Hingga bulan berikutnya, tetap tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kezia datang dengan rutin setiap pagi sampai siang. Dia mengerjakan banyak hal dengan sangat baik tanpa sedikit pun membuat Arnold kecewa atas hasil kerjanya. Yang dibebankan kepadanya memang tak seberat milik karyawan lain, tapi kini Arnold bisa mengupas dengan semakin terang menuju watak terdalam Kezia. Pria itu sengaja tidak membebankan terlalu banyak pekerjaan bukan karena tak percaya, tapi karena kasihan sebab istrinya masih harus mengurus seorang bayi yang kadang-kadang berubah jadi sangat rewel.
Suatu sore menjelang magrib, ketika Arnold belum pulang dari kantor, Kezia sedang bermain-main bersama Narendra di ruang tamu. Bayi itu sudah tumbuh dua giginya di bagian bawah. Dia juga sudah bisa berjalan dengan berpegangan pada sesuatu, misalnya merayap di sepanjang tembok rumahnya.
"Ayo, Sayang, berjalan lebih jauh lagi," tantang Kezia sembari merentangkan tangannya untuk menyambut Narendra yang sKeesokan harinya, Arnold langsung membawa Kezia ke dokter kandungan untuk mengetahui dengan pasti berapa usia bayi yang ada di perut istrinya. Ia menyetir sendiri setelah minta izin pada Andrew untuk datang ke kantor telat hari ini.Setibanya di rumah sakit, Arnold langsung menggandeng Kezia dengan begitu romantis untuk menyusuri lorong-lorong menuju ruangan dokter kandungan. Ia sudah membuat janji dengan dokter yang dulu menjadi langganannya sewaktu Rebecca sedang hamil Narendra."Wah, senang sekali karena Tuan Arnold kembali datang ke sini bersama sosok baru," seru dokter perempuan berambut pirang itu. Senyumnya mengembang dengan ramah."Ya, Dokter. Kenalkan, ini istri baru saya. Namanya Kezia. Dia sedang mengandung anak saya," balas Arnold. Ia mempersilakan istrinya saling berjabatan dengan dokter muda itu.Setelah Kezia dan dokter itu saling berkenalan, proses pemeriksaan dimulai. Kezia dipersilakan rebahan di atas ranjang periksa un
Tak banyak yang berubah sampai satu bulan setelahnya. Kezia sangat lemah saat mengandung. Ia muntah secara terus-menerus hingga tubuhnya terlihat sangat kering dan seperti akan retak."Aku tak tahu lagi, Ma. Aku sudah membelikannya banyak sekali jenis vitamin, juga telah memanggilkan seluruh dokter kandungan di kota ini. Namun, kondisi Kezia tetap tak banyak berubah. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain tergeletak di kasur. Baru disuruh duduk sebentar saja, dia akan langsung mengaduh kalau kepalanya sangat pusing," ucap Arnold ketika Eva datang pada suatu sore menjelang matahari terbenam.Sejak mendapat kabar tentang kehamilan putrinya, ini sudah menjadi kali kelima kedatangan Eva. Namun, kondisi Kezia tetap begitu-begitu saja. Ia seolah tak memiliki daya walau sekadar untuk menyapa mamanya."Kau tak perlu terlalu cemas, Arnold. Dulu Mama juga begitu saat mengandung Kezia. Semua akan berakhir saat usia kandungnya sudah masuk tiga bulan," balas Eva men
"Astaga! Kau makan banyak sekali." Arnold menghampiri Kezia ke meja makan ketika perempuan itu sudah menghabiskan satu piring makanan, dan sekarang berniat tambah lagi."Tidak usah mengataiku. Sudah lama sekali aku tidak merasakan nikmatnya makan. Sepanjang mengandung anakmu, baru kali ini aku merasakan nafsu yang sangat besar untuk terus makan."Arnold cuma bisa geleng-geleng kepala sambil menatap Kezia dengan aneh. Hari masih pagi, tapi perempuan itu sudah semangat sekali. Bahkan dia tidak sabar menunggu Arnold pergi ke meja makan, dan akhirnya memutuskan ke sana duluan ketika suaminya masih mandi.Ketika Kezia sudah menghabiskan piring kedua dan berniat tambah lagi, Arnold buru-buru menutup meja makan itu dengan tudung. "Kau tak boleh makan terlalu banyak. Aku khawatir itu akan mendatangkan sesuatu yang buruk untuk bayi kita."Wajah Kezia berubah sangat kecewa. "Mengapa begitu? Seharusnya kau turut bahagia karena akhirnya nafsu makanku kemb
Minggu ini, perusahaan Permata Sanjaya ada jadwal promosi produk baru ke luar kota. Kezia sangat antusias ketika mendengar kabar tersebut dari Sherin."Ini akan jadi pengalaman saya terjun langsung ke acara promosi untuk pertama kalinya setelah bergabung dengan Permata Sanjaya. Saya sangat tidak sabar menanti hari itu," ujar Kezia setelah mengikuti acara meeting yang dipimpin oleh Sherin. Sebagian besar staf bagian pemasaran sudah meninggalkan ruang meeting. Tinggal tersisa Sherin dan dua karyawan laki-laki.Sherin menarik satu kursi, kemudian duduk di samping Kezia. "Mohon maaf, Bu. Apakah Pak Arnold akan memberi izin pada Bu Kezia untuk pergi ke luar kota dalam keadaan hamil besar seperti ini?" tanyanya hati-hati.Kezia diam sejenak. Keningnya berkerut karena berpikir. Dia menatap kosong ke permukaan meja seolah hendak mencari jawaban di sana. Benar juga, ya. Usia kandungannya sudah tujuh bulan. Tentu Arnold akan memberikan banyak pantangan untuknya. M
Sejak pertama kali tiba di lokasi promosi sampai siang hari, Kezia terus bersemangat. Siapa pun yang mengira dia hanya seorang istri yang selalu dimanja oleh Arnold, pasti akan langsung menganga takjub oleh bakat komunikasinya yang begitu luas. Dalam acara pesta peringatan hari lahir kota itu, Kezia menghampiri langsung para calon konsumen untuk menjelaskan segala macam hal tentang produk baru dari perusahaan Arnold."Lebih baik Bu Kezia istirahat dulu. Saya khawatir Pak Arnold akan sangat marah ketika mengetahui saya membiarkan Ibu bergerak sejak pagi," tutur Sherin dengan cemas. Sesekali ia melirik jam tangan. Masih sisa beberapa jam lagi untuk tinggal di tempat ini, sementara ia sudah sangat mencemaskan kondisi Kezia."Kau tak perlu cemas, Sherin. Kalau Arnold marah, saya yang akan berbicara padanya," jawab Kezia dengan muka santai. Ia merasa masih punya banyak tenaga untuk melanjutkan aksinya. Hanya duduk diam sambil memandang akan jadi sesuatu yang sangat tida
Untuk berteriak pun mulutnya sudah disumpal. Kezia hanya bisa memperpanjang air matanya sambil merapal semua doa yang ia bisa untuk memohon pada Tuhan. Ia sungguh tak ingin kehilangan anak pertama yang sejak masih dalam kandungan sudah diberinya cinta begitu banyak."Hentikan tingkah gilamu ini, Patmi!"Tiba-tiba saja Arnold masuk ke kamar itu dan mendorong tubuh Patmi sampai tersungkur di atas lantai. Perempuan tua itu menatap tak percaya dengan mulut menganga. Dia sungguh berharap apa yang dilihatnya detik ini salah.Namun, pada kenyataannya Arnold memang benar-benar sudah ada di depannya. Pria itu dengan sangat hati-hati menarik lakban yang menutupi mulut istrinya, kemudian membuka ikatan tangan dan kakinya."Arnold, aku sungguh takut." Kezia langsung berlindung dalam pelukan suaminya. Air matanya tetap bocor di sepanjang ruas pipi. Tubuhnya masih merinding dan bergetar. Ia sangat berterima kasih pada Tuhan yang telah begitu baik memp
Pagi-pagi ketika Arnold hendak berangkat ke kantor, tiba-tiba Patmi menghadang di tengah pagar rumahnya hingga mobil pria itu tidak bisa keluar. Dengan sangat marah, Arnold turun dari mobil untuk mengusir paksa Patmi yang telah membuat sesak pemandangan.Saat tiba di depan Patmi, Arnold sangat kaget karena ternyata perempuan tua itu mengeluarkan pisau dari saku jubahnya. Arnold langsung memasang posisi siap siaga sebagai antisipasi kalau mantan mertuanya itu akan menyakitinya."Apa yang kau lakukan di depan pagar rumahku sambil membawa pisau, Patmi?"Bukannya menjawab, Patmi malah meraih tangan Arnold, kemudian memindahkan pisau tersebut ke tangan pria itu. Di sini Arnold sudah siap menyelamatkan diri jika perempuan tua itu nekat menusuk telapak tangannya sewaktu-waktu.Ketika pisau telah berpindah ke tangan Arnold, Patmi mengukir senyum lebar, kemudian berkata, "Daripada kau memasukkan aku ke penjara, lebih baik kau bunuh aku saja." Suaranya
Kezia sangat syok ketika mendapat kabar tentang penangkapan Arnold. Dia yang sudah mematuhi ucapan suaminya sepanjang tiga hari untuk tidak keluar rumah sama sekali, akhirnya siang ini tak mampu mempertahankan kepatuhan itu. Dengan diantar sopir rumah, dia bergegas menuju kantor polisi untuk menengok kondisi suaminya."Apa yang terjadi, Arnold?" tanya Kezia dengan wajah cemas. Satu tangannya menggenggam erat tangan Arnold di atas meja, sementara tangan yang lain mengelus permukaan perut yang semakin hari makin membuncit saja."Aku juga tidak tahu, Kezia." Arnold menggeleng lemah dengan wajah tertunduk. "Patmi benar-benar perempuan licik. Sampai beberapa menit sebelum kematiannya pun, dia masih sempat menjebakku untuk masuk penjara.""Tolong ceritakan padaku secara rinci. Aku sulit percaya bagaimana kau bisa terjerumus pada permainan Patmi."Di meja kantor polisi itu, Arnold bercerita dengan terang tentang kejadian pagi itu. Di mana Patmi tiba-tiba d