Hari sudah hampir malam jadi Alana bergegas untuk pulang. Kuliahnya sudah selesai dari siang, tetapi ada tugas kelompok yang harus dia kerjakan bersama teman-temannya. Salah seorang teman menawarkan diri untuk mengantarnya pulang, namun dia menolak karena tidak ingin merepotkan.Dia juga menolak dijemput karena tidak ingin merepotkan orang rumah. Alana membalas pesan masuk dari Sherly dan Adrian yang khawatir karena dia belum pulang hingga hampir malam.Ada juga tiga panggilan tak terjawab dari papanya. Alana tersenyum mengingat kekhawatiran mereka yang sedikit berlebihan.Saat dia sedang berjalan tiba-tiba sebuah mobil tipe hatchback berwarna putih melintas dan berhenti tepat di sampingnya. Dia terus saja melangkah sampai perlahan kaca pintu mobil terbuka dan menampakkan wajah David dan Fero yang berada di bagian kemudi.“Lana ... “ sapa mereka.“Ayo, masuklah. Biar aku antar kau pulang.” Kata Fero.“Ah, tidak usah, Kak. Biar aku naik ojek saja.” Tolak Alana dengan melambaikan tangan
Membuang sampah adalah tugas para lelaki di rumah itu. Semua sampah dari sepenjuru rumah dikumpulkan dalam sebuah bak sampah plastik besar beroda yang ditaruh di pekarangan sebelah dapur.Karena semua lelaki sedang tidak ada di rumah kecuali Braden, maka Mbok Ijah menyuruhnya untuk membuang sampah ke bak sampah di depan rumah karena kondisinya yang sudah penuh.Braden menarik kantung plastik besar berwarna hitam berisi sampah dan memindahkannya ke bak luar. Dia sedikit mengernyitkan hidung untuk menahan aroma tidak sedap yang menguar. Baru saja dia hendak berbalik saat sebuah mobil berwarna putih berhenti tidak jauh darinya.Dia mengenali mobil itu sebagai milik Fero, sahabatnya. Dia sampai harus melihat plat di bagian belakang mobil untuk memastikan hal itu. Tetapi Braden merasa heran karena mobil itu tidak langsung masuk ke halaman, seperti yang biasa teman-temannya lakukan saat berkunjung.Tidak lama kemudian dia melihat Alana keluar dari mobil tersebut. Dia terlihat was-was sepert
Alana mencoba merenungkan semuanya. Di malam Braden berbicara dengannya dia tidak bisa berhenti menangis sampai hampir pagi. Karena matanya yang bengkak dan merah dia berusaha menghindari semua orang di rumah.Dia tidak ingin mereka bertanya-tanya. Dia tidak sarapan, lagi pula dia memang sedang tidak berselera untuk makan. Dia juga tidak bertemu Braden, dan dia bersyukur untuk itu.Di kampus, sepanjang jalan semua orang memandanginya. Sangat kentara kalau dia baru menangis. Alana mengeluarkan kacamata baca dari dalam tas dan mengenakannya. Setidaknya benda itu akan menyamarkan bekas air mata, pikirnya.Karena jadwal kelas pertamanya masih satu jam lagi, Alana memutuskan untuk duduk di bangku taman kampus. Dia memilih area yang tersembunyi, sebuah bangku yang tertutup pohon besar serta tanaman tinggi. Matanya sakit, begitu juga kepalanya. Terlebih lagi hatinya. Dia sudah merasa cukup menangis, tetapi rasa sakit itu masih ada. Dia harus segera pergi dari rumah itu, tetapi dia bingung
Selama berhari-hari Alana menunggu jawaban dari papanya. Namun pria itu tidak kunjung memberikan jawaban. Hal itu membuat Alana makin gelisah, terutama saat dia bertemu dengan Braden.“Papa akan pertimbangkan dulu,” jawab pria itu mengelak, yang lalu akan diikuti dengan rengekan manja putrinya.Alana merasa aktingnya makin bagus. Dia belajar merengek seperti anak manja yang menginginkan mainan. Hal itu membuat papanya jengkel namun juga tidak berdaya.“Kalau kamu pergi, bagaimana dengan Tante?” Tanya Sherly yang mendatanginya sesaat setelah Alana berbicara dengan papanya untuk pertama kali.Mereka duduk di tempat tidur Alana dengan Sherly yang merangkul bahunya. Mata wanita itu terlihat berkaca-kaca. Melihat itu Alana jadi makin sedih.“Apa kamu tidak betah tinggal dengan Tante?” Sherly bertanya dengan suara yang makin serak menahan air mata.Dia ingin menjawab betapa dia ingin tetap tinggal di sana dan menjadi bagian dari keluarga itu, namun nyatanya dia tidak bisa. Alana merasakan s
Sejak pulang dari apartemen Alana langsung bersiap-siap. Dia mengemas baju-baju serta barang-barangnya yang tidak seberapa banyak. Ayahnya melarang Alana membawa banyak barang, untuk melihat sampai seberapa lama gadis itu akan bertahan tinggal sendirian.“Bawa barang seperlunya saja. Kita akan lihat sampai satu minggu ke depan. Kalau sekiranya kamu betah, kamu bisa ambil lebih banyak barang. Dan kalau kamu tidak betah, kamu bisa kembali ke rumah dengan barang-barangmu masih di sini.” Kata Steve yang menyangsikan putrinya.Yang dia tidak tahu, betah atau tidak betah, Alana akan tetap tinggal di sana. Alana bertekad tidak akan kembali tinggal di rumah papanya, apa pun yang terjadi.Jadi sejak pagi semua orang sibuk membantu Alana, kecuali Braden tentunya. Tidak seperti biasa pemuda itu ada di rumah pada hari minggu pagi. Dia bahkan bangun pagi seakan ingin memastikan Alana benar-benar pergi sesuai keinginannya.Sebuah mobil pick up berwarna silver dengan logo perusahaan keluarga mereka
Braden memijat pelipisnya yang berdenyut. Tidurnya tidak nyenyak, semalaman dia hanya berguling-guling gelisah di tempat tidur. Dia tidak tahu mengapa. Dia merasa resah.Sehari sebelumnya dia merasa sangat senang karena Alana, saudara tirinya, sudah pergi. Dia menikmati kesendiriannya di rumah, karena semua orang pergi untuk membantu kepindahan gadis itu. Dia tidak keberatan mereka semua pergi.Dia mengabaikan rasa gelisah yang pada saat itu mulai muncul. Dia juga mengabaikan ajakan teman-temannya untuk nongkrong dan lebih memilih untuk tidur. Saat dia bangun menjelang sore, ada perasaan aneh menyelimuti hatinya.Rasa hampa yang dirasakannya makin kuat. Sore itu juga rumah terasa jauh lebih sepi daripada biasanya. Tidak terdengar suara aktivitas apa pun. Dia bangun dan menyadari semua orang belum pulang.Dia hanya mendapati dua asisten rumah tangga mereka di dapur yang sedang membersihkan sayuran dengan hening. Padahal biasanya mereka akan bekerja dengan mulut yang terus berbicara, me
Dengan gontai Alana menekan tombol kode masuk ke apartemennya. Lalu melangkah masuk ke dalam apartemen yang suram dan remang-remang. Hari sudah mulai senja, dan karena apartemen itu menghadap ke arah timur, maka tempat itu hanya mendapat sedikit cahaya matahari sore.Alana menyalakan lampu dan seketika ruangan menjadi terang. Namun tetap saja hal itu tidak bisa menghilangkan kesuraman dalam hatinya. Alana melempar tasnya ke sofa dan menghampiri jendela. Mengamati langit yang kini berwarna jingga.Dia menempelkan dahinya ke permukaan kaca yang dingin lalu memejamkan mata. Hening dan sepi, tidak ada suara apa pun kecuali detak jarum jam dan helaan napasnya. Keheningan di sekelilingnya membawa ingatan Alana ke masa lalu. Saat dia harus melalui hari-hari yang suram seperti itu di rumah mamanya.Mamanya bekerja dari pagi hingga malam, bahkan terkadang hingga cukup larut. Asisten rumah tangga mereka hanya bekerja dari pagi hingga sore hari saja. Setelah itu dia akan p
Sudah hampir satu minggu Alana tinggal di terpisah dari keluarga papanya. Tidak ada yang istimewa pada rutinitas hariannya yang mebosankan dan sepi. Sekali Sherly datang membawa banyak makanan dan barang-barang yang dia bilang pasti akan dibutuhkan Alana.Adrian dan Steve juga beberapa kali datang setelah mereka pulang kerja dengan membawa makan malam. Kunjungan mereka selalu membuat Alana tersentuh. Pada kunjungan terakhir, Adrian bahkan membawakannya seikat mawar merah yang merupakan bunga favorit Alana.Gadis itu kemudian menaruhnya ke dalam dua wadah terpisah. Lima tangkai dia taruh dalam sebuah botol kaca bekas minuman dan diletakkannya di sudut mezanine di dekat tempat tidurnya. Lima lagi dia letakkan dalam teko plastik dan dia taruh di dekat wastafel dapur. Dia harus cukup puas dengan vas dadakan yang bisa dia temukan itu.Mereka memaksa Alana untuk pulang saat akhir pekan, namun Alana tidak yakin. Wajah Braden yang memandanginya dengan penuh kebencian ma
Adrian hanya bisa terdiam, saat mendapati bukti-bukti perselingkuhan kekasihnya. Namun, meski semua bukti itu terpampang nyata, pemuda itu masih menolak untuk memercayainya. Dia harus memastikan hal itu secara langsung. Dia harus menemui Greta.Pemuda itu mencari Greta di tempat kerjanya, dan mendapati bahwa gadis itu sedang libur. Dari sini, perasaan Adrian sudah berubah tidak nyaman. Kemudian Adrian pergi menuju rumah gadis itu, berharap dia akan bertemu Greta di sana.Dan betapa hancur hati Adrian, saat mendapati kekasihnya tengah bersama seorang laki-laki yang dilihatnya dalam foto. “A-Adrian!” Greta terkejut dengan kedatangan pemuda itu yang tiba-tiba.“Kau tidak bekerja?” tanya Adrian, masih mencoba untuk berpikir positif.“Aku baru saja pulang,” jawab gadis itu.“Benarkah? Aku baru saja dari tempat kerjamu. Dan mereka bilang hari ini kau sedang libur.”“Ah, i-itu..” Greta menjawab dengan gugup. “Aku—““Siapa kau? Ada perlu apa kau dengan kekasihku?” pria di samping Greta berta
Alana dan Braden mampir ke sebuah tempat yang menjadi pusat street food sebelum pulang. Meski Alana bilang sedang ingin diet, nyatanya mata gadis itu seketika melebar saat melihat aneka jajanan serta mengendus aroma makanan yang menguar di udara sekitar mereka.“Waah, semuanya terlihat enak.” Alana menatap sekelilingnya dengan mata berbinar.“Bukankah tadi kau bilang sedang ingin diet?” Sindir Braden.“Kita kan sudah terlanjur sampai di sini. Jadi, ayo kita keliling,” Alana berjalan di depan dengan diikuti Braden yang membawakan bonekanya.Alana bingung menentukan pilihan, karena semua makanan terlihat sama enaknya. Setelah berkeliling dan melihat sana-sini, akhirnya gadis itu menjatuhkan pilihan pada corndog isi sosis dan keju berukuran besar, souffle cake mini dengan aneka toping, dan segelas boba cokelat.Mereka berjalan sambil menyesap minuman dingin, sedang mencari tempat duduk untuk makan. “Sepertinya itu Kak Greta. Apa aku salah lihat?” Alana berhenti untuk memperhatikan seoran
“Alana―” Braden menyaksikan mata Alana berkilat saat gadis itu menatap Leona dengan tajam. Leona mendongak, menatap Alana tidak kalah sengit. Melihat itu Braden buru-buru berdiri dan menempatkan dirinya di antara kedua gadis itu. “Lana, ayo kita pergi saja. Aku baru ingat ada kedai es krim yang lebih enak.” Alana menepis tangan Braden yang tengah memegangi lengannya. “Kenapa kita harus pergi? Kita duluan yang menempati meja ini. Kalau ada yang harus pergi, itu adalah dia!” Alana menunjuk Leona. “Bagaimana kalau aku tidak mau pergi?” Leona menyialngkan kaki dan mengibaskan rambutnya yang kini pendek sebahu. “Ayo kita cari meja lain.” Braden membujuk. “TIDAK!” Kata Alana tegas, masih sambil menatap Leona tanpa berkedip. Will menyadari ketegangan yang mulai terbentuk. “Leona, ayo kita kembali ke meja kita.” “Meja kita sudah ditempati oleh orang lain. Lagi pula aku lebih suka duduk di sini.” Leona berbicara tanpa repot-repot menoleh pada Will. Alana tersenyum miring. “Baiklah kala
Braden sangat kesal ketika melihat Alana yang terus saja tersipu saat mereka makan bersama malam itu. Gadis itu mengaduk-aduk makanan di piringnya dengan pandangan mata menerawang, dengan senyum samar yang terus saja tersungging di wajahnya.“Lana, jangan mainkan makananmu.” Tegur Sherly, membuat Lana bergegas menghabiskan sisa makanannya.‘Apa yang sudah dilakukan bajingan tengik itu? Dia pasti sudah mencekoki Alana dengan omong kosongnya!’ Braden membatin dengan kesal.Saat akhirnya kembali ke kamarnya, Braden menjadi makin kesal. Senyum konyol Alana benar-benar mengganggunya. “Argh, sialan!” Braden mengacak rambutnya. Dia benar-benar ingin menghajar Eric.Dia keluar dan pergi ke kamar Alana. Dia masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu. Didapatinya gadis itu mendongak terkejut dengan kedatangannya. “Kenapa kau tidak mengetuk pintu? Benar-benar kebiasan!” Alana tengah duduk di meja belajarnya sambil memangku boneka beruang bertuksedo pemberian Eric.Braden melirik boneka itu dengan ke
“Kenapa kau terus memandangiku?” tanya Alana, karena Eric berkali-kali mencuri pandang ke arahnya.Pemuda itu hanya tersenyum. “Aku hanya senang karena akhirnya bisa pergi denganmu.”Alana jadi salah tingkah. “Fokuslah mengemudi. Kau harus memperhatikan jalan dengan baik.”Akhirnya Eric menuruti apa kata Alana. Alana memperhatikan Eric yang sedikit tegang, berbeda dari biasanya. “Eric, apa kau baik-baik saja? Kau tampak tegang.”“Hahaha. Aku baik-baik saja.” Eric melirik Alana kembali. “Emm, Lana. Bisakah kau bukakan laci itu untukku?” Eric menunjuk laci dashboard yang berada tepat di depan Alana.“Yang ini?” Alana menunjuk.“Ya, benar. Yang itu. Bukalah.”Alana membukanya, dan menemukan sebatang cokelat dengan hiasan pita pink. Alana menatap Eric dengan pandangan bertanya. “Itu untukmu.” Ucap Eric, tanpa berani menatap Alana kali ini.Seketika Alana merasakan panas yang menjalar di leher dan wajahnya. Dia merasa kepanasan, padahal AC tengah menyala. ‘Astaga, ini cuma cokelat. Ada apa
Saat sampai di rumah, Alana menumpahkan kekesalannya pada boneka beruang pemberian Adrian. Alana memukul-mukul kepala beruang malang itu, kemudian menutupnya dengan kantong keresek agar mukanya yang imut itu tidak terlihat oleh pandangan matanya.“Kau memang menyebalkan! Mudah sekali kau meminta maaf. Kau pikir aku bisa melupakannya begitu saja?” Alana meninju beruang itu beberapa kali lagi hingga dia merasa puas. Sebenarnya dia merasa kasihan pada si beruang, tetapi benda itu selalu saja mengingatkannya pada Adrian.Seperti yang dijanjikan pemuda itu, keesokan harinya Greta benar-benar datang ke rumah dan meminta maaf pada Alana. “Maafkan aku, Lana. Aku menyesal, sungguh.” Permintaan maaf Greta tampak tulus, tetapi kini Alana tidak akan tertipu lagi.“Bisakah kita memulai semua kembali dari awal? Sebagai sahabat?” Greta tersenyum manis, seakan mereka berdua benar-benar bisa menjadi sahabat.‘Apa? Sahabat? Cuiih...’ Batin Alana. Dia menduga-duga, pasti Adrian harus menyuap Greta denga
“Tidak―” Braden menjatuhkan handphonenya, membuat Adrian makin panik.“Braden, Braden ada apa? Apa Alana baik-baik saja? Halo? Braden, jawab Aku!” Adrian terus berteriak menuntut jawaban, tetapi kini dia sudah diabaikan sepenuhnya oleh sang adik.Braden berlari menyeberangi ruangan, tempat Alana terbaring di lantai dengan muka pucat. Kini ketakutannya benar-benar menjadi nyata. Hal seperti inilah yang dia takutkan sejak awal.“Lana! Lana, bangun!” Braden mengguncang tubuh lemas Alana dengan putus asa dan air mata tertahan. “Kumohon, bangunlah! Lana!”Braden sudah menyelipkan sebelah lengan ke punggung gadis itu dan bersiap mengangkatnya saat Alana membuka mata dan melotot, membuat Braden terperanjat kaget. “Apa yang kau lakukan?” Alana duduk dan menggeliat, kemudian melepas headshet yang menempel di telinganya.“K-Kau tidak pingsan?”“Kau pikir aku pingan? Aku baik-baik saja.”“Astaga, kau membuatku khawatir! Kau tidak tahu betapa khawatirnya aku tadi. Jantungku hampir lepas saat meli
“Apa? Minta maaf?” Alana tertawa. “Dia yang salah kenapa aku yang harus meminta maaf?”“Berhentilah bersikap kekanak-kanakan!”“Kakak menyebutku kekanak-kanakan? Kekasih Kakak yang tidak tahu diri itulah yang bersikap kekanakan. Dia tidak bisa bersikap layaknya orang dewasa! Asal Kakak tahu saja, dia tidak sebaik yang Kakak kira. Kakak hanya sudah terperdaya oleh perangkap busuknya, sehingga tidak bisa melihat seperti apa dirinya yang sesungguhnya!”“Hentikan, Lana. Cukup! Aku tidak akan membiarkan siapa pun berbicara buruk mengenai Greta. Bahkan jika itu adalah kau!”Alana tersentak. Tidak pernah sekali pun Adrian membentaknya. Adrian yang begitu lembut dan baik hati, kini membentak Alana demi membela gadis seperti Greta.“Aku akan mengatakannya sekali lagi padamu. Kau harus meminta maaf pada Greta. Kau harus meminta maaf atas semua tuduhanmu dan karena kau sudah membuat dia menangis karena keisenganmu.”“Tidak!” kata Alana. “Aku tidak akan pernah meminta maaf padanya!”Adrian terlih
Mereka pergi ke sebuah restoran seafood yang berada di tepi pantai. Mereka semua bergembira, menikmati makanan enak serta pemandangan laut yang indah. Bahkan untuk sekali ini Steve tidak mempedulikan tingginya kandungan kolestrol dalam makanannya.Semua orang senang kecuali Greta. Gadis itu makan dalam diam, tampak tidak antusias seperti yang lainnya. Dia juga sesekali melirik Alana dengan penuh kebencian, namun tidak mengatakan apa pun. Setelah makan, mereka mengunjungi dermaga kecil yang berada tidak jauh dari sana.Mengabadikan momen dengan berfoto dan menikmati semilir angin yang sejuk di hari yang cerah itu. “Sayang, bajumu kotor. Kau pasti bersandar entah di mana tadi.” Sherly berusaha menghilangkan noda di baju putih Greta yang bagian punggungnya kotor.“Ah, biar saja Tante. Mungkin karena aku baru saja bersandar di pagar.” Greta tersenyum pada Sherly, tetapi saat dia kembali sendirian, Greta kembali menunjukkan kekesalannya.Mereka kembali ke villa ketika hari sudah malam. Mer