Melati tersenyum lebar kala Sinta memperlihatkan album pernikahan yang berisi potret dirinya dengan sang suami. Dengan antusias, ia merebut album tersebut dan membolak-baliknya dengan buru-buru, seperti tengah mencari sesuatu. Di lembar terakhir, tangannya berhenti, Melati menatap intens sosok pria berjas dengan tubuh tegap dan mata elang yang membuatnya terlihat berwibawa.
“Dimana dia?” tanya Melati seraya menunjuk sosok itu.
“Sebaiknya Ibu istirahat, tidak perlu memikirkan banyak hal,” balas Sinta. Ia mengambil alih album tersebut dan menutupnya, kemudian membawa Melati ke kamar.
“Sinta, apa laki-laki tadi…”
“Bu, makan, ya,” potong Sinta. Ia tak mau Melati berpikir terlalu keras, karena hal itu akan membuat kondisinya memburuk.
“Aku tidak lapar,” sahut Melati seraya mengedarkan pandangan.
“Walapun tidak lapar, Ibu harus tetap makan,” bujuk Sinta sembari menyuapi
Sepulang sekolah, Alea benar-benar menjalankan niatnya. Berbekal motor matic milik Kenzie, ia bertekad tidak akan pulang sebelum berhasil menemukan sang kakak. Niatnya sudah bulat, Alea akan berusaha keras membantu kakak dan kakak iparnya yang sama-sama gengsi, untuk mengakui perasaan saling membutuhkan di hati masing-masing.Alea melangkah lebar menuju parkiran tempat kendaraan roda dua miliknya berada, saat itulah netranya menangkap sosok Gala tengah berbicara dengan teman lelakinya. Keinginan untuk menyapa sang kakak kelas sangat besar, namun Alea berusaha menahan, saat ini ada sesuatu yang lebih penting daripada mengurusi Gala. Lagipula, semakin hari lelaki tersebut semakin dingin, padahal ia sudah melakukan berbagai cara untuk menarik perhatian lelaki itu.Saat langkahnya hendak melewati Gala, tanpa melirik apalagi menyapa, suatu keajaiban terjadi. Hal yang sebelumnya tak pernah dibayangkan Alea, menjadi nyata. Gala memanggil namanya.“Alea?&rdq
“Bebaskan gadis itu!”“Sekarang!”“Jangan hubungi aku sebelum tugasmu selesai!”“Aku ingin bersenang-senang!”Lelaki bertubuh gempal dengan wajah sangar menatap layar seraya mengernyitkan kening, ia bingung pada bosnya yang cenderung labil. Padahal, beberapa menit lalu dialah yang paling bersemangat meminta dirinya menghabisi gadis berseragam SMA itu. Sekarang lihat, wanita tersebut malah memintanya melepaskan target, disaat jiwa ingin membunuh sudah meronta-ronta.“Brengsek! Rupanya dia hanya mengerjaiku,” umpat pria tersebut sembari melepas tali yang mengikat tangan dan kaki Amanda. Bukan hanya itu, penutup kepala juga lakban yang menempel di mulut gadis tersebut pun ditarik paksa hingga menyebabkan Amanda terbangun, ia merasakan nyeri di sekujur tubuh.“Sssshhhhh, air,” racau Amanda. “Aku butuh air,” sambungnya lem
Lampu-lampu perkotaan semakin menyilaukan pandangan. Selain ucapan terima kasih yang beberapa menit lalu terlontar, Amanda belum berani mengucapkan sepatah-katapun, padahal pertanyaan mau kemana sudah sejak tadi bersarang di hati dan pikiran.Kendaraan roda empat itu berhenti di tempat ibadah. Amanda masih bergeming saat pria di sampingnya melepas sabuk pengaman, bersiap hendak turun. “Tunggu di sini, dan jangan kemana-mana, aku perlu memenuhi panggilan alam lebih dulu!” titah pria tersebut seraya berlari keluar.Amanda hanya mengangguk sebagai jawaban. Setelah pria itu tak terlihat, ia mencoba mencari cara keluar dari mobil tersebut. Sebab, perasaannya tidak enak. Terlebih setelah pria berpakaian serba hitam tadi menerima telepon dari seseorang, dan memutar arah perjalanan mereka.Ceklek!Amanda berhasil membuka pintu. Sepertinya, lelaki itu lupa mengunci karena panggilan alam yang tak bisa diajak kompromi. Dengan segera, Amanda kelu
Kemarahan Aura semakin menjadi saat anak buah yang membawa Amanda mengatakan bahwa gadis itu berhasil kabur. Kilatan amarah terpancar jelas dari wajah dan matanya. Ia tak bisa lagi menahan diri, mereka semua harus diberi pelajaran, termasuk Gala yang sudah melewati batas dan bertindak kelewatan.Brak! Aura menggebrak meja seraya menatap tajam dua pria di hadapannya. Sontak keduanya tersentak kaget, salah satu dari lelaki itu menundukkan kepala, sementara lelaki di sebelahnya tampak tenang.“Kalian semua tak ada gunanya! Mengurus satu gadis saja tidak becus!” maki Aura.“Cih! Bukankah kau juga sama?” Pria yang terlihat tenang berdecih, ia membalas tatapan Aura seraya mengangkat sebelah alisnya.“Jaga bicaramu, Bram!” Suara Aura naik beberapa oktaf, hingga membuat lelaki di sebelah Bram semakin menundukkan kepala.Namun, hal itu tak berlaku bagi lelaki yang dipanggil Bram. Bram tersenyum miring, menertawak
Gala yang sedang memacu motor sportnya, dikagetkan dengan gerombolan motor yang saat ini mengepung dirinya. Ia diapit dari segala sisi, melalui helm fullface yang dikenakan, Gala bisa melihat, ada lebih dari lima motor yang tiba-tiba bersisian dan seperti sengaja bergerak brutal, seakan ingin mengacaukan fokus kemudinya.Kondisi tersebut membuat Gala menaikkan kecepatan. Sebab, bila ia berhenti sudah bisa dipastikan akan kalah jumlah. Meskipun kemampuan bela diri Gala di atas rata-rata, ia tak mau mengambil risiko dengan membahayakan diri sendiri, kecuali dalam keadaan darurat.Gala terus meliuk-liuk dan menyalip sana-sini, hingga beberapa menit kemudian dia berhasil mengecoh gerombolan itu. Setelah dirasa aman, Gala menutup sempurna helm fullfacenya, kemudian melanjutkan perjalanan dengan kecepatan tinggi. Tujuannya hanya satu, bertemu sang mama.Dua puluh menit kemudian, Gala sudah tiba di pelataran rumah nan asri. Melati terlihat sedang meni
Flashback OnSuara dentuman musik memenuhi indera pendengaran Kenzo. Lautan manusia yang sedang meliuk-liukan tubuhnya tak membuat ia tertarik bergabung dengan mereka. Sudah lama Kenzo tak datang ke tempat ini, lebih tepatnya setelah menikah dengan Kenzie ia benar-benar tak tertarik dengan apa pun selain wanita itu.Namun, kepergian wanita tersebut dan segala keruwetan pikiran, membuat Kenzo butuh pelampiasan. Alhasil, ia kembali menyentuh dunia malam, untuk sekadar bersenang-senang dan melepas beban.Gelas bening dengan balok es di dalamnya, dan sedikit cairan berwarna kuning keemasan, menjadi minuman yang terasa menenangkan bagi Kenzo. Ia sudah menghabiskan lebih dari lima gelas, kepalanya pun terasa sedikit pening, namun dia belum berniat pergi dari tempat tersebut.“Tuan, sebaiknya Anda menelepon seseorang untuk menjemput, sangat berbahaya jika Anda pulang sendiri dalam keadaan seperti ini.” Seorang bartender pria
Gala tak langsung menjawab, ia menimbang-nimbang terlebih dahulu, sebelum akhirnya memutuskan mengangguk setuju. Pasalnya, momen ini adalah kesempatan yang tdak boleh dilewatkan. Kesempatan untuk lebih dekat dengan Amanda, juga kesempatan membuktikan sedalam apa perasaannya pada wanita itu.“Aku mau,” balas Gala mantap.“Beneran?”“Apa pun yang buat kamu bahagia bakal aku lakuin, Man,” balas Gala seraya menatap dalam bola mata Amanda.Amanda merasakan jantungnya berdegup kencang, disertai perasaan hangat dan nyaman yang muncul bersamaan. Ia mengedarkan pandangan, tak ingin semburat merah di pipinya tertangkap oleh netra Gala.“Pulang gih, udah malem.” Amanda mengalihkan pembicaraan.Saat itulah Gala menatap benda bulat yang melingkari pergelangan tangannya. Jarum jam menunjukkan angka sebelas, Gala baru sadar jika dirinya sudah satu jam bersama Amanda. Ternyata, selain membuat buta cinta juga m
Kenzie telah membuka mata bahkan saat mentari belum terbit. Ia melihat Amanda masih terlelap dengan selimut tipis yang menutupi separuh tubuhnya. Sudut bibit Kenzie terangkat, dengan tangan mengusap lembut rambut sang adik. Ternyata benar, akan selalu ada hikmah yang bisa diambil dari peristiwa terburuk sekalipun. Seperti saat ini, jika dirinya dan Kenzo tidak bertengkar, belum tentu ia dan Amanda bisa tidur bersama.Senyum Kenzie merekah indah, ia bersyukur atas apa pun yang terjadi dalam hidupnya. “Terima kasih atas nikmat yang kau berikan padaku, Tuhan,” ucapnya lirih.Kenzie membuka pintu dan menghirup udara sebanyak-banyaknya. Beberapa hari ini cukup menguras emosi, hingga dirinya tak sempat untuk sekadar bernapas dengan tenang.Tanpa bisa dicegah, bayang-bayang Kenzo menghantui Kenzie, padahal ia sudah berusaha keras agar lelaki itu menghilang dari hati dan pikirannya.“Kenapa selalu ada dia, sih?” rutuk Kenzie sembari memuku
“Ayahhhhhh,” teriak bocah perempuan berusia enam tahunan. Ia berlari menghampiri lelaki yang masih mengenakan kemeja dan dasi berwarna senada. Disertai senyum lebar yang memperlihatkan gigi kelincinya, bocah tersebut menghambur, memeluk kaki si lelaki yang jauh lebih tinggi darinya. Sontak, lelaki itu berjongkok, membalas pelukan sang putri sembari mencubit pipi gembulnya. “Anak ayah cantik banget, sih.” “Iya dong, kan anak ayah sama bunda,” jawab bocah tersebut membanggakan diri. Dari arah dapur, wanita berdaster dengan rambut dicepol asal menghampiri keduanya, kemudian mencium punggung tangan lelaki itu. “Sini aku bawain, Mas.” “Gak usah, Sayang, biar aku aja. Kasihan, seharian ini kamu udah capek ngurusin Queenza.” “Enggak kok.” “Gak papa, aku aja,” jawab lelaki itu seraya mengecup pipi sang istri. “Ada Queenza!!!” Wanita berdaster tersebut mendelik kesal sambil mencubit perut suaminya. Ya, sepasang suami istri itu adalah Kenzie dan Kenzo. Pernikahan mereka sudah menginjak
Satu Minggu Kemudian, di Kediaman Mahardika“Om, aku takut,” ujar Kenzie seraya menghentikan langkah. “Apa yang membuatmu takut?” tanya Kenzo. Mereka telah berada di depan rumah kedua orang tua Kenzo. Namun tiba-tiba, rasa ragu, takut, khawatir, dan tidak percaya diri menyergap. Kenzie dilema, haruskah dia menemui mertua yang sudah jelas membencinya? Bagaimana jika hatinya kembali terluka? Apa ia siap? “Lain kali saja, ya.” Kenzie menatap Kenzo dengan pandangan berkaca-kaca, mencoba bernegosiasi agar setidaknya lelaki itu mau memberi jeda.“Sayang, percayalah, Mama dan Papa sudah bisa menerimamu, tidak seperti dulu.” Kenzo meyakinkan. “Tapi…aku tidak yakin,” cicitnya. “Ada aku,” balas Kenzo. “Kita masuk?” sambungnya lembut. Setelah mengalami pergolakan batin yang cukup menguras hati dan pikiran, Kenzie mengangguk pasrah. Ia menguatkan diri , memejamkan mata sejenak kemudian melangkah dengan yakin. “Tunggu!” Kenzo menahan Kenzie yang hendak berjalan lebih dulu. “Kenap
Seorang wanita lekas terduduk, membuka mata dengan napas terengah disertai keringat dingin yang mengucur deras di dahi dan pelipisnya. Netra wanita itu mengerjap beberapa kali, mengamati sekitar dan berakhir pada benda bulat yang menggantung di dinding. Pukul lima sore, sudah lebih dari tiga jam dia tertidur. Tak biasanya hal ini terjadi, mengingat beberapa bulan ke belakang ia kesulitan untuk sekadar memejamkan mata.“Syukurlah, cuma mimpi,” gumamnya sembari mengelus dada, menenangkan diri dan mengusir segala pikiran negatif yang tiba-tiba menghampiri.Disaat bersamaan, suara dering ponsel terdengar. Sebuah nomor tak dikenal terpampang di layar, enggan menjawab namun suaranya mengganggu pendengaran.Alhasil, wanita tersebut menggeser layar dan menempelkan benda pintar itu ke telinga.“Halo.”“Hai Kak Ziezie, ini Gala. Kakak apa kabar?” sapa sang penelepon.Ya, wanita di balik setelan piama bermot
Dua Bulan Kemudian“Lusa, kau harus menemaniku ke luar kota!” titah Kenzo tak mau dibantah.“Untuk apa?”“Urusan pekerjaan,” jawab Kenzo singkat.“Tapi, Tuan, aku sudah berjanji akan berlibur bersama kekasihku.” Gala menolak secara halus. Pasalnya, ia dan Alea sudah sepakat akan pergi ke suatu tempat weekend ini.“Cih! Aku tidak peduli dengan urusan siapa pun!” sungut Kenzo.“Kalau boleh aku memberi saran, sebaiknya carilah seseorang yang mau menemani kemanapun kau pergi, bukan…”“Siapa yang mengizinkanmu memberi saran, ha?!” potong Kenzo seraya mendelik.Gala nyaris tergelak melihat ekspresi marah Kenzo. Namun, tentu saja dia tak seberani itu, mengingat siapa Kenzo dan dimana mereka berada sekarang membuatnya harus menjaga sikap.“Tidak ada,” sesalnya seraya menundukkan kepala.“K
Flashback On“Brengsek!”Kenzo segera menghubungi nomor tersebut, usai memastikan Lidia dan Brata tak berada di sekitarnya.“Halo, Tuan,” ucap suara di seberang layar.“Aku tidak mau tahu, cari dia sampai dapat!” titah Kenzo. “Kalau perlu, kerahkan semua anak buahmu!” sambungnya.“Ba…ik. Aku akan berusaha semaksimal mungkin.”“Kalau kau tak berhasil menemukannya, maka kepalamu yang akan jadi taruhannya!”Tut!Setelah ujaran bernada ancaman itu terlontar, Kenzo mematikan sambungan teleponnya kemudian menggulir layar. Ia mengotak-atik benda pintar tersebut beberapa saat, hingga senyum puas terbit kala membaca pesan balasan dari seseorang.“Malam ini kau akan masuk perangkapku, Bara!” gumamnya.Tanpa berlama-lama, Kenzo menyambar jaket dan kunci motor, memacu kendaraan roda dua itu dengan kecepatan sedang, sampai akhirnya tiba di sebuah klub malam.Bergegas turun dari motor dan melangkah masuk, Kenzo memintas sekeliling, mencari-cari keberadaan Bara di tengah lautan manusia. Suara dentu
“Permisi!”Seorang wanita mengenakan kemeja merah muda dan celana jeans hitam mengetuk pintu beberapa kali. Sambil menunggu pemilik rumah, matanya memintas segala arah, melihat dedaunan kering yang mengganggu penglihatan, juga beberapa bunga dalam pot yang tampilannya menyedihkan—hidup segan mati tak mau.Dalam hati ia bertanya-tanya, tumben sekali penampakan rumah ini seperti tak berpenghuni? Pasalnya, dia tahu betul sang pemilik sosok yang rajin dan menyukai tanaman.Lamunannya buyar kala mendengar suara derit pintu, diikuti wanita berseragam SMA menyembul dari baliknya.“Eh, Kak Anggita, silakan masuk, Kak,” ajak Alea ramah seraya membuka pintu lebih lebar.Anggita tersenyum tipis sembari mengikuti langkah Alea. Rumah minimalis ini tampak sepi, mungkinkah Alea tinggal seorang diri?“Silakan duduk. Maaf masih berantakan, aku sama Kak Manda belum sempet beres-beres, baru pindahan,” ucap Alea memecah hening sekaligus tanya di benak Anggita.Pindahan? Memang mereka darimana? Begitulah
Di tengah persiapan pernikahan yang cukup melelahkan, Rhea juga harus menghadapi drama orang tua yang tak berkesudahan. Rianti dan Yudha terus saja berdebat, meributkan hal-hal yang membuat Rhea muak. Disaat bersamaan, dia pun mendapat terror dari orang tak dikenal. Sungguh, kepalanya serasa mau pecah.“Mami, Papi, stop! Apa sih yang kalian ributkan?!” pekik Rhea saat kedua orang tuanya kembali bertengkar. Seharian ini dia disibukkan dengan berbagai hal, darah siapa yang tidak naik ketika baru menginjakkan kaki, melihat pemandangan tidak menyenangkan. Ya, apalagi jika bukan pertengkaran. “Masuk, Rhea! Tidak usah ikut campur!” titah Yudha. Berbeda dengan Yudha yang tak mau Rhea ikut campur, Rianti malah sebaliknya. Ia meminta sang putri duduk. “Duduk! Mami perlu bicara.”Dengan wajah masam, Rhea mendaratkan bokongnya di sofa panjang, menatap keduanya malas. “Mami dan Papi akan bercerai!” ucap Rianti. “Ri!” bentak Yudha. “Aku sudah tidak tahan hidup berdampingan dengan la
Bus tujuan Yogyakarta akan berangkat dalam beberapa menit. Kenzie sudah duduk di ruang tunggu, sembari menatap secarik kertas di tangannya. Beberapa jam lalu, ia membuat keputusan untuk lari sejenak, menjauh dari hiruk pikuknya kehidupan. Beruntungnya, Alea dan Amanda tak banyak tanya, mereka mengizinkan saat Kenzie mengatakan akan pergi beberapa waktu, dan meminta keduanya tak mencari. Akan tetapi, dia tak lantas pergi begitu saja. Bermodalkan uang pemberian Kenzo, ia memberi sejumlah uang pada kedua adiknya, guna membiayai kebutuhan mereka selama dirinya tak ada. Tak lupa, Kenzie juga berpesan untuk tidak memberitahu siapapun perihal keberadaannya. Meskipun mulanya keputusan tersebut mengundang tanya dan rasa penasaran, Kenzie cukup pandai memberi pengertian mengapa ia pergi seorang diri. Alhasil, di sini lah dia sekarang, duduk sendirian dengan selembar tiket di tangan. Ya, begitulah, kadang-kadang kita memang perlu waktu untuk menenangkan diri, dan berdamai dengan kenyataan
“Kenapa?” tanya Kenzie dengan sedikit harap yang masih tersisa. “Aku sudah memutuskan untuk…” Kenzo menggantung ucapannya, menatap wajah Kenzie sekali lagi, sebelum akhirnya mantap dengan keputusan yang sudah dia pikirkan seminggu ke belakang.Kenzie menunggu lanjutan ucapan Kenzo dengan sabar. Pikiran dan perasaannya berkecamuk. Rasa tidak percaya diri akan berlanjutnya hubungan ke arah lebih baik tiba-tiba menjalar. Namun, ditepisnya pikiran itu segera, ia percaya Kenzo tidak mungkin mematahkan hatinya. “Untuk apa?” ujar Kenzie saat Kenzo tak kunjung melanjutkan kalimatnya. “Menikah dengan Rhea,” sahut Kenzo tegas. Tak ada keraguan di matanya saat berucap demikian. Membuat Kenzie sejenak terpaku di tempat. “Mana mungkin!” ujarnya beberapa saat kemudian. “Kenapa tidak?! Aku sudah tidur dengannya, kami pernah menghabiskan malam bersama beberapa kali,” balas Kenzo. “Kau itu terlalu naif dan gampang dibodohi, Zie,” tutupnya seraya terkekeh pelan. Deg!Kenzie menggeleng si