Sakit hati dan hancur kini dirasakan Kalandra, kedua kalinya harus melihat dua orang yang dikasihinya menusuk dari belakang, membuat Kalandra merasa jika dia memang sudah dikhianati sejak awal.“Semuanya sudah selesai diurus, kita bisa pulang sekarang,” ucap Devan yang baru saja masuk selepas dari ruang administrisi.Evangeline sudah mengemas barang mereka, hingga menoleh Kalandra yang duduk termangu menatap jendela.Wanita itu menoleh ke sang suami, memberikan tatapan penuh kekhawatiran akan kondisi putra mereka.“Al, kita pulang sekarang?” tanya Evangeline sambil menyentuh pundak Kalandra.Kalandra menoleh, kemudian menganggukkan kepala. Dia berusaha berdiri dibantu Evangeline untuk berpindah ke kursi roda.Devan mendorong kursi roda untuk keluar kamar dan pergi menuju parkiran rumah sakit. Devan dan Evangeline berencana membawa pulang Kalandra ke rumah karena di kota itu tidak akan ada yang merawat dan menjaga Kalandra di kondisinya sekarang ini.Nayla baru saja mengurus prosedur k
“Mama Ivi.”Angel—kakak Kenan, pagi itu datang mengunjungi kediaman Evangeline untuk menjenguk Kalandra. Meski Angelica adalah putri dari mendiang adik Devan, tapi gadis yang tumbuh bergelimang kasih sayang itu memanggil Evangeline dan Devan dengan sebutan mama dan Papa, serta menganggap Kalandra adalah adiknya sendiri seperti Kenan.“Ica, kamu sudah pulang. Kata mamamu kamu pergi ke luar kota untuk urusan bisnis.” Evangeline terlihat senang melihat gadis itu, lantas memberikan pelukan untuk Angel.“Baru semalam pulang, lalu mendengar kabar tentang Kalandra, hingga pagi ini memutuskan ke sini sebelum ke kantor,” ucap Angel menjelaskan.“Di mana Al?” tanya Angel kemudian.“Dia di kamarnya, naiklah jika ingin bertemu,” jawab Evangeline.Angel menganggukkan kepala, kemudian minta izin untuk melihat kondisi Kalandra.Angel mengetuk pintu, kemudian membuka dan melongok ke dalam. Dia melihat Kalandra yang berdiri di dekat pintu balkon, kaki pemuda itu tampaknya sudah sembuh.“Al, boleh aku
“Man, apa kamu pikir apa yang aku lakukan sudah benar?” tanya Kenan ke Amanda.Entah kenapa hari itu dirinya merasa gelisah, hingga akhirnya mengajak Amanda bicara berdua setelah praktek untuk bisa sekadar melegakan hatinya,Kenan sendiri mulai nyaman dengan keberadaan Amanda karena keduanya adalah tim yang membantu Naraya agar bisa mandiri. Sikap perhatian Amanda dan juga kesabaran gadis itu, membuat Kenan senang berada di sisi Amanda.“Aku tahu Anda melakukan semua ini demi Naraya, tapi mungkin kita sebenarnya tidak memahami perasaannya, dengan menuruti pemintaannya. Padahal kita tahu kalau sebenarnya dia sangat menderita dengan keputusan yang dibuat,” ujar Amanda panjang lebar.Kenan menatap Amanda, melihat sekali lagi sikap dewasa dari gadis di hadapannya itu. Dia lantas mengingat bagaimana Naraya selama beberapa hari ini, gadis itu terlihat tenang dan bahagia, tapi sebenarnya menderita. Kenan sering melihat Naraya melamun, tak
Kalandra tiba-tiba berlari keluar dari kamar dengan terburu-buru. Dia hanya mengenakan kemeja berwarna navy dan ponsel juga kunci mobil di tangan.“Al, kamu mau ke mana?” tanya Evangeline ketika melihat putranya menuruni anak tangga dengan cepat.“Aku harus memperbaiki sesuatu, Ma.” Tanpa berhenti, Kalandra menjawab pertanyaan sang mama sambil setengah berlari keluar dari rumah.Evangeline panik melihat putranya pergi, sedangkan baru saja sembuh setelah masa pemulihan pasca kecelakaan.“Al! Kamu mau ke mana?” Evangeline mengejar, tapi terlambat karena Kalandra sudah mengemudikan mobil meninggalkan halaman rumah.Wanita itu cemas, kenapa setelah mendapatkan panggilan dari Kenan, putranya pergi dari rumah dengan terburu-buru. Dia pun memilih pergi ke kamar Kalandra, mengambil ponselnya untuk menanyakan apa yang dibicarakan Kenan kepada Kalandra.**Kalandra melajukan mobil dengan kecepatan tinggi, tidak peduli dengan trauma atau keselamatannya, karena saat ini yang ada di pikirannya bis
“Apa tidak apa-apa seperti ini? Bagaimana jika Naraya menunggu kita pulang?”Kenan dan Amanda sudah selesai bertugas di rumah sakit, tapi mereka tidak langsung pulang dan memilih pergi ke kafe.“Kalandra saat ini pasti sudah sampai di sana, jika kita pulang, aku takutnya mengganggu mereka,” ujar Kenan, sebelum kemudian menyesap kopi yang dipesannya.Amanda terdiam kemudian mengangguk paham. Dia salut kepada Kenan yang mampu melawan ego demi kebahagiaan orang lain. Kenan adalah sosok sempurna yang didamba para gadis.“Kenapa kamu melamun?” tanya Kenan karena Amanda terus menatapnya.Amanda tersadar dari lamunan, lantas tersenyum canggung dan memilih menyesap kopi miliknya.**Kalandra sampai di kota tempat tinggal Naraya saat sore hari. Begitu sampai di alamat Apartemen yang Kenan kirimkan lewat pesan chat, Kalandra berlarian menuju lift hingga keluar dari lift karena ingin segera bertemu dengan Nara
Kalandra sesekali mengecup pucuk kepala Naraya. Mereka kini duduk di sofa dan Kalandra memeluk Naraya dari belakang, seolah tidak ingin melepas karena takut kehilangan.“Maaf jika aku egois hingga akhirnya membuatmu seperti ini, Ra.” Kalandra kembali mencium pucuk kepala Naraya setelah mengucapkan kalimat itu.“Jangan membahas itu lagi, Al. Aku benar-benar sudah tidak mempermasalahkan, ini yang aku takutkan darimu. Aku tidak ingin menjadi bebanmu karena rasa bersalah itu,” ujar Naraya sambil merasakan pelukan hangat pemuda itu.Kalandra akhirnya tidak membahas lagi masalah itu, tapi pikirannya juga masih terbayang-bayang saat Kenan mencium Naraya.“Tapi, bagaimana bisa kamu berciuman dengan Kenan agar membuatku salah paham?” tanya Kalandra penasaran dan juga cemburu.Naraya tersenyum mendengar pertanyaan Kalandra. Dia bangun dari pelukan pemuda itu, menyentuh lengan Kalandra dan meraba hingga ke wajah pemuda itu.Kalandra terus menatap, kini ada rasa menyesal karena Naraya tidak bisa
Uap panas yang masih mengepul di udara, menggeliti hidung yang menghidu aroma khas dari minuman berwarna hitam itu.“Kopi.” Kenan menyodorkan secangkir kopi ke Kalandra.Kenan menghampiri Kalandra yang berdiri di balkon, kakak sepupunya itu baru saja selesai menerima panggilan.“Terima kasih,” ucap Kalandra sambil menerima cangkir kopi yang diberikan Kenan.Keduanya berdiri menatap hamparan kota yang bermandikan cahaya. Sesekali meniup uap panas yang masih mengepul, lantas menyesap kopi hitam pekat itu.Tidak ada pembahasan di antara keduanya. Mungkin karena mereka terlalu lama saling mendiamkan dan tidak pernah bertegur sapa.“Terima kasih,” ucap Kalandra tanpa menatap Kenan.“Kamu sudah mengucapkannya tadi,” balas Kenan, kemudian kembali menyesap kopinya.Kalandra tersenyum getir, menebak apakah Kenan benar-benar tidak tahu untuk apa dirinya berterima kasih, atau hanya berpura-pura tidak tahu untuk memancingnya bicara lebih banyak.“Kamu pasti tahu untuk apa aku berterima kasih, jad
“Aku akan mencarikan donor mata untukmu.”Setelah kembali bersama, Kalandra mengajak kembali Naraya ke apartemen yang disewanya.Naraya tersenyum mendengar ucapan Kalandra, tangannya meraba hingga kemudian menggenggam telapak tangan kekasihnya itu.“Maaf, jadi harus merepotkanmu dengan kondisiku,” ucap Naraya. Dia merasa sudah menjadi beban banyak orang.Kalandra menggenggam erat tangan Naraya, mengangkat dan mendekatkan ke bibir, sebelum kemudian mengecup punggung tangan dengan lembut.“Jangan meminta maaf atau berterima kasih. Kamu lupa jika aku sudah melamarmu dan berjanji akan menikahimu? Bagaimanapun kondisimu, aku akan menerimanya,” ujar Kalandra. Dia lantas menatap jari manis Naraya yang masih memakai cincin pemberiannya.Naraya mengangguk-angguk, saat ini dirinya ingin sekali bisa melihat bagaimana senyum kekasihnya itu. Naraya mengulurkan tangan, menyentuh kedua pipi Kalandra, lantas meraba hidung, mata, dan bibir pemuda itu.“Aku sangat ingin melihat senyummu, tapi sayangnya