Saat ini Natasha dan keluarganya sudah berada di dalam pesawat. Liburan mereka sudah berakhir, kini waktunya pulang dan kembali ke aktivitas sehari-hari mereka.Sedih memang karena waktu berlibur mereka telah selesai. Namun, daripada itu, ada hal yang jauh membuat Natasha sedih.Semalam, Lucas sudah menceritakan semuanya kepada Natasha. Cerita tentang perundungan yang dialami Ashana di sekolah.Pada awalnya Natasha marah kepada semua orang, baik yang berhubungan dengan sekolah, keluarga perundung, maupun mereka yang ikut menyembunyikan masalah tersebut darinya. Termasuk di dalamnya ialah Daniel, orang yang selama ini Natasha percaya untuk mewakilinya menjadi wali Ashana.Hanya saja, setelah mendengar penjelasan Lucas mengenai alasan Daniel menyembunyikan fakta tersebut, Natasha jadi berpikir kembali tentang siapa yang salah.Setelah dipikirkan lagi, ternyata sumber masalahnya terletak pada diri Natasha sendiri. Daniel dan lainnya hanya berusaha untuk menjaga perasaannya yang pada wakt
Setelah kembali ke ibu kota, Dania pergi menghadap atasannya untuk menyampaikan laporan pengintaiannya secara langsung. Setelah berbicara langsung dengan Lucas beberapa waktu lalu, kini pandangan Dania terhadap atasan bahkan organisasinya jadi sedikit berbeda.“Kamu yakin mereka sama sekali tidak ada komunikasi dengan pihak China atau Rusia?”Dania menjawab, “Iya, Pak, saya yakin.”Dania dan atasannya itu masih sama-sama diam. Lalu, tiba-tiba sebuah getar ponsel di atas meja mengalihkan perhatian mereka.Ada sebuah panggilan masuk di ponsel milik atasan Dania. Mata Dania tidak sengaja menangkap nama pada layar ponsel tersebut. Pak Bos Menteri, itulah yang sekilas Dania baca.“Baiklah, kamu bisa pergi sekarang! terus awasi orang China dan pengawalnya itu!”“Baik, Pak!”Dania bangkit dari tempat duduknya ketika sang atasan menerima panggilan telepon tadi. Wajahnya yang awalnya tegas dan sedikit garang tiba-tiba berubah jadi lebih ramah dengan senyum yang menghias wajah.“Selamat Siang,
“Hemph!”Seseorang membekap mulut Dania dan menyeretnya ke sisi lain yang lebih sepi. “Diam!” perintah orang itu. Dania mengenali suaranya, dia Kai.“Aku akan melepaskanmu, tapi kau diamlah!” bisik Kai.Setelah mendapat anggukan dari Dania, Kai akhirnya melepaskan bekapan tangannya pada mulut Dania. Selain suara napas, tidak ada lagi suara yang Dania keluarkan. Suasana di sana hening, hingga tiba-tiba seseorang berteriak.“Dia di sini!”“Sial!” umpat Kai yang segera menarik Dania pergi dari sana.Suara peluru yang mengenai dinding kontainer pun mulai memasuki telinga Dania. Dia ingin menoleh ke belakang untuk melihat orang-orang yang mengejarnya, akan tetapi Kai melarang.“Jangan menoleh! mereka bisa mengenalimu.”Dania menurut dan hanya berlari mengekor di belakang Kai. Tidak lama kemudian, mereka keluar dari area pelabuhan dan memasuki mobil hitam yang terparkir beberapa blok.Selanjutnya, mereka pergi meninggalkan distrik. Tidak ada perbincangan sepanjang perjalanan. Dania terus di
TING! ... TUNG!Kai sedikit terkejut karena ada yang menekan tombol rumahnya pagi-pagi. Tidak yang tahu tentang apartemennya ini kecuali Lucas, Natasha, dan Daniel. “Siapa?” monolog Kai, “apa mungkin Kak Lucas?”Kai melihat dari layar kamera pintu. Benar saja, saat ini di depan apartemennya sedang berdiri Lucas ... dan Natasha.Kai terkejut karena ternyata Lucas datang bersama dengan Natasha. Tidak mau membuat kedua orang yang dihormatinya itu menunggu lebih lama, Kai bergegas membukakan pintu. “Kak!” sapa Kai begitu pintu dibuka. “Pagi, Kai!” sapa Natasha.“I-iya, pagi, silakan masuk!”Lucas dan Natasha memasuki apartemen Kai. Lalu, sebuah bungkusan disodorkan oleh Natasha kepada yang punya rumah. “Kemarin aku belajar membuat kue dan kata Lucas hasilnya enak, jadi aku membawakan sedikit untumu, semoga kamu suka, Kai!” jelas Natasha.Kai menerima bungkusan itu—“Oh, terima kasih, Nona!”“Ih, sudah kukatakan berkali-kali, jangan panggil aku nona!”—Natasha sebal.“I-iya, maaf!” ucap
Setelah dari rumah Kai, Natasha berangkat ke kantor dengan diantar oleh Lucas. Sepanjang perjalanan Natasha terlihat sangat bahagia. “Kenapa sepertinya kamu senang sekali?” tanya Lucas.Natasha menjawab, “Entahlah, rasanya hidupku sangat membahagiakan akhir-akhir ini.”Lucas tersenyum, ikut berbahagia mengetahui istrinya bahagia. Namun, tiba-tiba ia mendengar suara helaan napas Natasha dan sekilas raut wajah yang berubah 180 derajat.“Ada apa? kenapa tiba-tiba begitu?”—Lucas penasaran.“Aku takut tiba-tiba kebahagiaan ini hanya semu. Melenakan di awal sebelum datang masalah besar,” jawab Natasha.“Hus! kenapa kamu berpikir seperti itu?”“Aku tidak tahu, semacam feeling? rasanya seperti musim semi sebelum datang badai, entahlah.”“Berhenti berpikir seperti itu dan cukup nikmati saja kebahagiaan yang ada saat ini! masa depan hanya angan, Natasha, itu belum terjadi.”Natasha mengangguk setuju—“Iya, kamu benar.”Lucas meraih tangan Natasha dan menggenggamnya. Dia melempar senyuman untuk
Daniel pada akhirnya membawa perempuan asing yang ditemuinya di klub malam ke sebuah hotel. Daniel sudah tidak lagi dalam akal sehaatnya, dia sudah berada di bawah pengaruh alkohol. Perempuan itu menjatuhkan Daniel di tempat tidur dan melepas sepatu serta jas yang dipakai oleh Daniel. “Natasha, kenapa kamu tidak bisa memilihku saja?” racau Daniel, “Natasha!”—tiba-tiba Daniel menarik tangan perempuan asing itu hingga dia jatuh tepat di atas tubuh Daniel—“kenapa diam saja? jawab aku!”“Kau sudah sangat mabuk, Tuan, sampai-sampai melihatku sebagai perempuan lain. Apa kau baru saja putus cinta?”“Aku tidak mau kehilanganmu, Natasha.”Daniel menarik tengkuk si perempuan hingga kini sudah tidak ada lagi jarak di antara mereka berdua. Sebuah ciuman lantas Daniel daratkan ke bibir perempuan yang ada dalam dekapannya tersebut.Di saat lumatan demi lumatan yang melenakan itu membuai si perempuan, tiba-tiba ciuman itu terlepas. Rupanya, Daniel jatuh tidak sadarkan diri.“Tuan!” panggil si pere
Natasha membawa seseorang yang mengaku anak pamannya, yang mana juga merupakan sepupunya, ke ruangannya. Natasha masih tidak bisa mengatakan apapun, dia hanya menatap gadis manis bernama Sifa itu dengan heran.“Kamu tidak ingin bertanya atau mengatakan apapun?” tanya Sifa memecah keheningan.“Mau minum apa?” tanya Natasha.“Apa saja yang penting dingin, aku dahaga sekali!” jawab Sifa. Natasha pun bangkit untuk menghubungi sekretarisnya. “Eh, Kak!” panggil Sifa.Langkah Natasha terhenti—“Ya?” jawabnya reflek.“Bisakah aku mendapat makan juga? aku belum makan pagi ini.”Natasha menghela napasnya—“Mau makan apa?” tanyanya lagi.“Apa saja, aku pemakan segala,” jawab Sifa.Natasha lantas kembali melanjutkan langkahnya menghubungi sang sekretaris. Setelahnya, dia kembali duduk di sofa bersama dengan Sifa. Kini mereka berdua saling berhadapan.“Sambil menunggu makanannya datang, bisa kamu jawab semua pertanyaanku?”Sifa mengangguk—“Hem! tentu saja, aku sudah siap untuk kamu tanya-tanya.”“Ka
“Heh, anak kelas satu tukang bully! kamu jangan sok ya, mentang-mentang orang tuamu jaksa!” “Hey anak jaksa! asal kamu tahu, orang-orang seperti mama-papamu itu kata mamaku mudah dibeli sama uang, jadi kamu jangan merasa paling benar dan baik sendiri!” Ashana mendengar keributan di gang samping toilet perempuan. Setelah ia dengarkan dengan seksama, dia pun tahu kalau ternyata yang saat ini sedang bertengkar ialah Cellin dan kakak kelas mereka. Ashana bisa saja pura-pura tidak tahu akan masalah itu dan pergi dari sana seolah tidak tahu apapun, atau, tiba-tiba datang menyela mereka dan membantu Cellin. Namun, Ashana tidak mau melakukannya. Jika ia pergi, maka ia tidak ada bedanya dengan perundung, padahal dia tahu bagaimana rasa tidak enaknya dirundung, akan tetapi jika ia membantu Cellin, pada akhirnya dia justru akan menambah musuh baru lagi. Ashana tidak mau mencari musuh baru, jadi dia pun lebih memilih untuk melapor ke guru kelasnya. Setelah perundungan tadi diketahui sang wali