“Ayo pulang,” kata Braden yang sudah menunggu Alana di tempat parkir.Alana mengikuti pemuda itu masuk ke dalam mobil. “Sepertinya kau jarang pergi keluar bersama teman-temanmu akhir-akhir ini. Apa kalian sedang bertengkar?”“Fero dan Jonathan sedang sibuk akhir-akhir ini. Kalau hanya aku dan David saja jadi tidak seru.” Kata Braden sambil melajukan kendaraannya dengan pelan. “Apa kau ingin mampir ke suatu tempat sebelum pulang?” Braden bertanya.Alana terlihat merenung. “Sebenarnya, aku tidak ingin pulang. Aku ingin pergi ke tempat lain.”Braden langsung menoleh pada Alana, “Memangnya kau mau pergi ke mana?”“Aku ingin pulang ke apartemen.” Jawab Alana masih sambil setengah merenung.“Kau ingin menghindari rumah?” Braden bertanya curiga.“Tidak juga. Hanya saja sudah dua minggu lebih aku tidak ke sana. Pasti sekarang tempat itu sangat kotor sehingga aku perlu membersihkannya.”Braden menuruti Alana dan mengantarkan gadis itu ke sana. “Turunkan saja aku di sini.” Alana memberi tahu ke
“Sialan!” Braden memaki dengan keras, membuat Alana berjalan mendekat.“Braden ada a―” Alana tidak menyelesaikan pertanyaannnya karena jawabannya sudah ada di depan pintu.“Kejutaaaan ... “ kata tiga orang bersamaan secara serempak diiringi dengan tawa tergelak ketiganya, membuat Braden menyumpah-nyumpah dengan kesal. Lagi-lagi mereka datang dengan membawa banyak makanan dan minuman, hingga tangan mereka penuh dengan kantong-kantong plastik.“Apa yang kalian lakukan di sini?” tanya Braden dengan galak pada ketiga temannya. “Kukira kalian sedang sibuk.”“Kita akan pikniiik ... “ David menjawab mewakili kedua temannya.“Ya, itu benar. Ayo ayo, masuk.” Kata Jonathan sengaja menabrak tubuh Braden, hingga pemuda itu tergencet di pintu.Tanpa permisi ketiganya langsung menyerbu masuk, yang kali ini disambut dengan pelototan Alana. “Eeee, berhenti! Lepas sepatu kalian! Taruh di sana.” Alana menunjuk sebuah rak sepatu berwarna putih di belakang mereka.Mereka bertiga serentak berhenti bergera
“Astaga, aku lupa tadi belum bilang Mama akan pulang terlambat.” Dengan panik Alana mencari-cari handphonenya di dalam tas, berniat menghubungi Sherly.“Kau ini memang punya kebiasaan membuat orang lain cemas!” Sergah Braden. “Aku sudah mengirim pesan pada Mama sejak kita baru tiba di apartemen tadi. Untung saja ada aku. Kalau tidak pasti Mama sudah sangat mengkhawatirkanmu sekarang.”Hari sudah cukup malam dan mereka sedang dalam perjalanan pulang ke rumah.Alana mendesah lega. “Terima kasih. Terkadang aku memang pelupa.”“Jangan diulangi lagi. Mama itu orangnya mudah khawatir. Begitu juga dengan papamu.” Braden memberi tahu.Ketika mereka sampai di rumah, Sherly dan Steve masih mengobrol dan menonton televisi. “Kalian sudah pulang.” Steve mendongak saat Alana dan Braden memasuki ruangan.“Kalian sudah makan?” tanya Sherly.“Ya. Tadi anak-anak datang dan membawa banyak makanan.” Braden memberi tahu sambil mengambil segelas air putih dari dispenser. Sedangkan Alana langsung menuju kan
Alana sedang membetulkan posisi tali tas di bahunya sambil berjalan dengan Eric yang mengikuti di belakangnya. Di ruang tamu, dia berpapasan dengan Adrian yang baru saja kembali dari lari pagi. Dia sudah berniat berpura-pura sibuk dengan tali tasnya saat Adrian bertanya, “Kau mau pergi?”Pemuda itu memandang Alana dan Eric bergantian. Alana mendongak dan tersenyum. “Ya, kami mau pergi berkencan.” Jawab Alana dengan sangat ceria sambil menggamit lengan Eric dengan kedua tangannya.Melihat hal itu, membuat Adrian melotot tidak suka. Dia langsung memandang Eric dengan kilat mata penuh kecurigaan. Mereka saling tatap, dan Alana merasakan seolah ada percikan listrik yang beradu dari tatapan mata keduanya.“Kalian berpacaran?” tanya Adrian dengan penuh penekanan tanpa mengalihkan pandang dari Eric. Sedangkan Eric hanya tersenyum misterius.“Tanya dia.” jawab pemuda itu sambil mengedikkan kepala ke arah Alana yang masih bergelayut di lengannya dengan manja.“Kalian berpacaran?” kali ini Adr
Eric tersenyum misterius. Alana tidak tahu kenapa pemuda itu selalu bersikap sok misterius. Kalau gadis itu menunjukkan rasa penasarannya, Eric malah akan makin menggodanya sehingga membuat Alana makin jengkel.“Sebentar lagi kita sampai.”Dan benar saja, akhirnya mereka memasuki sebuah kawasan perumahan. Setelah berbelok dan berbelok lagi entah untuk yang keberapa kali, akhirnya mereka berhenti di depan sebuah rumah berpagar putih.Eric memarkirkan mobilnya di bahu jalan dan mematikan mesin. “Ayo,” ajak pemuda itu sebelum melepas sabuk pengaman dan membuka pintu. Alana mengikuti di belakangnya, penasaran rumah siapa yang sedang mereka datangi.Eric membuka gerbang dan masuk begitu saja, tidak mengucapkan permisi atau salam. Ketika mereka baru sampai di teras, sesosok wajah yang sudah sangat familier menyambut mereka. “Kenapa kalian lama sekali? Aku sudah menunggu kalian dari tadi.”“Darren?” Alana memandang bocah itu dengan keheranan. Jadi Eric bersikap sok misterius hanya untuk memb
Elia membekali mereka dengan tiga buah kotak makan yang masing-masing berisi nasi dan potongan chicken katsu. Eric memakan bekalnya dengan lahap karena dia benar-benar kelaparan. Sebentar saja dia sudah menandaskan makanannya hingga habis tak bersisa.“Kau sudah selesai?” tanya Alana. “Bekal ini terlalu banyak untukku. Kau mau membantuku menghabiskannya?”Alana menawarkan sebagian bekalnya yang masih belum tersentuh. “Hei, Darren. Duduklah di sini. Aku mau makan lagi dengan Alana.” Eric meminta Darren untuk pindah di pinggir.Darren memprotes tidak setuju. “Tidak mau! Aku mau duduk di tengah dengan Kak Alana.”“Kalau begitu, bagaimana kalau aku yang di tengah?” Alana berusaha membujuk sambil tersenyum. Dengan patuh, Darren berpindah tempat menjadi di samping gadis itu.Dalam proses kepindahannya, Darren menyenggol kotal bekal kosong yang diletakkan Eric di samping mereka hingga sendoknya jatuh ke tanah. Sendok itu kotor sehingga tidak bisa dipakai lagi.“Apa yang kau lakukan? Kau men
Saat Alana pulang, dia mendapati pemandangan yang sangat tidak biasa. Alana sampai tidak memercayai apa yang dia saksikan. “Mikha?” panggil Alana. Kucing itu menyahut dengan ngeongan pelan sambil menatap Alana dengan mata jernihnya.Braden mendongak, terkejut. Pemuda itu sedang duduk malas-malasan di sofa sambil menonton televisi, dengan Mikha yang duduk di sebelahnya dan bersandar dengan malas padanya. Braden bahkan sesekali mengelus sisi leher Mikha.“Kenapa kau baru pulang? Lihat dia. Dia kesepian!” ujar Braden dengan agak sengit.Alana duduk di sebelah Mikha dan menggendong kucing itu. “Sayangku, maafkan Kakak.” Kata Alana sambil mengeluskan puncak kepala Mikha ke pipinya. “Kau merindukan Kakak? Kakak juga rindu padamu.”Mikha mendengkur dengan senang. Setelah puas melihat keadaan Mikha yang baik-baik saja, perhatian Alana kini sepenuhnya beralih pada Braden. “Bukankah kau membenci kucing? Bagaimana mungkin kalian terlihat akur bersama?”Braden melotot kesal. “Itu karena kau tidak
Seperti yang diduga Alana, Steve dan Sherly sama sekali tidak keberatan mengenai rencana liburannya dengan keluarga Eric. Mereka justru mendukung rencana tersebut karena Alana nyaris tidak pernah keluar di akhir pekan, kecuali sesekali saja.“Bagaimana mungkin kalian menyetujuinya begitu saja?” protes Adrian.“Mereka keluarga baik-baik. Aku sudah lama kenal Mike dan istrinya. Alana akan baik-baik saja bersama mereka.” jawab Steve.“Tapi tetap saja itu tidak bisa dijadikan Alasan.” Braden ikut-ikutan melontarkan protes. “Kenapa kita tidak pergi berlibur sendiri saja?”Mata Sherly langsung berbinar, “Itu ide bagus. Kita sudah lama sekali tidak berlibur. Bagaimana kalau kita berlibur, Pa?” tanya Sherly pada suaminya.“Boleh juga. Mama atur saja.”“Bagus, jadi Alana tidak perlu pergi dengan keluarga Eric nanti.” Adrian terlihat senang.“Eh, sebenarnya kita tidak bisa pergi dalam bulan ini.” Steve menampakkan wajah menyesal. “Kau tahu sendiri saat ini pekerjaan kita sangat banyak. Kita har
Adrian hanya bisa terdiam, saat mendapati bukti-bukti perselingkuhan kekasihnya. Namun, meski semua bukti itu terpampang nyata, pemuda itu masih menolak untuk memercayainya. Dia harus memastikan hal itu secara langsung. Dia harus menemui Greta.Pemuda itu mencari Greta di tempat kerjanya, dan mendapati bahwa gadis itu sedang libur. Dari sini, perasaan Adrian sudah berubah tidak nyaman. Kemudian Adrian pergi menuju rumah gadis itu, berharap dia akan bertemu Greta di sana.Dan betapa hancur hati Adrian, saat mendapati kekasihnya tengah bersama seorang laki-laki yang dilihatnya dalam foto. “A-Adrian!” Greta terkejut dengan kedatangan pemuda itu yang tiba-tiba.“Kau tidak bekerja?” tanya Adrian, masih mencoba untuk berpikir positif.“Aku baru saja pulang,” jawab gadis itu.“Benarkah? Aku baru saja dari tempat kerjamu. Dan mereka bilang hari ini kau sedang libur.”“Ah, i-itu..” Greta menjawab dengan gugup. “Aku—““Siapa kau? Ada perlu apa kau dengan kekasihku?” pria di samping Greta berta
Alana dan Braden mampir ke sebuah tempat yang menjadi pusat street food sebelum pulang. Meski Alana bilang sedang ingin diet, nyatanya mata gadis itu seketika melebar saat melihat aneka jajanan serta mengendus aroma makanan yang menguar di udara sekitar mereka.“Waah, semuanya terlihat enak.” Alana menatap sekelilingnya dengan mata berbinar.“Bukankah tadi kau bilang sedang ingin diet?” Sindir Braden.“Kita kan sudah terlanjur sampai di sini. Jadi, ayo kita keliling,” Alana berjalan di depan dengan diikuti Braden yang membawakan bonekanya.Alana bingung menentukan pilihan, karena semua makanan terlihat sama enaknya. Setelah berkeliling dan melihat sana-sini, akhirnya gadis itu menjatuhkan pilihan pada corndog isi sosis dan keju berukuran besar, souffle cake mini dengan aneka toping, dan segelas boba cokelat.Mereka berjalan sambil menyesap minuman dingin, sedang mencari tempat duduk untuk makan. “Sepertinya itu Kak Greta. Apa aku salah lihat?” Alana berhenti untuk memperhatikan seoran
“Alana―” Braden menyaksikan mata Alana berkilat saat gadis itu menatap Leona dengan tajam. Leona mendongak, menatap Alana tidak kalah sengit. Melihat itu Braden buru-buru berdiri dan menempatkan dirinya di antara kedua gadis itu. “Lana, ayo kita pergi saja. Aku baru ingat ada kedai es krim yang lebih enak.” Alana menepis tangan Braden yang tengah memegangi lengannya. “Kenapa kita harus pergi? Kita duluan yang menempati meja ini. Kalau ada yang harus pergi, itu adalah dia!” Alana menunjuk Leona. “Bagaimana kalau aku tidak mau pergi?” Leona menyialngkan kaki dan mengibaskan rambutnya yang kini pendek sebahu. “Ayo kita cari meja lain.” Braden membujuk. “TIDAK!” Kata Alana tegas, masih sambil menatap Leona tanpa berkedip. Will menyadari ketegangan yang mulai terbentuk. “Leona, ayo kita kembali ke meja kita.” “Meja kita sudah ditempati oleh orang lain. Lagi pula aku lebih suka duduk di sini.” Leona berbicara tanpa repot-repot menoleh pada Will. Alana tersenyum miring. “Baiklah kala
Braden sangat kesal ketika melihat Alana yang terus saja tersipu saat mereka makan bersama malam itu. Gadis itu mengaduk-aduk makanan di piringnya dengan pandangan mata menerawang, dengan senyum samar yang terus saja tersungging di wajahnya.“Lana, jangan mainkan makananmu.” Tegur Sherly, membuat Lana bergegas menghabiskan sisa makanannya.‘Apa yang sudah dilakukan bajingan tengik itu? Dia pasti sudah mencekoki Alana dengan omong kosongnya!’ Braden membatin dengan kesal.Saat akhirnya kembali ke kamarnya, Braden menjadi makin kesal. Senyum konyol Alana benar-benar mengganggunya. “Argh, sialan!” Braden mengacak rambutnya. Dia benar-benar ingin menghajar Eric.Dia keluar dan pergi ke kamar Alana. Dia masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu. Didapatinya gadis itu mendongak terkejut dengan kedatangannya. “Kenapa kau tidak mengetuk pintu? Benar-benar kebiasan!” Alana tengah duduk di meja belajarnya sambil memangku boneka beruang bertuksedo pemberian Eric.Braden melirik boneka itu dengan ke
“Kenapa kau terus memandangiku?” tanya Alana, karena Eric berkali-kali mencuri pandang ke arahnya.Pemuda itu hanya tersenyum. “Aku hanya senang karena akhirnya bisa pergi denganmu.”Alana jadi salah tingkah. “Fokuslah mengemudi. Kau harus memperhatikan jalan dengan baik.”Akhirnya Eric menuruti apa kata Alana. Alana memperhatikan Eric yang sedikit tegang, berbeda dari biasanya. “Eric, apa kau baik-baik saja? Kau tampak tegang.”“Hahaha. Aku baik-baik saja.” Eric melirik Alana kembali. “Emm, Lana. Bisakah kau bukakan laci itu untukku?” Eric menunjuk laci dashboard yang berada tepat di depan Alana.“Yang ini?” Alana menunjuk.“Ya, benar. Yang itu. Bukalah.”Alana membukanya, dan menemukan sebatang cokelat dengan hiasan pita pink. Alana menatap Eric dengan pandangan bertanya. “Itu untukmu.” Ucap Eric, tanpa berani menatap Alana kali ini.Seketika Alana merasakan panas yang menjalar di leher dan wajahnya. Dia merasa kepanasan, padahal AC tengah menyala. ‘Astaga, ini cuma cokelat. Ada apa
Saat sampai di rumah, Alana menumpahkan kekesalannya pada boneka beruang pemberian Adrian. Alana memukul-mukul kepala beruang malang itu, kemudian menutupnya dengan kantong keresek agar mukanya yang imut itu tidak terlihat oleh pandangan matanya.“Kau memang menyebalkan! Mudah sekali kau meminta maaf. Kau pikir aku bisa melupakannya begitu saja?” Alana meninju beruang itu beberapa kali lagi hingga dia merasa puas. Sebenarnya dia merasa kasihan pada si beruang, tetapi benda itu selalu saja mengingatkannya pada Adrian.Seperti yang dijanjikan pemuda itu, keesokan harinya Greta benar-benar datang ke rumah dan meminta maaf pada Alana. “Maafkan aku, Lana. Aku menyesal, sungguh.” Permintaan maaf Greta tampak tulus, tetapi kini Alana tidak akan tertipu lagi.“Bisakah kita memulai semua kembali dari awal? Sebagai sahabat?” Greta tersenyum manis, seakan mereka berdua benar-benar bisa menjadi sahabat.‘Apa? Sahabat? Cuiih...’ Batin Alana. Dia menduga-duga, pasti Adrian harus menyuap Greta denga
“Tidak―” Braden menjatuhkan handphonenya, membuat Adrian makin panik.“Braden, Braden ada apa? Apa Alana baik-baik saja? Halo? Braden, jawab Aku!” Adrian terus berteriak menuntut jawaban, tetapi kini dia sudah diabaikan sepenuhnya oleh sang adik.Braden berlari menyeberangi ruangan, tempat Alana terbaring di lantai dengan muka pucat. Kini ketakutannya benar-benar menjadi nyata. Hal seperti inilah yang dia takutkan sejak awal.“Lana! Lana, bangun!” Braden mengguncang tubuh lemas Alana dengan putus asa dan air mata tertahan. “Kumohon, bangunlah! Lana!”Braden sudah menyelipkan sebelah lengan ke punggung gadis itu dan bersiap mengangkatnya saat Alana membuka mata dan melotot, membuat Braden terperanjat kaget. “Apa yang kau lakukan?” Alana duduk dan menggeliat, kemudian melepas headshet yang menempel di telinganya.“K-Kau tidak pingsan?”“Kau pikir aku pingan? Aku baik-baik saja.”“Astaga, kau membuatku khawatir! Kau tidak tahu betapa khawatirnya aku tadi. Jantungku hampir lepas saat meli
“Apa? Minta maaf?” Alana tertawa. “Dia yang salah kenapa aku yang harus meminta maaf?”“Berhentilah bersikap kekanak-kanakan!”“Kakak menyebutku kekanak-kanakan? Kekasih Kakak yang tidak tahu diri itulah yang bersikap kekanakan. Dia tidak bisa bersikap layaknya orang dewasa! Asal Kakak tahu saja, dia tidak sebaik yang Kakak kira. Kakak hanya sudah terperdaya oleh perangkap busuknya, sehingga tidak bisa melihat seperti apa dirinya yang sesungguhnya!”“Hentikan, Lana. Cukup! Aku tidak akan membiarkan siapa pun berbicara buruk mengenai Greta. Bahkan jika itu adalah kau!”Alana tersentak. Tidak pernah sekali pun Adrian membentaknya. Adrian yang begitu lembut dan baik hati, kini membentak Alana demi membela gadis seperti Greta.“Aku akan mengatakannya sekali lagi padamu. Kau harus meminta maaf pada Greta. Kau harus meminta maaf atas semua tuduhanmu dan karena kau sudah membuat dia menangis karena keisenganmu.”“Tidak!” kata Alana. “Aku tidak akan pernah meminta maaf padanya!”Adrian terlih
Mereka pergi ke sebuah restoran seafood yang berada di tepi pantai. Mereka semua bergembira, menikmati makanan enak serta pemandangan laut yang indah. Bahkan untuk sekali ini Steve tidak mempedulikan tingginya kandungan kolestrol dalam makanannya.Semua orang senang kecuali Greta. Gadis itu makan dalam diam, tampak tidak antusias seperti yang lainnya. Dia juga sesekali melirik Alana dengan penuh kebencian, namun tidak mengatakan apa pun. Setelah makan, mereka mengunjungi dermaga kecil yang berada tidak jauh dari sana.Mengabadikan momen dengan berfoto dan menikmati semilir angin yang sejuk di hari yang cerah itu. “Sayang, bajumu kotor. Kau pasti bersandar entah di mana tadi.” Sherly berusaha menghilangkan noda di baju putih Greta yang bagian punggungnya kotor.“Ah, biar saja Tante. Mungkin karena aku baru saja bersandar di pagar.” Greta tersenyum pada Sherly, tetapi saat dia kembali sendirian, Greta kembali menunjukkan kekesalannya.Mereka kembali ke villa ketika hari sudah malam. Mer