Alana masuk ke dalam mobil dan membanting pintu dengan keras, kemudian menyentak sabuk pengaman dengan kasar sebelum mengaitkan gespernya. Dan dia sama sekali tidak melirik Braden sedikitpun, seolah pemuda itu tidak ada di sana.“Ada apa denganmu? Apa kau sedang sakit?” tanya Braden melihat muka Alana yang kusut. Dan dia hanya mendapat pelototan sebagai balasan. “Kau― suasana hatimu terlihat kacau.”“Memangnya kau pernah membuat suasana hatiku membaik? Sejak kapan suasana hatiku berubah bagus jika sedang bersamamu?” jawab Alana sambil bersedekap tanpa memandang Braden.Braden menelan kembali kata-kata yang sudah sampai di ujung lidahnya. Biasanya Alana hanya akan bersikap gugup, diam, dan menjaga jarak. Bukan ketus dan kasar. Sorot mata Alana yang seperti itu hanya pernah dilihatnya sekali, saat gadis itu sedang berkelahi dengan Leona.Sepertinya seseorang sedang mencari masalah dengannya, batin Braden. “Apa kau bertengkar lagi dengan Leona?”“Untuk apa aku berurusan dengan jalang sep
“Kau ingin makan di mana?” tanya Eric meminta pendapat Alana.“Di mana saja asal bukan di kafe depan.” Jawaban Alana sontak membuat Eric tertawa sangat keras.Pemuda itu selalu tertawa kalau diingatkan tentang perkelahian antara Alana dan Leona. “Ya, aku mengerti. Kalau aku jadi kau, aku juga tidak akan pernah pergi ke sana lagi.” Kata Eric masih sambil tertawa. “Kalau begitu aku yang menentukan pilihan. Ada mie yang lumayan enak. Kau mau?”“Terserah padamu.” Jawab Alana acuh. Maka Eric membawa Alana ke rumah makan yang dia rekomendasikan.“Kenapa kau terus menatapku?” tanya dari atas mangkuk mienya.“Aku sedang manganalisis masalahmu. Karena kalau aku bertanya baik-baik aku yakin kau tidak akan pernah mau mengatakannya.” Jawab Eric masih sambil mengamati Alana.“Jadi, kau sudah mendapat kesimpulan?” tanya Alana sarkas.Eric menatap Alana d
“Kenapa kau tidak menjawab telefon? Kau juga mengabaikan semua pesan kami? Kau tahu, kami semua cemas memikirkanmu!” cecar Braden. “Mama mengkhawatirkanmu karena kau tidak bisa dihubungi.”Alana benar-benar lupa dan tidak mengecek handphone. “Maaf, aku tidak sempat melihat handphone.”“Sudah kukatakan tadi, hubungi aku ketika kau akan pulang. Aku menunggumu menghubungiku dari tadi! Dan siapa yang mengantarmu pulang?” tanya Braden dengan galak.Alana menelan ludah, “Teman. Aku diantar seorang teman.”“Lain kali, jangan membuat semua orang cemas!” ujar Braden sebelum berjalan masuk ke rumah yang diikuti oleh Alana.Ketika Alana masuk, Sherly langsung menghambur menyambutnya. “Lana, kenapa kau tidak membalas satu pun pesan dan telefon kami? Kami mengkhawatirkanmu.”“Maaf, Ma. Tadi Lana tidak sempat melihat handphone. Maaf sudah membuat semua orang khawatir.”“Tidak masalah kalau kau memang harus mengerjakan tugas sampai malam, Lana. Tapi setidaknya beri tahu kami.” Steve menimpali. “Kami
Alana memotong wortel dengan hati-hati, berusaha agar setiap potongannya memiliki ketebalan yang sama. Dia berkonsentrasi penuh dengan pekerjaannya, namun pisau yang tajam itu membuatnya gugup.“Bagaimana? Kamu bisa?” tanya Sherly sambil mengamati pekerjaan Alana. Gadis itu mengangguk tanpa mengalihkan perhatiannya.Alana menekan pisau dengan keras, membuat sepotong besar wortel terlempar dan menggelinding di lantai. Dengan panik gadis itu mencari-cari potongan wortelnya yang berhenti tepat di depan sepasang kaki, yang pemiliknya kini berusaha keras untuk tidak melontarkan ejekan.Alana batal memungut potongan wortelnya saat melihat ekspresi mencela di wajah Braden. Pemuda itu terlihat jelas sekali sedang menahan tawa. “Kalau kau memotongnya dengan cara seperti itu, bisa-bisa besok pagi kita baru makan.” Kata Braden dengan seringai mengejek.“Memangnya kau bisa?” tanya Alana sambil bersedekap.“Tentu saja,”“Kalau begitu, coba lakukan?” tantang Alana.Braden berjalan mendekati kabinet
“Aargh!” Alana melempar pisaunya saat merasakan sengatan rasa perih. Dia memegangi tangan kirinya dan melihat cairan pekat berwarna merah tidak berhenti mengalir.Kini perhatian semua orang tertuju padanya. Adrian, seperti biasa, sangat cekatan ketika terjadi sesuatu. “Astaga, tanganmu berdarah!” Adrian memegang tangan kiri Alana yang langsung gadis itu tepis.“Aku baik-baik saja.” Tetapi darah yang keluar cukup banyak, hingga tetesannya jatuh ke lantai marmer yang berwarna putih. Alana mengabaikan kepanikan semua orang.“Minggir kau!” Braden menyela Adrian, mendorong pemuda itu dengan bahunya dan memaksanya menyingkir.Braden langsung mencengkeram tangan Alana dan memasukkan jarinya yang terluka ke dalam mulut. “Apa yang kau lakukan?” Alana berusaha menarik tangannya namun ditahan oleh Braden. Pemuda itu menarik Alana mendekati wastafel, lalu meludahkan segumpal darah.Dia melakukan hal itu beberapa kali lagi hingga darah Alana benar-benar berhenti mengalir. “Lain kali, hati-hati!” u
Ketika Braden meninggalkan Alana, gadis itu sudah jauh lebih tenang. Dia berusaha meyakinkan Braden bahwa dia baik-baik saja, namun pemuda itu tetap saja merasa khawatir akan keadaannya. Alana yang tengah menangis adalah pemandangan yang baginya sangat memilukan.Salah satu hal yang paling dia sesali adalah ketika dia membuat Alana menangis. Braden merasa sangat bersalah karena hal itu. Dia bahkan merasa malu pada dirinya sendiri. Dan Braden bertekad tidak akan pernah melakukan hal itu lagi.Apa yang terjadi hari ini menurutnya adalah bencana. Dia tahu seperti apa rasanya patah hati. Pasti menyakitkan mengetahui seseorang yang kita sukai dan kagumi ternyata menjalin hubungan dengan orang lain. Dan melihat Alana yang patah hati, entah mengapa sangat menyakiti hatinya.Braden tidak suka ketika Alana menyukai kakaknya, akan tetapi dia jauh lebih tidak suka lagi jika gadis itu menangis karena Adrian. Pemandangan Alana yang menangis dan hancur bukankah sesuatu yang ingin dia saksikan lagi.
“Ayo pulang,” kata Braden yang sudah menunggu Alana di tempat parkir.Alana mengikuti pemuda itu masuk ke dalam mobil. “Sepertinya kau jarang pergi keluar bersama teman-temanmu akhir-akhir ini. Apa kalian sedang bertengkar?”“Fero dan Jonathan sedang sibuk akhir-akhir ini. Kalau hanya aku dan David saja jadi tidak seru.” Kata Braden sambil melajukan kendaraannya dengan pelan. “Apa kau ingin mampir ke suatu tempat sebelum pulang?” Braden bertanya.Alana terlihat merenung. “Sebenarnya, aku tidak ingin pulang. Aku ingin pergi ke tempat lain.”Braden langsung menoleh pada Alana, “Memangnya kau mau pergi ke mana?”“Aku ingin pulang ke apartemen.” Jawab Alana masih sambil setengah merenung.“Kau ingin menghindari rumah?” Braden bertanya curiga.“Tidak juga. Hanya saja sudah dua minggu lebih aku tidak ke sana. Pasti sekarang tempat itu sangat kotor sehingga aku perlu membersihkannya.”Braden menuruti Alana dan mengantarkan gadis itu ke sana. “Turunkan saja aku di sini.” Alana memberi tahu ke
“Sialan!” Braden memaki dengan keras, membuat Alana berjalan mendekat.“Braden ada a―” Alana tidak menyelesaikan pertanyaannnya karena jawabannya sudah ada di depan pintu.“Kejutaaaan ... “ kata tiga orang bersamaan secara serempak diiringi dengan tawa tergelak ketiganya, membuat Braden menyumpah-nyumpah dengan kesal. Lagi-lagi mereka datang dengan membawa banyak makanan dan minuman, hingga tangan mereka penuh dengan kantong-kantong plastik.“Apa yang kalian lakukan di sini?” tanya Braden dengan galak pada ketiga temannya. “Kukira kalian sedang sibuk.”“Kita akan pikniiik ... “ David menjawab mewakili kedua temannya.“Ya, itu benar. Ayo ayo, masuk.” Kata Jonathan sengaja menabrak tubuh Braden, hingga pemuda itu tergencet di pintu.Tanpa permisi ketiganya langsung menyerbu masuk, yang kali ini disambut dengan pelototan Alana. “Eeee, berhenti! Lepas sepatu kalian! Taruh di sana.” Alana menunjuk sebuah rak sepatu berwarna putih di belakang mereka.Mereka bertiga serentak berhenti bergera
Adrian hanya bisa terdiam, saat mendapati bukti-bukti perselingkuhan kekasihnya. Namun, meski semua bukti itu terpampang nyata, pemuda itu masih menolak untuk memercayainya. Dia harus memastikan hal itu secara langsung. Dia harus menemui Greta.Pemuda itu mencari Greta di tempat kerjanya, dan mendapati bahwa gadis itu sedang libur. Dari sini, perasaan Adrian sudah berubah tidak nyaman. Kemudian Adrian pergi menuju rumah gadis itu, berharap dia akan bertemu Greta di sana.Dan betapa hancur hati Adrian, saat mendapati kekasihnya tengah bersama seorang laki-laki yang dilihatnya dalam foto. “A-Adrian!” Greta terkejut dengan kedatangan pemuda itu yang tiba-tiba.“Kau tidak bekerja?” tanya Adrian, masih mencoba untuk berpikir positif.“Aku baru saja pulang,” jawab gadis itu.“Benarkah? Aku baru saja dari tempat kerjamu. Dan mereka bilang hari ini kau sedang libur.”“Ah, i-itu..” Greta menjawab dengan gugup. “Aku—““Siapa kau? Ada perlu apa kau dengan kekasihku?” pria di samping Greta berta
Alana dan Braden mampir ke sebuah tempat yang menjadi pusat street food sebelum pulang. Meski Alana bilang sedang ingin diet, nyatanya mata gadis itu seketika melebar saat melihat aneka jajanan serta mengendus aroma makanan yang menguar di udara sekitar mereka.“Waah, semuanya terlihat enak.” Alana menatap sekelilingnya dengan mata berbinar.“Bukankah tadi kau bilang sedang ingin diet?” Sindir Braden.“Kita kan sudah terlanjur sampai di sini. Jadi, ayo kita keliling,” Alana berjalan di depan dengan diikuti Braden yang membawakan bonekanya.Alana bingung menentukan pilihan, karena semua makanan terlihat sama enaknya. Setelah berkeliling dan melihat sana-sini, akhirnya gadis itu menjatuhkan pilihan pada corndog isi sosis dan keju berukuran besar, souffle cake mini dengan aneka toping, dan segelas boba cokelat.Mereka berjalan sambil menyesap minuman dingin, sedang mencari tempat duduk untuk makan. “Sepertinya itu Kak Greta. Apa aku salah lihat?” Alana berhenti untuk memperhatikan seoran
“Alana―” Braden menyaksikan mata Alana berkilat saat gadis itu menatap Leona dengan tajam. Leona mendongak, menatap Alana tidak kalah sengit. Melihat itu Braden buru-buru berdiri dan menempatkan dirinya di antara kedua gadis itu. “Lana, ayo kita pergi saja. Aku baru ingat ada kedai es krim yang lebih enak.” Alana menepis tangan Braden yang tengah memegangi lengannya. “Kenapa kita harus pergi? Kita duluan yang menempati meja ini. Kalau ada yang harus pergi, itu adalah dia!” Alana menunjuk Leona. “Bagaimana kalau aku tidak mau pergi?” Leona menyialngkan kaki dan mengibaskan rambutnya yang kini pendek sebahu. “Ayo kita cari meja lain.” Braden membujuk. “TIDAK!” Kata Alana tegas, masih sambil menatap Leona tanpa berkedip. Will menyadari ketegangan yang mulai terbentuk. “Leona, ayo kita kembali ke meja kita.” “Meja kita sudah ditempati oleh orang lain. Lagi pula aku lebih suka duduk di sini.” Leona berbicara tanpa repot-repot menoleh pada Will. Alana tersenyum miring. “Baiklah kala
Braden sangat kesal ketika melihat Alana yang terus saja tersipu saat mereka makan bersama malam itu. Gadis itu mengaduk-aduk makanan di piringnya dengan pandangan mata menerawang, dengan senyum samar yang terus saja tersungging di wajahnya.“Lana, jangan mainkan makananmu.” Tegur Sherly, membuat Lana bergegas menghabiskan sisa makanannya.‘Apa yang sudah dilakukan bajingan tengik itu? Dia pasti sudah mencekoki Alana dengan omong kosongnya!’ Braden membatin dengan kesal.Saat akhirnya kembali ke kamarnya, Braden menjadi makin kesal. Senyum konyol Alana benar-benar mengganggunya. “Argh, sialan!” Braden mengacak rambutnya. Dia benar-benar ingin menghajar Eric.Dia keluar dan pergi ke kamar Alana. Dia masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu. Didapatinya gadis itu mendongak terkejut dengan kedatangannya. “Kenapa kau tidak mengetuk pintu? Benar-benar kebiasan!” Alana tengah duduk di meja belajarnya sambil memangku boneka beruang bertuksedo pemberian Eric.Braden melirik boneka itu dengan ke
“Kenapa kau terus memandangiku?” tanya Alana, karena Eric berkali-kali mencuri pandang ke arahnya.Pemuda itu hanya tersenyum. “Aku hanya senang karena akhirnya bisa pergi denganmu.”Alana jadi salah tingkah. “Fokuslah mengemudi. Kau harus memperhatikan jalan dengan baik.”Akhirnya Eric menuruti apa kata Alana. Alana memperhatikan Eric yang sedikit tegang, berbeda dari biasanya. “Eric, apa kau baik-baik saja? Kau tampak tegang.”“Hahaha. Aku baik-baik saja.” Eric melirik Alana kembali. “Emm, Lana. Bisakah kau bukakan laci itu untukku?” Eric menunjuk laci dashboard yang berada tepat di depan Alana.“Yang ini?” Alana menunjuk.“Ya, benar. Yang itu. Bukalah.”Alana membukanya, dan menemukan sebatang cokelat dengan hiasan pita pink. Alana menatap Eric dengan pandangan bertanya. “Itu untukmu.” Ucap Eric, tanpa berani menatap Alana kali ini.Seketika Alana merasakan panas yang menjalar di leher dan wajahnya. Dia merasa kepanasan, padahal AC tengah menyala. ‘Astaga, ini cuma cokelat. Ada apa
Saat sampai di rumah, Alana menumpahkan kekesalannya pada boneka beruang pemberian Adrian. Alana memukul-mukul kepala beruang malang itu, kemudian menutupnya dengan kantong keresek agar mukanya yang imut itu tidak terlihat oleh pandangan matanya.“Kau memang menyebalkan! Mudah sekali kau meminta maaf. Kau pikir aku bisa melupakannya begitu saja?” Alana meninju beruang itu beberapa kali lagi hingga dia merasa puas. Sebenarnya dia merasa kasihan pada si beruang, tetapi benda itu selalu saja mengingatkannya pada Adrian.Seperti yang dijanjikan pemuda itu, keesokan harinya Greta benar-benar datang ke rumah dan meminta maaf pada Alana. “Maafkan aku, Lana. Aku menyesal, sungguh.” Permintaan maaf Greta tampak tulus, tetapi kini Alana tidak akan tertipu lagi.“Bisakah kita memulai semua kembali dari awal? Sebagai sahabat?” Greta tersenyum manis, seakan mereka berdua benar-benar bisa menjadi sahabat.‘Apa? Sahabat? Cuiih...’ Batin Alana. Dia menduga-duga, pasti Adrian harus menyuap Greta denga
“Tidak―” Braden menjatuhkan handphonenya, membuat Adrian makin panik.“Braden, Braden ada apa? Apa Alana baik-baik saja? Halo? Braden, jawab Aku!” Adrian terus berteriak menuntut jawaban, tetapi kini dia sudah diabaikan sepenuhnya oleh sang adik.Braden berlari menyeberangi ruangan, tempat Alana terbaring di lantai dengan muka pucat. Kini ketakutannya benar-benar menjadi nyata. Hal seperti inilah yang dia takutkan sejak awal.“Lana! Lana, bangun!” Braden mengguncang tubuh lemas Alana dengan putus asa dan air mata tertahan. “Kumohon, bangunlah! Lana!”Braden sudah menyelipkan sebelah lengan ke punggung gadis itu dan bersiap mengangkatnya saat Alana membuka mata dan melotot, membuat Braden terperanjat kaget. “Apa yang kau lakukan?” Alana duduk dan menggeliat, kemudian melepas headshet yang menempel di telinganya.“K-Kau tidak pingsan?”“Kau pikir aku pingan? Aku baik-baik saja.”“Astaga, kau membuatku khawatir! Kau tidak tahu betapa khawatirnya aku tadi. Jantungku hampir lepas saat meli
“Apa? Minta maaf?” Alana tertawa. “Dia yang salah kenapa aku yang harus meminta maaf?”“Berhentilah bersikap kekanak-kanakan!”“Kakak menyebutku kekanak-kanakan? Kekasih Kakak yang tidak tahu diri itulah yang bersikap kekanakan. Dia tidak bisa bersikap layaknya orang dewasa! Asal Kakak tahu saja, dia tidak sebaik yang Kakak kira. Kakak hanya sudah terperdaya oleh perangkap busuknya, sehingga tidak bisa melihat seperti apa dirinya yang sesungguhnya!”“Hentikan, Lana. Cukup! Aku tidak akan membiarkan siapa pun berbicara buruk mengenai Greta. Bahkan jika itu adalah kau!”Alana tersentak. Tidak pernah sekali pun Adrian membentaknya. Adrian yang begitu lembut dan baik hati, kini membentak Alana demi membela gadis seperti Greta.“Aku akan mengatakannya sekali lagi padamu. Kau harus meminta maaf pada Greta. Kau harus meminta maaf atas semua tuduhanmu dan karena kau sudah membuat dia menangis karena keisenganmu.”“Tidak!” kata Alana. “Aku tidak akan pernah meminta maaf padanya!”Adrian terlih
Mereka pergi ke sebuah restoran seafood yang berada di tepi pantai. Mereka semua bergembira, menikmati makanan enak serta pemandangan laut yang indah. Bahkan untuk sekali ini Steve tidak mempedulikan tingginya kandungan kolestrol dalam makanannya.Semua orang senang kecuali Greta. Gadis itu makan dalam diam, tampak tidak antusias seperti yang lainnya. Dia juga sesekali melirik Alana dengan penuh kebencian, namun tidak mengatakan apa pun. Setelah makan, mereka mengunjungi dermaga kecil yang berada tidak jauh dari sana.Mengabadikan momen dengan berfoto dan menikmati semilir angin yang sejuk di hari yang cerah itu. “Sayang, bajumu kotor. Kau pasti bersandar entah di mana tadi.” Sherly berusaha menghilangkan noda di baju putih Greta yang bagian punggungnya kotor.“Ah, biar saja Tante. Mungkin karena aku baru saja bersandar di pagar.” Greta tersenyum pada Sherly, tetapi saat dia kembali sendirian, Greta kembali menunjukkan kekesalannya.Mereka kembali ke villa ketika hari sudah malam. Mer