Deg.Deg. Jantung Braden berdetak dengan kencang, hingga membuatnya meringis.Braden tidak bisa berkata-kata. Dia bahkan tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Alana. Dia tidak tahu jika sebuah kebaya bisa terlihat begitu indah jika dikenakan oleh seseorang. Dan warna merah itu terlihat begitu kontras dengan kulit pucat Alana.Dia terkesima hingga tidak mendengar Sherly yang berbicara dengannya. “A-apa? Mama bicara apa barusan?” tanya Braden tergagap.“Jangan gulung lengan bajumu seperti itu! Kenapa kau terus melamun?” kata Sherly sambil mengurai sebelah gulungan lengan baju Braden. “Alana terlihat cantik, kan? Mama yang mendandaninya.”Mendengar ucapan ibunya membuat rasa panas tiba-tiba menjalari leher dan wajahnya. “Kenapa mukamu merah sekali? Kau baik-baik saja?” tanya Sherly memperhatikan putranya dengan raut khawatir. Hal itu malah membuat wajah Braden makin memerah.“Ah, baju ini membuatku kepanasan. Mama kan tahu aku tidak pernah tahan memakai kemeja formal seperti ini.” Ka
Setelah mereka kembali ke kamar, Alana tidak bisa berhenti memandangi jendela yang menampakkan pantai di kejauhan sana. Acara resepsi masih berjam-jam lagi sehingga mereka punya waktu untuk beristirahat atau bersantai.“Mama tidak ingin pergi ke pantai?” tanya Alana pada Sherly yang sedang berbaring dengan mata setengah terpejam.“Mama lelah setelah acara tadi. Ajak saja Braden untuk menemanimu,” kata Sherly masih sambil memejamkan mata. “Atau ajak papamu. Jangan pergi sendirian.”Lebih baik aku pergi sendiri daripada mengajak Braden. Alana berniat mengajak papanya, tetapi mengurungkan niat karena berpikir Steve pasti lelah karena mengemudi semalam. Jadi dia pergi seorang diri menuju pantai yang masih berada di area hotel.Dia tidak mempedulikan cuaca tengah hari yang terik. Alana mengenakan topi pemberian Adrian untuk menghalau panas, dan berlari menuju air setelah menjatuhkan sandalnya di pasir. Kakinya agak berjinjit ketika merasakan pasir pantai yang panas menyengat.Alana mengamb
Steve sedang tidur karena kelelahan. Pria itu mengorok sangat keras sehingga Braden keluar ke balkon untuk mendapat sedikit ketenangan dan juga angin. Kemudian Sherly mendatangi kamarnya untuk memastikan apakah dia pergi bersama Alana.Saat tahu Alana pergi seorang diri ke pantai, Sherly merasa khawatir dan memaksa Braden untuk menyusul gadis itu. Maka Braden terpaksa menyeret dirinya yang pemalas menuju teriknya matahari pesisir.Hingga kemudian dia melihat sosok Alana di kejauhan yang sedang berbicara dengan seorang pria, yang ternyata adalah Eric. Braden tahu itu bukan kebetulan. Tidak ada yang namanya kebetulan jika menyangkut dengan Eric.Braden mempercepat langkahnya. Dia tidak akan membiarkan pemuda itu mendekati Alana barang sejengkal pun. Dia tidak akan membiarkan Eric menyentuh Alana barang seujung rambut pun. Braden tahu Eric pasti merencanakan sesuatu, dan dia tidak suka.Terlihat beberapa kali Alana berusaha menghindar, namun pemuda itu masih saja mendekati gadis itu. Bra
Acara penutup malam itu adalah pelemparan buket bunga yang dilakukan oleh pasangan pengantin. Pasangan pengantin itu berdiri di tengah panggung yang didekorasi dengan indah menggunakan ratusan tangkai bunga berwarna lembut dan lampu-lampu. Mereka berdiri membelakangi para tamu yang berkerumun di depan panggung dengan lengan terulur ke atas, bersiap untuk menangkap.Alana berdiri di pinggir bersama keluarganya, tidak tertarik untuk ikut ambil bagian mencoba peruntungan bersama puluhan orang lainnya. Dia tidak mau kakinya terinjak atau gaunnya tertarik, atau bahkan lebih buruk lagi badannya terdorong hingga terjatuh ketika perebutan itu terjadi.Jadi dia hanya menonton dari pinggir bersama sebagian besar tamu lainnya. “Bersiap, ya. Satu, dua, tiga!” Seorang laki-laki berjas kelabu yang merupakan pembawa acara meneriakkan aba-aba melalui mikrofon. Kemudian bunga terlempar ke tengah ruangan ke arah puluhan pasang tangan yang terulur hendak meraih benda tersebut.Buket bunga itu melayang a
Braden merasa lega ketika akhirnya mereka pulang. Eric benar-benar menjelma menjadi sebuah mimpi buruk baginya. Sebelumnya mereka hanya akan saling menggertak dan mengejek ketika bertemu, tidak lebih. Sampai akhirnya dia menemukan sesuatu yang bisa dengan mudah menyulut amarah Braden.Eric, tentu saja sangat menikmati momen itu. Dia merasa seperti seorang matador yang menikmati mempermainkan seekor banteng yang mengamuk, dan akan berlama-lama untuk mempermainkan banteng tersebut.Ketika sampai di rumah, Adrian menyambut kedatangan mereka dan membantu mengeluarkan serta mengangkat koper-koper dari bagasi. Dia memeluk Alana dengan erat, mengangkat gadis itu ke dalam dekapannya dan memutar-mutarkannya ke udara.“Kenapa aku sangat merindukanmu?” kata Adrian sambil masih mendekap Alana.“Kakak, turunkan aku.” Alana memukul-mukul pundak Adrian, “Aku tidak bisa bernapas.”Adrian akhirnya menurunkan Alana. “Bagaimana acaranya? Menyenangkan?”Braden melirik kakaknya yang sedang mendengar cerit
Hari sudah hampir senja ketika Alana keluar dari gedung fakultasnya. Dia memijat bahu kanannya yang pegal karena membawa tas yang terlalu berat. Dia lapar dan mengantuk, jadi dia ingin segera pulang ke rumah. Sepanjang jalan dia tidak fokus karena memikirkan makan malam, yang sebenarnya masih beberapa jam lagi.“Huh, aku lapar.” Alana mengamati awan yang berarak, yang kini mulai tampak seperti permen kapas yang lembut dan manis.“Alana,” Alana menoleh ketika mendengar namanya dipanggil. Dia menoleh ke sekelilingnya namun tidak menemukan orang yang telah memanggilnya. Lalu terdengar suara kekehan, yang langsung membuat Alana menoleh ke belakang.Eric berdiri agak jauh di belakangnya, berdiri di antara kerumunan mahasiswa sehingga dia tidak menyadari keberadaan pemuda itu sebelumnya. Eric berjalan mendekati Alana yang masih terpaku di tempat. “Sedang apa kau di sini?” tanya Alana curiga.“Ini masih area kampus. Memangnya salah kalau aku ada di sini?” Eric berusaha membela diri.“Aku tah
“Terima kasih sudah mengantarku pulang.” Alana bergegas keluar begitu Eric menghentikan mobilnya di depan gerbang. Dia sedang berkutat dengan gerendel yang mengunci gerbang ketika Eric sudah berdiri di sampingnya. “Apa yang kau lakukan? Apa kau tidak pulang?”Alana melihat mobil Eric sudah diparkir di pinggir jalan tidak jauh dari gerbang rumahnya. “Aku ingin menyapa Tante Sherly,” jawab Eric Acuh. “Kenapa kau lama sekali? Kau bisa membukanya, tidak?”Alana menghela napas sebentar, mencoba untuk bersabar. “Pulanglah, aku akan menyampaikan salammu pada Mama.” Ucap Alana yang kini berhasil membuka gerbang. “Ayo, pulanglah. Jangan buat ibumu khawatir.” Alana tersenyum sambil mengibas-ngibaskan tangan.Tetapi Eric lagi-lagi mengikutinya masuk, tidak peduli dengan penolakan Alana. “Tidak sopan mengusir tamu seperti itu. Kau seharusnya menawariku untuk mampir, meski hanya sekadar basa-basi.” Kata Eric yang melenggang mendahului Alana yang hanya terperangah. “Lagi pula mungkin Tante Sherly a
Seperti janjinya, keesokan harinya Eric benar-benar menjemput Alana. Padahal gadis itu sudah berencana berangkat lebih awal agar tidak perlu berangkat bersama Eric, tetapi pemuda itu ternyata menjemputnya satu jam lebih awal. “Memangnya kau tahu jadwalku?” tanya Alana merehkan.“Tentu saja. Aku kan punya informan di rumah ini. Jadi aku tahu jadwal kuliahmu selama seminggu penuh.” Kata Eric sambil menaikkan sebelah alisnya.Alana memandang Eric skeptis sambil bersedekap.“Kau tidak percaya? Ah, baiklah.” Eric mengeluarkan handphone dari saku jaket dan menunjukkan jadwal kuliah Alana yang kini dimiliki Eric.“Ah, menyebalkan!” kata Alana. “Kau pasti meminta jadwalku pada Mama! Kau benar-benar licik!”Malam sebelumnya setelah Eric pulang, Adrian dan Braden langsung menyudutkan Alana. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Alana melihat kedua saudara tirinya itu bersekongkol dan sepakat akan satu hal.“Aku tidak suka dengan bocah itu, Alana!” kata Adrian dengan muka kesal. “Berani-beraninya b