"Davindra Wijaya, bersediakah kamu menjadi suami Lavida Veronika saat senang ataupun sedih, sehat ataupun sakit, kaya ataupun miskin, selama hidupmu."
Sangat berat bagi Davin untuk mengeluarkan suara, tapi pada akhirnya dia menjawab, "Ya, saya bersedia."
"Lavida Veronika, bersediakah kamu menjadi istri Davindra Wijaya, saat senang ataupun sedih, sehat ataupun sakit, kaya ataupun miskin, selama hidupmu."
Sama halnya dengan Davin, tenggorokan Vida serasa tercekat ketika bersusah payah mengeluarkan kata, "Ya, saya bersedia."
"Selamat, kalian adalah pasangan suami istri yang sah sekarang."
Tepuk tangan meriah terdengar riuh dari para tamu undangan setelah Davin dan Vida mengikat janji suci pernikahan. Cincin pernikahan juga melingkar manis di jari mereka, mengundang senyum sekaligus kelegaan pada bibir nenek Rumi dan juga Danu. Dimana ada embun kebahagiaan yang berselimut keharuan di mata mereka.
Tapi tidak dengan kedua mempelai yang tengah berdiri di pelaminan, mendung justru hinggap di wajah mereka, menjauhkan senyum bahagia yang seharusnya melekat di bibir layaknya pengantin baru pada umumnya.
Sampai acara selesai Davin dan Vida masih menunjukan wajah suram. Tidak ada percakapan sedikitpun diantara pengantin baru yang masih hangat tersebut. Bahkan Davin malah segera keluar dari dalam kamar setelah melihat Vida keluar dari kamar mandi usai berganti pakaian.
"Kenapa Nenek melakukan semua ini padaku?" tanya Davin dingin setelah menemukan neneknya begitu keluar ia dari dalam kamar.
Nenek Rumi tersenyum lembut dan berucap santai, "Nenek hanya memberi jalan Davin. Selanjutnya kamu yang memegang kendali, tidak sepantasnya jika kamu melimpahkan semua kesalahan pada nenek. Kamu harus bertanggung jawab atas tindakanmu."
"Nenek tahu, aku mencintai perempuan lain, aku benar-benar ingin mengakhiri formalitas ini," ucap Davin dengan kilat mata dalam dan terlihat serius.
Embusan napas kasar terdengar dari celah hidung dan mulut nenek Rumi, "Lupakan gadis yang terus memberi harapan palsu, Davin. Fokuslah pada yang di depan mata. Dan satu lagi, jika kamu berani menceraikan Vida, maka semua harta kekayaan keluarga Wijaya akan jatuh ke tangan Vida. Kamu tidak akan mendapatkan sepeserpun dariku. Jadi pikirkan itu baik-baik jika ingin kembali pada kekasihmu."
Mata Davin memicing, ada rona pahit di wajahnya, "Sebenarnya siapa cucu nenek sesungguhnya?"
Nenek Rumi kembali tersenyum manis, ia segera mendekat dan menyentuh pipi Davin dengan lembut, "Tentu saja kamu cucu kesayangan nenek, Davin. Tapi sayangnya yang bisa melahirkan penerus keluarga Wijaya adalah istrimu. Bagaimana aku bisa mengabaikannya? Ingat kamu sudah menyentuhnya."
Davin kembali menatap neneknya dalam, "Bagaimana jika dia tidak hamil?"
Nenek Rumi segera menarik tangannya dari dari pipi Davin, dan berucap pelan setelah mengembuskan napas kasar, "Nenek akan menyerah dengan keputusanmu. Tapi selama dia menjadi istrimu, perlakukan dia dengan baik. Jangan biarkan nenek mendengar dia mengeluh karena perlakuan burukmu, selama satu bulan ini."
Nenek Rumi segera berlenggang pergi setelah menyelesaikan kalimatnya. Meninggalkan gemuruh hebat yang menyambangi perasaan Davin.
Dia tidak ingin berpisah dengan Fani, namun tidak bisa menceraikan Vida setelah nenek Rumi mengatakan jika dia tidak akan mewariskan kekayaan keluarga Wijaya setelah menceraikan Vida. Tentu saja itu tidak akan baik untuk masa depannya bersama Fani.
Davin mulai menegakkan wajah dan bergumam lirih, "Vida, maaf jika ini tidak adil padamu."
***
Vida masih terpaku menatap kelopak bunga mawar yang bertebaran di atas sprei berwarna putih yang tampak bersih. Tapi hatinya sedikit terhimpit ketika mengingat Davin langsung menjauh darinya setelah dia berganti pakaian. Dia mulai merasa jika tidak diinginkan dalam pernikahan ini.
Ia pun sedikit tersentak melihat Davin memasuki kamar dengan membawa stopmap warna hitam di tangannya. Dia belum terbiasa menerima kehadiran pria di hidupnya, membuat Vida bergerak waspada. Gestur yang ia perlihatkan sama sekali tidak menunjukan bahwa Vida adalah wanita penggoda, membuat Davin tidak ragu untuk mendekatinya.
"Vida, seperti yang kamu tahu, kita tidak saling mengenal sebelumnya. Tapi kita mengawali dengan sesuatu yang sama sekali tidak kita inginkan, haruskah kita bertahan dan melanjutkannya?" ucap Davin setelah duduk di samping Vida.
Vida tertegun, kilat matanya pias untuk beberapa detik, kemudian bertanya dingin mengekspresikan hatinya yang pedih, "Kamu ingin membuangku setelah merampas mahkotaku?"
Pertanyaan to the point Vida membuat Davin merasa menjadi manusia paling bejat sedunia. Tapi keberadaan Fani di dalam hati, menuntut Davin menjadi manusia angkuh dan jahat, kemudian berkata dingin dan menyakitkan, "Aku tahu kamu cukup cerdas untuk mengetahui arah pembicaraanku. Tidak ada komitmen diantara kita, hingga kita harus tetap bertahan. Lebih baik kita mengakhirinya saja."
Plak!
Tamparan keras mendarat dengan sadis di wajah Davin, dilanjutkan dengan ucapan Vida yang hancur dengan apa yang dilontarkan suaminya, "Seharusnya aku sudah melakukan itu saat aku mengetahui kamu telah meniduri ku. Sekarang aku sadar, laki-laki yang tidak punya moral, juga tidak pantas untukku."
Biasanya Vida tidak suka menangis, namun kali ini bulir bening tak bisa dicegah dan mengalir dari pelupuk matanya perlahan. Sangat menyakitkan, setelah dilecehkan, dia merasa diempaskan di malam pertamanya.
Terlalu tidak tahu diri jika Vida tetap diam bersama Davin. Dia juga cukup malas jika harus mengiba pada laki-laki yang jelas-jelas tidak menginginkannya. Ia segera menghapus air mata, kemudian beranjak dari ranjang. Harga dirinya terlalu tinggi.
Davin hanya terdiam menatap Vida yang pergi menjauhinya, tapi begitu melihat Vida menarik koper dari walk in closet, Davin tidak bisa lagi berdiam diri. Ia segera bergegas menghampiri dan meraih pergelangan tangan Vida.
"Jangan coba-coba pergi tanpa persetujuanku," cegah Davin dengan nada dalam yang begitu dingin.
"Kenapa mencegahku? Bukankah ini yang kamu inginkan?" Suara Vida tak kalah dingin dengan nada yang dilontarkan Davin.
"Itu bisa kamu lakukan setelah yakin bahwa kamu tidak sedang mengandung anakku," ucap Davin tegas.
Vida tertegun. Tapi beberapa detik kemudian dia tersentak ketika Davin menarik dan melemparnya ke ranjang dengan kasar, kemudian meraih stopmap di atas nakas dan menyerahkan padanya. "Patuh, dan tanda tangani perjanjian kontrak pernikahan kita."
Vida menyeringai kecut setelah membaca surat perjanjian yang isinya menuntut Vida menjadi istri yang baik sebelum dia dinyatakan tidak hamil dan bercerai setelah satu bulan kemudian. Jika Vida hamil, maka mereka akan bercerai setelah anak mereka lahir. Dan jika ada pihak yang melanggar maka akan dikenakan kompensasi sebesar lima milyar.
"Bukankah sangat bodoh jika aku menandatangani surat perjanjian ini? Bahkan sebelum kamu membuang ku, kamu menuntutku menjadi istri yang baik."
Vida segera melempar surat perjanjian itu ke atas kasur, tapi siapa sangka jika perbuatannya malah mengundang Davin untuk mencengkeram dan meremukkan rahang Vida dengan jarinya yang kokoh, sembari melontarkan ancaman.
"Tandatangani surat perjanjian kontrak pernikahan kita, atau aku akan menghancurkan toko roti ayahmu. Kamu tahu Vida, orang yang mempunyai kekuasaan tidak akan sulit untuk melakukan hal kecil semacam itu."
"Kekanak-kanakan." Davin bergumam lirih ketika tidak menemukan Vida di sampingnya saat terbangun di pagi hari. Bibirnya mencibir geli kala melihat bantal yang bertumpuk di tengah ranjang, dimana bantal tersebut selalu menjadi benteng pertahanan bagi Vida yang tidak ingin bersentuhan dengannya selama dua malam ini. Bukankah itu kekanak-kanakan? Suara bising pengering rambut segera menyambut ketika Davin memasuki kamar mandi, ia juga langsung mendapati Vida yang tengah berdiri di depan cermin, dimana benda itu kini memantulkan bayangan Vida dengan arah pandang yang tak dapat ditebak. Jelas istrinya sedang melamun, hingga sama sekali tak menyadari keberadaannya. Bahkan perempuan itu sempat bergumam lirih yang mengundang Davin menerbitkan senyum sengit di bibirnya. "Ah … jalani saja Vida, demi ayahmu, Ini hanya perlu waktu satu bulan. Kamu pasti bisa, yakin saja bahwa kamu tidak hamil anak pria sialan itu." Davin menegakkan wajahnya dengan angkuh, sengaja mengeluarkan suara serak deng
"Vid, motor lo kemana sih? Sekarang gak pernah bawa motor kalau ke kampus?" tanya Erick sembari membelah durian yang berukuran sebesar kepala manusia."Dijual," jawab Vida singkat tanpa menoleh pada Erick, lantas membuka mulut untuk memakan buah yang baunya sangat menyengat itu."Serius lo? Apa toko roti bokap lo, bangkrut? Hingga sampai jual motor segala." Lagi Erick bertanya, sembari mengunyah duriannya."Mau tau aja, apa mau tau banget?" Vida malah balik bertanya dengan mimik wajah yang menyebalkan, mengundang Erick untuk menipiskan bibir karena kesal."Bisa tidak, tanpa memberi gue wajah menyebalkan itu?"Vida hanya terkekeh melihat wajah jengkel Erick, begitu juga dengan Rion yang mulai ikut berkelakar."Bagaimana mau bawa motor? Orang pulang pergi dijemput pakai mobil mewah sekarang."Mata Erick melebar mengingat kebenaran yang diucapkan Rion, jiwa penasarannya meronta."Bener juga kata Rion. Siapa sih yang antar jemput lo setiap hari, Vid? Jangan-jangan lo cuma pura-pura kismin
"Kak, apa yang kamu lakukan? Lepaskan aku!" pekik Vida mencoba mendorong Davin agar menjauh dari tubuhnya.Sayangnya Davin tidak mengindahkan pekikan Vida, dia malah membungkam mulut Vida dengan ciuman bertubi-tubi dan memagutnya dengan rakus, hingga hanya ada suara lenguhan tertahan yang keluar dari mulut Vida yang terbungkam.Vida berusaha keras menolak, dengan terus mendorong kuat tubuh tegap suaminya. Tapi sungguh menyedihkan ketika tenaga Vida tidak cukup kuat untuk melawan Davin, kini kedua tangan Vida malah dikunci di atas kepala hingga dia tak bisa berkutik. Bahkan tangan Davin semakin berani menjelajahi setiap jengkal tubuh Vida yang ramping.Vida benar-benar merasa sangat terhina, dia merasa sedang dilecehkan suaminya sendiri, di belakang orang lain yang jelas bisa melihat dan mendengar apa yang terjadi di jok mobil belakang.Tidak tahan lagi, Vida langsung menggigit bibir Davin, hingga Davin tersentak dan melepaskan pagutannya."B4jingan! Apa yang sedang kamu lakukan padaku
"Apa masih ada berkas yang harus ditandatangani?" tanya Davin sembari mengulurkan berkas yang sudah dia sahkan pada sekretarisnya."Tidak, Pak. Ini yang terakhir. Tapi nanti pukul 18.00 ada pertemuan dengan perwakilan dari perusahaan LT," terang Iko datar."Batalkan saja. Suasana hati istriku sedang buruk, bukankah aku harus menghiburnya sekarang?" tanya Davin yang dibumbui sedikit humor.Iko terkekeh.Memang tidak ada yang Davin tutup-tutupi dari sekretarisnya, bisa dibilang Iko adalah orang yang sangat Davin percaya. Hingga masalah percintaan pun kadang dia curhat dengan Iko, membuat sekretarisnya itu tak segan memberi saran meski tak diminta."Tapi, Pak. Apa tidak sebaiknya Anda memberi tahu Fani perihal nyonya? Takutnya dia akan salah paham jika mendengar dari orang lain."Jari Davin yang sedari tadi memutar-mutar bolpoin seketika berhenti. Hidung mbangirnya mengela napas panjang, dan mengembuskan perlahan, jelas ada beban yang sengaja dia pendam. Kemudian berucap lirih."Aku tida
Senyum seringai yang sangat menyebalkan tersungging dari bibir Davin kala meletakan sepiring nasi goreng pada meja makan."Aku tidak biasa melayani seseorang, tapi aku merendahkan tanganku yang agung untuk membuat nasi goreng, kamu tidak ingin memberi penghargaan?" ucap Davin datar meski masih terkesan sombong.Vida tidak bergeming, hatinya menolak menerima apapun pemberian Davin. Dia malah berbalik hendak meninggalkannya. Tapi langsung tersentak ketika Davin menariknya dengan cepat."Lepaskan aku!" Vida mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Davin."Jangan menguji kesabaran ku, Vida. Kemasi barangmu dan ayo kita pulang," ucap Davin dingin dengan nada menekan."Jangan memaksaku. Aku tidak akan bergerak, meski kamu mengancam ingin menghancurkan toko ayahku. Aku tahu kamu hanya menggertak. Aku ingin bercerai." Nada yang dilontarkan Vida tak kalah dingin dengan ucapan Davin.Tapi alis Vida segera mengeryit kala melihat senyum penuh arti yang terbit di sudut bibir Davin.Davin melepaska
Davin dapat melihat dengan jelas perubahan di raut wajah Vida. Namun dia tidak peduli, pada kenyataannya dia memang mencintai Fani dan berniat menikahinya. Dia tidak masalah jika Vida mengetahui itu, lagipula Vida juga sudah tahu jika dia tidak menginginkannya, mereka hanya menjalani pernikahan sampai kontrak yang ditentukan selesai.Sementara Vida sendiri masih memikirkan ucapan laki-laki di depannya. Ingin bersikap acuh, tapi ternyata status istri yang dia sandang cukup mempengaruhi emosinya, istri mana yang tidak geram ketika mengetahui ada perempuan lain di kehidupan suaminya?Vida berdecak kesal dalam hati membayangkan jika itu benar, berarti Davin sama sekali tak layak untuk dipertahankan, Vida hanya berharap semoga dia tidak hamil agar segera terbebas dari Davin.Lamunan Vida berangsur-angsur menghilang ketika mendengar laki-laki yang tadinya menyapa kembali berkelakar, bahkan ucapannya kini berpindah menyerang Vida yang sebenarnya tidak ingin terlibat dengan siapapun di tempat
"Sampai kapan kamu akan menunjukan wajah buruk mu itu kepadaku?" tanya Davin sesampainya di ruang bawah tanah hotel untuk mengambil mobil. Vida yang memang sudah uring-uringan sejak keluar dari ballroom, sama sekali tidak mau menjawab dia terus berjalan cepat menuju mobil. Tapi sesampainya di depan mobil, dia malah berbalik menghampiri Davin, dan memukul dada bidang itu secara bertubi-tubi tanpa mengucapkan apa-apa, meski air mata tiba-tiba tumpah ruah di pipinya. Sementara Davin sendiri sama sekali tidak berusaha menghindar ataupun mencegah apa yang dilakukan Vida. Dia terlihat pasrah menerima setiap pukulan dari tangan ramping istrinya, yang tengah meluapkan emosi yang sudah dia tahan sejak berada di acara lelang. Puas memukul Davin, Vida segera masuk ke dalam mobil sembari menyeka air mata, meski belum berucap apa-apa. Davin hanya dapat mengela napas panjang dan mengembuskan perlahan, mendapati amukan Vida yang masih tampak kekanak-kanakan. Dia juga mendapati Vida yang masih men
"Katakan apa yang kamu inginkan," ucap Davin setelah dia duduk dengan nyaman di depan laki-laki yang mengancamnya sesampainya di kafe merah. "Davin, kenapa kamu sangat terburu-buru? Aku yakin istrimu yang sedang kesal tadi tidak akan menunggu kepulangan mu." Laki-laki yang mengundang Davin tampak tersenyum remeh. "Dion, aku tidak punya waktu untuk berbicara omong kosong denganmu. Katakan yang kamu inginkan." Tidak ada keramahtamahan di wajah Davin ketika berucap. Pria yang bernama Dion terkekeh menangkap kekhawatiran di wajah pria tampan yang dia tekan. "Apa kamu takut?" tanyanya pelan dengan nada mencibir. Kini senyum seringai terbit di bibir manis Davin, dan berkata. "Jangan terlalu percaya diri, aku hanya khawatir kamu akan kecewa karena aku tidak datang. Tapi ternyata aku hanya menyia-nyiakan waktu saja." Davin beranjak dari duduknya, hendak pergi. Tapi langkahnya terhenti ketika Dion membuka suara. "Berikan proyek desain hotel yang ada di Bali untukku." Salah satu alis Dav
Matahari sudah condong ke barat kala Vida kembali ke rumah sakit. Hari yang sangat melelahkan, tapi juga dengan cepat terselesaikan meski dibumbui dengan kekerasan fisik. Paras cantik Vida menunjukan kelegaan saat sinar lampu menerpa wajah ayunya yang tak menunjukan senyuman.Dia berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan ekspresi datar, namun masih memperlihatkan keanggunan. Diikuti Mee Noi dan Pam di belakangnya yang berjalan tanpa berucap. Senyum baru tercipta kala Nia mengatakan jika Davin sudah dipindahkan ke ruang rawat inap, dan sekarang dia sudah sadar.Vida sangat tidak sabar untuk menemui suaminya, detak jantung yang tadinya tenang, tiba-tiba saja menunjukan lonjakan, mungkin karena rasa senang yang meluap dari dasar hati. Vida segera masuk ke ruang rawat inap suaminya, dan menemukan laki-laki tersebut setengah berbaring dengan bantal yang tinggi, saat wajah tampan itu tersenyum lemah kepadanya.Sungguh tak ingin menangis, tapi tetap saja air mata bahagia itu bertumpuk mem
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan, ha? Sedari tadi kamu hanya membuang-buang waktuku, membuatku semakin muak melihatmu. Seharusnya yang mati hari ini adalah kamu, bukan Davin!" Seru Fani sembari mencengkeram kerah pakaian Vida.Vida kembali menyeringai sengit mengejek Pam dengan bertanya santai. "Jadi benar-benar kamu pelakunya?""Memangnya kalau iya kenapa, ha? Apa yang bisa kamu lakukan? Lagipula orang yang ku suruh untuk menembak mu juga sudah mati, dia tidak akan bisa bersaksi bahwa aku memang yang merencanakan pembunuhan ini," timpal Fani dengan geram dan melotot ke arah Vida, tangannya masih mencekeram pakaian Vida.Seketika terdengar suara tawa Vida yang renyah, dilanjutkan perkataan Vida yang santai. "Jadi setelah gagal membunuhku, kamu malah membunuh orang yang kamu suruh, begitu?"Fani sungguh tak suka melihat tawa Vida yang terdengar mengejek. Dia pun tak bisa mengendalikan tangan untuk menampar Vida dengan keras, hingga wajah Vida menoleh ke samping dengan paksa. Tapi kali
Hari masih terang, matahari juga bersinar indah, hanya sedikit mendung yang terlihat bergelombang menghiasi langit biru yang tampak cerah. Seorang wanita cantik berlenggang santai di koridor hotel sembari menarik koper di tangannya.Setelah mengotori tangan dengan melenyapkan seseorang, Fani tidak mungkin akan tetap berdiam diri di tempat. Dia harus kembali ke Indonesia untuk menyelamatkan diri. Terlebih Fani juga tak ingin kepulangannya ke tanah air dengan menyandang gelar narapidana tindak pembunuhan, apabila tertangkap oleh polisi setempat, itu hanya akan mencoreng nama baiknya saja. Bagaimana pun dia harus tetap menjadi peri cantik yang baik hati.Sungguh ironi, setelah melakukan kejahatan yang tak terampuni, wajah cantik itu sama sekali tidak menunjukan ketakutan atau tertekan layaknya orang yang baru saja menghilangkan nyawa seseorang. Dia masih terlihat santai kala berjalan keluar dari dalam hotel dan menunggu taksi pesanannya tiba.Bahkan dia sempat tersenyum kala mengingat pe
Koridor rumah sakit masih terlihat senyap di depan ruang emergency. Empat orang yang masih menunggu terdiam menikmati aroma disinfektan yang terasa tebal menyentuh indera penciuman. Tak satupun yang membuka mulut untuk berucap, menciptakan keheningan yang penuh kecemasan.Pipi Vida tak lagi basah, meski manik hitam itu masih berkaca-kaca memandang udara kosong yang diliputi kehampaan. Ingatannya merujuk pada ucapan Davin sebelum dia ambruk setelah berusaha menyelamatkannya.'Sudah aku bilang, aku akan menjadi perisaimu.' Kata tulus itu terngiang dan terasa dalam menyentuh hati, hingga tanpa sadar bulir kristal kembali mengalir dengan pelan membasahi pipi Vida tanpa suara.Selama ini Vida masih menganggap Davin laki-laki arogan yang penuh rayuan, dia tidak pernah berpikir jika dia benar-benar akan membuktikan ucapannya untuk menjadi perisai. Tanpa sadar Vida menyentuh perutnya dan membatin. 'Bagaimana ibu bisa meragukan ayahmu?'Sesaat kemudian seorang perawat tiba memecah keheningan. "
Dor!Suara tembakan melengking jauh menghentikan waktu yang berputar. Vida pun sudah jatuh dalam pelukan Davin saat mendengar suara tembakan yang memekakkan telinga. Dia terdiam cukup lama dalam keheningan dan hangatnya dekapan sang suami, belum mengerti apa yang sedang terjadi, sampai dia mendongak dan mendapati senyuman manis dari seorang Davin."Aku sudah mengatakan, aku akan menjadi perisaimu."Bruk!Davin jatuh berdebum di parkiran, bersamaan dengan mengalirnya cairan berwarna merah dan menebar aroma amis khas darah pada jajaran paving blok. Menghadirkan jeritan panjang Vida yang melaung di udara, kala sadar tembakan telah mengenai punggung suaminya.***Brankar yang didorong tergesa-gesa mengiringi derai tangis Vida yang berjalan setengah berlari sembari terus menggenggam tangan Davin yang hampir kehilangan kesadaran akibat banyak mengeluarkan darah."Tolong, tunggu disini. Kami akan segera melakukan upaya penyelamatan." Seorang perawat menghentikan Vida sesampainya di depan pint
Lenguhan malas terdengar di pagi hari saat Vida masih enggan membuka mata. Tapi ketika ingatannya menunjukan dimana dia berada, dia pun mau tidak mau membuka mata dengan segera. Terlihat mata kelam yang berkilat indah menyambut, begitu jernih layaknya embun yang menetes di dedaunan. Vida yakin suaminya sudah bangun sejak tadi, karena tak sedikitpun dia menangkap kemalasan pada binar wajah yang tersenyum.Tangan Vida bergerak malas menyentuh pipi Davin dan berucap. "Sudah lama bangun?""Uhum ...." Suara yang tercipta dari bibir yang terkatup itu terdengar sangat seksi."Kamu sudah lebih baik?" Kali ini pertanyaan Vida membuat Davin tak bisa menyembunyikan lengkungan senyum dari bibirnya.Namun, Davin segera kembali mengeluarkan suara samar untuk menjawab pertanyaan Vida. "Uhum ....""Baguslah kalau begitu." Hanya tiga kata bernada datar yang keluar dari mulut Vida dan terdengar acuh tak acuh, saat dia kembali menarik tangan dari pipi Davin. Dan itu lebih baik bagi Davin, dari pada Vida
Sementara Davin terlihat memiringkan tubuhnya membelakangi Vida. Dan mendadak bibirnya melengkung indah, menunjukan senyum penuh arti saat matanya terbuka lebar.Sejak awal dia memang tidak kehilangan kesadaran, dia memang sengaja berakting untuk melancarkan rencananya, juga demi memicu kemarahan Vida setelah tahu dia sedang dijebak. Sebelum Davin keluar dari restoran, dia sempat bertemu dengan ibu mertuanya."Davin, kamu mau kemana?" Nia yang baru saja ingin mengambil list dari pelanggan dari atas meja mulai bertanya kala melihat Davin lewat.Segera Davin mengerutkan alis dan membatin, 'bukankah ibu yang menyuruhku mengantar pesanan ini? Bagaimana dia tidak tahu aku akan pergi kemana?'"Oh, mau mengantar pesanan ya? Ya sudah, hati-hati di jalan," ucap Nia santai setelah melihat box makanan ukuran sedang di tangan Davin, kemudian dia pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban Davin, setelah mengambil list tersebut.Davin masih berpikir positif, sampai dia bertemu dengan Vida di meja kas
Dengan susah payah Fani membawa Davin ke ranjangnya. Sedikit kesal, dia sudah sering menggunakan obat perangsang tapi tidak seperti ini reaksinya, seharusnya Davin menyerangnya dengan bertubi-tubi, bukannya malah memejamkan mata seperti ini.Fani melihat Davin menggeliat, sembari menggumamkan sesuatu. "Vida ...."Membuat Fani semakin kesal mendengar nama itu, tapi tak lama kemudian bibirnya kembali melengkung, lantas merangkak di tempat tidur dan menjatuhkan diri di atas tubuh Davin yang terkulai di atas kasur. Tak lupa dia mengecup pipi Davin dan berbisik lembut. "Kamu boleh berfantasi dengan istrimu. Tapi malam ini kamu adalah milikku, Davin. Aku akan memuaskan mu."Perlahan Fani kembali menegakkan tubuhnya untuk duduk, jari-jemarinya mulai bergerak lembut membuka setiap kancing kemeja yang dikenakan Davin, kadang dia juga mengelus lembut otot liat yang begitu padat pada dada bidang yang berkulit putih.Fani masih mendengar Davin yang bergumam samar menyebut nama Vida, tapi dia sungg
"Vida, sejak kapan kamu berdiri di situ?" sedikit gugup tapi Pam menutupinya dengan senyuman.Tatapan Vida belum beralih, dan itu terlihat begitu tajam dan dingin, sampai suara samar nan menusuk terdengar dari celah kedua bibir tipis yang tampak bergerak samar. "Kemana kamu menyuruh kak Davin pergi?"Pam terkesiap mendengar pertanyaan Vida, tapi dia masih berusaha menguasai diri dan berlagak tidak mengerti dengan terus tersenyum hangat. "Aku? Kenapa aku menyuruhnya pergi? Berbicara dengannya saja aku enggan. Sudah, ayo kita masuk."Pam segera merangkul Vida dengan santai, tapi langsung mendapat tepisan kasar dari Vida. Kini Pam mulai mendapati kemarahan di wajah cantik yang semakin kentara."Vida ...." Pam menunjukan raut wajah sayu dan sedih melihat kemarahan Vida, bukan dibuat-buat, dia memang sedih melihat Vida seperti itu kepadanya."Aku tanya sekali lagi. Kamu menyuruh kak Davin kemana?" Suara pelan dan dingin Vida kembali membekukan udara yang Pam hirup. Membuatnya sedikit menah