Setelah dari rumah Kai, Natasha berangkat ke kantor dengan diantar oleh Lucas. Sepanjang perjalanan Natasha terlihat sangat bahagia. “Kenapa sepertinya kamu senang sekali?” tanya Lucas.Natasha menjawab, “Entahlah, rasanya hidupku sangat membahagiakan akhir-akhir ini.”Lucas tersenyum, ikut berbahagia mengetahui istrinya bahagia. Namun, tiba-tiba ia mendengar suara helaan napas Natasha dan sekilas raut wajah yang berubah 180 derajat.“Ada apa? kenapa tiba-tiba begitu?”—Lucas penasaran.“Aku takut tiba-tiba kebahagiaan ini hanya semu. Melenakan di awal sebelum datang masalah besar,” jawab Natasha.“Hus! kenapa kamu berpikir seperti itu?”“Aku tidak tahu, semacam feeling? rasanya seperti musim semi sebelum datang badai, entahlah.”“Berhenti berpikir seperti itu dan cukup nikmati saja kebahagiaan yang ada saat ini! masa depan hanya angan, Natasha, itu belum terjadi.”Natasha mengangguk setuju—“Iya, kamu benar.”Lucas meraih tangan Natasha dan menggenggamnya. Dia melempar senyuman untuk
Daniel pada akhirnya membawa perempuan asing yang ditemuinya di klub malam ke sebuah hotel. Daniel sudah tidak lagi dalam akal sehaatnya, dia sudah berada di bawah pengaruh alkohol. Perempuan itu menjatuhkan Daniel di tempat tidur dan melepas sepatu serta jas yang dipakai oleh Daniel. “Natasha, kenapa kamu tidak bisa memilihku saja?” racau Daniel, “Natasha!”—tiba-tiba Daniel menarik tangan perempuan asing itu hingga dia jatuh tepat di atas tubuh Daniel—“kenapa diam saja? jawab aku!”“Kau sudah sangat mabuk, Tuan, sampai-sampai melihatku sebagai perempuan lain. Apa kau baru saja putus cinta?”“Aku tidak mau kehilanganmu, Natasha.”Daniel menarik tengkuk si perempuan hingga kini sudah tidak ada lagi jarak di antara mereka berdua. Sebuah ciuman lantas Daniel daratkan ke bibir perempuan yang ada dalam dekapannya tersebut.Di saat lumatan demi lumatan yang melenakan itu membuai si perempuan, tiba-tiba ciuman itu terlepas. Rupanya, Daniel jatuh tidak sadarkan diri.“Tuan!” panggil si pere
Natasha membawa seseorang yang mengaku anak pamannya, yang mana juga merupakan sepupunya, ke ruangannya. Natasha masih tidak bisa mengatakan apapun, dia hanya menatap gadis manis bernama Sifa itu dengan heran.“Kamu tidak ingin bertanya atau mengatakan apapun?” tanya Sifa memecah keheningan.“Mau minum apa?” tanya Natasha.“Apa saja yang penting dingin, aku dahaga sekali!” jawab Sifa. Natasha pun bangkit untuk menghubungi sekretarisnya. “Eh, Kak!” panggil Sifa.Langkah Natasha terhenti—“Ya?” jawabnya reflek.“Bisakah aku mendapat makan juga? aku belum makan pagi ini.”Natasha menghela napasnya—“Mau makan apa?” tanyanya lagi.“Apa saja, aku pemakan segala,” jawab Sifa.Natasha lantas kembali melanjutkan langkahnya menghubungi sang sekretaris. Setelahnya, dia kembali duduk di sofa bersama dengan Sifa. Kini mereka berdua saling berhadapan.“Sambil menunggu makanannya datang, bisa kamu jawab semua pertanyaanku?”Sifa mengangguk—“Hem! tentu saja, aku sudah siap untuk kamu tanya-tanya.”“Ka
“Heh, anak kelas satu tukang bully! kamu jangan sok ya, mentang-mentang orang tuamu jaksa!” “Hey anak jaksa! asal kamu tahu, orang-orang seperti mama-papamu itu kata mamaku mudah dibeli sama uang, jadi kamu jangan merasa paling benar dan baik sendiri!” Ashana mendengar keributan di gang samping toilet perempuan. Setelah ia dengarkan dengan seksama, dia pun tahu kalau ternyata yang saat ini sedang bertengkar ialah Cellin dan kakak kelas mereka. Ashana bisa saja pura-pura tidak tahu akan masalah itu dan pergi dari sana seolah tidak tahu apapun, atau, tiba-tiba datang menyela mereka dan membantu Cellin. Namun, Ashana tidak mau melakukannya. Jika ia pergi, maka ia tidak ada bedanya dengan perundung, padahal dia tahu bagaimana rasa tidak enaknya dirundung, akan tetapi jika ia membantu Cellin, pada akhirnya dia justru akan menambah musuh baru lagi. Ashana tidak mau mencari musuh baru, jadi dia pun lebih memilih untuk melapor ke guru kelasnya. Setelah perundungan tadi diketahui sang wali
“Mama!” seru Ashana ketika memasuki ruang kerja Natasha.“Hey, Sayang!” balas Natasha, “baru saja mama mau keluar,” jelasnya sambil menyambut pelukan sang putri.“Hallo Daniel!” sapa Lucas ketika pandangnya menangkap sosok Daniel di ruangan sang istri.“Hay Lucas!” balas Daniel. Pada awalnya, Daniel berencana menemani Natasha sampai ke lobi. Namun, karena sekarang sudah ada Lucas yang menjemput Natasha sampai ruangan, dia pun berpikir untuk pergi lebih dulu.“Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu!” pamit Daniel.“Daniel, kami sudah akan pergi juga, kita turun sama-sama saja!” cegah Natasha.“Tidak!” sahut Lucas. Natasha, Daniel, dan juga Ashana sontak menatap Lucas. Mereka cukup terkejut mendengarnya, mereka pikir Lucas keberatan apabila mereka jalan bersama. Sadar ucapannya yang setengah-setengah itu menimbulkan ambigu, Lucas pun cepat-cepat meluruskannya. “Maksudku ... kamu jangan pergi dulu, Daniel! kami akan makan malam di luar, ikutlah sekalian bersama kami!”Lega sudah hati Na
Pagi ini, rencananya Scienic Tech. akan kedatangan tamu dari Grepes yang ingin bertemu dengan Daniel untuk membicarakan tentang Brain Print. “Jam berapa petinggi Grepes itu akan datang?” tanya Daniel kepada sekretarisnya.“Pukul sepuluh, Pak,” jawab sekretaris Daniel, “pihak mereka baru saja menghubungi bahwa mereka sudah dalam perjalanan dari hotel,” lanjutnya.“Siapa petinggi Grepes yang akan datang itu?” tanya Daniel lagi.“Namanya Alexandria Jung, beliau merupakan salah satu pelobi Grepes.”Daniel sedikit terkejut—“Jung?”“Benar, beliau orang Asia, lebih tepatnya Korea tapi sejak kecil tinggal di Amerika ikut ayahnya.”Sekarang Daniel cukup takjub pada sekretarisnya. Sepertinya ia tidak salah memilih orang, karena selain bisa jadi sekretaris dan membantunya mengurus pekerjaan, di samping itu sang sekretaris juga bisa jadi detektif.“Ada informasi lain yang kamu tahu tentang orang Grepes ini?” tanya Daniel lagi.“Menurut saya, Nona Jung ini sedikit licik, Tuan.” Lebih lanjut sekre
Di sinilah Daniel dan Alexa berakhir, duduk berdua di dalam sebuah restoran. “Bukankah tadi kamu bilang ada yang mau kamu bicarakan denganku, Daniel? lalu, kenapa sejak tadi kamu hanya diam saja?”Daniel menelan makanan yang ada di mulutnya, dia menjawab, “Aku hanya sedang menikmati makan siangku.”Alexa tersenyum sarkas—“Cih!” decaknya, “tidak perlu sungkan, Daniel, katakan saja to the point kalau kamu ingin bicara tentang malam itu!”Daniel mengambil minumannya. Setelah dua teguk air minumnya menyapu tenggorokan, dia mengambil dompet di sakunya dan mengeluarkan beberapa lembar uang.“Ini!”—Daniel meletakkan uang itu di meja dan mendorongnya ke arah Alexa.Alexa mengerutkan dahi—“Apa ini?”“Kukembalikan uangmu,” kata Daniel, “aku bukan pelacur yang setelah tidur bersama bisa kamu bayar dengan uang apalagi kamu tinggal pergi begitu saja,” jelasnya.Alexa akhirnya mengingat kejadian hari itu. Dia pun paham maksud Daniel, lalu tertawa. “Oh, jadi karena itu? hahaha ... sial, kamu tidak
~Dua belas tahun lalu, sebelum pertemuan Lucas dan Natasha~ Lucas keluar dari kamar mandi dan memakai kembali pakaiannya yang semalam ia lempar ke sembarang tempat. Sementara itu, di atas tempat tidur, seorang perempuan baru saja membuka matanya.“Kamu sungguh akan pergi meninggalkanku?” tanya perempuan itu sembari bangkit untuk duduk.“Urusan kita sudah selesai,” jawab Lucas.“Urusan bisnis kita memang sudah selesai, Lucas, tidak bisa kah kita memulai urusan baru yang ... lebih pribadi?”“Aku tidak tertarik,” jawab Lucas singkat.Si perempuan menghela napas. Lalu, dia memakai baju handuknya dan meninggalkan tempat tidur.Dia menghampiri Lucas dan membantu laki-laki itu mengancingkan kemeja. “Jadi, ini pertemuan terakhir kita? kita sungguh tidak akan bertemu lagi?” “Dunia ini terlalu sempit untuk kemungkinan kita tidak akan bertemu lagi, Alexa, mungkin suatu saat nanti secara tidak sengaja kita akan bertemu lagi.” Benar, perempuan yang pagi itu tengah bersama dengan Lucas, dia adal