Di seberang jalan, langkah Rachel terhenti saat ada orang yang memanggil namanya
"Rachel ...."
Rachel menoleh dan mencari keberadaan suara yang memanggilnya. Sudut matanya mengerut dan bingung siapa orang yang memanggil dirinya.
"Siapa yang memanggilku?"
Sejenak, ia menghela nafas saat melihat beberapa karyawan yang memanggil temannya dengan nama yang sama dengan dirinya.
"Huh, ternyata bukan aku yang di maksud?" tanyanya seorang diri.
Tanpa banyak buang waktu, Rachel bergegas menyeberang jalan menuju ke arah restoran.
Intan yang baru saja datang, hanya mengerutkan kening dan penasaran melihat sahabatnya yang pergi menyeberang jalan.
"Mau kemana dia? Apa dia mau makan di restoran?" tanya Intan memicingkan kedua matanya.
Sesaat, lentik indah matanya mengerling dan terkejut melihat Rachel yang benar-benar masuk ke dalam restoran itu.
"Mbak Intan, tolong punyanya Rachel baya
"Kamu ngapain ke ruang kerja pak Satria?" tanya Dinda penasaran. Rachel terbelalak kaget. Ia bingung untuk menjawab pertanyaan dari Dinda kepadanya. "Saya hanya mengantarkan makanan untuk pak Satria, Kak!" jawab Rachel dengan polosnya. "Mengantarkan makanan?" tanya Dinda terkejut. "Iya, Bu. Pak Satria menyuruh saya untuk membelikannya dan saya mengantarkan makanan itu juga." Dinda menyeringai. Untuk pertama kalinya, sahabatnya tidak membutuhkan dirinya di saat ia kelaparan. "Baiklah! Kalo begitu, kamu bisa pergi!" kata Dinda. "Baik, Bu!" kata Rachel pergi dan terkejut ketika semua mata tertuju padanya. Ingin rasanya ia berlari meninggalkan jalanan ruang kerja itu. Tapi, jika ia berlari semua akan curiga dengan apa yang ia lakukan bersama pak Satria di dalam. Rachel mengatur nafasnya dalam-dalam. Perlahan, ia masuk ke dalam lift seraya menyunggingkan senyum manisnya. "Liat! Hampir setengah jam dia di ruan
"Are you Ok!" Satria terkejut ketika Rachel memeluk dirinya begitu erat. Jari jemari tangan Rachel yang kecil terlihat gemetar karena ketakutan. Diapun tak sanggup berucap kata. "Jika kamu takut, tutuplah mata kamu!" Satria yang begitu perhatian dan hilang seketika sifat juteknya. Malam ini, Rachel seakan pasrah dengan keadaan. Ia benar-benar tak bisa berpikir di saat kegelapan yang menghantuinya. Rachel menutup kedua matanya seraya memeluk tubuh satria. 'Ada apa ini? Kenapa gensetnya juga tak menyala,' gumam batin Satria mengambil ponsel yang terletak di saku celananya. Rachel merasakan kehangatan dan kelembutan pada diri atasannya itu. Ia tak menyangka, jika Satria sangat perhatian kepada dirinya yang statusnya adalah sebagai seorang cleaning servis di kantor. Hal yang tak mungkin di lakukan oleh seorang CEO kepada seorang cleaning servis seperti dirinya.
Langkahnya terhenti ketika melihat Rachel terbaring di sofa tanpa bantal dan tanpa selimut. "Ternyata, dia masih ada di sini!" ucap Satria tersenyum dan lega melihatnya. Senyum itu seketika hilang begitu saja, ketika kekecewaan menyelimuti pikirannya kembali. "Apa yang kamu pikirkan, Satria?" lirih Satria mendesah sebal dan memilih kembali masuk ke kamarnya. Dengan keras, Ia membanting tubuhnya seraya menatap dinding-dinding kamar rumahnya. Ia mencoba untuk memejamkan mata, akan tetapi pikirannya selalu melayang bersama Rachel. "Tidak! Bisa-bisa, aku gila jika bersamanya," ujarnya terbangun seraya menopangkan satu tangannya di dagu. "Tapi, jika dia benar-benar tinggal di sini. Bukankah aku akan lebih mudah mendekatinya dan membuatnya menderita?" ujar Satria berdiri mondar-mandir ke sana kemari memikirkan apa yang akan dilakukan olehnya. Keesokan harinya, dengan langkah yang begitu perfect. Satria menuruni anak ta
Rachel yang baru tiba, dengan cepat menyembunyikan dirinya di balik mobil yang terparkir di pinggir jalan. Kedua matanya mengamati dari jauh sosok wanita yang baru saja keluar dari rumah atasannya itu. "Siapa wanita itu? Apa dia mamanya pak Satria?" lirih Rachel menunduk ketika mobil mama Rita melintas di depannya. Angin semilir di siang hari membuat rambut Rachel seakan menari-nari hingga menutupi wajahnya. Dengan cepat, ia menarik kopernya dan bergegas masuk ke dalam rumah yang merupakan tempat persembunyian dirinya saat ini. Sesaat langkahnya terhenti, matanya mengerjap tiada henti memandang Satria yang mulai menghampiri dirinya dengan tatapan yang begitu serius. Aduh! Kenapa raut mukanya kembali jutek lagi padaku? gumam batin Rachel seraya menggigit bibirnya yang mungil. Ia mencoba untuk tersenyum manis agar atasannya tidak mengubah tawaran yang kemarin di sodorkan kepadanya. "Pagi, Pak!" sapa Rachel tersenyum ti
"Kenapa senyum-senyum seperti itu? Apa ada yang lucu?" Pertanyaan Satria yang membuat senyum Rachel hilang. "Tidak, Pak. Saya hanya bilang, kalo saya sudah mempunyai baju sendiri. Jadi, Bapak nggak perlu membelikan baju buat saya," tutur Rachel hati-hati. "Ok!" ucap Satria menancap gasnya. Ya Tuhan, haruskah aku selalu berbicara lembut padanya? gumam batin Rachel tersenyum sinis.***Sejenak, Satria tertegun melihat Rachel yang berpresentasi dengan mudahnya. Ia tak menyangka jika dia memiliki talenta yang sama dengan Dinda. Bryan Aditya, seorang CEO Jayatama Group yang terkenal akan kepintarannya. Usianya yang terbilang masih muda, membuatnya ingin selalu menjelajahi semua wanita yang di sukainya. Ia sangat terpukau dan sangat tertarik pada kecantikan, kepintaran yang ada pada Rachel. Tanpa adanya kritik darinya, ia langsung membuat kes
Pak Udin terbelalak kaget. Ia bingung spa yang harus ia lakukan. Ia tak mau pekerjaannya hilang karena membocorkan tentang hal yang berhubungan dengan Rachel. Tapi, di sisi lain mama Rita memberikan uang yang besar guna memberikan informasi tentang hal yang menyangkut Satria. "Bagaimana ini?" tanya pak udin seorang diri."Ah, tak mungkin juga aku mengkhianati kepercayaan yang diberikan oleh pak Satria," gumamnya memasukkan ponselnya kembali. Entah apa yang singgah di pikiran Satria saat ini, kedua matanya tak berhenti berkedip memandang wajah ayu dan manis yang kini ada di gendongannya. Dengan hati-hati, ia merebahkan tubuh Rachel di kamar yang letaknya tepat di samping kamarnya.Tanpa sadar, lagi dan lagi jari jemarinya sangat terlatih menyapu rambut Rachel yang terurai panjang. Cantik! kata batin Satria. Seketika jari jemarinya terhenti dan mengepal mengimbang
"Ya Tuhan, ternyata aku bicara seorang diri," keluh Rachel mengerutkan dahinya. Ia mulai beranjak dan menghentikan langkah kakinya tepat di depan kedua kaki yang terbujur di tempat tidur. Dengan senyum manis, jari jemari tangannya mulai melepas sepatu yang masih menempel di kaki atasannya itu. "Selamat istirahat, Pak. Meskipun anda begitu jutek, tapi saya sangat berterimakasih kepada anda. Karena anda, saya mendapatkan tempat untuk berteduh dan karena anda juga saya terlindungi dari orang suruhan papa. Thanks you," ujar Rachel tersenyum tipis pergi meninggalkan kamar tersebut. Di tempat yang berbeda, Darwin termenung seorang diri seraya memandang ombak yang bergulung-gulung menghampiri dirinya. Sesaat, pikirannya tertuju dengan kenangan-kenangan manis yang pernah ada dalam kehidupannya. Perjalanan cintanya dengan Rachel begitu sulit untuk di lupakan. Tiga tahun lamanya mereka bersama dan tiga tahun pula mereka terpisah. "Maa
"Satria, siapa dia?" tanya Monica menunjuk Rachel yang mengembangkan senyum untuknya. "Bukankah kamu?" tanya Monica menatap Rachel begitu tajam. "Dia Rachel, tunangan Satria," ucap Satria yang mengejutkan semuanya termasuk Rachel. Rachel bingung dan tak tau harus bagaimana menyikapinya. Kedua matanya mengerling ketika Satria melingkarkan tangannya tepat di pinggang. "Oh, Jadi dia orangnya?" ucap Monica yang sungguh tak mempercayai perkataan adiknya. Kedipan mata Satria tak mampu membuat Rachel untuk menolak perintahnya. Dengan senyum manisnya, Rachel mulai mengulurkan tangan untuk Monica. "Rachel, Kak," ucap Rachel melirik Darwin yang sedari tadi memperhatikan dirinya. Raut wajahnya terlihat begitu jealous. "Monica, kakaknya Satria. Duduklah!" Dengan penuh perhatian, Satria menarik kursi ke belakang untuk Rachel. Monica yang melihatnya sangat terkejut dan terperangah melihat adiknya juga bisa seromantis