"Sudah kuduga. Anakku tak akan semudah itu mati." Seorang pria berusia lima puluhan tersenyum bahagia, setelah membaca berita di sebuah surat kabar pernikahan akbar seorang pengusaha kaya yang berpengaruh di dalam dan luar negeri.
***
Seorang pria muda sedang berselancar di internet saat ia menemukan sebuah berita tentang pernikahan akbar seorang pengusaha yang dikenalnya. Wajahnya berubah menjadi kaku, namun sebuah senyuman licik terpampang pada bibirnya.
"Jadi bajingan itu sudah menikah, bagus, aku akan lebih mudah dalam mengatur siasat."
***
Rafin kembali ke kamarnya karena tak menemukan keberadaan istrinya di manapun.
Namun ternyata orang yang dicarinya sedang berada dikamar, terlihat duduk santai sambil membuka akun media sosialnya di atas pembaringan. Sambil sesekali tangannya mengambil camilan dari to
Seorang pria lajang, berjalan sendirian di tepi pantai. Masih pantai yang sama sejak tiga hari yang lalu. Ia sama sekali tak peduli dengan lalu lalang orang yang silih berganti melewatinya. Pandangannya beredar ke setiap sudut pantai, namun tak ada yang mampu membuat hatinya tertarik. Deburan ombak yang keras dan angin pantai yang menderu seakan mewakili rasa sakit hatinya yang tak kunjung mereda.Tiba-tiba matanya menangkap sepasang manusia yang sedang menikmati makan siang mereka di sebuah restoran tepi pantai. Hatinya kembali bergemuruh. Kalau saja ia tak ingat posisi, pasti akan ia lempar pasangan itu dengan alas kaki yang ia kenakan. Namun nyatanya, hanya dengan melihat mereka saja sanggup membuat dirinya hilang tenaga. Luka itu masih sama, dan sakit itu juga masih terasa. Namun sudah tak ada lagi air mata. Entah karena sudah kering, atau karena hatinya yang telah semakin kuat.Ada setitik tanya yang membuatn
Mila bangun lebih pagi di hari itu, ia merasa begitu bahagia. Entah karena apa, ia bahkan bingung mengartikan bunga-bunga yang terasa bermekaran di hatinya. Setelah ritualnya tadi malam, ia lantas tertidur dan kemudian terbangun karena mendengar suara adzan subuh.Entah ada ide dari mana, pagi ini ia berkeinginan untuk membuat kudapan berupa cake.Mila berkutat dengan adonan tepung dan gula halus sendirian. Karena tawaran bantuan dari Bibi Dini ia tolak. Bukan hal yang sulit bagi Mila untuk membuat cake, itu memang keahliannya.Ia hanya tinggal memberikan topping strawberry saat Oma menyapanya pagi itu."Wah, sejak kapan kalian disini?" tanya Oma yang membuat Mila menaikkan alisnya."Dari beberapa waktu yang lalu, dan Mila hanya sendirian Oma, kenapa Oma pakai kata kalian?" tanya Mila.Oma kemudian menunjuk seseor
Kasto kembali menempati rumah lamanya, yang kini telah lengang. Masih ada barang-barang milik kedua keponakannya, masih ditempat yang sama seperti saat ia tinggalkan waktu itu. Ia merebahkan tubuhnya pada kasur yang telah usang di kamarnya. Sepi, lengang, sendirian. Entah apa yang saat ini ia rasakan. Haruskah ia bahagia atau malah merasa bersalah?Masih ingat dalam benaknya, bagaimana saat untuk pertama kalinya kedua gadis belia itu tinggal dalam rumah sederhana miliknya. Ada semacam trauma dan ketakutan saat bertemu dengan orang asing. Terutama si bungsu Riska. Sedangkan kakaknya yang sebenarnya tak bisa dikatakan sebagai anak sulung itu terlihat lebih tegar.Ada satu rahasia keluarga Amarta yang sampai saat ini masih ia simpan. Itulah satu-satunya peristiwa yang masih membuatnya di kejar-kejar rasa bersalah.Nafasnya ia buang dengan kasar, tiba-tiba ia ingat akan sesuatu. Maka di carinyalah sebuah
Bibi Dini menangkap siluet Anggita pada acara itu. Ada banyak orang yang menghadiri acara pesta kebun itu, membuat Bibi Dini kesulitan untuk fokus dengan pencariannya karena lalu lalang orang yang tak berhenti. Dan benar saja dugaannya, gadis itu adalah Anggita. Bahkan kini Rafin terlihat sedang ngobrol dengannya.Ia segera mencari akal untuk memisahkan pertemuan mantan pasangan itu, sebelum Mila atau Oma mengetahuinya.***"Hai, apa kabarmu?" sapa Rafin pada gadis yang selalu terlihat sangat cantik di matanya itu."Seperti yang kau lihat," jawab Anggita tanpa menoleh sedikitpun pada pria itu. "Kau sendiri, bagaimana kabarmu?""Lebih baik dari dugaanmu," jawab Rafin percaya diri. Ia bahkan mengamati dengan cermat perubahan mimik muka dari gadis yang pernah mengisi hatinya selama tujuh tahun."Apa kau bahagia?" Anggita m
Sesampai di apartemen mereka langsung memasuki kamar masing-masing. Mila meletakkan barang-barangnya di kamar yang dahulu pernah digunakan. Tatanannya masih sama seperti dulu saat ia tinggalkan, belum berubah.***Mila menjadi lebih banyak diam dari sebelumnya. Pembicaraan di pesawat kemarin menjadi obrolan terakhir mereka.Dan pagi ini Mila keluar dari kamar saat Rafin telah pergi. Bekerja mungkin. Ia memilih bersih-bersih untuk kegiatannya hari itu.TING TONG...Sebuah bunyi bel berhasil membuat wanita muda itu terkejut. Spontan ia menghentikan kegiatan sebelumnya dan pergi ke arah pintu.Terlihat di sana seorang pria yang datang dengan membawa banyak barang." Selamat pagi, saya dari "ABC Catering" mengantarkan pesanan sarapan untuk Ny. Rafin. Paket sudah dibayar lunas oleh Tuan Rafin. Mohon dite
Di Kafe yang bertuliskan "Aluna" seorang gadis duduk sendiri, sebuah gelas berisikan coklat hangat telah berada di hadapannya.Pram, dari kejauhan sempat berhenti sejenak dari langkahnya. Memberikan kesempatan pada hatinya untuk menenangkankan diri. Jika bukan karena peristiwa itu, mungkin ia akan segera melangkahkan kakinya menuju kearah gadis cantik itu. Hatinya terasa nyeri jika ia mengingat kejadian itu. Namun tak ada alasan lagi untuk mundur.Pram melangkah semakin dekat dengan Mila. Tampak dimatanya, bahwa wanita itu masihlah cantik. Sama. Tak berkurang sedikitpun. Sosok itu sepertinya sedang melamun, terbukti bahwa kehadirannya tak disadari sama sekali. Hingga ia benar-benar telah berada di depannya, barulah gadis itu sedikit terkejut." Eh Kak Pram," ujar Mila terlihat gelagapan. "Terimakasih telah bersedia meluangkan waktumu untuk menemuiku." Mila lantas melambai pada seor
Rafin membuka mata dan mendapati bahwa semalam ia tak tidur di kamarnya. Seorang wanita cantik sedang meringkuk dalam dekapannya. Bau wangi dari shampoo di rambut Mila kini menjadi aroma terapi baginya.Rafin kembali mengingat saat awal pertemuannya dengan gadis ini. Bukankah itu adalah sebuah momen yang buruk dan menyedihkan? Malang sekali nasibnya. Ia juga kembali mengingat saat Pram kemarin tiba-tiba datang ke kantor dan tanpa banyak kata-kata langsung menonjok wajahnya. Bila saja Pram datang pada saat jam kantor, pasti akan ada banyak pasang mata yang melihat betapa hancur wajahnya. Setidaknya Pram masih memberi toleransi padanya dengan datang waktu kantor sudah tutup. Kemarin Derry sang aspri, sempat meminta maaf padanya karena memberikan informasi pada Pram saat pria itu menanyakan keberadaannya. Karena disangkanya kedua sahabat itu tak akan terlibat baku hantam. Apalagi selama ini para sahabat Rafin selalu bebas menemui p
Pram seperti biasa, selalu menjemput Mila untuk berangkat ke kafe bersama-sama. Di jam seperti ini biasanya gadis itu telah menunggunya di depan apartemen, namun tumben hari itu ia tak menemukan gadis itu di tempat yang biasanya. Maka ia membuat panggilan."Halo kak, ini Riska. Maaf, kak Mila baru ke kamar mandi. Ia sakit kak. Mungkin hari ini akan libur bekerja dulu. Boleh kan kak?" suara Riska dari ujung sana."Apa perlu aku antar ke Rumah Sakit?" tanyanya."Tak perlu kak. Kak Mila kalau masuk angin pasti seperti ini. Nanti aku beri dia obat aja, biasanya akan langsung reda.""Baiklah. Jika sakitnya tak ada perubahan, segera hubungi aku. Suruh dia untuk beristirahat selama beberapa hari." Pram sebenarnya sangat khawatir dengan keadaan gadis itu. Namun keadaan Mila yang telah menikah membuatnya tak bebas berbuat apapun, karena gadis itu telah memiliki suami. Meskipun hany