Zahra meratakan bedak bayi ke seluruh wajah dan memoleskan sedikit lipgloss warna untuk membuat wajahnya yang pucat agar terlihat lebih segar. Ia menatap bayangan wajahnya sendiri dalam cermin yang balas menatapnya dengan ekspresi murung. Hatinya masih sakit dengan tuduhan yang diarahkan Aaro padanya semalam. Besar kepala, sok ikut campur dan berusaha menggantikan posisi Alea di hatinya?
Andai Aaro tahu bahwa dirinya juga tidak menyukai pernikahan ini.
Memang awalnya Zahra menerima pernikahan ini dengan penuh rasa syukur karena selain bisa terbebas dari kehidupan di kelab, ayah mertuanya juga mengatakan akan mengambil alih segala bentuk tanggung jawab atas dirinya dari ibunya. Tentu saja Zahra merasa senang karena itu berarti dirinya tak perlu membebani ibunya lebih lama lagi. Ia ingin ibunya bisa merasakan kebebasan untuk bahagia. Namun, ucapan Aaro semalam membuat Zahra sadar bahwa tidak seharusnya dirinya memanfaatkan pernikahan ini.
Dirinya akan tetap bertahan di rumah ini sampai yakin benar bahwa tidak ada skandal yang ditimbulkan dari penggerebekan di kelab beberapa waktu lalu. Setelah itu, dirinya akan pergi dan sebagai bayaran selama menumpang di rumah ini, dirinya pun berniat membayar dengan tenaganya sambil mencari pekerjaan paruh waktu untuk memenuhi kebutuhannya yang lain. Ia tak akan merepotkan ibunya lagi. Biarlah ibunya mengira dirinya sudah mendapatkan kebahagiaannya di rumah ini.
Setelah mencubit pipinya beberapa kali untuk memberikan warna pada wajahnya, Zahra pun berdiri. Ia mengambil tasnya dan mengecek kembali isinya. Dirinya tidak ingin ada yang tertinggal di hari pertamanya PPL. Semalam ia mendapat pesan dari dosen pendamping bahwa tempat PPLnya berubah. Sebelumnya, ia ditempatkan di salah satu SMA negeri bersama teman-teman satu kelompoknya, tapi semalam dosennya mengatakan bahwa hari ini ia akan berangkat ke salah satu SMA swasta yang cukup elit dan ternama di kotanya—SMA Biru Berlian.
Zahra tidak keberatan di mana pun dirinya ditempatkan. Ia hanya berharap semoga hal baik saja yang terjadi di SMA Biru Berlian, mengingat di sana merupakan sekolah favorit bertaraf internasional dengan kecerdasan siswa di atas rata-rata. Dirinya sendiri heran, bagaimana bisa mereka mendapatkan akses untuk PPL di sekolah semewah itu?
Meski suasana masih pagi, tapi Zahra sudah bersiap-siap untuk berangkat. Selain untuk menghindari bertemu muka dengan Aaro yang masih meringkuk di karpet—meski sedang dalam kondisi marah, Aaro tetap bersikap gentle dengan membiarkan Zahra yang tidur di atas tempat tidur, sementara pemuda itu tidur di lantai beralaskan karpet—juga karena dirinya belum tahu lokasi tempat PPL-nya yang baru dan membutuhkan waktu untuk mencarinya.
Zahra berpamitan pada bunda mertuanya dan meminta maaf karena untuk pagi ini dirinya tidak bisa membantu menyiapkan sarapan karena harus berangkat lebih pagi. Ia berjanji untuk membantu nanti selepas pulang mengajar. Ia juga menolak ketika mertuanya memaksa membawakan bekal untuknya saja dan berangkat diantar oleh supir. Meski awalnya bunda mertuanya terus memaksa, tapi karena Zahra juga terus menolak, akhirnya mertuanya itu pun menyerah dan mengizinkan Zahra berangkat sendiri asalkan bekal sarapan tetap dibawa.
Tiga puluh menit kemudian, Zahra sampai di depan SMA Biru Berlian. Ia menunggu di halte tempat yang telah disepakati untuk berkumpul bersama kelompoknya.
Suasana masih sepi, belum ada satu pun temannya yang datang dan di SMA Biru Berlian pun juga terlihat masih lengang. Zahra duduk sambil membuka buku panduan untuk mengajar nanti.
Beberapa saat kemudian teman-teman satu kelompoknya mulai berdatangan termasuk ketua kelompoknya. Bersama-sama mereka semua termasuk Zahra masuk ke dalam gerbang sekolah yang luar biasa megah.
Seorang petugas security menghentikan mereka dan bertanya kepentingan mereka datang ke sana. Ketua kelompok Zahra yang maju dan menjelaskan kepada pihak security bahwa mereka akan melakukan Praktik Pengalaman Lapangan di sana selama beberapa waktu. Namun, karena petugas itu belum menerima informasi apa pun baik dari kepala sekolah maupun yayasan, mereka diminta menunggu dulu sementara si petugas mengonfirmasikan hal itu kepada pihak berwenang.
Selama menunggu, murid-murid di SMA Biru Berlian pun mulai berdatangan. Mereka menatap heran kerumuman mahasiswa dari kampus negeri yang tidak begitu ternama berdiri di sekitar pos security. Beberapa di antaranya bahkan menunjukkan sikap mencemooh. Wajar saja karena SMA Biru Berlian mayoritas dihuni oleh anak pejabat, artis ataupun pengusaha sukses dengan pergaulan terbatas di kalangan atas saja tentunya.
Zahra menyimak obrolan teman-teman yang merasa heran dengan perpindahan tempat PPL yang sangat mendadak ini dan tidak ada satu pun dari mereka yang tahu alasannya.
Obrolan mereka berhenti begitu petugas security kembali dan mengatakan bahwa mereka semua boleh masuk ke dalam dan menunggu di lobi karena guru yang akan membimbing mereka selama PPL di sekolah ini sudah menunggu di sana.
Zahra beserta rombongan berjalan beriringan melintasi pelataran sekolah yang sangat luas sampai tiba di undakan yang menuju ke arah lobi sekolah. Seorang laki-laki dengan berpakaian jas resmi berdiri di undakan teratas menyambut mereka dengan senyum ramah.
"Selamat datang di SMA Biru Berlian," sapa laki-laki itu ramah. "Perkenalkan nama saya Ali, Kepala Sekolah di sini."
Acara perkenalan tidak membutuhkan waktu lama. Setelah semua memperkenalkan diri, Kepala Sekolah mengantar mereka ke ruangan yang akan menjadi kantor bagi guru-guru PPL dimana Waka Kurikulum sudah menunggu di dalamnya untuk memberikan wejangan dan membagi kelas-kelas untuk mereka mengajar.
Zahra merasa bersyukur karena untuk jam pelajaran pertama ini, dirinya belum mendapatkan jadwal mengajar. Nanti di jam pelajaran kelima—setelah istirahat—dirinya baru mendapatkan jadwal untuk mengajar di kelas sepuluh dengan materi yang sudah ia kuasai.
Satu setengah jam kemudian, beberapa teman Zahra yang sudah selesai mengajar masuk ke dalam ruang PPL dengan wajah tertekan bahkan ada yang hampir menangis.
"Ada apa?" Zahra berdiri dari duduknya dan menghampiri temannya itu.
"Huh! Ternyata mengajar tidak semudah yang kubayangkan selama ini." Temannya yang lain menjawab sambil merebahkan kepala di atas meja.
"Tidak apa-apa, namanya juga pertama kali." Zahra berusaha menghibur. Ia mengambilkan teman-temannya itu minuman dari lemari pendingin sekaligus membukakan tutupnya. "Minum dulu, biar segar."
Selama beberapa saat, Zahra hanya diam mengamati teman-temannya yang masih terlihat terguncang itu. Sekuat tenaga dirinya menahan diri agar tidak bertanya sampai mereka tenang.
"Aku tak mengerti, kenapa harus SMA ini yang menjadi tempat kita PPL." Akhirnya ketua kelompok Zahra bersuara.
"Benar. Aku lebih memilih SMA negeri kemarin. Di sini mengerikan."
"Mengerikan?" Zahra bertanya bingung.
"Yah, rasanya kau sedang menghadapi sidang skripsi ketimbang mengajar."
"Apa separah itu?"
Beberapa orang lagi masuk ke dalam dengan ekspresi yang tidak jauh berbeda dengan teman-teman yang sebelumnya sudah kembali. Zahra kembali berdiri dan mengambilkan mereka minuman dingin.
"Aku tak mau lagi kembali ke kelas itu."
"Aku mengerti."
"Kabarnya, kelas itu adalah kelas paling angker di sekolah ini!"
"Kelas paling angker?"
Zahra menyimak penjelasan temannya tentang kelas yang disebutkan angker itu. Bukan karena kelas itu berhantu, tapi karena di dalam kelas itu berisi sekumpulan murid yang paling cerdas sekaligus paling berpengaruh di sekolah ini, bahkan konon kabarnya, salah satu putra dari pemilik sekolah ini juga berada di kelas itu. Dia bukan hanya siswa paling cerdas, tapi sekaligus paling badas di sekolah ini.
Zahra mengucap syukur dalam hati karena tidak mendapatkan jadwal mengajar di kelas angker itu dan terus berdoa dalam hati semoga kelas yang akan ia pegang nanti tidak terlalu angker. Telinganya masih bisa menangkap isak tangis salah seorang rekannya yang baru saja kembali dari kelas angker itu selepas mengajar mata pelajaran Fisika. Ia membayangkan secerdas apa murid-murid di sekolah ini sampai bisa melebihi teman-temannya hingga tak mendengar teriakan teman-temannya.
"Za!"
Zahra terkejut bukan kepalang saat seseorang menepuk keras pundaknya. Ia mengelus dadanya dengan mata terbelalak lebar. "Kenapa harus ngagetin?"
"Kamunya dipanggilin dari tadi nggak jawab, sih," ujar salah seorang temannya.
"Ada apa?" Zahra mulai was-was melihat ekspresi teman-teman satu kelompoknya yang menatapnya dengan pandangan misterius.
"Lima menit lagi jam Biologi di kelas itu. Kamu siap-siap ya?"
"Siap-siap apa?" Zahra menampilkan wajah ngeri. Dirinya sudah bisa menduga pikiran teman-temannya. Kali ini mereka akan menjadikan dirinya sebagai tumbal di kelas angker itu.
"Ini. Lo bisa pake buku gue untuk tambahan mengajar." Salah seorang teman Zahra menyerahkan sebuah buku yang tebalnya kira-kira sama sepuluh senti. "Pertanyaan yang mereka ajukan selalu keluar dari topik yang sedang diajarkan."
"Kamu juga boleh pakai ini." Seorang yang duduk di sebelah Zahra meletakkan sebuah buku yang tak kalah tebal di meja depannya.
"Semangat ya, jangan sampai terlambat karena meski kelas angker, tapi mereka on time loh."
Zahra menelan ludah dengan susah payah. Ia menatap teman-temannya satu per satu dengan wajah memelas. "Teman-teman, itu kan bukan jatah kelasku? Kenapa jadi aku yang harus ngajar di sana?"
Bukannya menjawab, dua orang dari mereka malah membantu Zahra berdiri. Mereka menumpuk buku-buku yang di meja Zahra kemudian menempatkannya di pelukan Zahra.
"Fighting!" ujar mereka seraya mendorong pelan tubuh Zahra keluar dari ruang PPL.
Zahra menoleh ke belakang berharap mereka akan berubah pikiran, tapi memang sudah nasibnya yang selalu susah bilang 'tidak' pada siapa pun hingga akhirnya ia pun melangkah pelan menuju kelas ke kelas angker.
Sampai di depan kelas angker, Zahra diam dan berdiri mematung di depan kelas. Ia tak memiliki nyali untuk masuk ke dalam. Jantungnya berdegub kencang dan keringat dingin pun mulai membanjiri tubuhnya.
Ayoo, semangat Zahra!
Zahra mencoba memberi semangat pada dirinya sendiri, tapi tetap saja kakinya terasa berat sekali untuk digerakkan. Namun, dirinya bertekad untuk tidak menyerah.
Zahra berusaha untuk menenangkan diri dengan mengatur napas. Kemudian, ia mencoba untuk melemaskan kedua kakinya dan memajukan sedikit kaki kanannya. Senyumnya merekah saat dirinya berhasil mengajak kakinya untuk bekerja sama.
Setelah menarik napas panjang, ia melangkah dengan percaya diri untuk masuk ke dalam kelas. Namun, naas sekali, Zahra tidak mengetahui bahwa pintu kelas yang terbuat dari kaca yang bening dan jernih itu masih dalam kondisi tertutup. Ia pun menabrak pintu itu dengan keras membuat seluruh siswa di dalam kelas terbahak menertawakan kekonyolannya.
Tubuh Zahra terpental ke belakang, tapi tidak sampai terjatuh karena seseorang telah menangkap dan menahan tubuhnya.
"Bodoh!"
Zahra terkejut dan seketika menoleh ketika mendengar suara yang tak asing baginya. Mulutnya menganga lebar melihat siapa yang saat ini tengah memeluknya dari belakang. Bukan! Bukan memeluk, tapi menahan tubuhnya.
Buru-buru Zahra menegakkan badan dan berdiri kaku di depan Aaro. Ya, Aaro suaminya. "Apa yang kamu lakukan di sini?" cicit Zahra.
Aaro tersenyum sinis. "Ini sekolahku, dan itu kelasku," jawab Aaro angkuh seraya berjalan melewati Zahra dan membuka pintu geser di kelasnya. "Cepat masuk! Kau sudah terlambat hampir sepuluh menit!"
"Ohh!" Zahra mengangguk dan bergegas mengikuti Aaro masuk ke dalam kelas. Namun, kali ini sepertinya nasib baik memang sedang tidak berpihak padanya. Saat melangkah ke dalam kelas, salah satu kakinya tersandung oleh rel pintu di bawah lantai, membuat tubuhnya oleng dan tersungkur ke depan. Buku-buku dalam dekapannya pun berjatuhan dan berserak di lantai. Sekali lagi, dirinya menjadi bahan tertawaan murid di kelas 12 ipa 1.
Aaro berhenti melangkah dan berbalik untuk menolong istri cerobohnya itu. Ia melihat gadis itu jatuh dengan posisi tubuh tertelungkup di lantai. Sepertinya, keputusannya untuk memindah PPL gadis itu ke sekolah ini—bukan hal yang sulit bagi Aaro untuk mengatur agar PPL dari kampus yang tidak begitu dikenal bisa diterima di sekolah bertaraf internasional ini karena sekolah ini didirikan oleh kakeknya. Kepala sekolah di sini adalah adik ipar dari neneknya dan kepala yayasannya pun sahabat ayahnya—sangatlah tepat mengingat Zahra hampir tidak pernah bisa berdiri dengan aman.
Aaro mengedarkan pandangan ke seluruh kelasnya dengan tatapan tajam mengancam membuat tawa yang semula memenuhi kelas perlahan mulai surut. Kelas pun kembali sunyi. Ia membungkukkan badan kemudian memegang lengan Zahra, setengah mengangkat tubuh gadis itu untuk kembali berdiri. Setelah memastikan bahwa gadis itu bisa berdiri dengan baik, barulah dirinya melepaskan pegangannya dan mengumpulkan buku-buku Zahra yang berserakan di lantai membuat seisi kelas keheranan melihat sikapnya yang tidak biasa.
"Silahkan," Aaro menyerahkan tumpukan buku itu ke depan Zahra.
"Ehh, te-terima kasih."
Zahra mengajar dengan gugup. Selain karena itu merupakan kelas angker juga karena ada Aaro di sana. Selama pelajaran, Aaro terus saja menatap ke arahnya membuatnya semakin gugup dan salah tingkah. Beberapa kali dirinya terjatuh, tersandung, menjatuhkan buku, menyenggol alat peraga atau bahkan tanpa sengaja merobohkan layar LCD di depan kelas. Perasaan Zahra menjadi semakin tidak karuan karena dalam semua insiden itu, Aarolah yang selalu siap sedia membantu dan menolongnya berbanding terbalik dengan apa yang Aaro ucapkan semalam.
Begitu bel tanda jam pelajaran berakhir, Zahra buru-buru keluar kelas dan kembali ke ruang PPL di mana semua teman-temannya sudah menunggu laporan darinya mengenai kelas angker. Namun, ketika melihat wajahnya yang terlihat tidak baik-baik saja, mereka mengurungkan niat untuk bertanya. Sampai jam pelajaran terakhir pun mereka tetap membiarkan Zahra sendiri menyesali kecerobohannya.
Zahra merebahkan wajahnya di atas meja sambil terus mengembuskan napas berat. Malu. Saat ini dirinya pasti menjadi bahan perbincangan di SMA Biru Berlian. Bukan karena kegagalannya mengajar seperti teman-temannya yang lain, tapi karena kecerobohannya dianggap seperti lawakan yang menghibur. Sama sekali tidak ada wibawa sebagai seorang guru.
"Aaaa!" Zahra mengerang sambil memukuli meja dengan kepalan tinjunya. Teman-teman satu tim PPLnya sudah pulang sejak beberapa menit yang lalu, tapi dirinya masih bertahan di ruangan ini. Ia merasa enggan enggan untuk pulang. Dirinya sudah kehilangan muka di hadapan Aaro dan juga murid-murid di sekolah ini membuat dirinya ingin melenyapkan diri saja.
"Kenapa masih di sini?"
Zahra mengejang begitu mendengar suara bariton Aaro. Buru-buru dirinya menoleh dan benar saja, suami brondongnya itu sudah berdiri di ambang pintu ruang PPL.
"Hampir tiga puluh menit aku menunggumu di lobi." Aaro berjalan memasuki ruangan dan duduk di kursi tepat di samping sang istri.
"Kenapa harus menungguku?"
"Karena tujuan kita sama. Jadi, apa salahnya memberimu tumpangan," jawab Aaro santai seraya menyilangkan kaki kanannya di atas lutut kirinya. Matanya meneliti Zahra dari atas ke bawah. Dalam hatinya tertawa melihat kondisi gadis itu yang terlihat sedikit berantakan. Namun, saat tatapannya jatuh pada punggung tangan gadis itu, dahinya mengernyit tak suka. "Tanganmu terluka."
Zahra mengikuti arah pandang Aaro. "Ahh, benar."
"Kau ini ceroboh sekali. Usiamu sudah dua puluh tahun, tapi sikapmu lebih mirip anak TK!" Aaro mengomel seraya menarik tangan Zahra dan memeriksa lukanya. "Di mana kau mendapatkan luka ini?"
"Ehh? Entahlah, aku tak ingat."
"Dasar bodoh!"
"Kenapa kamu selalu mengataiku bodoh? Jika—" Zahra yang mulai emosi tak bisa meneruskan ucapannya karena tiba-tiba saja Aaro menarik tangannya dan menghisap darah di punggung tangannya. Detak jantungnya mulai berpacu dengan cepat. Kehangatan bibir Aaro rasanya seolah menyebar ke seluruh tubuhnya. Matanya membulat sempurna ketika tanpa sengaja tatapannya bertemu dengan lirikan maut Aaro. Tiba-tiba saja napasnya menjadisesak.
"Sakit?" Aaro bertanya lembut sambil meletakkan tangan Zahra ke atas meja.
"Sedikit," jawab Zahra linglung karena hangatnya napas dan mulut Aaro rasanya masih tertinggal di punggung tangannya.
Aaro membuka kantung resleting di bagian depan tasnya dan mengeluarkan botol minum, handuk serta plester anti bakteri. Ia meletakkan handuk di bawah tangan Zahra kemudian mengguyur luka itu dengan air mineral sedikit demi sedikit. Ia mengipasi luka itu agar cepat kering dengan buku Zahra yang terletak di atas meja.
Aaro tersenyum geli melihat Zahra menggigit bibir bawahnya saat menahan sakit. "Tahan sedikit lagi," ujarnya sambil membuka plester dan menempelkannya dengan hati-hati di atas luka itu.
"Sudah." Aaro mengusap plester agar menempel dengan sempurna seraya tersenyum mempesona ke arah Zahra membuat gadis itu semakin linglung seperti terkena hipnotis.
"Waaa ... tampan sekali," ucap Zahra tanpa sadar.
"Jadi itu ucapan terima kasihmu?" Aaro tergelak. Setelah puas menertawakan tingkah konyol Zahra, Aaro pun berhenti tertawa dan menatap penasaran istrinya itu. "Apa menurutmu aku benar-benar tampan?"
"Ya." Zahra mengangguk tanpa ragu dan sesaat kemudian baru menyadari bahwa tingkahnya itu sangat memalukan.
Aaro kembali tertawa terbahak mendengar jawaban lugu sang istri. "Ya sudah, sebaiknya kita cepat pulang. Nanti di rumah, kau bisa memandangiku sepuasmu."
***
Jam dinding di kamar Aaro sudah mengaum sepuluh kali, itu artinya waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Namun, Zahra sepertinya tidak menyadari itu. Ia terlalu larut dalam pekerjaannya mengoreksi tugas dari murid-muridnya di sekolah yang sangat menguras tenaga dan pikiran. Jawaban yang diberikan oleh murid-muridnya kebanyakan berupa narasi panjang yang berputar-putar dan tidak langsung pada pokoknya."Sudah larut," ujar Aaro yang sejak tadi menunggui Zahra. Tidak hanya menunggui, Aaro bahkan mengamati setiap gerak gerik Zahra tanpa sepengetahuan gadis itu—seakan tidak ada pekerjaan yang lebih menyenangkan selain itu—sambil duduk di atas sofa, sementara Zahra bersila di lantai."Belum selesai," gumam Zahra tanpa menatap Aaro. Dahinya berkerut dengan bibir mengerucut beberapa senti ke depan saat membaca jawaban salah satu muridnya yang sungguh memeras otak."Aku ngantuk." Aaro menjulurkan kakinya unt
"Mana dia?" Aaro yang baru saja menghambur ke dalam ruang makan bertanya karena tidak melihat ada Zahra di sana."Zahra? Dia sudah berangkat beberapa menit yang lalu," Carmila tersenyum keibuan kemudian berdiri menyambut sang putra."Jalan ke halte?" tanya Aaro dengan nada jengkel sekaligus marah. Bukan marah kepada bundanya, tapi kesal pada dirinya sendiri yang bangun kesiangan dan yang menjengkelkan adalah Zahra sama sekali tidak berusaha membangunkan dirinya.Aaro mengerang pelan sambil mengusap wajah dengan telapak tangannya. Ia tahu apa yang mereka lakukan semalam adalah kali pertama untuk Zahra, jadi pasti akan terasa tidak nyaman bagi Zahra. Apalagi jika dia sampai harus berjalan jauh dari rumahnya ke halte."Tadi Om Damian mampir sebentar untuk mengambil beberapa berkas yang harus dibawa ke luar kota. Jadi, Ayah meminta tolong untuk mengantar Zahra sekalian. Kebetulan satu arah kan?" Aidan menjawab san
"Aa, ini di sekolah," desah Zahra di sela-sela ciuman Aaro yang terus menuntut. Bukannya menjawab, Aaro justru semakin menyudutkan dirinya hingga punggungnya menyentuh besi tempat tidur yang dingin.Masih sambil mencium bibir Zahra, Aaro membungkuk sedikit agar bisa mengangkat tubuh Zahra dan mendudukkannya ke atas tempat tidur. Kebutuhannya sudah mendesak dan menuntut pemuasan dengan segera, tapi ia tak bisa terburu-buru karena semua ini masih memerlukan penyesuaian bagi Zahra. Ia harus memastikan istrinya itu betul-betul sudah siap sebelum menyatukan diri.Zahra menancapkan kukunya pada lengan telanjang Aaro ketika cumbuan suaminya itu mulai turun dari wajah ke leher dan semakin turun hingga bagian bawah dirinya. Ia menggigit bibirnya dengan kuat—mencegah teriak kenikmatan lolos dari bibirnya—ketika Aaro menyentuh daerah sensitifnya dan ketika sentuhan itu semakin intens, ia seperti hilang akal dengan terus meracau memi
Zahra mengelap gelas terakhir yang ada di dapur dan memasukkannya ke dalam rak dengan gerakan yang sangat pelan. Ia berharap untuk bisa berlama-lama di dapur keluarga Blackstone karena tidak ingin segera kembali ke kamar.Zahra sedang ingin menjaga jarak dengan Aaro. Pikirannya selalu kacau dan terpedaya ketika berada dekat dengan suami brondongnya itu, seakan bukan dirinya saja. Namun, sejak sepulang sekolah sampai saat malam tadi, Aaro terus saja menempel padanya. Ke mana pun dirinya bergerak, pemuda itu mengekor di belakangnya membuat dirinya risih dan gelisah.Desah tertahan lolos dari dalam dadanya ketika mengingat sikap Aaro yang menjadi begitu berbeda padanya dibanding saat awal pernikahan mereka dulu.Apakah ini karena Aaro merasa dirinya mudah untuk dimanfaatkan?Bahunya terkulai mengingat bagaimana cara Aaro menatapnya saat makan malam tadi. Begitu intens dan tidak berpaling sedetik pun membuatnya salah ting
Diam. Seluruh tubuhnya seakan mati dan tak bisa digerakkan. Matanya pun mulai memanas, tapi yang lebih parah dari itu semua adalah rasa sakit yang terus menusuk di hatinya. Terlalu sakit, bahkan melebihi sakit yang ia rasakan saat Alea memutuskan untuk menikah dengan pria lain. Bisa dibilang, dirinya terlalu terguncang mendengar apa yang baru saja sang ayah sampaikan. Zahra pergi meninggalkan dirinya tanpa pamit. Dia hanya membicarakan keputusan kekanakan itu pada ayahnya. Padahal siapa suaminya di sini?! batin Aaro marah.Jika memang berniat mengakhiri hubungan bersamanya, seharusnya perempuan itu berbicara dengan dirinya bukan dengan ayahnya! "Sayang," Carmila membelai kepala sang putra dengan penuh kelembutan, "dimakan dulu sarapannya."Aaro tidak menjawab dan hanya diam mematung di tempat dengan tatapan nanar ke depan. Kata-kata sang bunda seolah lewat begitu saja di telinganya tanpa ia bisa mendengar d
Aaro menggandeng tangan Zahra saat menaiki undakan di depan teras rumahnya. Wajahnya terlihat cerah dan bahagia karena dirinya berhasil meyakinkan Zahra untuk kembali pulang dan yang lebih penting dari itu semua adalah fakta bahwa ternyata rasa cinta telah tumbuh di hatinya untuk Zahra, entah sejak kapan. Mungkin sejak malam pertama mereka atau bisa jadi sejak pertemuan pertama di kelab kala itu. Aaro tak mau terlalu memikirkannya. Ia hanya lega karena pada akhirnya bisa memahami perasaannya sendiri hingga tak perlu mengalami penyesalan di belakang seperti yang pernah dialami oleh kedua kakaknya dulu. Ia cukup belajar dari pengalaman itu. Namun, itu semua belum terlalu memuaskan hatinya karena Zahra masih memiliki keinginan untuk pergi. Meksi sekarang Aaro bisa memahami alasan istrinya itu untuk pergi, tapi tetap saja baginya itu bukanlah masalah besar yang seharusnya bisa diatasi.Aaro menggerakkan kepalanya ke samping untuk melirik perempuan yang berjalan
Zahra duduk dengan gelisah di samping Aaro yang sedang mengemudi. Sesekali dirinya melirik suami brondongnya itu untuk membuka percakapan, tapi kemudian mengurungkan niatnya dan kembali menatap lurus ke depan. Pagi ini mereka berangkat ke sekolah bersama setelah mengunjungi ibunya sebentar untuk mengucapkan selamat ulang tahun dan memberikan hadiah. Yang membuat Zahra terharu adalah, ternyata Aaro pun telah menyiapkan kado untuk diberikan pada ibunya. Entah kapan dia membeli kado itu, padahal baru juga tadi mengetahui bahwa ibunya sedang berulang tahun."Kenapa gugup begitu?" Aaro mengawasi Zahra dari spion depan dan menyadari bahwa istrinya itu sedang gugup atau tidak tenang."Ehh, apa tidak sebaiknya aku turun di halte di perempatan sekolah saja? Dari situ aku bisa berjalan ke sekolah. Tidak terlalu jauh, kok.""Kenapa?"Zahra menoleh dan menatap Aaro sambil memicingkan matanya. "Tentu saja karena kita tidak
Zahra berjalan sambil menundukkan kepala, tak berani membalas tatapan-tatapan sinis murid dan guru yang berpapasan dengannya. Sepertinya kabar tentang hubungannya dan Aaro sudah tersebar luas. Terlihat dari cara mereka meneliti dirinya mulai dari atas ke bawah seolah ingin menemukan sesuatu dari dirinya yang bisa disebut kayak untuk menjadi istri seorang brondong yang most wanted di sini.Lalu apa yang harus ia lakukan sekarang? Pasti saat ini sebagian besar warga SMA Biru Berlian membencinya, batin Zahra.Zahra mendongak dan menatap ke depan, ke arah punggung Aaro yang berjalan mendahuluinya menuju ke kelas 12 Ipa 1-kelas Aaro. Jika dilihat dari cara Aaro yang berjalan tegap tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan, suami brondongnya itu seperti tidak terpengaruh oleh keadaan sekitar. Bahkan sepertinya Aaro juga tidak peduli jika dirinya dikeluarkan dari sekolah karena ketahuan menikah dengan statusnya yang masih pelajar. Padahal ujian k
Tangan mereka saling bertautan saat berjalan beriringan untuk menyapa kerabat dan Sabahat yang datang di acara resepsi pernikahan sederhana mereka ini. Resepsi yang diadakan secara dadakan oleh ayah mereka, Rommy dan Aidan. Bertempat di sebuah resort di pinggiran kota Batam yang berhadapan langsung dengan negara Singapura.Siang ini, rombongan sahabat dan keluarga mendarat di bandara Hang Nadim dan langsung menuju ke resort yang sudah dibooking seluruhnya. Kamar-kamar pun sudah dibagi dan sore ini, perayaan mereka digelar outdoor di dermaga resort. Suara debur ombak, suasana senja dan kelap kelip lampu dari Singapura yang terlihat jelas menjadi latar yang sangat untuk acara ini.Aaro membimbing Zahra untuk mengucapkan terima kasih atas kehadiran dan doa yang diberikan oleh keluarga dan sahabat-sahabat keluarga mereka. Sungguh membahagiakan mereka semua bisa hadir meski undangan yang dikirim ayahnya begitu mendadak. Bukan undangan, teta
Rommy mengetuk kamar Zahra beberapa kali untuk membangunkan putrinya itu, tapi belum juga ada jawaban. Ia mulai khawatir terjadi sesuatu dengan putri tirinya itu mengingat apa yang sering terjadi sebelumnya. Ia pun mencoba membuka pintu kamar Zahra yang ternyata dikunci dari dalam.Rommy heran karena tidak biasanya Zahra tidur dengan pintu kamar terkunci. Untungnya, dirinya selalu antisipasi dengan menyediakan kunci cadangan. Tanpa pikir panjang, Rommy mengambil kunci cadangan yang ia simpan di lemari penyimpanan khusus dakam kamarnya.Perasaannya sudah tak karuan saat kembali melangkah cepat ke kamar Zahra dan membuka pintunya. Kamar Zahra gelap karena semua korden masih tertutup rapat hingga Rommy pun menyalakan lampu terlebih dahulu sebelum melangkah ke jendela dan membuka semua kordennya. Setelahnya, ia membalikkan badan dengan maksud membangunkan Zahra, tapi pemandangan di tempat tidur yang ia lihat sungguh membuatnya terkejut.Rommy tak perlu bert
Aaro menunggu Zahra kembali dari kamar mandi sambil bersembunyi di balik pintu kamar Zahra. Kamar Zahra tidak dilengkapi dengan kamar mandi dalam karena memang bukan kamar utama.Sesekali, Aaro mengintip untuk melihat apakah Zahra sudah akan kembali ke kamar, tapi rupanya dia masih berada di dalam kamar mandi.Baru beberapa menit, Aaro sudah berdecak tak sabar dan hampir saja berderap menerobos ke dalam kamar mandi untuk menyusul Zahra jika saat itu dirinya tak melihat bahwa Rommy sedang menonton TV di ruang tengah.Aaro menyandarkan punggungnya ke dinding di belakang pintu sambil merapatkan kedua lengannya ke samping tubuhnya. Ia takut jika tiba-tiba saja dirinya nekat keluar dari tempat persembunyiannya dan menyongsong Zahra di depan kamar mandi. Ohh, rasa rindu yang sudah menggelegak di dalam dirinya membuat akal sehatnya sulit untuk dikendalikan.Setelah hampir tiga puluh menit berlalu, Aaro bersorak dalam
Aaro terjengkang ke belakang saat Zahra tiba-tiba berdiri dan mendorongnya dengan keras. Selama beberapa saat dirinya hanya bisa diam dan terkejut. Namun, saat menyadari bahwa Zahra berusaha kabur darinya, ia pun bergegas berdiri dan berlari mengejar."Cinta!" Aaro berteriak sambil berlari cepat mengejar Zahra yang sudah berada jauh di depannya dan menghilang dari pandangan. Aaro mempercepat larinya agar bisa menyusul sang istri, tapi saat sampai di belokan, ia tak lagi bisa melihat Zahra.Aaro mengatur napas sambil mengedarkan pandangan ke sekitar. Zahra tak mungkin pergi jauh. Ia yakin sekali jika istrinya itu masih berada di sekitarnya dan bersembunyi karena ia sudah hafal betul bahwa Zahra tak mungkin bisa kabur dengan dengan cepat tanpa jatuh atau tersandung kakinya sendiri. Jadi, saat ini Aaro berdiri diam sambil mengamati area di sekelilingnya, mencari tempat yang sangat memungkinkan untuk dijadikan persembunyian istrinya itu. Namun,
Aaro menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur selepas berendam air hangat untuk melepas penat. Ia melipat kedua tangan di belakang kepala sambil menatap langit-langit kamar. Bayangan Zahra terbaring di kamar mandi bersimbah darah terus menghantui pikirannya. Seharusnya, saat ini ia masih terus mencari tahu keberadaan Zahra, bukan malah buang-buang waktu dengan datang ke pulau kecil ini. Bisa jadi, ketika dirinya berhenti mencari, Zahra akan pergi semakin jauh dan tak terjangkau.Tiba-tiba saja Aaro sadar, bahwa dirinya tak bisa tinggal lebih lama lagi di Batam. Ia harus segera kembali dan mulai melacak keberadaan Zahra. Huft! Aaro mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya kemudian bangkit dari tempat tidur untuk mengambil ponsel yang masih ada meja depan TV.Aaro menghubungi sang ayah dan mengatakan bahwa dirinya ingin pulang saja besok. Ia menyampaikan banyak alasan yang semua tentunya berhubungan dengan pencarian Zahra, tapi sial, a
"Melamun lagi?"Zahra meboleh dan melihat ayah tirinya melangkah pelan menghampirinya. Zahra tersenyum malu karena sekali lagi terpergok melamun."Bosan ya?" Rommy terkekeh sambil duduk di kursi di hadapan Zahra. Saat ini mereka berada di Batam, selain untuk mempermudah akses saat Zahra harus melakukan kontrol ke Singapura, juga karena Rommy baru saja menerima sebuah tawaran kontrak di salah satu rumah sakit di Batam. Ia tak pikir panjang dan langsung menerima tawaran itu karena memang untuk sementara waktu dirinya belum bisa kembali ke Korea Selatan untuk mendampingi proses pemulihan Zahra. Dari Batam, hanya membutuhkan waktu kurang lebih tiga puluh menit saja untuk menyeberang ke Singapura. Ditambah saat ini istrinya, Fatma sedang hamil muda dan sering mengalami mual yang hebat hingga belum memungkinkan untuk melakukan perjalanan jauh."Kurang nyaman ya apartemennya?" Rommy bertanya dengan nada meminta maaf, "di sini yang l
Rommy mengepalkan sebelah tangannya dengan wajah geram melihat Zahra terbaring lemah di IGD, sementara sebelah tangannya yang lain masih merangkul pundak istrinya yang bergetar oleh tangis. Zahra mengalami pendarahan hebat hingga kehilangan bayinya. Beruntung rumah sakit ini menyediakan golongan darah yang sesuai untuknya, sehingga bisa segera diberikan transfusi. Bagaimana jadinya jika tidak ada? Itulah mengapa Fatma masih begitu terpukul melihat kondisi putrinya.Siang ini mereka baru saja sampai dari Korea Selatan untuk menjenguk Zahra yang katanya harus bed rest karena kandungan lemah, tapi yang mereka dapati ternyata jauh lebih parah daripada itu. Tentu saja ini membuat Fatma begitu sedih dan Rommy sebagai ayah tiri Zahra--sudah menganggapnya seperti putri kandung sendiri-- murka.Kepala Rommy memutar berbagai rencana dan juga apa-apa saja yang harus dilakukan demi kesembuhan dan pemulihan Zahra baik fisik maupun psikis. Diriny
Satu bulan lebih sudah berlalu, Aaro masih merasa sangat berduka. Setiap harinya hanya ia habiskan dengan melamun, menangis dan menyalahkan diri sendiri. Terkadang ia sampai tak sadarkan diri akibat terlalu tertekan oleh rasa sedih dan juga rasa bersalah.Selama itu, semua bisnis dan tanggung jawab Aaro diambil alih pengelolaannya oleh ayah dan juga kakak-kakak lelakinya. Entah sampai kapan, karena Aaro terlihat tak lagi memiliki semangat hidup. Bahkan ketika ia diminta menjaga Alea di klinik pun, ia melakukannya hanya sambil lalu saja. Kebanyakan dia hanya diam dan terus merindukan Zahra. Kesedihan karena kondisi Alea yang masih belum juga membaik ternyata tak sesakit saat mengetahui Zahra tak ada lagi bersamanya.Aaro melangkah tanpa arah di dalam rumah ayahnya—selama masa berduka ini, dirinya masih tinggal bersama orangtuanya dan belum kembali ke bengkel—dan sampailah di garasi. Tatapannya jatuh pada motor miliknya yang khusus ia beli agar lebih sesuai dengan Zahra. I
Tubuh Aaro lemas. Rasanya tak ada lagi tenaga dan semangat yang tersisa. Ia jatuh berlutut di lantai, di samping sosok tubuh yang terbaring di atas tempat tidur di ruang IGD dengan seluruh tubuh mulai kaki sampai ujung kepala tertutup kain putih.Tak ada air mata dan isak tangis. Hanya rasa kebas dan hampa seakan seluruh organ dalam tubuhnya telah dicabut paksa. Syok. Ia ingin berdiri dan memeluk tubuh yang terbujur kaku itu, tapi seluruh sel dalam tubuhnya seakan mati dan berhenti bekerja.Saat dua orang mengapit lengannya dan membawanya keluar dari ruang IGD, ia tak kuasa melawan. Dirinya masih terlalu terkejut dengan keadaan yang ada. Rasanya, baru beberapa jam yang lalu dirinya bersama dengan Zahra, tapi sekarang ...."Apa instruksi Aidan?" Seseorang berbicara dari sebelah kiri Aaro."Sebentar, aku bacakan lagi pesannya." Pria di sebelah kanan Aaro menjawab sambil merogoh saku celananya untuk mengeluarkan