Steve sedang tidur karena kelelahan. Pria itu mengorok sangat keras sehingga Braden keluar ke balkon untuk mendapat sedikit ketenangan dan juga angin. Kemudian Sherly mendatangi kamarnya untuk memastikan apakah dia pergi bersama Alana.Saat tahu Alana pergi seorang diri ke pantai, Sherly merasa khawatir dan memaksa Braden untuk menyusul gadis itu. Maka Braden terpaksa menyeret dirinya yang pemalas menuju teriknya matahari pesisir.Hingga kemudian dia melihat sosok Alana di kejauhan yang sedang berbicara dengan seorang pria, yang ternyata adalah Eric. Braden tahu itu bukan kebetulan. Tidak ada yang namanya kebetulan jika menyangkut dengan Eric.Braden mempercepat langkahnya. Dia tidak akan membiarkan pemuda itu mendekati Alana barang sejengkal pun. Dia tidak akan membiarkan Eric menyentuh Alana barang seujung rambut pun. Braden tahu Eric pasti merencanakan sesuatu, dan dia tidak suka.Terlihat beberapa kali Alana berusaha menghindar, namun pemuda itu masih saja mendekati gadis itu. Bra
Acara penutup malam itu adalah pelemparan buket bunga yang dilakukan oleh pasangan pengantin. Pasangan pengantin itu berdiri di tengah panggung yang didekorasi dengan indah menggunakan ratusan tangkai bunga berwarna lembut dan lampu-lampu. Mereka berdiri membelakangi para tamu yang berkerumun di depan panggung dengan lengan terulur ke atas, bersiap untuk menangkap.Alana berdiri di pinggir bersama keluarganya, tidak tertarik untuk ikut ambil bagian mencoba peruntungan bersama puluhan orang lainnya. Dia tidak mau kakinya terinjak atau gaunnya tertarik, atau bahkan lebih buruk lagi badannya terdorong hingga terjatuh ketika perebutan itu terjadi.Jadi dia hanya menonton dari pinggir bersama sebagian besar tamu lainnya. “Bersiap, ya. Satu, dua, tiga!” Seorang laki-laki berjas kelabu yang merupakan pembawa acara meneriakkan aba-aba melalui mikrofon. Kemudian bunga terlempar ke tengah ruangan ke arah puluhan pasang tangan yang terulur hendak meraih benda tersebut.Buket bunga itu melayang a
Braden merasa lega ketika akhirnya mereka pulang. Eric benar-benar menjelma menjadi sebuah mimpi buruk baginya. Sebelumnya mereka hanya akan saling menggertak dan mengejek ketika bertemu, tidak lebih. Sampai akhirnya dia menemukan sesuatu yang bisa dengan mudah menyulut amarah Braden.Eric, tentu saja sangat menikmati momen itu. Dia merasa seperti seorang matador yang menikmati mempermainkan seekor banteng yang mengamuk, dan akan berlama-lama untuk mempermainkan banteng tersebut.Ketika sampai di rumah, Adrian menyambut kedatangan mereka dan membantu mengeluarkan serta mengangkat koper-koper dari bagasi. Dia memeluk Alana dengan erat, mengangkat gadis itu ke dalam dekapannya dan memutar-mutarkannya ke udara.“Kenapa aku sangat merindukanmu?” kata Adrian sambil masih mendekap Alana.“Kakak, turunkan aku.” Alana memukul-mukul pundak Adrian, “Aku tidak bisa bernapas.”Adrian akhirnya menurunkan Alana. “Bagaimana acaranya? Menyenangkan?”Braden melirik kakaknya yang sedang mendengar cerit
Hari sudah hampir senja ketika Alana keluar dari gedung fakultasnya. Dia memijat bahu kanannya yang pegal karena membawa tas yang terlalu berat. Dia lapar dan mengantuk, jadi dia ingin segera pulang ke rumah. Sepanjang jalan dia tidak fokus karena memikirkan makan malam, yang sebenarnya masih beberapa jam lagi.“Huh, aku lapar.” Alana mengamati awan yang berarak, yang kini mulai tampak seperti permen kapas yang lembut dan manis.“Alana,” Alana menoleh ketika mendengar namanya dipanggil. Dia menoleh ke sekelilingnya namun tidak menemukan orang yang telah memanggilnya. Lalu terdengar suara kekehan, yang langsung membuat Alana menoleh ke belakang.Eric berdiri agak jauh di belakangnya, berdiri di antara kerumunan mahasiswa sehingga dia tidak menyadari keberadaan pemuda itu sebelumnya. Eric berjalan mendekati Alana yang masih terpaku di tempat. “Sedang apa kau di sini?” tanya Alana curiga.“Ini masih area kampus. Memangnya salah kalau aku ada di sini?” Eric berusaha membela diri.“Aku tah
“Terima kasih sudah mengantarku pulang.” Alana bergegas keluar begitu Eric menghentikan mobilnya di depan gerbang. Dia sedang berkutat dengan gerendel yang mengunci gerbang ketika Eric sudah berdiri di sampingnya. “Apa yang kau lakukan? Apa kau tidak pulang?”Alana melihat mobil Eric sudah diparkir di pinggir jalan tidak jauh dari gerbang rumahnya. “Aku ingin menyapa Tante Sherly,” jawab Eric Acuh. “Kenapa kau lama sekali? Kau bisa membukanya, tidak?”Alana menghela napas sebentar, mencoba untuk bersabar. “Pulanglah, aku akan menyampaikan salammu pada Mama.” Ucap Alana yang kini berhasil membuka gerbang. “Ayo, pulanglah. Jangan buat ibumu khawatir.” Alana tersenyum sambil mengibas-ngibaskan tangan.Tetapi Eric lagi-lagi mengikutinya masuk, tidak peduli dengan penolakan Alana. “Tidak sopan mengusir tamu seperti itu. Kau seharusnya menawariku untuk mampir, meski hanya sekadar basa-basi.” Kata Eric yang melenggang mendahului Alana yang hanya terperangah. “Lagi pula mungkin Tante Sherly a
Seperti janjinya, keesokan harinya Eric benar-benar menjemput Alana. Padahal gadis itu sudah berencana berangkat lebih awal agar tidak perlu berangkat bersama Eric, tetapi pemuda itu ternyata menjemputnya satu jam lebih awal. “Memangnya kau tahu jadwalku?” tanya Alana merehkan.“Tentu saja. Aku kan punya informan di rumah ini. Jadi aku tahu jadwal kuliahmu selama seminggu penuh.” Kata Eric sambil menaikkan sebelah alisnya.Alana memandang Eric skeptis sambil bersedekap.“Kau tidak percaya? Ah, baiklah.” Eric mengeluarkan handphone dari saku jaket dan menunjukkan jadwal kuliah Alana yang kini dimiliki Eric.“Ah, menyebalkan!” kata Alana. “Kau pasti meminta jadwalku pada Mama! Kau benar-benar licik!”Malam sebelumnya setelah Eric pulang, Adrian dan Braden langsung menyudutkan Alana. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Alana melihat kedua saudara tirinya itu bersekongkol dan sepakat akan satu hal.“Aku tidak suka dengan bocah itu, Alana!” kata Adrian dengan muka kesal. “Berani-beraninya b
Braden sangat kesal saat tahu Alana benar-benar berangkat dan pulang kuliah bersama Eric. Tetapi dia tidak bisa melakukan apa pun karena jadwal kuliahnya dan Alana tidak selalu sama. Apalagi pemuda itu meminta izin langsung dari Steve dan Sherly. Jadi dia tidak bisa melakukan apa pun selain menggerutu dan menyumpahi pemuda itu.“Sialan, dia! Dia benar-benar cari masalah!” gerutu Braden.Karena itu dia merasa harus benar-benar mengambil tindakan jika ingin menghentikan Eric, “Besok, kau berangkat denganku!” kata Braden pada Alana yang sedang belajar di ruang tengah. Alana mendongak dari buku yang sedang dibacanya dengan dahi berkerut heran. “Aku tidak ingin kau berangkat dengan Eric!”Alana menghelan napas, “Tidak perlu, aku bisa berangkat sendiri. Lagi pula besok dia tidak akan menjemputku. Jadwal kami berbeda, jadi kau tidak perlu khawatir.” Ucap Alana yang langsung kembali terfokus pada bukunya lagi.Braden mengusap wajahnya kesal. “Kalau begitu, tidak ada alasan menolakku!”Alana k
Braden melepas sepatu dan menggulung celana jins yang dipakainya hingga selutut. Dia juga melepas jaket dan menggulung lengan bajunya agar lebih tinggi. Dia menghirup banyak udara sebelum masuk ke dalam got yang ternyata lumayan dalam.“Apa-apaan ini? Kau yang menginginkan kucing itu dan aku yang harus mengambilnya? Yang benar saja?” Braden terus saja menggerutu.Got itu hampir setinggi pinggangnya dan air yang menggenang ternyata lebih dalam dari yang dia perkiraan. Braden mengerang merasakan kakinya terbenam dalam lumpur yang pekat. Kucing itu berdiri di tumpukan sampah yang terkumpul dan memadat, sehingga dia tidak bisa lari ketika Braden meraihnya dalam genggaman tangan.“Pegang dia!” kata Braden pada Alana yang menerima kucing itu tanpa memprotes, hanya meringis dan mengernyit jijik ketika lumpur kotor mengenai tangannya. Alana berusaha menjauhkan tangannya yang memegang si kucing agar bajunya tidak terciprat lumpur.Braden melompat naik kemudian memungut Jaket dan sepatunya. Mer