Jalanan yang semula lancar, kini mengalami kemacetan parah karena sebuah kecelakaan di persimpangan jalan. Sebuah mobil suv berwarna hitam menabrak truk yang melintas dari arah lain.Kalandra tampak menggerakkan kepala setelah dirinya terantuk stir karena benturan yang keras. Dia merasakan kepalanya begitu sakit bahkan ada darah yang mengalir dari dahi. Pemuda itu berusaha menggerakkan kedua kaki, tapi tidak berhasil karena kakinya terjepit mobil yang rusak sebab masuk ke kolom truk.“Ra.” Kalandra menoleh dan memanggil Naraya, tapi sayangnya tidak ada reaksi dari kekasihnya itu.“Ra!” Kalandra panik saat melihat Naraya yang tidak sadarkan diri. Dia melepas seat belt dan ingin meraih Naraya, tapi kaki yang terjepit membuatnya susah bergerak.“Ra, bangun! Aku mohon!” Kalandra menepuk pipi Naraya, mencoba menyadarkan gadis itu.Seketika rasa bersalah merayap di dada, bagaimana bisa dirinya membuat orang yang dicintainya malah terluka.“Ra, kumohon bangun. Anira!” panggil Kalandra terus
Kenan segera menangani Kalandra, sedangkan Naraya ditangani oleh dokter lainnya. Hatinya terasa ngilu saat melihat Kalandra terbaring lemah dan satu kaki mengalami patah tulang karena terjepit mobil yang ringsek. Dia sudah meminta perawat untuk melakukan rontgen agar mengetahui seberapa parah kondisi saudaranya itu.“Jangan sampai terjadi sesuatu kepadamu, Al. Meski kamu membenciku, tapi tidak pernah sekalipun aku membencimu,” gumam Kenan setelah selesai menangani Kalandra dan meminat perawat untuk memindah ke ruang rawat inap.Naraya juga sudah selesai ditangani dan kini telah dipindah ke ruangan yang agar berjauhan dari Kalandra. Amanda meminta izin untuk merawat temannya itu, bertanggung jawab atas pemantauan kondisi Naraya.“Bagaimana kondisiny?” tanya Kenan saat menemui Amanda.“Naraya belum sadar, mungkin karena pengaruh obat bius juga,” jawab Amanda dengan kerisauan dalam tatapannya.“Bagaimana Kalandra?” tanya Amanda balik.“Hanya luka lecet di beberapa bagian tubuh, kakinya h
Naraya mulai sadarkan diri setelah beberapa jam tertidur. Dia mulai menggerakkan tangan, hingga membuat Amanda yang memang berjaga di sana langsung mendekat untuk melihat kondisi temannya itu.“Na, kamu sudah sadar.” Amanda begitu lega saat tahu kalau Naraya sudah sadar.Naraya berusaha membuka kelopak mata, tangannya meraba ke tangan Amanda yang menyentuh lengannya. Dia mulai membuka kelopak mata, tapi saat kedua mata terbuka, Naraya hanya melihat kegelapan.“Man, kenapa lampunya dimatikan?” tanya Naraya.Amanda begitu terkejut mendengar pertanyaan Naraya, sedangkan lampu di sana menyala semua dan ruangan itu begitu terang. Amanda pun merasa ada yang tidak beres dengan Naraya, kemudian menekan tombol darurat untuk memanggil dokter.“Man, kenapa gelap sekali?” tanya Naraya lagi, tangannya meraba dan bisa merasakan tangan Amanda.Amanda ingin menangis mendengar pertanyaan Naraya, tapi juga berdoa jika apa yang ditakutkannya tidak terjadi.“Sebentar ya, Na.” Amanda mencoba bersikap tena
Kenan masih memeluk Naraya hingga gadis itu berhenti menangis. Dia pun bisa merasakan kepiluan akan nasib yang menimpa Naraya.Naraya bangkit dari pelukan Kenan, tanpa melihat dan hanya tahu jika Kenan berada di sisi kanannya.Kenan menatap Naraya yang basah dengan air mata, hingga kemudian mengusap lembut pipi Naraya menggunakan jemarinya.“Apa Al baik-baik saja?” tanya Naraya. Meski dirinya dalam kondisi yang begitu buruk, tapi siapa yang menyangka jika Naraya masih memikirkan Kenan.“Hanya mengalami patah tulang ringan, terapi dan pengobatan yang benar akan membuatnya cepat pulih,” jawab Kenan dengan tatapan terus tertuju ke wajah Naraya.Naraya terdiam mendengar jawaban Kenan, hingga teringat bagaimana Kalandra sangat mencintainya.“Ke, bolehkah aku minta tolong kepadamu?”Kenan mengerutkan dahi, masih menatap Naraya.“Tolong apa?”**Evangeline dan Devan akhirnya sampai di rumah sakit. Mereka langsung menuju kamar inap Kalandra karena Kenan sudah memberitahu sebelumnya.Saat samp
Naraya duduk diam bersandar headboard. Kini ke mana pun arah mata menatap, pada kenyataannya tidak ada yang bisa dilihat. Semua hampa dan gelap, semua begitu sepi di hatinya. Sendiri dan takut, itulah yang kini dirasakan Naraya.“Na.” Suara Amanda terdengar di ruangan itu.Naraya meminta Kenan untuk melarang siapapun masuk ke ruangannya, termasuk Evangeline dan Devan jika mereka datang.“Waktunya makan, aku akan menyuapimu.”Naraya hanya bisa mendengar suara Amanda tanpa bisa melihat wajah temannya itu.“Aku ingin makan sendiri,” kata Naraya.Amanda terkejut dengan permintaan Naraya, tapi juga tidak bisa melarang karena takut menyinggung.“Baiklah,” balas Amanda dengan senyum kecil meski wajahnya sembab karena baru saja menangis.Amanda memosisikan meja khusus di atas kaki Naraya, sebelum kemudian menaruh piring berisi makanan untuk temannya itu.Naraya meraba meja, tentu s
“Di mana Anira, Ma?” Begitu sadar, hanya Naraya yang memenuhi pikiran Kalandra.Dengan mata kepalanya sendiri Kalandra melihat Naraya tidak sadarkan diri setelah mobil yang mereka naiki menabrak truk. Kalandra kini mencemaskan Naraya, daripada dirinya sendiri.Evangeline terkejut mendengar pertanyaan Kalandra, hingga menatap Devan yang berdiri di sampingnya. Dia sendiri tidak tahu langsung bagaimana kondisi Naraya, lantas bagaimana caranya menjawab pertanyaan Kalandra.“Dia baik-baik saja dan kini sedang beristirahat. Kamu tidak perlu mencemaskannya,” ucap Devan karena Evangeline tidak menjawab.Kalandra meringis sambil memegangi kening, hingga saat akan bergerak baru menyadari jika kakinya terluka.“Kakiku,” lirih Kalandra saat merasakan kakinya sakit ketika akan digerakkan.“Kakimu mengalami patah tulang ringan, Al. Tapi Kenan berkata jika tidak ada yang perlu dicemaskan,” ujar Evangeline sambil mencegah Kalandra bangun.Mendengar nama Kenan, membuat emosi Kalandra kembali muncul. J
“Aku ingin ganti dokter.” Kalandra bicara sambil memalingkan wajah dari dokter yang kini sedang mengecek kondisi kakinya.“Tidak ada dokter ortopedi lain di rumah sakit ini selain aku. Tidak usah bersikap kekanak-kanakan,” balas Kenan, dokter tulang yang bertanggung jawab atas pengobatan Kalandra.Kalandra mendecih, kemudian menggerakkan kepala dan menatap ke arah Kenan yang sedang mengecek kondisi kakinya.“Apa kamu pikir, setelah kamu merawatku, maka aku akan memaafkanmu?” Kalandra bicara sambil menatap Kenan dengan perasaan tidak suka.“Aku tidak butuh maafmu,” ucap Kenan santai, tidak terlalu menanggapi sindiran Kalandra.Perawat yang mendampingi Kenan terlihat bingung karena perdebatan antara dokter dan pasien itu, hingga akhirnya memilih untuk diam dan mencoba mengabaikan perdebatan keduanya.Kenan sudah selesai mengecek, kemudian meminta perawat untuk mencatat perkembangan kaki Kalandra
Kalandra terlihat memikirkan ucapan Kenan. Dia yakin jika adik sepupunya itu pasti hanya mengada-ada dan mengucapkan hal itu untuk membuatnya mundur dari Naraya.“Anira tidak mungkin meninggalkanku begitu saja. Aku yakin Kenan sengaja ingin menciptakan jarak di antara kami,” gumam Kalandra.Kalandra berusaha turun dari ranjang, lengannya sudah tidak terpasang infus, sehingga tidak kesulitan untuk bergerak. Kalandra sedikit kesusahan turun dari ranjang karena kondisi kakinya, lantas menggapai tongkat yang tersandar di tembok, menggunakan alat itu untuk membantunya berjalan.Dia agak kesulitan berjalan menggunakan tongkat karena belum terbiasa, keluar dari kamar untuk menemui Naraya. Saat Kalandra baru saja akan sampai di kamar Naraya, dia melihat Amanda yang berdiri di depan pintu.“Anda mau ke mana?” tanya Amanda sopan. Dia melirik pintu kamar Naraya karena cemas jika Kalandra memaksa masuk.“Aku ingin melihat Anira, dia di kamar ini, ‘kan?” Kalandra menatap pintu kamar Naraya.“Naray