“Astaga, aku lupa tadi belum bilang Mama akan pulang terlambat.” Dengan panik Alana mencari-cari handphonenya di dalam tas, berniat menghubungi Sherly.“Kau ini memang punya kebiasaan membuat orang lain cemas!” Sergah Braden. “Aku sudah mengirim pesan pada Mama sejak kita baru tiba di apartemen tadi. Untung saja ada aku. Kalau tidak pasti Mama sudah sangat mengkhawatirkanmu sekarang.”Hari sudah cukup malam dan mereka sedang dalam perjalanan pulang ke rumah.Alana mendesah lega. “Terima kasih. Terkadang aku memang pelupa.”“Jangan diulangi lagi. Mama itu orangnya mudah khawatir. Begitu juga dengan papamu.” Braden memberi tahu.Ketika mereka sampai di rumah, Sherly dan Steve masih mengobrol dan menonton televisi. “Kalian sudah pulang.” Steve mendongak saat Alana dan Braden memasuki ruangan.“Kalian sudah makan?” tanya Sherly.“Ya. Tadi anak-anak datang dan membawa banyak makanan.” Braden memberi tahu sambil mengambil segelas air putih dari dispenser. Sedangkan Alana langsung menuju kan
Alana sedang membetulkan posisi tali tas di bahunya sambil berjalan dengan Eric yang mengikuti di belakangnya. Di ruang tamu, dia berpapasan dengan Adrian yang baru saja kembali dari lari pagi. Dia sudah berniat berpura-pura sibuk dengan tali tasnya saat Adrian bertanya, “Kau mau pergi?”Pemuda itu memandang Alana dan Eric bergantian. Alana mendongak dan tersenyum. “Ya, kami mau pergi berkencan.” Jawab Alana dengan sangat ceria sambil menggamit lengan Eric dengan kedua tangannya.Melihat hal itu, membuat Adrian melotot tidak suka. Dia langsung memandang Eric dengan kilat mata penuh kecurigaan. Mereka saling tatap, dan Alana merasakan seolah ada percikan listrik yang beradu dari tatapan mata keduanya.“Kalian berpacaran?” tanya Adrian dengan penuh penekanan tanpa mengalihkan pandang dari Eric. Sedangkan Eric hanya tersenyum misterius.“Tanya dia.” jawab pemuda itu sambil mengedikkan kepala ke arah Alana yang masih bergelayut di lengannya dengan manja.“Kalian berpacaran?” kali ini Adr
Eric tersenyum misterius. Alana tidak tahu kenapa pemuda itu selalu bersikap sok misterius. Kalau gadis itu menunjukkan rasa penasarannya, Eric malah akan makin menggodanya sehingga membuat Alana makin jengkel.“Sebentar lagi kita sampai.”Dan benar saja, akhirnya mereka memasuki sebuah kawasan perumahan. Setelah berbelok dan berbelok lagi entah untuk yang keberapa kali, akhirnya mereka berhenti di depan sebuah rumah berpagar putih.Eric memarkirkan mobilnya di bahu jalan dan mematikan mesin. “Ayo,” ajak pemuda itu sebelum melepas sabuk pengaman dan membuka pintu. Alana mengikuti di belakangnya, penasaran rumah siapa yang sedang mereka datangi.Eric membuka gerbang dan masuk begitu saja, tidak mengucapkan permisi atau salam. Ketika mereka baru sampai di teras, sesosok wajah yang sudah sangat familier menyambut mereka. “Kenapa kalian lama sekali? Aku sudah menunggu kalian dari tadi.”“Darren?” Alana memandang bocah itu dengan keheranan. Jadi Eric bersikap sok misterius hanya untuk memb
Elia membekali mereka dengan tiga buah kotak makan yang masing-masing berisi nasi dan potongan chicken katsu. Eric memakan bekalnya dengan lahap karena dia benar-benar kelaparan. Sebentar saja dia sudah menandaskan makanannya hingga habis tak bersisa.“Kau sudah selesai?” tanya Alana. “Bekal ini terlalu banyak untukku. Kau mau membantuku menghabiskannya?”Alana menawarkan sebagian bekalnya yang masih belum tersentuh. “Hei, Darren. Duduklah di sini. Aku mau makan lagi dengan Alana.” Eric meminta Darren untuk pindah di pinggir.Darren memprotes tidak setuju. “Tidak mau! Aku mau duduk di tengah dengan Kak Alana.”“Kalau begitu, bagaimana kalau aku yang di tengah?” Alana berusaha membujuk sambil tersenyum. Dengan patuh, Darren berpindah tempat menjadi di samping gadis itu.Dalam proses kepindahannya, Darren menyenggol kotal bekal kosong yang diletakkan Eric di samping mereka hingga sendoknya jatuh ke tanah. Sendok itu kotor sehingga tidak bisa dipakai lagi.“Apa yang kau lakukan? Kau men
Saat Alana pulang, dia mendapati pemandangan yang sangat tidak biasa. Alana sampai tidak memercayai apa yang dia saksikan. “Mikha?” panggil Alana. Kucing itu menyahut dengan ngeongan pelan sambil menatap Alana dengan mata jernihnya.Braden mendongak, terkejut. Pemuda itu sedang duduk malas-malasan di sofa sambil menonton televisi, dengan Mikha yang duduk di sebelahnya dan bersandar dengan malas padanya. Braden bahkan sesekali mengelus sisi leher Mikha.“Kenapa kau baru pulang? Lihat dia. Dia kesepian!” ujar Braden dengan agak sengit.Alana duduk di sebelah Mikha dan menggendong kucing itu. “Sayangku, maafkan Kakak.” Kata Alana sambil mengeluskan puncak kepala Mikha ke pipinya. “Kau merindukan Kakak? Kakak juga rindu padamu.”Mikha mendengkur dengan senang. Setelah puas melihat keadaan Mikha yang baik-baik saja, perhatian Alana kini sepenuhnya beralih pada Braden. “Bukankah kau membenci kucing? Bagaimana mungkin kalian terlihat akur bersama?”Braden melotot kesal. “Itu karena kau tidak
Seperti yang diduga Alana, Steve dan Sherly sama sekali tidak keberatan mengenai rencana liburannya dengan keluarga Eric. Mereka justru mendukung rencana tersebut karena Alana nyaris tidak pernah keluar di akhir pekan, kecuali sesekali saja.“Bagaimana mungkin kalian menyetujuinya begitu saja?” protes Adrian.“Mereka keluarga baik-baik. Aku sudah lama kenal Mike dan istrinya. Alana akan baik-baik saja bersama mereka.” jawab Steve.“Tapi tetap saja itu tidak bisa dijadikan Alasan.” Braden ikut-ikutan melontarkan protes. “Kenapa kita tidak pergi berlibur sendiri saja?”Mata Sherly langsung berbinar, “Itu ide bagus. Kita sudah lama sekali tidak berlibur. Bagaimana kalau kita berlibur, Pa?” tanya Sherly pada suaminya.“Boleh juga. Mama atur saja.”“Bagus, jadi Alana tidak perlu pergi dengan keluarga Eric nanti.” Adrian terlihat senang.“Eh, sebenarnya kita tidak bisa pergi dalam bulan ini.” Steve menampakkan wajah menyesal. “Kau tahu sendiri saat ini pekerjaan kita sangat banyak. Kita har
Perjalanan selama dua setengah jam sama sekali tidak terasa lama karena sepanjang perjalanan Alana dibuat tertawa. Baru kali ini dia menyadari bahwa ketika keluarga Eric berkumpul bersama, mereka bisa sangat kocak. Terutama Mike, dia adalah sesosok pria yang sangat humoris.Mike seolah tidak pernah kehabisan bahan cerita lucu dan juga candaan. Dan Eric juga tidak kalah konyol dari ayahnya. Dia selalu bisa mengimbangi lelucon yang dilontarkan oleh pria itu. Alana tidak pernah menyadari sisi pribadi ini dari Eric sebelumnya.Saat akhirnya mereka tiba, Alana merasa sisi perutnya sakit karena kebanyakan tertawa. Gadis itu menggeliat untuk melemaskan otot setelah perjalanan. Udara cukup dingin, jadi dia memakai jaketnya sebelum turun dari dalam mobil.Mereka semua sedang berdiri di tengah halaman berumput yang dikelilingi pepohonan. Suara jangkring terdengar bersahut-sahutan, menjadi sebuah simfoni yang indah dan memikat. Eric membongkar barang-barang bawaan di bagasi dan menurunkannya sa
“Waah, ini―” Alana tidak bisa berkata-kata. “Ini indah sekali.”Alana tengah melihat pemandangan yang sangat menakjubkan. Mereka berada di puncak sebuah bukit kecil yang ditumbuhi rerumputan halus. Di bawah sana di kejauhan tampak lampu yang berkelap-kelip indah, dan di langit tampak jutaan bintang yang bersinar layaknya berlian.“Kau suka?” tanya Eric dan Alana mengangguk antusias. “Kau ingin kembali sekarang?”“Apa? Tidak! Kita baru saja sampai.”Eric tertawa. “Bukankah tadi kau bersikeras untuk kembali? Kau bahkan hampir menangis.”“Ah, diamlah. Kau selalu saja menyebalkan.” Alana tidak suka diingatkan bahwa dirinya hampir menangis ketakutan.“Ayo, kita duduk.” Eric membawa gadis itu tepat ke tengah bukit dan mereka duduk di sebuah batang kayu yang melintang.“Ini terasa seperti sebuah tempat di negeri dongeng. Bahkan ada batang kayu tempat kita bisa duduk nyaman di sini.” Alana bertanya-tanya dalam hati bagaimana mungkin kebetulan sekali ada gelondongan kayu di sana.Seakan menja