Naraya duduk diam bersandar headboard. Kini ke mana pun arah mata menatap, pada kenyataannya tidak ada yang bisa dilihat. Semua hampa dan gelap, semua begitu sepi di hatinya. Sendiri dan takut, itulah yang kini dirasakan Naraya.
“Na.” Suara Amanda terdengar di ruangan itu.
Naraya meminta Kenan untuk melarang siapapun masuk ke ruangannya, termasuk Evangeline dan Devan jika mereka datang.
“Waktunya makan, aku akan menyuapimu.”
Naraya hanya bisa mendengar suara Amanda tanpa bisa melihat wajah temannya itu.
“Aku ingin makan sendiri,” kata Naraya.
Amanda terkejut dengan permintaan Naraya, tapi juga tidak bisa melarang karena takut menyinggung.
“Baiklah,” balas Amanda dengan senyum kecil meski wajahnya sembab karena baru saja menangis.
Amanda memosisikan meja khusus di atas kaki Naraya, sebelum kemudian menaruh piring berisi makanan untuk temannya itu.
Naraya meraba meja, tentu s
“Di mana Anira, Ma?” Begitu sadar, hanya Naraya yang memenuhi pikiran Kalandra.Dengan mata kepalanya sendiri Kalandra melihat Naraya tidak sadarkan diri setelah mobil yang mereka naiki menabrak truk. Kalandra kini mencemaskan Naraya, daripada dirinya sendiri.Evangeline terkejut mendengar pertanyaan Kalandra, hingga menatap Devan yang berdiri di sampingnya. Dia sendiri tidak tahu langsung bagaimana kondisi Naraya, lantas bagaimana caranya menjawab pertanyaan Kalandra.“Dia baik-baik saja dan kini sedang beristirahat. Kamu tidak perlu mencemaskannya,” ucap Devan karena Evangeline tidak menjawab.Kalandra meringis sambil memegangi kening, hingga saat akan bergerak baru menyadari jika kakinya terluka.“Kakiku,” lirih Kalandra saat merasakan kakinya sakit ketika akan digerakkan.“Kakimu mengalami patah tulang ringan, Al. Tapi Kenan berkata jika tidak ada yang perlu dicemaskan,” ujar Evangeline sambil mencegah Kalandra bangun.Mendengar nama Kenan, membuat emosi Kalandra kembali muncul. J
“Aku ingin ganti dokter.” Kalandra bicara sambil memalingkan wajah dari dokter yang kini sedang mengecek kondisi kakinya.“Tidak ada dokter ortopedi lain di rumah sakit ini selain aku. Tidak usah bersikap kekanak-kanakan,” balas Kenan, dokter tulang yang bertanggung jawab atas pengobatan Kalandra.Kalandra mendecih, kemudian menggerakkan kepala dan menatap ke arah Kenan yang sedang mengecek kondisi kakinya.“Apa kamu pikir, setelah kamu merawatku, maka aku akan memaafkanmu?” Kalandra bicara sambil menatap Kenan dengan perasaan tidak suka.“Aku tidak butuh maafmu,” ucap Kenan santai, tidak terlalu menanggapi sindiran Kalandra.Perawat yang mendampingi Kenan terlihat bingung karena perdebatan antara dokter dan pasien itu, hingga akhirnya memilih untuk diam dan mencoba mengabaikan perdebatan keduanya.Kenan sudah selesai mengecek, kemudian meminta perawat untuk mencatat perkembangan kaki Kalandra
Kalandra terlihat memikirkan ucapan Kenan. Dia yakin jika adik sepupunya itu pasti hanya mengada-ada dan mengucapkan hal itu untuk membuatnya mundur dari Naraya.“Anira tidak mungkin meninggalkanku begitu saja. Aku yakin Kenan sengaja ingin menciptakan jarak di antara kami,” gumam Kalandra.Kalandra berusaha turun dari ranjang, lengannya sudah tidak terpasang infus, sehingga tidak kesulitan untuk bergerak. Kalandra sedikit kesusahan turun dari ranjang karena kondisi kakinya, lantas menggapai tongkat yang tersandar di tembok, menggunakan alat itu untuk membantunya berjalan.Dia agak kesulitan berjalan menggunakan tongkat karena belum terbiasa, keluar dari kamar untuk menemui Naraya. Saat Kalandra baru saja akan sampai di kamar Naraya, dia melihat Amanda yang berdiri di depan pintu.“Anda mau ke mana?” tanya Amanda sopan. Dia melirik pintu kamar Naraya karena cemas jika Kalandra memaksa masuk.“Aku ingin melihat Anira, dia di kamar ini, ‘kan?” Kalandra menatap pintu kamar Naraya.“Naray
Hancur lebur perasaan ketika mendengar setiap kalimat itu muncul dari bibir gadis yang sangat dipuja. Hatinya bagai tercabik-cabik, sebelum kemudian diremas sedemikian rupa. Dia tidak pernah menyangka jika kekasihnya akan berpaling dengan begitu mudah, setelah semua yang mereka lewati bersama. Dia tidak menyangka jika gadis itu tidak bisa memaafkan kekhilafannya.Namun, di balik hancurnya hati seorang Kalandra, ada hati yang lebih hancur lagi karena ucapan-ucapan yang menyakiti pemuda yang sangat dicintainya itu. Bahkan air mata tidak berhenti luruh, saat dirinya mendengar sebuah kalimat doa tapi mengandung sebuah kutukan.“Kamu benar-benar membenciku? Apa kamu bahagia dengannya? Jika memang itu benar, aku akan mundur. Semoga kamu bahagia dengan pilihanmu.”Air mata itu luruh dan tidak mau berhenti setelah Kalandra pergi dari ruang inapnya. Naraya memilih menyakiti hatinya dan hati pemuda yang sangat dicintainya, hanya demi menghindarkan rasa bersalah dari hati Kalandra. Dia lebih bai
Nayla berjalan di koridor rumah sakit dengan rasa kesal. Sofi terus bertanya kenapa Naraya tidak datang, sedangkan kakaknya itu tidak bisa dihubungi.“Kenapa Ibu terus menanyakannya, menyebalkan!” gerutu Nayla. Dia harus menjaga ibunya di rumah sakit karena tidak ada Naraya. Nayla sempat bertanya kepada Kenan apakah tahu di mana keberadaan Naraya, tapi dokter muda itu memilih mengabaikan.“Tidak sudi aku jika harus mencarinya.”Saat Nayla sedang geram karena Sofi terus menanyakan Naraya, langkahnya terhenti saat melihat siapa yang kini duduk di kursi roda dan didorong oleh Kenan, Amanda berjalan di samping Kenan.“Naraya?” Nayla mengamati dari jauh. Dia melihat sang kakak yang menatap lurus ke depan.Nayla penasaran kenapa sang kakak duduk di kursi roda, hingga dia akhirnya mengikuti ke mana Kenan membawa sang kakak.Kenan mengajak Naraya pergi dari rumah sakit setelah menyelesaikan semua administrasi rumah sakit.Naraya sendiri sudah tidak punya pilihan selain menerima tawaran Kenan.
Sakit hati dan hancur kini dirasakan Kalandra, kedua kalinya harus melihat dua orang yang dikasihinya menusuk dari belakang, membuat Kalandra merasa jika dia memang sudah dikhianati sejak awal.“Semuanya sudah selesai diurus, kita bisa pulang sekarang,” ucap Devan yang baru saja masuk selepas dari ruang administrisi.Evangeline sudah mengemas barang mereka, hingga menoleh Kalandra yang duduk termangu menatap jendela.Wanita itu menoleh ke sang suami, memberikan tatapan penuh kekhawatiran akan kondisi putra mereka.“Al, kita pulang sekarang?” tanya Evangeline sambil menyentuh pundak Kalandra.Kalandra menoleh, kemudian menganggukkan kepala. Dia berusaha berdiri dibantu Evangeline untuk berpindah ke kursi roda.Devan mendorong kursi roda untuk keluar kamar dan pergi menuju parkiran rumah sakit. Devan dan Evangeline berencana membawa pulang Kalandra ke rumah karena di kota itu tidak akan ada yang merawat dan menjaga Kalandra di kondisinya sekarang ini.Nayla baru saja mengurus prosedur k
“Mama Ivi.”Angel—kakak Kenan, pagi itu datang mengunjungi kediaman Evangeline untuk menjenguk Kalandra. Meski Angelica adalah putri dari mendiang adik Devan, tapi gadis yang tumbuh bergelimang kasih sayang itu memanggil Evangeline dan Devan dengan sebutan mama dan Papa, serta menganggap Kalandra adalah adiknya sendiri seperti Kenan.“Ica, kamu sudah pulang. Kata mamamu kamu pergi ke luar kota untuk urusan bisnis.” Evangeline terlihat senang melihat gadis itu, lantas memberikan pelukan untuk Angel.“Baru semalam pulang, lalu mendengar kabar tentang Kalandra, hingga pagi ini memutuskan ke sini sebelum ke kantor,” ucap Angel menjelaskan.“Di mana Al?” tanya Angel kemudian.“Dia di kamarnya, naiklah jika ingin bertemu,” jawab Evangeline.Angel menganggukkan kepala, kemudian minta izin untuk melihat kondisi Kalandra.Angel mengetuk pintu, kemudian membuka dan melongok ke dalam. Dia melihat Kalandra yang berdiri di dekat pintu balkon, kaki pemuda itu tampaknya sudah sembuh.“Al, boleh aku
“Man, apa kamu pikir apa yang aku lakukan sudah benar?” tanya Kenan ke Amanda.Entah kenapa hari itu dirinya merasa gelisah, hingga akhirnya mengajak Amanda bicara berdua setelah praktek untuk bisa sekadar melegakan hatinya,Kenan sendiri mulai nyaman dengan keberadaan Amanda karena keduanya adalah tim yang membantu Naraya agar bisa mandiri. Sikap perhatian Amanda dan juga kesabaran gadis itu, membuat Kenan senang berada di sisi Amanda.“Aku tahu Anda melakukan semua ini demi Naraya, tapi mungkin kita sebenarnya tidak memahami perasaannya, dengan menuruti pemintaannya. Padahal kita tahu kalau sebenarnya dia sangat menderita dengan keputusan yang dibuat,” ujar Amanda panjang lebar.Kenan menatap Amanda, melihat sekali lagi sikap dewasa dari gadis di hadapannya itu. Dia lantas mengingat bagaimana Naraya selama beberapa hari ini, gadis itu terlihat tenang dan bahagia, tapi sebenarnya menderita. Kenan sering melihat Naraya melamun, tak