandung tinggal di sebuah Paviliun yang cukup bebas. Tapi, masih beruntung punya keinginan dan ambisi untuk mengejar cita-cita. Kuliah dengan serius dan bersenang-senang juga dengan serius. Keduanya dijalankan dengan seimbang, dan aku pun lelaki tua yang beruntung bisa menikmati apa yang dinikmati Clara. “Om sudah siap? Yuk! Kita jalan.. “ ajak Clara sembari meraih pinggangku mengajak keluar dari Paviliun. Akulah lelaki tua yang beruntung bisa digandeng gadis cantik nan kaya raya. Tanpa modal sepeserpun aku mampu menikmati tubuhnya. Sambil berjalan keluar Paviliun, aku memegang pinggulnya. “Clara.. sorry, om cuma bawa badan nih.” aku katakan itu dengan berat hati saat akan masuk ke mobil. “Udah.. om duduk manis aja, hari ini aku mau servis om Danu.
Dua minggu kemudianSejak pertemuan terakhir di Bandung, aku tidak lagi pernah bertemu dengan Noni. Sebagai pengobat kerinduanku pada Noni, aku kencan dengan Anya, gadis yang aku kenal di Cafe dekat kantor. Anya benar-benar duplikasi Noni, baik secara postur tubuhnya, gaya bicaranya, juga perilakunya. Anya ternyata seorang penulis, dia sedang observasi tentang perilaku lelaki separuh baya yang menjadi tokoh utamanya. Aku dan Anya kencan di sebuah hotel dibilangan Jakarta Pusat, itu semua atas keinginan Anya, “Karena waktu itu kita gak jadi, maka hari ini aku ajak om ketemu.”“Iya Anya.. om minta maaf, waktu itu om cukup sibuk sih.”“Aku lagi nulis novel om, judulnya Cinta Beda Usia. Nah, tokoh utamanya itu lelaki seusia om..”“Jadi? Ceritanya kamu lagi observasi nih?”Anya jelaskan padaku, bahwa tokoh dalam ceritanya sangat mirip dengan karakter aku. Banyak sekali pertanyaan yang diajukan Anya, terutama cara aku memperlakukan para gadis muda yang aku kencani. Sampailah aku menceri
Setelah pertemuanku dengan Anya saat istirahat jam makan siang, aku kembali ke kantor. Berbincang-bincang dengan pak Anggoro tentang prospek perusahaan. Pak Anggoro meminta agar aku ke Surabaya untuk membenahi kantor cabang yang baru dibuka di sana. “Pak Danu keberatan gak kalau saya tugaskan ke Surabaya?” tanya pak Anggoro. “Ya gaklah pak, selalu siap ditugaskan kemana pun, saya malah senang pak.”Pak Anggoro jelaskan apa saja yang harus aku urus di kantor cabang Surabaya. Selama satu minggu itu aku mendapat fasilitas menginap di hotel. Di Bandung tugasku dianggap sudah selesai, karena sudah berjalan sesuai dengan harapan beliau. Menjelang purnatugas, aku memang harus memaksimalkan pelayanan terhadap perusahaan. Aku sangat bersyukur masih dibutuhkan tenaga dan pemikiranku, itulah satu bukti kalau perusahaan menghargai profesionalitasku. “Oh ya.. saya lupa, kemarin Grace titip salam pada pak Danu, udah lama katanya gak ketemu.”“Terima kasih pak.. saya memang sudah lama gak ketemu