Zahra memandang berkeliling kamar perawatan ibunya di rumah sakit. Bukan hanya bisa dibilang bagus, tapi sangat mewah. Di sudut ruangan terdapat sebuah kitchen set dengan desain elegan dilengkapi lemari pendingin dua pintu berukuran besar. Tak hanya itu, di sana juga terdapat satu set meja makan berbentuk persegi dengan sebuah kursi bersandaran tinggi di setiap sisinya.
Di sudut lain ruangan, Zahra melihat sebuah ruangan lain dengan pintu geser yang sedang terbuka. Dari tempatnya duduk saat ini, ia bisa melihat di dalam ruangan itu terdapat sebuah tempat tidur berukuran single untuk penunggu pasien. Sementara di depan pintu geser itu pun disediakan satu set sofa berwarna khaki dengan meja oval di tengahnya untuk menerima tamu yang datang menjenguk.
Zahra mengembuskan napas panjang melihat semua kemewahan ini. Ia tak bisa membayangkan berapa tarif di dalam kamar ini per harinya. Bahkan mungkin gajinya sebagai pelayan di kelab selama setahun pun tidak akan bisa membayar semua fasilitas dan pelayanan di kamar ini. Semua ini ia dapatkan dengan cuma-cuma setelah dirinya resmi menikah dengan salah seorang putra dari Aidan Blackstone.
Menikah? Zahra mengulang pertanyaan itu berulang kali di dalam kepalanya. Sebagian dari dirinya masih tidak percaya dan mengira bahwa semua ini adalah mimpi. Namun, saat tatapannya kembali tertuju ke arah sofa panjang di mana seorang pemuda bernama Aaro Blackstone itu sedang terlelap, ia pun akhirnya harus menerima kenyataan bahwa semua ini memang benar terjadi dalam kehidupannya.
Zahra memejamkan matanya untuk merunut kembali kejadian beberapa jam terakhir ini. Ya, dalam waktu kurang dari tiga jam, kehidupannya berubah total. Empat jam yang lalu, dirinya masih seorang gadis biasa bernama Zahra, seorang mahasiswi jurusan Pendidikan Biologi di sebuah universitas pendidikan grade rendah di kotanya. Tak ada yang istimewa dari dirinya. Ia hanyalah putri dari seorang wanita penghibur tercantik di kelab bernama Fatma.
Meski pun semenjak kecil Fatma merawat dan membesarkan Zahra di dalam sebuah kamar kecil di bagian bagian belakang kelab, tapi dia sama sekali tidak menginginkan sang putri mengikuti jejaknya. Zahra harus bisa mendapatkan masa depan yang lebih layak dan membawa mereka berdua keluar dari kamar sempit mereka di kelab. Itulah sebabnya, Fatma bertahan dengan kehidupan jalangnya demi menuntaskan pendidikan sang putri demi meraih impian dan harapan mereka berdua.
Zahra merebahkan kepalanya di tepi ranjang pasien sang ibu. Ia berharap semoga ibunya tidak marah atau kecewa saat bangun nanti mengetahui dirinya telah berubah status sebagai istri orang tanpa persetujuan dari sang ibu. Dirinya juga berharap semoga sang ibu mau menerima penjelasan bahwa pernikahannya hanyalah untuk mencegah skandal yang mungkin terjadi demi menjaga nama baik semua orang, termasuk dirinya dan ibunya.
Terlalu lelah dan kurang tidur membuat Zahra pun terlelap dalam posisinya saat ini dan baru terbangun saat merasakan usapan lembut membelai wajahnya.
Zahra membuka matanya perlahan dan selama sesaat masih bingung dimana dirinya berada. Namun, saat matanya menangkap bayangan wajah Aaro yang menatapnya dari arah sofa dengan ekspresi datar, otaknya kembali memutar perjanjian sakral semalam. Ia pun buru-buru mengangkat kepala dan menegakkan badannya.
"Kamu sudah bangun?"
Kepalanya memutar cepat ke arah tempat tidur begitu mendengar suara sang ibu. Selama satu detik, Zahra merasa seakan jantungnya berhenti berdetak sebelum akhirnya berdebar hebat.
"I-ibu?"
"Sudah bangun, ya?"
Belum juga hilang rasa terkejutnya, Zahra kembali dibuat syok dengan kemunculan sosok muda keibuan yang tersenyum hangat ke arahnya, bunda Aaro atau lebih tepatnya bunda mertuanya. Padahal semalam dirinya sudah memohon dengan sangat agar diberi kesempatan untuk menjelaskan kepada ibunya terlebih dahulu mengenai pernikahan dadakan yang terjadi, tapi sepertinya keluarga Blackstone bukanlah orang yang bisa sabar menunggu.
"Ibu, mereka ... ehh ...," Zahra terlihat bingung untuk menjelaskan kepada sang ibu.
Fatma tersenyum menatap sang putri, "tidak apa, mereka sudah menjelaskan semuanya pada ibu dan ibu rasa itu juga jalan yang terbaik untuk kalian. Setidaknya,"-Fatma berhenti sejenak untuk mengusap air mata di pipinya-"setidaknya keluarga suamimu telah melunasi semua tanggungan ibu di kelab dan berniat memberikan modal untuk membuka usaha kecil-kecilan."
"Apa?!" Zahra terkejut mendengar penjelasan ibunya dan seketika kepalanya menoleh ke arah Aaro yang terlihat masih duduk di sofa dan balas menatapnya dengan wajah datar tanpa tersenyum sedikit pun.
"Rasanya masih sulit untuk dipercaya, akhirnya ibu bisa keluar dari tempat terkutuk itu." Tangis ibu Zahra pun pecah. Ia tahu bahwa pekerjaan yang digelutinya selama ini adalah pekerjaan yang tidak baik, tapi semua itu ia lakukan karena terpaksa. Selain tidak memiliki tempat tinggal, ia juga menanggung banyak hutang untuk biaya persalinan dan perawatan Zahra semasa kecil.
Fatma pernah mencoba bernegosiasi dengan Mama pemilik kelab untuk membatalkan perjanjian mereka. Dirinya ingin keluar dari kelab dan mencari pekerjaan lain, tapi sang Mama menjawab dengan tegas bahwa dirinya bisa bebas setelah semua hutangnya lunas atau urusan akan berakhir di meja hijau. Setelah itu, Fatma semakin bekerja keras untuk mendapatkan penghasilan lebih agar tetap bisa membiayai sekolah putrinya dan bisa mencicil hutang-hutangnya di kelab. Namun, hutang itu tak pernah lunas karena terus berbunga dan semakin mencekik.
Carmila mendekati Fatma kemudian memeluk wanita rapuh itu. Ia bisa merasakan penderitaan baik fisik maupun mental yang dialami Fatma. Dalam hatinya mengucap syukur karena putranya yang meskipun masih berusia tujuh belas tahun itulah yang akhirnya memiliki inisiatif untuk melunasi semua tanggungan Fatma, setelah dia mengetahui semua latar belakang Zahra dan ibunya.
"Sudah, jangan menangis lagi. Yang penting sekarang kalian sudah bisa keluar dari tempat itu," hibur Carmila dengan mata berkaca-kaca.
"Terima kasih banyak. Saya tidak tahu lagi harus bagaimana membalas kebaikan keluarga kalian." Fatma terisak semakin keras. Seluruh beban yang selama ini ia rasakan menekan hati dan pikirannya, akhirnya bisa terurai.
Zahra ikut sesenggukan mendengar ibunya menangis. Ia tahu persis penderitaan yang ibunya alami bahkan terkadang dirinya tanpa sengaja menyaksikan langsung ibunya diperlakukan dengan tidak manusiawi oleh para pelanggan yang menyewa jasanya. Sampai kapan pun, dirinya akan mengingat pengorbanan dan penderitaan yang dilakukan ibunya demi dirinya.
Fatma dan Carmila masih saling berpelukan selama beberapa saat sampai saat tatapan Carmila mengarah ke jam dinding tanpa sengaja. Ia terkejut dan buru-buru menoleh ke arah sang putra, "Aa, sudah waktunya kamu berangkat sekolah, kan?"
"Hmm," Aaro hanya menjawab singkat seraya berdiri dari duduknya. Ia melangkah mendekati sang bunda untuk berpamitan membuat Zahra menganga melihatnya.
"Kenapa?" tanya Aaro dengan nada dingin dan datar.
"I-itu," Zahra menuding Aaro yang menjulang tinggi di hadapannya. Bukan postur gagah sang suami yang membuatnya syok, tapi seragam putih abu-abu yang dikenakan Aaro-lah yang membuat matanya terbelalak dan mulut membuka lebar.
Carmila tersenyum geli melihat keterkejutan di wajah menantunya. "Aaro harus sekolah karena sebentar lagi ujian kelulusan, kan."
Zahra menggelengkan kepalanya beberapa kali berharap bahwa semua ini mimpi. Ya Tuhan, suaminya masih memakai seragam putih abu-abu. Ini gila! Bagaimana mungkin dirinya menikah dengan anak SMA?
"Meski usianya 3 tahun lebih muda darimu, tapi Ayah bisa memastikan bahwa fisiknya, kedewasaannya dan pola pikirnya jauh lebih tua dibanding dirimu." Aidan yang sejak semula hanya duduk seraya menikmati kopinya di meja makan, menghampiri Zahra yang terlihat begitu terpukul.
"Ta-tapi itu artinya Zahra menikahi be-brondong?"
"Zahra tidak boleh seperti itu!" tegur sang ibu. "Bagaimanapun dia sekarang adalah suamimu, hormati dia selayaknya seorang suami."
Zahra diam mematung. Tidak tahu apa yang harus dikatakan. Semua sudah terlanjur terjadi. Matanya hanya terus meneliti tubuh Aaro dari atas sampai bawah. Tanpa sadar kepalanya terus bergerak pelan ke kiri dan ke kanan menolak memercayai penglihatannya. Namun, meski terus diamati dan berharap ada kekeliruan, sosok pelajar SMA di hadapannya ini nyata. Ia bahkan bisa merasakan sakit saat mencubit pipinya sendiri, artinya ini buka mimpi atau khayalan semata.
Zahra mendesah pelan. Bahunya turun diikuti oleh kepalanya yang menunduk menatap lantai. Jika semua orang tahu tentang pernikahannya dengan seorang brondong, mereka pasti berpikiran yang bukan-bukan. Aaro tak akan mendapatkan pandangan buruk dalam hal ini, tapi dirinya yang akan menjadi bahan olok-olok seperti yang biasa terjadi. Mereka akan menuduh dirinya yang merayu Aaro agar mau menikah dengannya atau lebih parah lagi, dirinya akan dituduh menjebak Aaro agar mau menikahinya.
Melihat seraut kesedihan di wajah sang menantu, Carmila pun mendekat seraya mengusap pundak Zahra. "Sayang, apa yang kamu khawatirkan? Bunda janji, Aaro akan menjadi suami yang baik buat kamu. Percaya sama Bunda, ya?"
"Bu-bukan soal itu," jawab Zahra dengan tatapan tidak fokus. Tanpa harus berurusan dengan Aaro pun dirinya harus mengalami kehidupan yang berat di kampus. Di-bully, dijadikan bahan humor teman-temannya atau bahkan dijadikan jongos sudah menjadi makanan sehari-harinya di kampus. Jika mereka mengetahui tentang Aaro, ejekan dan caci maki yang ia terima pasti akan lebih parah dari biasanya. Ohh Tuhan, bagaimana dirinya harus menghadapi itu semua?
"Lalu, apa masalahnya?" Carmila bertanya lembut.
"Mereka akan memiliki alasan untuk semakin menghina saya."
Aidan mendengus mendengar jawaban menantunya itu. Dirinya sudah tahu dari laporan anak buahnya tentang kehidupan detail Zahra baik di kelab atau di kampus, termasuk Zahra yang seringkali menjadi bahan bully-an teman-temannya. "Soal itu tidak perlu kau risaukan! Apa gunanya punya suami jika hanya bisa dijadikan pajangan saja?!" Aidan melirik sang putra yang masih berdiri di sampingnya dengan wajah tanpa ekspresi. "Sudah, jangan berpikiran yang macam-macam. Mulai sekarang, semua yang berhubungan denganmu akan menjadi tanggung jawab Aaro sepenuhnya!"
Mendengar jawaban Aidan bukannya membuat Zahra merasa lega dan terhibur, tapi ia justru mendongak dan menatap sang mertua ngeri. "Ti-tidak perlu, Tuan. Kami menikah hanya untuk menekan rumor yang mungkin beredar, jadi Aaro tidak perlu berperan selayaknya suami yang sesungguhnya. Dia masih sekolah dan dia, bukankah dia juga sudah pasti memiliki pacar?"
"Tidak Zahra! Keluarga Blackstone tidak mengenal istilah pacaran. Pacaran para lelaki Blackstone adalah dengan istrinya yang sah!" tegas Aidan seraya menatap tajam Aaro yang masih tetap berwajah datar, tidak bereaksi apa pun.
***
Setelah menghentikan mobilnya di bawah sebuah pohon rindang depan gedung perkuliahan Zahra, Aaro mengirim pesan kepada istrinya itu untuk memberitahu bahwa dirinya sudah sampai di depan dan meminta gadis itu supaya bergegas.Sebetulnya Aaro enggan sekali dengan urusan jemput menjemput ini. Namun apa daya, jika sudah kepala suku yang memberi titah, maka itulah yang harus dilaksanakan. Di sinilah ia sekarang, menjemput Zahra kemudian mengantar gadis itu ke kelab untuk mengemasi barang-barangnya karena mulai sekarang dia akan tinggal di kediaman Blackstone.Aaro menarik napas panjang seraya memejamkan mata. Sampai detik ini, dirinya masih menyesali pernikahan Alea, tapi anehnya beberapa hari belakangan ini semenjak dirinya disibukkan dengan urusan Zahra dan ibunya yang berada di rumah sakit, dirinya hampir tak memiliki waktu untuk memikirkan Alea. Bahkan rasa sakit karena ditinggal menikah oleh Alea pun sudah tak sesakit sebelumnya. Semua i
Zahra mendesah dengan bahu terkulai. Hari ini adalah hari bersejarah yang tidak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya. Akhirnya, ia dan ibunya bisa meninggalkan kelab yang merupakan impian dan cita-cita mereka sejak lama. Meski tidak tinggal bersama, tapi Zahra tetap merasa bersyukur karena setelah ini, ibunya tak perlu lagi menderita dan mendapat perlakuan buruk dari orang-orang di kelab.Awalnya, Zahra merasa berat untuk berpisah dengan ibunya. Ia menangis dan memaksa untuk ikut tinggal bersama dengan ibunya, tapi ibunya menolak dengan alasan Zahra sudah memilik suami dan wajib mengikuti suaminya. Selain itu, ruko yang disediakan oleh keluarga Blackstone untuk ditempati ibunya juga jaraknya terlalu jauh dengan kampus Zahra.Zahra mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar. Saat ini, ia sudah berada di kamar Aaro atau bisa dibilang sekarang ini juga kamarnya. Sesaat tadi dirinya sempat mengira bahwa Aaro menunjukkan ruangan yang sa
Zahra meratakan bedak bayi ke seluruh wajah dan memoleskan sedikit lipgloss warna untuk membuat wajahnya yang pucat agar terlihat lebih segar. Ia menatap bayangan wajahnya sendiri dalam cermin yang balas menatapnya dengan ekspresi murung. Hatinya masih sakit dengan tuduhan yang diarahkan Aaro padanya semalam. Besar kepala, sok ikut campur dan berusaha menggantikan posisi Alea di hatinya?Andai Aaro tahu bahwa dirinya juga tidak menyukai pernikahan ini.Memang awalnya Zahra menerima pernikahan ini dengan penuh rasa syukur karena selain bisa terbebas dari kehidupan di kelab, ayah mertuanya juga mengatakan akan mengambil alih segala bentuk tanggung jawab atas dirinya dari ibunya. Tentu saja Zahra merasa senang karena itu berarti dirinya tak perlu membebani ibunya lebih lama lagi. Ia ingin ibunya bisa merasakan kebebasan untuk bahagia. Namun, ucapan Aaro semalam membuat Zahra sadar bahwa tidak seharusnya dirinya memanfaatkan pernikahan ini.
Jam dinding di kamar Aaro sudah mengaum sepuluh kali, itu artinya waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Namun, Zahra sepertinya tidak menyadari itu. Ia terlalu larut dalam pekerjaannya mengoreksi tugas dari murid-muridnya di sekolah yang sangat menguras tenaga dan pikiran. Jawaban yang diberikan oleh murid-muridnya kebanyakan berupa narasi panjang yang berputar-putar dan tidak langsung pada pokoknya."Sudah larut," ujar Aaro yang sejak tadi menunggui Zahra. Tidak hanya menunggui, Aaro bahkan mengamati setiap gerak gerik Zahra tanpa sepengetahuan gadis itu—seakan tidak ada pekerjaan yang lebih menyenangkan selain itu—sambil duduk di atas sofa, sementara Zahra bersila di lantai."Belum selesai," gumam Zahra tanpa menatap Aaro. Dahinya berkerut dengan bibir mengerucut beberapa senti ke depan saat membaca jawaban salah satu muridnya yang sungguh memeras otak."Aku ngantuk." Aaro menjulurkan kakinya unt
"Mana dia?" Aaro yang baru saja menghambur ke dalam ruang makan bertanya karena tidak melihat ada Zahra di sana."Zahra? Dia sudah berangkat beberapa menit yang lalu," Carmila tersenyum keibuan kemudian berdiri menyambut sang putra."Jalan ke halte?" tanya Aaro dengan nada jengkel sekaligus marah. Bukan marah kepada bundanya, tapi kesal pada dirinya sendiri yang bangun kesiangan dan yang menjengkelkan adalah Zahra sama sekali tidak berusaha membangunkan dirinya.Aaro mengerang pelan sambil mengusap wajah dengan telapak tangannya. Ia tahu apa yang mereka lakukan semalam adalah kali pertama untuk Zahra, jadi pasti akan terasa tidak nyaman bagi Zahra. Apalagi jika dia sampai harus berjalan jauh dari rumahnya ke halte."Tadi Om Damian mampir sebentar untuk mengambil beberapa berkas yang harus dibawa ke luar kota. Jadi, Ayah meminta tolong untuk mengantar Zahra sekalian. Kebetulan satu arah kan?" Aidan menjawab san
"Aa, ini di sekolah," desah Zahra di sela-sela ciuman Aaro yang terus menuntut. Bukannya menjawab, Aaro justru semakin menyudutkan dirinya hingga punggungnya menyentuh besi tempat tidur yang dingin.Masih sambil mencium bibir Zahra, Aaro membungkuk sedikit agar bisa mengangkat tubuh Zahra dan mendudukkannya ke atas tempat tidur. Kebutuhannya sudah mendesak dan menuntut pemuasan dengan segera, tapi ia tak bisa terburu-buru karena semua ini masih memerlukan penyesuaian bagi Zahra. Ia harus memastikan istrinya itu betul-betul sudah siap sebelum menyatukan diri.Zahra menancapkan kukunya pada lengan telanjang Aaro ketika cumbuan suaminya itu mulai turun dari wajah ke leher dan semakin turun hingga bagian bawah dirinya. Ia menggigit bibirnya dengan kuat—mencegah teriak kenikmatan lolos dari bibirnya—ketika Aaro menyentuh daerah sensitifnya dan ketika sentuhan itu semakin intens, ia seperti hilang akal dengan terus meracau memi
Zahra mengelap gelas terakhir yang ada di dapur dan memasukkannya ke dalam rak dengan gerakan yang sangat pelan. Ia berharap untuk bisa berlama-lama di dapur keluarga Blackstone karena tidak ingin segera kembali ke kamar.Zahra sedang ingin menjaga jarak dengan Aaro. Pikirannya selalu kacau dan terpedaya ketika berada dekat dengan suami brondongnya itu, seakan bukan dirinya saja. Namun, sejak sepulang sekolah sampai saat malam tadi, Aaro terus saja menempel padanya. Ke mana pun dirinya bergerak, pemuda itu mengekor di belakangnya membuat dirinya risih dan gelisah.Desah tertahan lolos dari dalam dadanya ketika mengingat sikap Aaro yang menjadi begitu berbeda padanya dibanding saat awal pernikahan mereka dulu.Apakah ini karena Aaro merasa dirinya mudah untuk dimanfaatkan?Bahunya terkulai mengingat bagaimana cara Aaro menatapnya saat makan malam tadi. Begitu intens dan tidak berpaling sedetik pun membuatnya salah ting
Diam. Seluruh tubuhnya seakan mati dan tak bisa digerakkan. Matanya pun mulai memanas, tapi yang lebih parah dari itu semua adalah rasa sakit yang terus menusuk di hatinya. Terlalu sakit, bahkan melebihi sakit yang ia rasakan saat Alea memutuskan untuk menikah dengan pria lain. Bisa dibilang, dirinya terlalu terguncang mendengar apa yang baru saja sang ayah sampaikan. Zahra pergi meninggalkan dirinya tanpa pamit. Dia hanya membicarakan keputusan kekanakan itu pada ayahnya. Padahal siapa suaminya di sini?! batin Aaro marah.Jika memang berniat mengakhiri hubungan bersamanya, seharusnya perempuan itu berbicara dengan dirinya bukan dengan ayahnya! "Sayang," Carmila membelai kepala sang putra dengan penuh kelembutan, "dimakan dulu sarapannya."Aaro tidak menjawab dan hanya diam mematung di tempat dengan tatapan nanar ke depan. Kata-kata sang bunda seolah lewat begitu saja di telinganya tanpa ia bisa mendengar d
Tangan mereka saling bertautan saat berjalan beriringan untuk menyapa kerabat dan Sabahat yang datang di acara resepsi pernikahan sederhana mereka ini. Resepsi yang diadakan secara dadakan oleh ayah mereka, Rommy dan Aidan. Bertempat di sebuah resort di pinggiran kota Batam yang berhadapan langsung dengan negara Singapura.Siang ini, rombongan sahabat dan keluarga mendarat di bandara Hang Nadim dan langsung menuju ke resort yang sudah dibooking seluruhnya. Kamar-kamar pun sudah dibagi dan sore ini, perayaan mereka digelar outdoor di dermaga resort. Suara debur ombak, suasana senja dan kelap kelip lampu dari Singapura yang terlihat jelas menjadi latar yang sangat untuk acara ini.Aaro membimbing Zahra untuk mengucapkan terima kasih atas kehadiran dan doa yang diberikan oleh keluarga dan sahabat-sahabat keluarga mereka. Sungguh membahagiakan mereka semua bisa hadir meski undangan yang dikirim ayahnya begitu mendadak. Bukan undangan, teta
Rommy mengetuk kamar Zahra beberapa kali untuk membangunkan putrinya itu, tapi belum juga ada jawaban. Ia mulai khawatir terjadi sesuatu dengan putri tirinya itu mengingat apa yang sering terjadi sebelumnya. Ia pun mencoba membuka pintu kamar Zahra yang ternyata dikunci dari dalam.Rommy heran karena tidak biasanya Zahra tidur dengan pintu kamar terkunci. Untungnya, dirinya selalu antisipasi dengan menyediakan kunci cadangan. Tanpa pikir panjang, Rommy mengambil kunci cadangan yang ia simpan di lemari penyimpanan khusus dakam kamarnya.Perasaannya sudah tak karuan saat kembali melangkah cepat ke kamar Zahra dan membuka pintunya. Kamar Zahra gelap karena semua korden masih tertutup rapat hingga Rommy pun menyalakan lampu terlebih dahulu sebelum melangkah ke jendela dan membuka semua kordennya. Setelahnya, ia membalikkan badan dengan maksud membangunkan Zahra, tapi pemandangan di tempat tidur yang ia lihat sungguh membuatnya terkejut.Rommy tak perlu bert
Aaro menunggu Zahra kembali dari kamar mandi sambil bersembunyi di balik pintu kamar Zahra. Kamar Zahra tidak dilengkapi dengan kamar mandi dalam karena memang bukan kamar utama.Sesekali, Aaro mengintip untuk melihat apakah Zahra sudah akan kembali ke kamar, tapi rupanya dia masih berada di dalam kamar mandi.Baru beberapa menit, Aaro sudah berdecak tak sabar dan hampir saja berderap menerobos ke dalam kamar mandi untuk menyusul Zahra jika saat itu dirinya tak melihat bahwa Rommy sedang menonton TV di ruang tengah.Aaro menyandarkan punggungnya ke dinding di belakang pintu sambil merapatkan kedua lengannya ke samping tubuhnya. Ia takut jika tiba-tiba saja dirinya nekat keluar dari tempat persembunyiannya dan menyongsong Zahra di depan kamar mandi. Ohh, rasa rindu yang sudah menggelegak di dalam dirinya membuat akal sehatnya sulit untuk dikendalikan.Setelah hampir tiga puluh menit berlalu, Aaro bersorak dalam
Aaro terjengkang ke belakang saat Zahra tiba-tiba berdiri dan mendorongnya dengan keras. Selama beberapa saat dirinya hanya bisa diam dan terkejut. Namun, saat menyadari bahwa Zahra berusaha kabur darinya, ia pun bergegas berdiri dan berlari mengejar."Cinta!" Aaro berteriak sambil berlari cepat mengejar Zahra yang sudah berada jauh di depannya dan menghilang dari pandangan. Aaro mempercepat larinya agar bisa menyusul sang istri, tapi saat sampai di belokan, ia tak lagi bisa melihat Zahra.Aaro mengatur napas sambil mengedarkan pandangan ke sekitar. Zahra tak mungkin pergi jauh. Ia yakin sekali jika istrinya itu masih berada di sekitarnya dan bersembunyi karena ia sudah hafal betul bahwa Zahra tak mungkin bisa kabur dengan dengan cepat tanpa jatuh atau tersandung kakinya sendiri. Jadi, saat ini Aaro berdiri diam sambil mengamati area di sekelilingnya, mencari tempat yang sangat memungkinkan untuk dijadikan persembunyian istrinya itu. Namun,
Aaro menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur selepas berendam air hangat untuk melepas penat. Ia melipat kedua tangan di belakang kepala sambil menatap langit-langit kamar. Bayangan Zahra terbaring di kamar mandi bersimbah darah terus menghantui pikirannya. Seharusnya, saat ini ia masih terus mencari tahu keberadaan Zahra, bukan malah buang-buang waktu dengan datang ke pulau kecil ini. Bisa jadi, ketika dirinya berhenti mencari, Zahra akan pergi semakin jauh dan tak terjangkau.Tiba-tiba saja Aaro sadar, bahwa dirinya tak bisa tinggal lebih lama lagi di Batam. Ia harus segera kembali dan mulai melacak keberadaan Zahra. Huft! Aaro mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya kemudian bangkit dari tempat tidur untuk mengambil ponsel yang masih ada meja depan TV.Aaro menghubungi sang ayah dan mengatakan bahwa dirinya ingin pulang saja besok. Ia menyampaikan banyak alasan yang semua tentunya berhubungan dengan pencarian Zahra, tapi sial, a
"Melamun lagi?"Zahra meboleh dan melihat ayah tirinya melangkah pelan menghampirinya. Zahra tersenyum malu karena sekali lagi terpergok melamun."Bosan ya?" Rommy terkekeh sambil duduk di kursi di hadapan Zahra. Saat ini mereka berada di Batam, selain untuk mempermudah akses saat Zahra harus melakukan kontrol ke Singapura, juga karena Rommy baru saja menerima sebuah tawaran kontrak di salah satu rumah sakit di Batam. Ia tak pikir panjang dan langsung menerima tawaran itu karena memang untuk sementara waktu dirinya belum bisa kembali ke Korea Selatan untuk mendampingi proses pemulihan Zahra. Dari Batam, hanya membutuhkan waktu kurang lebih tiga puluh menit saja untuk menyeberang ke Singapura. Ditambah saat ini istrinya, Fatma sedang hamil muda dan sering mengalami mual yang hebat hingga belum memungkinkan untuk melakukan perjalanan jauh."Kurang nyaman ya apartemennya?" Rommy bertanya dengan nada meminta maaf, "di sini yang l
Rommy mengepalkan sebelah tangannya dengan wajah geram melihat Zahra terbaring lemah di IGD, sementara sebelah tangannya yang lain masih merangkul pundak istrinya yang bergetar oleh tangis. Zahra mengalami pendarahan hebat hingga kehilangan bayinya. Beruntung rumah sakit ini menyediakan golongan darah yang sesuai untuknya, sehingga bisa segera diberikan transfusi. Bagaimana jadinya jika tidak ada? Itulah mengapa Fatma masih begitu terpukul melihat kondisi putrinya.Siang ini mereka baru saja sampai dari Korea Selatan untuk menjenguk Zahra yang katanya harus bed rest karena kandungan lemah, tapi yang mereka dapati ternyata jauh lebih parah daripada itu. Tentu saja ini membuat Fatma begitu sedih dan Rommy sebagai ayah tiri Zahra--sudah menganggapnya seperti putri kandung sendiri-- murka.Kepala Rommy memutar berbagai rencana dan juga apa-apa saja yang harus dilakukan demi kesembuhan dan pemulihan Zahra baik fisik maupun psikis. Diriny
Satu bulan lebih sudah berlalu, Aaro masih merasa sangat berduka. Setiap harinya hanya ia habiskan dengan melamun, menangis dan menyalahkan diri sendiri. Terkadang ia sampai tak sadarkan diri akibat terlalu tertekan oleh rasa sedih dan juga rasa bersalah.Selama itu, semua bisnis dan tanggung jawab Aaro diambil alih pengelolaannya oleh ayah dan juga kakak-kakak lelakinya. Entah sampai kapan, karena Aaro terlihat tak lagi memiliki semangat hidup. Bahkan ketika ia diminta menjaga Alea di klinik pun, ia melakukannya hanya sambil lalu saja. Kebanyakan dia hanya diam dan terus merindukan Zahra. Kesedihan karena kondisi Alea yang masih belum juga membaik ternyata tak sesakit saat mengetahui Zahra tak ada lagi bersamanya.Aaro melangkah tanpa arah di dalam rumah ayahnya—selama masa berduka ini, dirinya masih tinggal bersama orangtuanya dan belum kembali ke bengkel—dan sampailah di garasi. Tatapannya jatuh pada motor miliknya yang khusus ia beli agar lebih sesuai dengan Zahra. I
Tubuh Aaro lemas. Rasanya tak ada lagi tenaga dan semangat yang tersisa. Ia jatuh berlutut di lantai, di samping sosok tubuh yang terbaring di atas tempat tidur di ruang IGD dengan seluruh tubuh mulai kaki sampai ujung kepala tertutup kain putih.Tak ada air mata dan isak tangis. Hanya rasa kebas dan hampa seakan seluruh organ dalam tubuhnya telah dicabut paksa. Syok. Ia ingin berdiri dan memeluk tubuh yang terbujur kaku itu, tapi seluruh sel dalam tubuhnya seakan mati dan berhenti bekerja.Saat dua orang mengapit lengannya dan membawanya keluar dari ruang IGD, ia tak kuasa melawan. Dirinya masih terlalu terkejut dengan keadaan yang ada. Rasanya, baru beberapa jam yang lalu dirinya bersama dengan Zahra, tapi sekarang ...."Apa instruksi Aidan?" Seseorang berbicara dari sebelah kiri Aaro."Sebentar, aku bacakan lagi pesannya." Pria di sebelah kanan Aaro menjawab sambil merogoh saku celananya untuk mengeluarkan