Jam dinding di kamar Aaro sudah mengaum sepuluh kali, itu artinya waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Namun, Zahra sepertinya tidak menyadari itu. Ia terlalu larut dalam pekerjaannya mengoreksi tugas dari murid-muridnya di sekolah yang sangat menguras tenaga dan pikiran.
Jawaban yang diberikan oleh murid-muridnya kebanyakan berupa narasi panjang yang berputar-putar dan tidak langsung pada pokoknya."Sudah larut," ujar Aaro yang sejak tadi menunggui Zahra. Tidak hanya menunggui, Aaro bahkan mengamati setiap gerak gerik Zahra tanpa sepengetahuan gadis itu—seakan tidak ada pekerjaan yang lebih menyenangkan selain itu—sambil duduk di atas sofa, sementara Zahra bersila di lantai.
"Belum selesai," gumam Zahra tanpa menatap Aaro. Dahinya berkerut dengan bibir mengerucut beberapa senti ke depan saat membaca jawaban salah satu muridnya yang sungguh memeras otak.
"Aku ngantuk." Aaro menjulurkan kakinya untuk menyenggol lutut Zahra dengan maksud menarik perhatian gadis itu agar mau menoleh ke arahnya, tapi nyatanya Zahra sama sekali tak merasa terganggu sama sekali. Gadis itu masih terus fokus pada pekerjaannya, bahkan saat ini, tanpa sadar dia menekankan ujung penanya ke pelipis dan pipi saat sedang berpikir membuat beberapa bagian wajahnya mendapat coretan dari pena itu. Aaro tersenyum sendiri seperti orang sinting melihat gaya Zahra yang menurutnya lebih mirip anak kecil daripada seorang guru.
"Kau yakin umurmu sudah dua puluh tahun?" Akhirnya Aaro pun tak tahan untuk tidak berkomentar.
"Apa?" Zahra mendongak dan menatap Aaro dengan wajah lugu yang membuat Aaro semakin gemas saja.
"Aku yakin sekali, ada kesalahan pada penulisan tahun di akta kelahiranmu." Aaro sengaja melontarkan pendapat yang akan menyulut emosi Zahra karena gadis itu paling tidak suka ketika diingatkan bahwa usianya lebih tua daripada dirinya. Namun, entah mengapa, semakin Zahra marah semakin Aaro merasa senang dan terhibur. Seperti saat ini, Aaro semakin tersenyum jahil melihat ekspresi tak percaya di wajah Zahra.
"Bahkan Kak Shera—istri kakak sulung Aaro—yang masih delapan belas tahun pun terlihat lebih dewasa dibanding dirimu." Aaro menyilangkan kedua lengannya di depan dada sambil terus mengamati Zahra dari atas ke bawah. Sudut-sudut bibirnya bergetar menahan tawa melihat Zahra yang sepertinya sudah siap meledak marah.
Zahra berdiri sambil membanting bolpoin di tangannya ke atas meja membuat bolpoin itu mental dan terlempar entah ke mana. Matanya mendelik menatap Aaro. "Sebenarnya maksudmu apa? Aku bodoh? Iya memang, makanya aku sekolah dan terus belajar!"
"Aku tak perlu belajar untuk menjadi pintar." Aaro menjawab dengan gaya dan nada yang sangat menyebalkan membuat Zahra terlihat ingin sekali menyumpal mulutnya dengan kotak pensil.
"Yah," Zahra berbicara sambil memejamkan mata tak mau melihat wajah menyebalkan Aaro, "kau pintar. Jadi sekarang biarkan aku belajar dan menyelesaikan tugasku!"
"Terserah." Aaro mengedikkan bahu seraya bangkit dari tempat duduknya dan langsung ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum tidur. Dirinya tidak perlu susah-susah untuk ganti baju karena sudah terbiasa tidur hanya menggunakan celana pendek saja—kebiasaan yang menurun dari sang ayah tidur tanpa mengenakan baju.
Zahra sudah kembali duduk menekuni tugasnya ketika lampu kamar tiba-tiba saja dimatikan. Ia menoleh dengan cepat dan melihat bahwa Aaro mulai mematikan semua lampu di kamar, hanya menyisakan satu lampu tidur saja yang menyala.
"Kenapa dimatikan semua lampunya?" Zahra protes.
"Aku ngantuk, mau tidur."
"Ya, tapi lampunya? Aku belum selesai Aa—"
"Sudah. Tidur saja! Selesaikan itu besok!"
"Tidak bisa, tidak akan sempat." Zahra memasang wajah memelas. "Aku nyalain lagi ya?"
"Kubilang selesaikan besok ya besok!" tegas Aaro. "Ini sudah setengah sebelas malam."
Zahra tak bisa lagi menahan emosinya. Ia menggebrak meja, kemudian berdiri dan melangkah cepat mendekati Aaro yang sudah duduk di tepi tempat tidur. "Kenapa? Kenapa aku tak bisa menyelesaikan tugasku sekarang?! Kau bilang kita tidak boleh saling mencampuri urusan masing-masing, kan? Lalu kenapa kamu ikut campur urusan pekerjaanku, kapan aku menyelesaikan tugasku, kapan aku tidur, itu kan terserah padaku!"
"Ssshh!" Aaro mendesis dan menutup kedua telinganya yang berdenging mendengar suara cemperang Zahra. "Kau ini cerewet sekali. Ini kamarku dan yang berlaku di dalam kamar ini adalah peraturanku."
"Ohh, begitu?" Zahra mengangguk mengerti. "Kalau begitu, aku mengerjakan di luar saja," ujarnya seraya membalikkan badan. Namun, belum sempat kakinya melangkah, pergelangan tangan kanannya sudah dicekal oleh Aaro.
"Pikirmu sudah jam berapa ini? Seluruh penghuni rumah ini sudah tidur dan semua lampu juga sudah dimatikan!" Aaro berbicara tegas dan tak ingin dibantah. "Besok subuh lanjutkan tugasmu itu."
"Aku tak mau diatur-atur oleh anak ingusan yang tidak bertanggung jawab sepertimu!" Zahra meronta dan menarik tangannya dari cekalan Aaro.
Mendengar Zahra menyebutnya anak ingusan, emosi Aaro pun bangkit. Ia memegang pergelangan tangan gadis itu semakin erat dan menariknya agar mendekat, tapi sepertinya tenaga yang ia gunakan terlalu kuat hingga membuat tubuh Zahra kehilangan keseimbangan dan akhirnya terjatuh menabrak dadanya.
"Ma-maaf." Zahra buru-buru minta maaf seraya mencoba untuk berdiri dengan tegak, tapi apa yang terjadi membuatnya mendongak dan menatap Aaro bingung. Lengan kekar itu tetap menahan tubuhnya dan justru semakin erat memeluknya. "Aa?"
"Kau menyebutku anak ingusan?" tanya Aaro pelan. Sorot matanya mengunci tatapan Zahra agar tetap tertuju padanya. "Mungkin kau belum tau apa yang bisa dilakukan anak ingusan ini?" Aaro tersenyum setan seraya mendorong pelan tubuh gadis itu agar berbaring di ranjang.
"A-apa yang—" Zahra tak melanjutkan ucapannya karena tiba-tiba saja bibir Aaro sudah menempel di bibirnya. Ohh, tidak!
Tubuh Zahra seketika berubah kaku dan seperti saat di sekolah tadi, dadanya pun berdebar hebat dengan napas tersengal seperti orang yang baru saja lomba maraton.
Aaro menjauhkan bibirnya, tapi tidak beranjak dari posisinya yang sedang menghimpit Zahra di bawahnya. Selama beberapa saat, dirinya hanya diam sambil mengamati perubahan ekspresi di wajah istrinya itu. Gadis itu terlihat kebingungan sekaligus syok. Sebuah ide jahil melintas di kepalanya tatkala melihat mata Zahra yang membulat lebar. Kepalanya kembali menunduk mendekati wajah gadis itu membuat mata Zahra yang sudah terbelalak semakin terbuka lebar. "Aku bisa melakukan hal dewasa padamu."
"Ja-jangan!" Zahra memekik pelan sambil, tapi tangannya justru memegang erat lengan Aaro. Pikirannya masih linglung karena seorang brondong baru saja mencuri ciuman pertamanya.
"Kenapa?"
Zahra berkedip beberapa kali untuk mengembalikan akal sehatnya yang sempat berantakan oleh perlakuan Aaro padanya. "Kamu masih sekolah dan belum cukup umur," jawabnya lirih.
Aaro melongo sesaat, sebelum akhirnya tertawa terbahak seraya menyingkir dari atas tubuh Zahra. Belum cukup umur? Ya Tuhan, sebetulnya istrinya ini makhluk dari mana sih, apa dia tidak tahu umur berapa seorang laki-laki mulai akil baligh? Padahal dalam ilmu biologi pun sudah dijelaskan mengenai sistem reproduksi pada manusia.
"Dasar bodoh! Aku bahkan sudah bisa membuat bayi!"
Aaro terus terbahak membuat Zahra malu dan akhirnya naik ke atas tempat tidur dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Tidak sampai sepuluh menit kemudian, Zahra pun terlelap.
"Tadi disuruh tidur sok-sokan!" Aaro ngomel sendiri saat menarik selimut yang menutupi seluruh tubuh istrinya itu justru mendapati Zahra yang sudah lelap. Matanya sendiri sebenarnya juga sudah mengantuk, tapi keinginan kuat dari dalam dirinya untuk terus memperhatikan wajah Zahra—yang seperti bayi saat tidur—mengalahkan akal sehatnya. Rasa kantuk pun perlahan tidak lagi menganggu Aaro hingga akhirnya dirinya betah berbaring tengkurap di samping Zahra sambil sesekali mencubit gemas pipi istrinya itu.
Huft! Aaro mengembuskan napas dengan keras. Sudah hampir tiga jam ini dirinya berusaha untuk memejamkan mata dan tidur, tapi tetap saja matanya terjaga. Sesekali matanya masih melirik Zahra yang sudah pulas di sebelahnya dengan posisi terlentang dan mulut sedikit terbuka. Yang membuat Aaro semakin sinting adalah kancing piyama teratas Zahra yang terlepas menampilkan belahan dada gadis itu. Sungguh godaan yang luar biasa mematikan
Sekuat tenaga Aaro menahan tangannya agar tidak bergentayangan ke arah samping meskipun suara-suara nakal dan tak senonoh terus menyemangati di kepalanya. Bagian bawah dirinya pun sudah mendesak meminta perhatian, tapi Aaro benar-benar tak tahu cara meredakan ledakan gairah di dalam dirinya tanpa harus menyentuh Zahra. Yang bisa ia lakukan hanya tetap berbaring tengkurap sambil menggigit bantal dengan kedua tangan mencengkeram kepala ranjangnya yang terbuat dari kayu.
Aaro meringis merasakan kaku di kedua pipinya akibat terus menggigit bantal dengan kuat. Sungguh, ia bingung dengan apa terjadi pada tubuhnya. Tiba-tiba saja pikirannya korslet dan sulit sekali dikendalikan, padahal bersama Alea dirinya tak pernah merasakan hal-hal semacam ini. Namun, saat ini yang ada di pikirannya hanya bagaimana rasanya menjamah tubuh Zahra. Dalam kepalanya kembali memutar ucapan sang ayah pasca pernikahan dadakannya di kantor polisi beberapa waktu yang lalu.
"Selamat Aa," ujar Aidan seraya menepuk pelan pundak Aaro, "sekarang kalian sudah sah menjadi suami istri, jadi mau mesum setiap hari pun, siapa yang peduli? Hahahaha!"
Fix. Menjelang dini hari, Aaro akhirnya menyerah pada hasrat kelelakiannya. Ia pun bangun dan duduk bersila menghadap pemasangan tubuh Zahra sembari menimbang-nimbang apa yang harus ia lakukan lebih dulu, bagian mana yang paling ingin ia sentuh.
Tangan Aaro gemetar ketika membuka kancing piyama Zahra satu per satu. Dalam hatinya terus berdoa semoga gadis itu tetap terlelap dan tidak terbangun oleh tindakannya karena jika sampai itu terjadi, dirinya akan kebingungan mencari alasan.
Aaro menelan ludah dengan susah payah melihat apa yang tersaji di hadapannya. Jantungnya berdegub kencang saat ia memberanikan diri untuk menekankan jari telunjuknya ke pipi Zahra. Ia pun terkejut karena begitu kulitnya bersentuhan dengan kulit Zahra, ia merasakan seperti ada aliran listrik yang menjalar ke sekujur tubuhnya dan berakhir di bagian pusat gairahnya.
Setelah beberapa kali hanya menyentuh dan membelai dengan lembut wajah dan tangan Zahra, Aaro pun mulai berani mengeksplorasi lebih jauh lagi. Ia bahkan sudah berani melumat bibir Zahra yang setengah terbuka.
Setelah puas dengan wajah Zahra, Aaro menarik diri dan mengamati wajah yang masih terlelap itu. Telunjuknya terulur untuk memainkan bulu mata Zahra yang lebat dan panjang sambil sesekali mengecup bergantian kedua mata itu. Mata lebar dan sayu yang selalu terlihat mengantuk itu sepertinya telah mencuri perhatiannya sejak pertama mereka bertemu. Senyum Aaro pun merekah tatkala kelopak itu akhirnya membuka.
"Aa?" Zahra mengernyitkan dahi bingung karena begitu dirinya membuka mata, bayangan pertama yang ia tangkap adalah senyum mematikan Aaro. Bukan hanya itu, tapi posisi Aaro yang membungkuk di atasnya dengan kedua telapak tangan pemuda itu menangkup wajahnya juga membuatnya terkejut. Aaro hanya diam dan terus menatapnya dengan pandangan berkabut. Saat dirinya hendak bertanya apa yang sedang Aaro lakukan, bibir Aaro sudah membungkam mulutnya dengan ciuman yang belum pernah ia bayangkan sebekumnya. Begitu intens dan penuh gairah.
"Aku ingin menyempurnakan kedewasaanku," bisik Aaro di sela-sela ciumannya.
Zahra tak bisa menjawab karena Aaro tak memberi ruang untuk dirinya berbicara atau bahkan menolak. Ia hanya mematung menerima semua perlakuan Aaro yang membingungkan sekaligus melenakan. Sebagian dari dirinya menikmati semua sentuhan dan cumbuan Aaro, tapi sebagian lagi menolak karena tidak seharusnya mereka melakukan itu tanpa didasari rasa cinta yang pastinya akan menimbulkan penyesalan. Namun, apa daya ketika akhirnya seluruh tubuhnya berkhianat pada akal sehatnya dan terus meminta untuk disentuh Aaro dimana-mana. Akhirnya ketika tubuh mereka bersatu dalam kebutuhan primitif yang terus mendesak, Zahra hanya bisa tak bisa lagi menolak. Setitik air mata menetes di pipinya, sisa dari kesadarannya yang masih tertinggal.
***
"Mana dia?" Aaro yang baru saja menghambur ke dalam ruang makan bertanya karena tidak melihat ada Zahra di sana."Zahra? Dia sudah berangkat beberapa menit yang lalu," Carmila tersenyum keibuan kemudian berdiri menyambut sang putra."Jalan ke halte?" tanya Aaro dengan nada jengkel sekaligus marah. Bukan marah kepada bundanya, tapi kesal pada dirinya sendiri yang bangun kesiangan dan yang menjengkelkan adalah Zahra sama sekali tidak berusaha membangunkan dirinya.Aaro mengerang pelan sambil mengusap wajah dengan telapak tangannya. Ia tahu apa yang mereka lakukan semalam adalah kali pertama untuk Zahra, jadi pasti akan terasa tidak nyaman bagi Zahra. Apalagi jika dia sampai harus berjalan jauh dari rumahnya ke halte."Tadi Om Damian mampir sebentar untuk mengambil beberapa berkas yang harus dibawa ke luar kota. Jadi, Ayah meminta tolong untuk mengantar Zahra sekalian. Kebetulan satu arah kan?" Aidan menjawab san
"Aa, ini di sekolah," desah Zahra di sela-sela ciuman Aaro yang terus menuntut. Bukannya menjawab, Aaro justru semakin menyudutkan dirinya hingga punggungnya menyentuh besi tempat tidur yang dingin.Masih sambil mencium bibir Zahra, Aaro membungkuk sedikit agar bisa mengangkat tubuh Zahra dan mendudukkannya ke atas tempat tidur. Kebutuhannya sudah mendesak dan menuntut pemuasan dengan segera, tapi ia tak bisa terburu-buru karena semua ini masih memerlukan penyesuaian bagi Zahra. Ia harus memastikan istrinya itu betul-betul sudah siap sebelum menyatukan diri.Zahra menancapkan kukunya pada lengan telanjang Aaro ketika cumbuan suaminya itu mulai turun dari wajah ke leher dan semakin turun hingga bagian bawah dirinya. Ia menggigit bibirnya dengan kuat—mencegah teriak kenikmatan lolos dari bibirnya—ketika Aaro menyentuh daerah sensitifnya dan ketika sentuhan itu semakin intens, ia seperti hilang akal dengan terus meracau memi
Zahra mengelap gelas terakhir yang ada di dapur dan memasukkannya ke dalam rak dengan gerakan yang sangat pelan. Ia berharap untuk bisa berlama-lama di dapur keluarga Blackstone karena tidak ingin segera kembali ke kamar.Zahra sedang ingin menjaga jarak dengan Aaro. Pikirannya selalu kacau dan terpedaya ketika berada dekat dengan suami brondongnya itu, seakan bukan dirinya saja. Namun, sejak sepulang sekolah sampai saat malam tadi, Aaro terus saja menempel padanya. Ke mana pun dirinya bergerak, pemuda itu mengekor di belakangnya membuat dirinya risih dan gelisah.Desah tertahan lolos dari dalam dadanya ketika mengingat sikap Aaro yang menjadi begitu berbeda padanya dibanding saat awal pernikahan mereka dulu.Apakah ini karena Aaro merasa dirinya mudah untuk dimanfaatkan?Bahunya terkulai mengingat bagaimana cara Aaro menatapnya saat makan malam tadi. Begitu intens dan tidak berpaling sedetik pun membuatnya salah ting
Diam. Seluruh tubuhnya seakan mati dan tak bisa digerakkan. Matanya pun mulai memanas, tapi yang lebih parah dari itu semua adalah rasa sakit yang terus menusuk di hatinya. Terlalu sakit, bahkan melebihi sakit yang ia rasakan saat Alea memutuskan untuk menikah dengan pria lain. Bisa dibilang, dirinya terlalu terguncang mendengar apa yang baru saja sang ayah sampaikan. Zahra pergi meninggalkan dirinya tanpa pamit. Dia hanya membicarakan keputusan kekanakan itu pada ayahnya. Padahal siapa suaminya di sini?! batin Aaro marah.Jika memang berniat mengakhiri hubungan bersamanya, seharusnya perempuan itu berbicara dengan dirinya bukan dengan ayahnya! "Sayang," Carmila membelai kepala sang putra dengan penuh kelembutan, "dimakan dulu sarapannya."Aaro tidak menjawab dan hanya diam mematung di tempat dengan tatapan nanar ke depan. Kata-kata sang bunda seolah lewat begitu saja di telinganya tanpa ia bisa mendengar d
Aaro menggandeng tangan Zahra saat menaiki undakan di depan teras rumahnya. Wajahnya terlihat cerah dan bahagia karena dirinya berhasil meyakinkan Zahra untuk kembali pulang dan yang lebih penting dari itu semua adalah fakta bahwa ternyata rasa cinta telah tumbuh di hatinya untuk Zahra, entah sejak kapan. Mungkin sejak malam pertama mereka atau bisa jadi sejak pertemuan pertama di kelab kala itu. Aaro tak mau terlalu memikirkannya. Ia hanya lega karena pada akhirnya bisa memahami perasaannya sendiri hingga tak perlu mengalami penyesalan di belakang seperti yang pernah dialami oleh kedua kakaknya dulu. Ia cukup belajar dari pengalaman itu. Namun, itu semua belum terlalu memuaskan hatinya karena Zahra masih memiliki keinginan untuk pergi. Meksi sekarang Aaro bisa memahami alasan istrinya itu untuk pergi, tapi tetap saja baginya itu bukanlah masalah besar yang seharusnya bisa diatasi.Aaro menggerakkan kepalanya ke samping untuk melirik perempuan yang berjalan
Zahra duduk dengan gelisah di samping Aaro yang sedang mengemudi. Sesekali dirinya melirik suami brondongnya itu untuk membuka percakapan, tapi kemudian mengurungkan niatnya dan kembali menatap lurus ke depan. Pagi ini mereka berangkat ke sekolah bersama setelah mengunjungi ibunya sebentar untuk mengucapkan selamat ulang tahun dan memberikan hadiah. Yang membuat Zahra terharu adalah, ternyata Aaro pun telah menyiapkan kado untuk diberikan pada ibunya. Entah kapan dia membeli kado itu, padahal baru juga tadi mengetahui bahwa ibunya sedang berulang tahun."Kenapa gugup begitu?" Aaro mengawasi Zahra dari spion depan dan menyadari bahwa istrinya itu sedang gugup atau tidak tenang."Ehh, apa tidak sebaiknya aku turun di halte di perempatan sekolah saja? Dari situ aku bisa berjalan ke sekolah. Tidak terlalu jauh, kok.""Kenapa?"Zahra menoleh dan menatap Aaro sambil memicingkan matanya. "Tentu saja karena kita tidak
Zahra berjalan sambil menundukkan kepala, tak berani membalas tatapan-tatapan sinis murid dan guru yang berpapasan dengannya. Sepertinya kabar tentang hubungannya dan Aaro sudah tersebar luas. Terlihat dari cara mereka meneliti dirinya mulai dari atas ke bawah seolah ingin menemukan sesuatu dari dirinya yang bisa disebut kayak untuk menjadi istri seorang brondong yang most wanted di sini.Lalu apa yang harus ia lakukan sekarang? Pasti saat ini sebagian besar warga SMA Biru Berlian membencinya, batin Zahra.Zahra mendongak dan menatap ke depan, ke arah punggung Aaro yang berjalan mendahuluinya menuju ke kelas 12 Ipa 1-kelas Aaro. Jika dilihat dari cara Aaro yang berjalan tegap tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan, suami brondongnya itu seperti tidak terpengaruh oleh keadaan sekitar. Bahkan sepertinya Aaro juga tidak peduli jika dirinya dikeluarkan dari sekolah karena ketahuan menikah dengan statusnya yang masih pelajar. Padahal ujian k
"Tunggu di sini sebentar," ujar Aaro setelah menutupkan pintu mobil untuk Zahra."Mau kemana?" Zahra bertanya bingung karena Aaro yang memaksanya untuk pulang meskipun jam pelajaran masih berlangsung, tapi sekarang justru Aaro meninggalkannya sendiri di dalam mobil untuk masuk kembali ke dalam sekolah. "Apa aku harus menunggu di sini sampai jam pulang sekolah?"Aaro tergelak mendengar pertanyaan Zahra. "Tentu saja tidak. Aku akan segera kembali." Aaro menjawab sambil masuk ke dalam mobil di bagian belakang untuk mengeluarkan beberapa alat berat seperti dongkrak, kunci roda dan beberapa buah obeng."Apa bannya bocor? Kalau begitu aku turun saja dulu.""Tidak usah. Kau tetao di situ saja. Aku tidak akan lama," ujar Aaro sambil berjalan kembali ke dalam sekolah, membawa alat-alat yang tadi ia keluarkan dari dalam mobil. Dirinya berencana untuk membuat perhitungan pada seseorang yang sudah berani mengirim surat an
Tangan mereka saling bertautan saat berjalan beriringan untuk menyapa kerabat dan Sabahat yang datang di acara resepsi pernikahan sederhana mereka ini. Resepsi yang diadakan secara dadakan oleh ayah mereka, Rommy dan Aidan. Bertempat di sebuah resort di pinggiran kota Batam yang berhadapan langsung dengan negara Singapura.Siang ini, rombongan sahabat dan keluarga mendarat di bandara Hang Nadim dan langsung menuju ke resort yang sudah dibooking seluruhnya. Kamar-kamar pun sudah dibagi dan sore ini, perayaan mereka digelar outdoor di dermaga resort. Suara debur ombak, suasana senja dan kelap kelip lampu dari Singapura yang terlihat jelas menjadi latar yang sangat untuk acara ini.Aaro membimbing Zahra untuk mengucapkan terima kasih atas kehadiran dan doa yang diberikan oleh keluarga dan sahabat-sahabat keluarga mereka. Sungguh membahagiakan mereka semua bisa hadir meski undangan yang dikirim ayahnya begitu mendadak. Bukan undangan, teta
Rommy mengetuk kamar Zahra beberapa kali untuk membangunkan putrinya itu, tapi belum juga ada jawaban. Ia mulai khawatir terjadi sesuatu dengan putri tirinya itu mengingat apa yang sering terjadi sebelumnya. Ia pun mencoba membuka pintu kamar Zahra yang ternyata dikunci dari dalam.Rommy heran karena tidak biasanya Zahra tidur dengan pintu kamar terkunci. Untungnya, dirinya selalu antisipasi dengan menyediakan kunci cadangan. Tanpa pikir panjang, Rommy mengambil kunci cadangan yang ia simpan di lemari penyimpanan khusus dakam kamarnya.Perasaannya sudah tak karuan saat kembali melangkah cepat ke kamar Zahra dan membuka pintunya. Kamar Zahra gelap karena semua korden masih tertutup rapat hingga Rommy pun menyalakan lampu terlebih dahulu sebelum melangkah ke jendela dan membuka semua kordennya. Setelahnya, ia membalikkan badan dengan maksud membangunkan Zahra, tapi pemandangan di tempat tidur yang ia lihat sungguh membuatnya terkejut.Rommy tak perlu bert
Aaro menunggu Zahra kembali dari kamar mandi sambil bersembunyi di balik pintu kamar Zahra. Kamar Zahra tidak dilengkapi dengan kamar mandi dalam karena memang bukan kamar utama.Sesekali, Aaro mengintip untuk melihat apakah Zahra sudah akan kembali ke kamar, tapi rupanya dia masih berada di dalam kamar mandi.Baru beberapa menit, Aaro sudah berdecak tak sabar dan hampir saja berderap menerobos ke dalam kamar mandi untuk menyusul Zahra jika saat itu dirinya tak melihat bahwa Rommy sedang menonton TV di ruang tengah.Aaro menyandarkan punggungnya ke dinding di belakang pintu sambil merapatkan kedua lengannya ke samping tubuhnya. Ia takut jika tiba-tiba saja dirinya nekat keluar dari tempat persembunyiannya dan menyongsong Zahra di depan kamar mandi. Ohh, rasa rindu yang sudah menggelegak di dalam dirinya membuat akal sehatnya sulit untuk dikendalikan.Setelah hampir tiga puluh menit berlalu, Aaro bersorak dalam
Aaro terjengkang ke belakang saat Zahra tiba-tiba berdiri dan mendorongnya dengan keras. Selama beberapa saat dirinya hanya bisa diam dan terkejut. Namun, saat menyadari bahwa Zahra berusaha kabur darinya, ia pun bergegas berdiri dan berlari mengejar."Cinta!" Aaro berteriak sambil berlari cepat mengejar Zahra yang sudah berada jauh di depannya dan menghilang dari pandangan. Aaro mempercepat larinya agar bisa menyusul sang istri, tapi saat sampai di belokan, ia tak lagi bisa melihat Zahra.Aaro mengatur napas sambil mengedarkan pandangan ke sekitar. Zahra tak mungkin pergi jauh. Ia yakin sekali jika istrinya itu masih berada di sekitarnya dan bersembunyi karena ia sudah hafal betul bahwa Zahra tak mungkin bisa kabur dengan dengan cepat tanpa jatuh atau tersandung kakinya sendiri. Jadi, saat ini Aaro berdiri diam sambil mengamati area di sekelilingnya, mencari tempat yang sangat memungkinkan untuk dijadikan persembunyian istrinya itu. Namun,
Aaro menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur selepas berendam air hangat untuk melepas penat. Ia melipat kedua tangan di belakang kepala sambil menatap langit-langit kamar. Bayangan Zahra terbaring di kamar mandi bersimbah darah terus menghantui pikirannya. Seharusnya, saat ini ia masih terus mencari tahu keberadaan Zahra, bukan malah buang-buang waktu dengan datang ke pulau kecil ini. Bisa jadi, ketika dirinya berhenti mencari, Zahra akan pergi semakin jauh dan tak terjangkau.Tiba-tiba saja Aaro sadar, bahwa dirinya tak bisa tinggal lebih lama lagi di Batam. Ia harus segera kembali dan mulai melacak keberadaan Zahra. Huft! Aaro mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya kemudian bangkit dari tempat tidur untuk mengambil ponsel yang masih ada meja depan TV.Aaro menghubungi sang ayah dan mengatakan bahwa dirinya ingin pulang saja besok. Ia menyampaikan banyak alasan yang semua tentunya berhubungan dengan pencarian Zahra, tapi sial, a
"Melamun lagi?"Zahra meboleh dan melihat ayah tirinya melangkah pelan menghampirinya. Zahra tersenyum malu karena sekali lagi terpergok melamun."Bosan ya?" Rommy terkekeh sambil duduk di kursi di hadapan Zahra. Saat ini mereka berada di Batam, selain untuk mempermudah akses saat Zahra harus melakukan kontrol ke Singapura, juga karena Rommy baru saja menerima sebuah tawaran kontrak di salah satu rumah sakit di Batam. Ia tak pikir panjang dan langsung menerima tawaran itu karena memang untuk sementara waktu dirinya belum bisa kembali ke Korea Selatan untuk mendampingi proses pemulihan Zahra. Dari Batam, hanya membutuhkan waktu kurang lebih tiga puluh menit saja untuk menyeberang ke Singapura. Ditambah saat ini istrinya, Fatma sedang hamil muda dan sering mengalami mual yang hebat hingga belum memungkinkan untuk melakukan perjalanan jauh."Kurang nyaman ya apartemennya?" Rommy bertanya dengan nada meminta maaf, "di sini yang l
Rommy mengepalkan sebelah tangannya dengan wajah geram melihat Zahra terbaring lemah di IGD, sementara sebelah tangannya yang lain masih merangkul pundak istrinya yang bergetar oleh tangis. Zahra mengalami pendarahan hebat hingga kehilangan bayinya. Beruntung rumah sakit ini menyediakan golongan darah yang sesuai untuknya, sehingga bisa segera diberikan transfusi. Bagaimana jadinya jika tidak ada? Itulah mengapa Fatma masih begitu terpukul melihat kondisi putrinya.Siang ini mereka baru saja sampai dari Korea Selatan untuk menjenguk Zahra yang katanya harus bed rest karena kandungan lemah, tapi yang mereka dapati ternyata jauh lebih parah daripada itu. Tentu saja ini membuat Fatma begitu sedih dan Rommy sebagai ayah tiri Zahra--sudah menganggapnya seperti putri kandung sendiri-- murka.Kepala Rommy memutar berbagai rencana dan juga apa-apa saja yang harus dilakukan demi kesembuhan dan pemulihan Zahra baik fisik maupun psikis. Diriny
Satu bulan lebih sudah berlalu, Aaro masih merasa sangat berduka. Setiap harinya hanya ia habiskan dengan melamun, menangis dan menyalahkan diri sendiri. Terkadang ia sampai tak sadarkan diri akibat terlalu tertekan oleh rasa sedih dan juga rasa bersalah.Selama itu, semua bisnis dan tanggung jawab Aaro diambil alih pengelolaannya oleh ayah dan juga kakak-kakak lelakinya. Entah sampai kapan, karena Aaro terlihat tak lagi memiliki semangat hidup. Bahkan ketika ia diminta menjaga Alea di klinik pun, ia melakukannya hanya sambil lalu saja. Kebanyakan dia hanya diam dan terus merindukan Zahra. Kesedihan karena kondisi Alea yang masih belum juga membaik ternyata tak sesakit saat mengetahui Zahra tak ada lagi bersamanya.Aaro melangkah tanpa arah di dalam rumah ayahnya—selama masa berduka ini, dirinya masih tinggal bersama orangtuanya dan belum kembali ke bengkel—dan sampailah di garasi. Tatapannya jatuh pada motor miliknya yang khusus ia beli agar lebih sesuai dengan Zahra. I
Tubuh Aaro lemas. Rasanya tak ada lagi tenaga dan semangat yang tersisa. Ia jatuh berlutut di lantai, di samping sosok tubuh yang terbaring di atas tempat tidur di ruang IGD dengan seluruh tubuh mulai kaki sampai ujung kepala tertutup kain putih.Tak ada air mata dan isak tangis. Hanya rasa kebas dan hampa seakan seluruh organ dalam tubuhnya telah dicabut paksa. Syok. Ia ingin berdiri dan memeluk tubuh yang terbujur kaku itu, tapi seluruh sel dalam tubuhnya seakan mati dan berhenti bekerja.Saat dua orang mengapit lengannya dan membawanya keluar dari ruang IGD, ia tak kuasa melawan. Dirinya masih terlalu terkejut dengan keadaan yang ada. Rasanya, baru beberapa jam yang lalu dirinya bersama dengan Zahra, tapi sekarang ...."Apa instruksi Aidan?" Seseorang berbicara dari sebelah kiri Aaro."Sebentar, aku bacakan lagi pesannya." Pria di sebelah kanan Aaro menjawab sambil merogoh saku celananya untuk mengeluarkan