Alana memotong wortel dengan hati-hati, berusaha agar setiap potongannya memiliki ketebalan yang sama. Dia berkonsentrasi penuh dengan pekerjaannya, namun pisau yang tajam itu membuatnya gugup.“Bagaimana? Kamu bisa?” tanya Sherly sambil mengamati pekerjaan Alana. Gadis itu mengangguk tanpa mengalihkan perhatiannya.Alana menekan pisau dengan keras, membuat sepotong besar wortel terlempar dan menggelinding di lantai. Dengan panik gadis itu mencari-cari potongan wortelnya yang berhenti tepat di depan sepasang kaki, yang pemiliknya kini berusaha keras untuk tidak melontarkan ejekan.Alana batal memungut potongan wortelnya saat melihat ekspresi mencela di wajah Braden. Pemuda itu terlihat jelas sekali sedang menahan tawa. “Kalau kau memotongnya dengan cara seperti itu, bisa-bisa besok pagi kita baru makan.” Kata Braden dengan seringai mengejek.“Memangnya kau bisa?” tanya Alana sambil bersedekap.“Tentu saja,”“Kalau begitu, coba lakukan?” tantang Alana.Braden berjalan mendekati kabinet
“Aargh!” Alana melempar pisaunya saat merasakan sengatan rasa perih. Dia memegangi tangan kirinya dan melihat cairan pekat berwarna merah tidak berhenti mengalir.Kini perhatian semua orang tertuju padanya. Adrian, seperti biasa, sangat cekatan ketika terjadi sesuatu. “Astaga, tanganmu berdarah!” Adrian memegang tangan kiri Alana yang langsung gadis itu tepis.“Aku baik-baik saja.” Tetapi darah yang keluar cukup banyak, hingga tetesannya jatuh ke lantai marmer yang berwarna putih. Alana mengabaikan kepanikan semua orang.“Minggir kau!” Braden menyela Adrian, mendorong pemuda itu dengan bahunya dan memaksanya menyingkir.Braden langsung mencengkeram tangan Alana dan memasukkan jarinya yang terluka ke dalam mulut. “Apa yang kau lakukan?” Alana berusaha menarik tangannya namun ditahan oleh Braden. Pemuda itu menarik Alana mendekati wastafel, lalu meludahkan segumpal darah.Dia melakukan hal itu beberapa kali lagi hingga darah Alana benar-benar berhenti mengalir. “Lain kali, hati-hati!” u
Ketika Braden meninggalkan Alana, gadis itu sudah jauh lebih tenang. Dia berusaha meyakinkan Braden bahwa dia baik-baik saja, namun pemuda itu tetap saja merasa khawatir akan keadaannya. Alana yang tengah menangis adalah pemandangan yang baginya sangat memilukan.Salah satu hal yang paling dia sesali adalah ketika dia membuat Alana menangis. Braden merasa sangat bersalah karena hal itu. Dia bahkan merasa malu pada dirinya sendiri. Dan Braden bertekad tidak akan pernah melakukan hal itu lagi.Apa yang terjadi hari ini menurutnya adalah bencana. Dia tahu seperti apa rasanya patah hati. Pasti menyakitkan mengetahui seseorang yang kita sukai dan kagumi ternyata menjalin hubungan dengan orang lain. Dan melihat Alana yang patah hati, entah mengapa sangat menyakiti hatinya.Braden tidak suka ketika Alana menyukai kakaknya, akan tetapi dia jauh lebih tidak suka lagi jika gadis itu menangis karena Adrian. Pemandangan Alana yang menangis dan hancur bukankah sesuatu yang ingin dia saksikan lagi.
“Ayo pulang,” kata Braden yang sudah menunggu Alana di tempat parkir.Alana mengikuti pemuda itu masuk ke dalam mobil. “Sepertinya kau jarang pergi keluar bersama teman-temanmu akhir-akhir ini. Apa kalian sedang bertengkar?”“Fero dan Jonathan sedang sibuk akhir-akhir ini. Kalau hanya aku dan David saja jadi tidak seru.” Kata Braden sambil melajukan kendaraannya dengan pelan. “Apa kau ingin mampir ke suatu tempat sebelum pulang?” Braden bertanya.Alana terlihat merenung. “Sebenarnya, aku tidak ingin pulang. Aku ingin pergi ke tempat lain.”Braden langsung menoleh pada Alana, “Memangnya kau mau pergi ke mana?”“Aku ingin pulang ke apartemen.” Jawab Alana masih sambil setengah merenung.“Kau ingin menghindari rumah?” Braden bertanya curiga.“Tidak juga. Hanya saja sudah dua minggu lebih aku tidak ke sana. Pasti sekarang tempat itu sangat kotor sehingga aku perlu membersihkannya.”Braden menuruti Alana dan mengantarkan gadis itu ke sana. “Turunkan saja aku di sini.” Alana memberi tahu ke
“Sialan!” Braden memaki dengan keras, membuat Alana berjalan mendekat.“Braden ada a―” Alana tidak menyelesaikan pertanyaannnya karena jawabannya sudah ada di depan pintu.“Kejutaaaan ... “ kata tiga orang bersamaan secara serempak diiringi dengan tawa tergelak ketiganya, membuat Braden menyumpah-nyumpah dengan kesal. Lagi-lagi mereka datang dengan membawa banyak makanan dan minuman, hingga tangan mereka penuh dengan kantong-kantong plastik.“Apa yang kalian lakukan di sini?” tanya Braden dengan galak pada ketiga temannya. “Kukira kalian sedang sibuk.”“Kita akan pikniiik ... “ David menjawab mewakili kedua temannya.“Ya, itu benar. Ayo ayo, masuk.” Kata Jonathan sengaja menabrak tubuh Braden, hingga pemuda itu tergencet di pintu.Tanpa permisi ketiganya langsung menyerbu masuk, yang kali ini disambut dengan pelototan Alana. “Eeee, berhenti! Lepas sepatu kalian! Taruh di sana.” Alana menunjuk sebuah rak sepatu berwarna putih di belakang mereka.Mereka bertiga serentak berhenti bergera
“Astaga, aku lupa tadi belum bilang Mama akan pulang terlambat.” Dengan panik Alana mencari-cari handphonenya di dalam tas, berniat menghubungi Sherly.“Kau ini memang punya kebiasaan membuat orang lain cemas!” Sergah Braden. “Aku sudah mengirim pesan pada Mama sejak kita baru tiba di apartemen tadi. Untung saja ada aku. Kalau tidak pasti Mama sudah sangat mengkhawatirkanmu sekarang.”Hari sudah cukup malam dan mereka sedang dalam perjalanan pulang ke rumah.Alana mendesah lega. “Terima kasih. Terkadang aku memang pelupa.”“Jangan diulangi lagi. Mama itu orangnya mudah khawatir. Begitu juga dengan papamu.” Braden memberi tahu.Ketika mereka sampai di rumah, Sherly dan Steve masih mengobrol dan menonton televisi. “Kalian sudah pulang.” Steve mendongak saat Alana dan Braden memasuki ruangan.“Kalian sudah makan?” tanya Sherly.“Ya. Tadi anak-anak datang dan membawa banyak makanan.” Braden memberi tahu sambil mengambil segelas air putih dari dispenser. Sedangkan Alana langsung menuju kan
Alana sedang membetulkan posisi tali tas di bahunya sambil berjalan dengan Eric yang mengikuti di belakangnya. Di ruang tamu, dia berpapasan dengan Adrian yang baru saja kembali dari lari pagi. Dia sudah berniat berpura-pura sibuk dengan tali tasnya saat Adrian bertanya, “Kau mau pergi?”Pemuda itu memandang Alana dan Eric bergantian. Alana mendongak dan tersenyum. “Ya, kami mau pergi berkencan.” Jawab Alana dengan sangat ceria sambil menggamit lengan Eric dengan kedua tangannya.Melihat hal itu, membuat Adrian melotot tidak suka. Dia langsung memandang Eric dengan kilat mata penuh kecurigaan. Mereka saling tatap, dan Alana merasakan seolah ada percikan listrik yang beradu dari tatapan mata keduanya.“Kalian berpacaran?” tanya Adrian dengan penuh penekanan tanpa mengalihkan pandang dari Eric. Sedangkan Eric hanya tersenyum misterius.“Tanya dia.” jawab pemuda itu sambil mengedikkan kepala ke arah Alana yang masih bergelayut di lengannya dengan manja.“Kalian berpacaran?” kali ini Adr
Eric tersenyum misterius. Alana tidak tahu kenapa pemuda itu selalu bersikap sok misterius. Kalau gadis itu menunjukkan rasa penasarannya, Eric malah akan makin menggodanya sehingga membuat Alana makin jengkel.“Sebentar lagi kita sampai.”Dan benar saja, akhirnya mereka memasuki sebuah kawasan perumahan. Setelah berbelok dan berbelok lagi entah untuk yang keberapa kali, akhirnya mereka berhenti di depan sebuah rumah berpagar putih.Eric memarkirkan mobilnya di bahu jalan dan mematikan mesin. “Ayo,” ajak pemuda itu sebelum melepas sabuk pengaman dan membuka pintu. Alana mengikuti di belakangnya, penasaran rumah siapa yang sedang mereka datangi.Eric membuka gerbang dan masuk begitu saja, tidak mengucapkan permisi atau salam. Ketika mereka baru sampai di teras, sesosok wajah yang sudah sangat familier menyambut mereka. “Kenapa kalian lama sekali? Aku sudah menunggu kalian dari tadi.”“Darren?” Alana memandang bocah itu dengan keheranan. Jadi Eric bersikap sok misterius hanya untuk memb