Seperti yang diduga Alana, Steve dan Sherly sama sekali tidak keberatan mengenai rencana liburannya dengan keluarga Eric. Mereka justru mendukung rencana tersebut karena Alana nyaris tidak pernah keluar di akhir pekan, kecuali sesekali saja.“Bagaimana mungkin kalian menyetujuinya begitu saja?” protes Adrian.“Mereka keluarga baik-baik. Aku sudah lama kenal Mike dan istrinya. Alana akan baik-baik saja bersama mereka.” jawab Steve.“Tapi tetap saja itu tidak bisa dijadikan Alasan.” Braden ikut-ikutan melontarkan protes. “Kenapa kita tidak pergi berlibur sendiri saja?”Mata Sherly langsung berbinar, “Itu ide bagus. Kita sudah lama sekali tidak berlibur. Bagaimana kalau kita berlibur, Pa?” tanya Sherly pada suaminya.“Boleh juga. Mama atur saja.”“Bagus, jadi Alana tidak perlu pergi dengan keluarga Eric nanti.” Adrian terlihat senang.“Eh, sebenarnya kita tidak bisa pergi dalam bulan ini.” Steve menampakkan wajah menyesal. “Kau tahu sendiri saat ini pekerjaan kita sangat banyak. Kita har
Perjalanan selama dua setengah jam sama sekali tidak terasa lama karena sepanjang perjalanan Alana dibuat tertawa. Baru kali ini dia menyadari bahwa ketika keluarga Eric berkumpul bersama, mereka bisa sangat kocak. Terutama Mike, dia adalah sesosok pria yang sangat humoris.Mike seolah tidak pernah kehabisan bahan cerita lucu dan juga candaan. Dan Eric juga tidak kalah konyol dari ayahnya. Dia selalu bisa mengimbangi lelucon yang dilontarkan oleh pria itu. Alana tidak pernah menyadari sisi pribadi ini dari Eric sebelumnya.Saat akhirnya mereka tiba, Alana merasa sisi perutnya sakit karena kebanyakan tertawa. Gadis itu menggeliat untuk melemaskan otot setelah perjalanan. Udara cukup dingin, jadi dia memakai jaketnya sebelum turun dari dalam mobil.Mereka semua sedang berdiri di tengah halaman berumput yang dikelilingi pepohonan. Suara jangkring terdengar bersahut-sahutan, menjadi sebuah simfoni yang indah dan memikat. Eric membongkar barang-barang bawaan di bagasi dan menurunkannya sa
“Waah, ini―” Alana tidak bisa berkata-kata. “Ini indah sekali.”Alana tengah melihat pemandangan yang sangat menakjubkan. Mereka berada di puncak sebuah bukit kecil yang ditumbuhi rerumputan halus. Di bawah sana di kejauhan tampak lampu yang berkelap-kelip indah, dan di langit tampak jutaan bintang yang bersinar layaknya berlian.“Kau suka?” tanya Eric dan Alana mengangguk antusias. “Kau ingin kembali sekarang?”“Apa? Tidak! Kita baru saja sampai.”Eric tertawa. “Bukankah tadi kau bersikeras untuk kembali? Kau bahkan hampir menangis.”“Ah, diamlah. Kau selalu saja menyebalkan.” Alana tidak suka diingatkan bahwa dirinya hampir menangis ketakutan.“Ayo, kita duduk.” Eric membawa gadis itu tepat ke tengah bukit dan mereka duduk di sebuah batang kayu yang melintang.“Ini terasa seperti sebuah tempat di negeri dongeng. Bahkan ada batang kayu tempat kita bisa duduk nyaman di sini.” Alana bertanya-tanya dalam hati bagaimana mungkin kebetulan sekali ada gelondongan kayu di sana.Seakan menja
Alana menggeliat dan mengerjapkan mata. Dia merasa begitu nyaman dan hangat, sehingga tidak ingin beranjak dari tempat tidurnya yang nyaman. Tetapi dia merasa aneh.Alana merasakan embusan udara hangat di tengkuknya dan selimut melilit tubuhnya dengan terlalu erat. Tidak, bukan selimut, melainkan sebuah lengan yang kini memeluk tubuhnya. Dan kini Alana menyadari seseorang tengah berbaring rapat tepat di belakangnya.Darah Alana serasa membeku. Siapa ini? Apa aku bermimpi? Batinnya.Kemudian dia mendengar suara lirih Darren yang tercekat. “Kak Alana―”Karena posisi Alana menghadap tembok, maka dia menoleh ke belakang untuk melihat Darren. Dia berusaha memutar tubuh tetapi agak kesulitan. Dan ketika akhirnya dia bisa mengubah posisi, justru Alana mendapati hal yang paling tak terduga. Dia mendapati wajah Eric yang tengah memejamkan mata hanya berjarak dua inchi dari mukanya sendiri.Dengan refleks, Alana bangun terduduk dan berteriak dengan kencang. “Aaaaa!” Alana mencengkeram selimutny
Setelah kehebohan yang terjadi, akhirnya mereka melewatkan waktu sarapan dengan lebih banyak diam. Dan setelah sarapan yang agak canggung itu, akhirnya mereka semua pergi ke danau untuk memancing, seperti rencana awal mereka.Seperti yang dikatakan Eric, tempat itu memang indah. Sinar matahari pagi yang terpantul di atas riak air terlihat berkilauan bagai perak cair. Dan warna langit yang biru cerah terlihat sangat kontras dengan air danau yang berwarna hijau gelap. “Waah, indah sekali.” kata Alana sambil menudungi matanya.“Di sana banyak ikan.” Darren memberi tahu Alana. “Kakek pernah dapat ikan sebesar ini.” Dia menunjukkan ukuran ikan dengan merentangkan kedua telapak tangannya.“Mungkin sekarang kita juga bisa dapat banyak. Cuacanya sangat bagus.” Mike menyahuti dari belakang mereka. Kini pria paruh baya itu sudah kembali ke mode jenakanya, berbeda dengan sebelumnya. “Ayo, cepat. Ikan-ikan itu sudah menunggu untuk ditangkap.”Pria itu berjalan dengan bersemangat sambil memegang e
Di kejauhan, Darren memekik girang saat berhasil mendapatkan seekor ikan. Ikan berwarna hitam keperakan itu menggelepar di udara saat bocah itu menggulung senar pancingnya. “Hahaha. Kakek, lihat ini!”Hari itu mereka mendapat ikan seember penuh. Mike dan Darren tampak puas dengan hasil tangkapan mereka. Mereka berdua tidak bisa berhenti membicarakan acara memancing hari itu yang menurut mereka luar biasa.“Kita akan makan malam ikan bakar hari ini.” Kata Mike sambil memandangi ikan-ikan dalam ember dengan mata berbinar-binar bahagia.“Asyik, ikan bakar.” Darren bersorak gembira.Menjelang malam, mereka mempersiapkan alat panggang di halaman. Mike dan Eric mengeluarkan sebuah meja kayu berukuran sedang beserta lima buah kursi. Mereka akan makan malam di luar. Aroma ikan yang gurih segera saja menguar ke seluruh halaman, membuat siapa pun menjadi lapar.Alana membantu Sania menyiapkan makanan di meja. Sedangkan Eric dan Mike bertugas membakar ikan. Begitu semua ikan-ikan itu matang, mer
Alana jatuh berguling di tanah yang miring dan tidak rata. Untuk beberapa waktu dia merasakan tubuhnya meluncur dengan mengerikan menuruni lereng yang penuh semak belukar. Hingga kemudian tubuhnya menghantam sebuah pohon dan berhenti berguling.Sesaat dia merasakan pandangannya menjadi gelap. Kemudian dia merasakan rasa sakit yang teramat sangat di pergelangan kaki kirinya. “Aargh!” Alana berusaha duduk namun tubuhnya juga sakit. Dia merasakan punggung dan pinggangnya nyeri.“Kak Alana! Kak Alana!” sayup-sayup dia mendengar suara Darren di atas sana. Namun Alana terlalu kesakitan untuk menjawab panggilan anak itu. “Kak Alana.” kini suara Darren terdengan makin jauh.“Darren,” Alana memanggil dengan suara lemah. “Darren!”Terdengar suara gemerisik dedaunan kering dan ranting yang terinjak. “Kak Alana di mana?” suara Darren menjadi lebih dekat lagi, dan tidak lama kemudian Alana mendengar langkah kaki yang berisik tidak jauh dari posisinya meringkuk.“Aku di sini!” Alana berusaha berter
Alana beruntung karena tidak mengalami retak atau patah tulang setelah kakinya menghantam pohon dengan keras. Dia juga beruntung karena bukan kepalanya yang terbentur, karena hal itu bisa berakibat sangat fatal.Meski begitu, cedera kakinya cukup serius sehingga Alana harus menginstirahatkan kakinya selama setidaknya satu minggu untuk memulihkan ligamen dan persendiannya. Alana memandang perawat yang sedang membebat kakinya dengan muka serius. Alana sudah lebih tenang karena mendapat suntikan pereda nyeri, sehingga tidak lagi merasakan sakit.Dan selama proses pemeriksaan, Eric selalu berdiri di sampingnya dan menggenggam tangannya. Alana merasa tenang dengan keberadaan pemuda itu. Eric juga memunguti ranting dan dedaunan kering yang tersangkut di rambutnya.“Rambutmu terlihat seperti sarang burung.” Kata Eric. “Sarang burung yang cantik.” Eric menambahkan saat melihat raut khawatir di wajah Alana.“Aku pasti jelek sekali sekarang.” kata Alana dengan mata merah setelah menangis.Mau t