Acara penutup malam itu adalah pelemparan buket bunga yang dilakukan oleh pasangan pengantin. Pasangan pengantin itu berdiri di tengah panggung yang didekorasi dengan indah menggunakan ratusan tangkai bunga berwarna lembut dan lampu-lampu. Mereka berdiri membelakangi para tamu yang berkerumun di depan panggung dengan lengan terulur ke atas, bersiap untuk menangkap.Alana berdiri di pinggir bersama keluarganya, tidak tertarik untuk ikut ambil bagian mencoba peruntungan bersama puluhan orang lainnya. Dia tidak mau kakinya terinjak atau gaunnya tertarik, atau bahkan lebih buruk lagi badannya terdorong hingga terjatuh ketika perebutan itu terjadi.Jadi dia hanya menonton dari pinggir bersama sebagian besar tamu lainnya. “Bersiap, ya. Satu, dua, tiga!” Seorang laki-laki berjas kelabu yang merupakan pembawa acara meneriakkan aba-aba melalui mikrofon. Kemudian bunga terlempar ke tengah ruangan ke arah puluhan pasang tangan yang terulur hendak meraih benda tersebut.Buket bunga itu melayang a
Braden merasa lega ketika akhirnya mereka pulang. Eric benar-benar menjelma menjadi sebuah mimpi buruk baginya. Sebelumnya mereka hanya akan saling menggertak dan mengejek ketika bertemu, tidak lebih. Sampai akhirnya dia menemukan sesuatu yang bisa dengan mudah menyulut amarah Braden.Eric, tentu saja sangat menikmati momen itu. Dia merasa seperti seorang matador yang menikmati mempermainkan seekor banteng yang mengamuk, dan akan berlama-lama untuk mempermainkan banteng tersebut.Ketika sampai di rumah, Adrian menyambut kedatangan mereka dan membantu mengeluarkan serta mengangkat koper-koper dari bagasi. Dia memeluk Alana dengan erat, mengangkat gadis itu ke dalam dekapannya dan memutar-mutarkannya ke udara.“Kenapa aku sangat merindukanmu?” kata Adrian sambil masih mendekap Alana.“Kakak, turunkan aku.” Alana memukul-mukul pundak Adrian, “Aku tidak bisa bernapas.”Adrian akhirnya menurunkan Alana. “Bagaimana acaranya? Menyenangkan?”Braden melirik kakaknya yang sedang mendengar cerit
Hari sudah hampir senja ketika Alana keluar dari gedung fakultasnya. Dia memijat bahu kanannya yang pegal karena membawa tas yang terlalu berat. Dia lapar dan mengantuk, jadi dia ingin segera pulang ke rumah. Sepanjang jalan dia tidak fokus karena memikirkan makan malam, yang sebenarnya masih beberapa jam lagi.“Huh, aku lapar.” Alana mengamati awan yang berarak, yang kini mulai tampak seperti permen kapas yang lembut dan manis.“Alana,” Alana menoleh ketika mendengar namanya dipanggil. Dia menoleh ke sekelilingnya namun tidak menemukan orang yang telah memanggilnya. Lalu terdengar suara kekehan, yang langsung membuat Alana menoleh ke belakang.Eric berdiri agak jauh di belakangnya, berdiri di antara kerumunan mahasiswa sehingga dia tidak menyadari keberadaan pemuda itu sebelumnya. Eric berjalan mendekati Alana yang masih terpaku di tempat. “Sedang apa kau di sini?” tanya Alana curiga.“Ini masih area kampus. Memangnya salah kalau aku ada di sini?” Eric berusaha membela diri.“Aku tah
“Terima kasih sudah mengantarku pulang.” Alana bergegas keluar begitu Eric menghentikan mobilnya di depan gerbang. Dia sedang berkutat dengan gerendel yang mengunci gerbang ketika Eric sudah berdiri di sampingnya. “Apa yang kau lakukan? Apa kau tidak pulang?”Alana melihat mobil Eric sudah diparkir di pinggir jalan tidak jauh dari gerbang rumahnya. “Aku ingin menyapa Tante Sherly,” jawab Eric Acuh. “Kenapa kau lama sekali? Kau bisa membukanya, tidak?”Alana menghela napas sebentar, mencoba untuk bersabar. “Pulanglah, aku akan menyampaikan salammu pada Mama.” Ucap Alana yang kini berhasil membuka gerbang. “Ayo, pulanglah. Jangan buat ibumu khawatir.” Alana tersenyum sambil mengibas-ngibaskan tangan.Tetapi Eric lagi-lagi mengikutinya masuk, tidak peduli dengan penolakan Alana. “Tidak sopan mengusir tamu seperti itu. Kau seharusnya menawariku untuk mampir, meski hanya sekadar basa-basi.” Kata Eric yang melenggang mendahului Alana yang hanya terperangah. “Lagi pula mungkin Tante Sherly a
Seperti janjinya, keesokan harinya Eric benar-benar menjemput Alana. Padahal gadis itu sudah berencana berangkat lebih awal agar tidak perlu berangkat bersama Eric, tetapi pemuda itu ternyata menjemputnya satu jam lebih awal. “Memangnya kau tahu jadwalku?” tanya Alana merehkan.“Tentu saja. Aku kan punya informan di rumah ini. Jadi aku tahu jadwal kuliahmu selama seminggu penuh.” Kata Eric sambil menaikkan sebelah alisnya.Alana memandang Eric skeptis sambil bersedekap.“Kau tidak percaya? Ah, baiklah.” Eric mengeluarkan handphone dari saku jaket dan menunjukkan jadwal kuliah Alana yang kini dimiliki Eric.“Ah, menyebalkan!” kata Alana. “Kau pasti meminta jadwalku pada Mama! Kau benar-benar licik!”Malam sebelumnya setelah Eric pulang, Adrian dan Braden langsung menyudutkan Alana. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Alana melihat kedua saudara tirinya itu bersekongkol dan sepakat akan satu hal.“Aku tidak suka dengan bocah itu, Alana!” kata Adrian dengan muka kesal. “Berani-beraninya b
Braden sangat kesal saat tahu Alana benar-benar berangkat dan pulang kuliah bersama Eric. Tetapi dia tidak bisa melakukan apa pun karena jadwal kuliahnya dan Alana tidak selalu sama. Apalagi pemuda itu meminta izin langsung dari Steve dan Sherly. Jadi dia tidak bisa melakukan apa pun selain menggerutu dan menyumpahi pemuda itu.“Sialan, dia! Dia benar-benar cari masalah!” gerutu Braden.Karena itu dia merasa harus benar-benar mengambil tindakan jika ingin menghentikan Eric, “Besok, kau berangkat denganku!” kata Braden pada Alana yang sedang belajar di ruang tengah. Alana mendongak dari buku yang sedang dibacanya dengan dahi berkerut heran. “Aku tidak ingin kau berangkat dengan Eric!”Alana menghelan napas, “Tidak perlu, aku bisa berangkat sendiri. Lagi pula besok dia tidak akan menjemputku. Jadwal kami berbeda, jadi kau tidak perlu khawatir.” Ucap Alana yang langsung kembali terfokus pada bukunya lagi.Braden mengusap wajahnya kesal. “Kalau begitu, tidak ada alasan menolakku!”Alana k
Braden melepas sepatu dan menggulung celana jins yang dipakainya hingga selutut. Dia juga melepas jaket dan menggulung lengan bajunya agar lebih tinggi. Dia menghirup banyak udara sebelum masuk ke dalam got yang ternyata lumayan dalam.“Apa-apaan ini? Kau yang menginginkan kucing itu dan aku yang harus mengambilnya? Yang benar saja?” Braden terus saja menggerutu.Got itu hampir setinggi pinggangnya dan air yang menggenang ternyata lebih dalam dari yang dia perkiraan. Braden mengerang merasakan kakinya terbenam dalam lumpur yang pekat. Kucing itu berdiri di tumpukan sampah yang terkumpul dan memadat, sehingga dia tidak bisa lari ketika Braden meraihnya dalam genggaman tangan.“Pegang dia!” kata Braden pada Alana yang menerima kucing itu tanpa memprotes, hanya meringis dan mengernyit jijik ketika lumpur kotor mengenai tangannya. Alana berusaha menjauhkan tangannya yang memegang si kucing agar bajunya tidak terciprat lumpur.Braden melompat naik kemudian memungut Jaket dan sepatunya. Mer
Sebelumnya, Alana mengira Adrian akan mengajaknya ke sebuah pet shop biasa. Ternyata pemuda itu mengajaknya ke pasar binatang, tempat di mana ada puluhan pet shop yang menjajakan aneka macam kebutuhan binatang dan binatang itu sendiri.Alana memandang itu semua dengan perasaan takjub. Sepanjang jalan begitu riuh dengan suara-suara burung yang memekik, juga suara orang yang berlalu-lalang dan melakukan transaksi. Dia juga sempat beberapa kali berhenti untuk melihat kucing-kucing imut dari berbagai ras yang berada dalam kandang yang membuatnya gemas sekaligus iba.Ada hamster-hamster dengan berbagai corak yang beberapa di antaranya sedang berlari di sebuah roda berputar. Juga kelinci-kelinci putih dengan bulu lembut yang sibuk mengunyah rumput. Kemudian Alana melihat seorang bocah lelaki mengelus cangkang kura-kura seukuran helm dalam sebuah wadah besar.“Kak, lihat itu.” Alana memekik riang melihat seekor burung hantu kecil kelabu dengan kepala berjambul mirip telinga. Burung itu menel
Adrian hanya bisa terdiam, saat mendapati bukti-bukti perselingkuhan kekasihnya. Namun, meski semua bukti itu terpampang nyata, pemuda itu masih menolak untuk memercayainya. Dia harus memastikan hal itu secara langsung. Dia harus menemui Greta.Pemuda itu mencari Greta di tempat kerjanya, dan mendapati bahwa gadis itu sedang libur. Dari sini, perasaan Adrian sudah berubah tidak nyaman. Kemudian Adrian pergi menuju rumah gadis itu, berharap dia akan bertemu Greta di sana.Dan betapa hancur hati Adrian, saat mendapati kekasihnya tengah bersama seorang laki-laki yang dilihatnya dalam foto. “A-Adrian!” Greta terkejut dengan kedatangan pemuda itu yang tiba-tiba.“Kau tidak bekerja?” tanya Adrian, masih mencoba untuk berpikir positif.“Aku baru saja pulang,” jawab gadis itu.“Benarkah? Aku baru saja dari tempat kerjamu. Dan mereka bilang hari ini kau sedang libur.”“Ah, i-itu..” Greta menjawab dengan gugup. “Aku—““Siapa kau? Ada perlu apa kau dengan kekasihku?” pria di samping Greta berta
Alana dan Braden mampir ke sebuah tempat yang menjadi pusat street food sebelum pulang. Meski Alana bilang sedang ingin diet, nyatanya mata gadis itu seketika melebar saat melihat aneka jajanan serta mengendus aroma makanan yang menguar di udara sekitar mereka.“Waah, semuanya terlihat enak.” Alana menatap sekelilingnya dengan mata berbinar.“Bukankah tadi kau bilang sedang ingin diet?” Sindir Braden.“Kita kan sudah terlanjur sampai di sini. Jadi, ayo kita keliling,” Alana berjalan di depan dengan diikuti Braden yang membawakan bonekanya.Alana bingung menentukan pilihan, karena semua makanan terlihat sama enaknya. Setelah berkeliling dan melihat sana-sini, akhirnya gadis itu menjatuhkan pilihan pada corndog isi sosis dan keju berukuran besar, souffle cake mini dengan aneka toping, dan segelas boba cokelat.Mereka berjalan sambil menyesap minuman dingin, sedang mencari tempat duduk untuk makan. “Sepertinya itu Kak Greta. Apa aku salah lihat?” Alana berhenti untuk memperhatikan seoran
“Alana―” Braden menyaksikan mata Alana berkilat saat gadis itu menatap Leona dengan tajam. Leona mendongak, menatap Alana tidak kalah sengit. Melihat itu Braden buru-buru berdiri dan menempatkan dirinya di antara kedua gadis itu. “Lana, ayo kita pergi saja. Aku baru ingat ada kedai es krim yang lebih enak.” Alana menepis tangan Braden yang tengah memegangi lengannya. “Kenapa kita harus pergi? Kita duluan yang menempati meja ini. Kalau ada yang harus pergi, itu adalah dia!” Alana menunjuk Leona. “Bagaimana kalau aku tidak mau pergi?” Leona menyialngkan kaki dan mengibaskan rambutnya yang kini pendek sebahu. “Ayo kita cari meja lain.” Braden membujuk. “TIDAK!” Kata Alana tegas, masih sambil menatap Leona tanpa berkedip. Will menyadari ketegangan yang mulai terbentuk. “Leona, ayo kita kembali ke meja kita.” “Meja kita sudah ditempati oleh orang lain. Lagi pula aku lebih suka duduk di sini.” Leona berbicara tanpa repot-repot menoleh pada Will. Alana tersenyum miring. “Baiklah kala
Braden sangat kesal ketika melihat Alana yang terus saja tersipu saat mereka makan bersama malam itu. Gadis itu mengaduk-aduk makanan di piringnya dengan pandangan mata menerawang, dengan senyum samar yang terus saja tersungging di wajahnya.“Lana, jangan mainkan makananmu.” Tegur Sherly, membuat Lana bergegas menghabiskan sisa makanannya.‘Apa yang sudah dilakukan bajingan tengik itu? Dia pasti sudah mencekoki Alana dengan omong kosongnya!’ Braden membatin dengan kesal.Saat akhirnya kembali ke kamarnya, Braden menjadi makin kesal. Senyum konyol Alana benar-benar mengganggunya. “Argh, sialan!” Braden mengacak rambutnya. Dia benar-benar ingin menghajar Eric.Dia keluar dan pergi ke kamar Alana. Dia masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu. Didapatinya gadis itu mendongak terkejut dengan kedatangannya. “Kenapa kau tidak mengetuk pintu? Benar-benar kebiasan!” Alana tengah duduk di meja belajarnya sambil memangku boneka beruang bertuksedo pemberian Eric.Braden melirik boneka itu dengan ke
“Kenapa kau terus memandangiku?” tanya Alana, karena Eric berkali-kali mencuri pandang ke arahnya.Pemuda itu hanya tersenyum. “Aku hanya senang karena akhirnya bisa pergi denganmu.”Alana jadi salah tingkah. “Fokuslah mengemudi. Kau harus memperhatikan jalan dengan baik.”Akhirnya Eric menuruti apa kata Alana. Alana memperhatikan Eric yang sedikit tegang, berbeda dari biasanya. “Eric, apa kau baik-baik saja? Kau tampak tegang.”“Hahaha. Aku baik-baik saja.” Eric melirik Alana kembali. “Emm, Lana. Bisakah kau bukakan laci itu untukku?” Eric menunjuk laci dashboard yang berada tepat di depan Alana.“Yang ini?” Alana menunjuk.“Ya, benar. Yang itu. Bukalah.”Alana membukanya, dan menemukan sebatang cokelat dengan hiasan pita pink. Alana menatap Eric dengan pandangan bertanya. “Itu untukmu.” Ucap Eric, tanpa berani menatap Alana kali ini.Seketika Alana merasakan panas yang menjalar di leher dan wajahnya. Dia merasa kepanasan, padahal AC tengah menyala. ‘Astaga, ini cuma cokelat. Ada apa
Saat sampai di rumah, Alana menumpahkan kekesalannya pada boneka beruang pemberian Adrian. Alana memukul-mukul kepala beruang malang itu, kemudian menutupnya dengan kantong keresek agar mukanya yang imut itu tidak terlihat oleh pandangan matanya.“Kau memang menyebalkan! Mudah sekali kau meminta maaf. Kau pikir aku bisa melupakannya begitu saja?” Alana meninju beruang itu beberapa kali lagi hingga dia merasa puas. Sebenarnya dia merasa kasihan pada si beruang, tetapi benda itu selalu saja mengingatkannya pada Adrian.Seperti yang dijanjikan pemuda itu, keesokan harinya Greta benar-benar datang ke rumah dan meminta maaf pada Alana. “Maafkan aku, Lana. Aku menyesal, sungguh.” Permintaan maaf Greta tampak tulus, tetapi kini Alana tidak akan tertipu lagi.“Bisakah kita memulai semua kembali dari awal? Sebagai sahabat?” Greta tersenyum manis, seakan mereka berdua benar-benar bisa menjadi sahabat.‘Apa? Sahabat? Cuiih...’ Batin Alana. Dia menduga-duga, pasti Adrian harus menyuap Greta denga
“Tidak―” Braden menjatuhkan handphonenya, membuat Adrian makin panik.“Braden, Braden ada apa? Apa Alana baik-baik saja? Halo? Braden, jawab Aku!” Adrian terus berteriak menuntut jawaban, tetapi kini dia sudah diabaikan sepenuhnya oleh sang adik.Braden berlari menyeberangi ruangan, tempat Alana terbaring di lantai dengan muka pucat. Kini ketakutannya benar-benar menjadi nyata. Hal seperti inilah yang dia takutkan sejak awal.“Lana! Lana, bangun!” Braden mengguncang tubuh lemas Alana dengan putus asa dan air mata tertahan. “Kumohon, bangunlah! Lana!”Braden sudah menyelipkan sebelah lengan ke punggung gadis itu dan bersiap mengangkatnya saat Alana membuka mata dan melotot, membuat Braden terperanjat kaget. “Apa yang kau lakukan?” Alana duduk dan menggeliat, kemudian melepas headshet yang menempel di telinganya.“K-Kau tidak pingsan?”“Kau pikir aku pingan? Aku baik-baik saja.”“Astaga, kau membuatku khawatir! Kau tidak tahu betapa khawatirnya aku tadi. Jantungku hampir lepas saat meli
“Apa? Minta maaf?” Alana tertawa. “Dia yang salah kenapa aku yang harus meminta maaf?”“Berhentilah bersikap kekanak-kanakan!”“Kakak menyebutku kekanak-kanakan? Kekasih Kakak yang tidak tahu diri itulah yang bersikap kekanakan. Dia tidak bisa bersikap layaknya orang dewasa! Asal Kakak tahu saja, dia tidak sebaik yang Kakak kira. Kakak hanya sudah terperdaya oleh perangkap busuknya, sehingga tidak bisa melihat seperti apa dirinya yang sesungguhnya!”“Hentikan, Lana. Cukup! Aku tidak akan membiarkan siapa pun berbicara buruk mengenai Greta. Bahkan jika itu adalah kau!”Alana tersentak. Tidak pernah sekali pun Adrian membentaknya. Adrian yang begitu lembut dan baik hati, kini membentak Alana demi membela gadis seperti Greta.“Aku akan mengatakannya sekali lagi padamu. Kau harus meminta maaf pada Greta. Kau harus meminta maaf atas semua tuduhanmu dan karena kau sudah membuat dia menangis karena keisenganmu.”“Tidak!” kata Alana. “Aku tidak akan pernah meminta maaf padanya!”Adrian terlih
Mereka pergi ke sebuah restoran seafood yang berada di tepi pantai. Mereka semua bergembira, menikmati makanan enak serta pemandangan laut yang indah. Bahkan untuk sekali ini Steve tidak mempedulikan tingginya kandungan kolestrol dalam makanannya.Semua orang senang kecuali Greta. Gadis itu makan dalam diam, tampak tidak antusias seperti yang lainnya. Dia juga sesekali melirik Alana dengan penuh kebencian, namun tidak mengatakan apa pun. Setelah makan, mereka mengunjungi dermaga kecil yang berada tidak jauh dari sana.Mengabadikan momen dengan berfoto dan menikmati semilir angin yang sejuk di hari yang cerah itu. “Sayang, bajumu kotor. Kau pasti bersandar entah di mana tadi.” Sherly berusaha menghilangkan noda di baju putih Greta yang bagian punggungnya kotor.“Ah, biar saja Tante. Mungkin karena aku baru saja bersandar di pagar.” Greta tersenyum pada Sherly, tetapi saat dia kembali sendirian, Greta kembali menunjukkan kekesalannya.Mereka kembali ke villa ketika hari sudah malam. Mer