"Shit!" Aaro mengumpat pelan.
Saat ini, Aaro sedang berada di dalam sel tahanan sementara di kantor polisi. Ia menarik napas panjang kemudian mengembuskannya dengan keras ketika melihat seorang petugas polisi menunjuk ke arah selnya. Bukan polisi itu yang membuatnya kesal, tapi rombongan keluarganya yang membuat dirinya seperti mendapat mimpi buruk.
Seketika Aaro berdiri dari duduknya dan melangkah ke pagar jeruji untuk menyambut kedatangan keluarganya. Firasatnya mengatakan jika akan ada kejadian buruk yang menimpa dirinya. Apalagi ketika melihat ekspresi datar dan dingin ayahnya yang saat ini berjalan mendahului anggota keluarga yang lain menghampiri sel tahanannya.
"Ayah, Aaro bersumpah tidak melakukan apapun! Ini salah paham!" Aaro berusaha menjelaskan begitu sang Ayah sudah berdiri di depan sel tahanannya.
"Namamu Zahra?" Bukannya menjawab sang putra, Aidan Blackstone—ayah Aaro—justru mengarahkan pandangannya ke sudut belakang sel tahanan di mana seorang gadis tengah duduk meringkuk sambil memeluk lututnya.
Zahra yang sedang merebahkan kepala di atas lututnya yang ditekuk pun mendongak ketika mendengar namanya disebut. Matanya membuka lebar saat melihat seseorang pria berbadan tegap dengan wajah dipenuhi bekas luka sedang menatap tajam dirinya. Dahinya mengerut untuk mengingat siapa pria itu, karena dirinya merasa tidak mengenal pria itu, tapi mungkin saja dia adalah salah satu pelanggan di kelab. Di samping pria itu, berdiri seorang wanita muda yang terlihat kalem dan baik hati sedang tersenyum lembut ke arahnya. Meski tersenyum, Zahra masih bisa melihat sisa-sia air mata di wajah wanita itu.
"Aku Aidan Blackstone dan ini istriku Carmila." Aidan tersenyum tipis seraya memperkenalkan diri. "Saat ini ibumu sedang berada di rumah sakit," ia menambahkan.
"Ibu?!" Zahra terkejut dan seketika berdiri menghampiri Aidan. "Apa yang terjadi? Ada apa dengan ibu saya?"
"Tidak ada yang serius. Ibumu hanya pingsan, tapi kami sudah membawanya ke rumah sakit dan untuk sementara ini, ibumu memerlukan banyak istirahat." Carmila menjelaskan sambil mengulurkan tangannya masuk ke dalam sel untuk mengusap lembut lengan Zahra. Ia mendesah pelan ketika mengingat kembali ucapan dokter mengenai kondisi ibu Zahra. Memang tidak ada yang serius, tapi dokter menemukan beberapa kejanggalan saat melakukan pemeriksaan dan menyimpulkan bahwa ibu Zahra pernah atau bahkan sering mengalami penyiksaan secara fisik. Namun, Carmila tak sampai hati untuk mengatakan hal itu pada Zahra.
"Dia hanya kelelahan dan terlalu terkejut ketika mengetahui putrinya dibawa ke kantor polisi. Jangan terlalu khawatir."
Zahra mengembuskan napas lega. "Syukurlah. Ehh ... te-terima kasih banyak. Maaf, kalau boleh tau, Anda berdua siapa? Teman ibu atau pelanggan di kelab?"
"Kami orang tua Aaro." Aidan memiringkan kepalanya sedikit ke arah sang putra.
"Aaro?" Kepala Zahra menoleh ke samping, ke arah pemuda yang tadi sudah menolongnya di kelab, tapi justru mengalami nasib sial karenanya. Seringai sinis pemuda itu menjelaskan bahwa dialah yang bernama Aaro. Ia pun buru-buru mengalihkan pandangannya dan kembali menghadap orang tua Aaro. "Ehm, sekali lagi terima kasih banyak sudah menolong ibu saya."
Carmila mengangguk sambil tersenyum menenangkan. "Sama sekali bukan masalah. Kami senang bisa membantu." Matanya menatap iba gadis di hadapannya itu. Saat di rumah sakit tadi, dirinya ikut mendengarkan laporan Damian—orang kepercayaan keluarga Blackstone—mengenai latar belakang Zahra dan ibunya. Sungguh, dirinya tak sampai hati membayangkan kehidupan yang harus dialami oleh Fatma—ibu Zahra.
Fatma berasal dari desa yang jauh dan terpencil. Saat usianya baru 16 tahun, ia datang ke kota untuk mengadu nasib atas ajakan salah seorang kerabatnya yang telah sukses di kota. Awalnya, kerabat Fatma mengatakan bahwa majikannya sedang membutuhkan tambahan pekerja di rumahnya. Dia juga berkata bahwa gaji yang akan diterima Fatma cukup besar, sangat cukup untuk menyokong kehidupan keluarganya di kampung bahkan berlebih.
Setelah sampai di kota, ternyata yang terjadi jauh sekali dari bayangan Fatma. Kerabat yang berjanji untuk mencarikan pekerjaan justru menjual Fatma kepada salah seorang mucikari di tempat pelacuran yang cukup elit di kota.
Awalnya, Fatma masih berusaha kabur, tapi akhirnya tertangkap dan langsung dijual kepada seorang pengusaha asal Pakistan untuk dijadikan simpanan selama pengusaha itu berada di negara ini. Karena tidak memiliki pengalaman dan pengetahuan yang cukup tentang hubungan biologis dan dampaknya, akhirnya Fatma pun hamil Zahra. Namun, saat dirinya mengetahui tentang kehamilannya, pria itu sudah kembali ke negaranya dan tak pernah kembali lagi sampai saat ini.
Di tengah kebingungannya karena hamil tanpa memiliki suami sah, seorang Mama dari sebuah rumah pelacuran menawarkan bantuan kepada ibu Zahra. Melihat kecantikan Fatma yang pastinya merupakan aset berharga untuk bisnisnya, dia bersedia menampung dan membiayai semua kebutuhan Fatma selama hamil, asalkan setelah anaknya lahir, Fatma bersedia menjadi salah satu pekerja seks di tempatnya dan perjanjian itu harus tertulis di atas materai agar Fatma tidak bisa ingkar.
Fatma tak memiliki pilihan, selain tidak memegang uang sama sekali dan tidak memiliki tempat tinggal, ia berpikir jika pulang ke kampung pun justru akan menimbulkan aib bagi keluarganya. Akhirnya, ia menyutujui penawaran Mama itu dengan syarat, dirinya tetap diizinkan untuk merawat Zahra bersamanya.
Sekuat tenaga, Fatma selalu mengusahakan yang terbaik untuk Zahra. Fatma tidak ingin hidup sang putri berakhir seperti dirinya. Oleh karena itu, ia pun terus mendorong sang putri agar bisa menyelesaikan pendidikannya sampai jenjang kuliah. Tak jarang, dirinya rela melayani dua atau tiga pria sekaligus dalam semalam untuk mendapatkan penghasilan lebih agar bisa membayar biaya sekolah sang putri.
Tak hanya itu, Fatma juga rutin melakukan perawatan terhadap tubuhnya agar tetap menarik dan laku untuk dijual sampai saat nanti sang putri berhasil lulus kuliah dan mendapat pekerjaan yang layak. Namun, ketika mengetahui sang putri yang ia harapkan kesuksesannya justru terjaring razia dan dibawa ke kantor polisi karena berbuat mesum bersama seorang pemuda di kelab, Fatma seperti kehilangan pegangan hidup. Tujuan utama hidupnya selama ini telah pupus dan dirinya sudah tak sanggup lagi untuk terus menjalani pekerjaan kotornya di kelab. Hal inilah yang membuatnya begitu terpukul hingga tak sadarkan diri dan dilarikan ke rumah sakit.
Carmila mengusap setitik air mata di sudut matanya kemudian kembali tersenyum pada Zahra. "Setelah ini, semua akan baik-baik saja. Percayalah padaku dan suamiku." Ia menoleh ke arah sang suami sambil mengangguk samar.
"Kalian tahu bahwa penggerebekan di kelab tadi diliput oleh media?" Aidan bertanya sambil menatap bergantian Aaro dan Zahra.
"Ayah, ini semua salah paham!" Aaro berkata frustrasi, berharap sang ayah bisa memercayai dirinya.
"Ayah ingin sekali percaya padamu Aa, tapi bagaimana jika gambar yang tersebar di media seperti ini?" Aidan menyerahkan selembar foto kepada Aaro.
"Ini tidak mungkin!" Aaro syok melihat gambar yang ditunjukkan sang ayah padanya. Foto itu menampilkan gambar dirinya yang sedang berbaring di atas tempat tidur, sementara Zahra berada di atas tubuhnya. Memang sekilas terlihat intim, tapi kejadiannya sama sekali tidak seperti yang dituduhkan!
"Benar atau tidaknya kalian berbuat mesum, masyarakat tidak akan mau tau atau mencari kebenaran yang sesungguhnya. Mereka melihat bukti Aa," Aidan menatap tajam sang putra, "pikirkan dampaknya jika kabar ini semakin meluas."
Aaro mematung di tempatnya. Pikirannya buntu. Ia tidak bisa memperkirakan apa yang akan terjadi jika kabar dan gambar itu tersebar luas di masyarakat. Seandainya memang hal itu akan menimbulkan skandal, lalu kenapa? Toh, selama ini dirinya tak pernah bergaul dengan masyarakat luas.
"Kau dan dia," Aidan mengedik ke arah Zahra, "bisa dikucilkan dari masyarakat. Kalian di-bully bahkan mungkin diusir dari kota ini. Bagimu tidak akan terlalu berdampak Aa, Ayah bisa saja mengirim kamu ke tempat yang jauh dan kembali setelah rumor itu dilupakan, tapi bagaimana dengan gadis itu dan ibunya?"
Aaro menganga mendengar penjelasan sang ayah. "Lalu apa yang harus Aa lakukan? Aa benar-benar tidak melakukan apapun!"
Aidan tersenyum samar. "Ada satu cara untuk membuat rumor itu berhenti dengan sendirinya."
"Apa?"
"Mereka tidak akan mempermasalahkan foto itu jika kalian adalah sepasang suami istri."
"Maksud ayah, kita harus berbohong dengan mengatakan bahwa Zahra adalah istri Aaro?!" Aaro menatap sang Ayah dengan ekspresi tak percaya.
"Tidak. Ayah tak suka berbohong," Aidan tergelak melihat wajah horor sang putra, "tentu saja kau harus menikah dengannya."
"Apa?!"
Baik Aaro maupun Zahra sama-sama terkejut mendengar perkataan Aidan.
"Tapi, Ayah ...."
"Tak ada jalan yang lebih baik dari itu, Aa. Itu solusi paling cemerlang untuk semua."
Aaro mengerang sambil mengusap wajah dengan kedua tangannya. Ohh, memang dirinya sudah banyak mendengar bahwa ayahnya itu sinting, tapi tidak menyangka jika ayahnya bisa sampai meminta dirinya menikah di usia yang masih begini muda.
Menolak? Yang benar saja! Ucapan Aidan sudah seperti titah kerajaan yang wajib dipatuhi oleh semua anggota keluarga dan para pekerjanya. Aaro tak akan pernah memiliki kesempatan untuk mengelak dengan semua kekuasaan yang dimiliki oleh Aidan Blackstone.
"Apa sekarang kau hanya akan mementingkan keselamatan masa depanmu sendiri tanpa peduli pada mereka yang lemah dan tak berdaya?" Aidan mendesak dengan tatapan tajam menusuk. Meski begitu, jika diamati dengan lebih jelas lagi, sudut-sudut mulutnya sedikit bergetar menahan tawa melihat wajah horor dan frustrasi sang putra.
"Tidak adakah cara lain?" Aaro bertanya putus asa. "Ayah bisa melakukan banyak hal. Tidak bisakah Ayah mengirim dia dan ibunya ke tempat baru di mana tak seorang pun akan peduli dengan gosip ini?"
"Kenapa ayah harus melakukan itu? Kau yang berbuat, kau juga yang harus bertanggung jawab!"
Aaro mendesah tak berdaya melihat seringai menjengkelkan ayahnya. Kepalanya bergerak sedikit ke samping untuk melirik gadis yang sudah membuat kehidupannya menjadi rumit. Selama sedetik, dirinya sempat berpikir untuk membiarkan saja gadis itu menanggung sendiri akibat dari kecerobohannya sendiri—yang menyenggol gelas pelanggan di kelap adalah gadis itu sendiri dan yang terjatuh menimpa tubuhnya juga gadis itu sendiri—sebagai pengalaman berharga agar ke depannya dia bisa bersikap lebih hati-hati. Namun, saat matanya menangkap wajah lugu dan sendu Zahra yang seperti bayi, ia pun tak sampai hati untuk membiarkan gadis itu menanggung semua risiko sendirian.
Aaro mengembalikan tatapannya ke wajah sang ayah dan bertanya kapan pernikahan mereka akan dilaksanakan. Ia berharap pernikahan itu tidak digelar secara meriah mengingat dirinya yang masih berstatus pelajar SMA. Apalagi jika hanya dilakukan untuk mencegah skandal yang mungkin saja terjadi, tapi bisa saja tidak terjadi.
Namun, lagi-lagi Aaro dibuat tak berkutik ketika sang ayah berkata bahwa pernikahan mereka akan dilaksanakan saat itu juga karena semua sudah dipersiapkan. Dengan pengaruh besar yang dimiliki oleh keluarga Blackstone, bukan hal mustahil untuk melobi beberapa pihak agar bisa mempersiapkan pernikahan ini dengan kilat.
Beberapa menit kemudian, baik Aaro maupun Zahra benar-benar tak bisa mengelak lagi. Di dalam sel tahanan dan disaksikan oleh beberapa petugas polisi, mereka berdua dinikahkan.
"Sekarang, kalian sudah sah menjadi suami istri," ujar Aidan puas.
Sementara itu, Zahra masih linglung dan belum sepenuhnya menyadari apa yang terjadi. Rasanya, semua tejadi begitu cepat dan tidak disangka-sangka. Sekarang statusnya sudah berubah menjadi istri orang.
Dengan kepala menunduk, Zahra menoleh ke samping untuk melihat dengan lebih teliti sosok pemuda yang baru saja mengikrarkan janji suci pernikahan dengan dirinya. Ia mencelos mendapati pemuda yang bernama Aaro itu terus menatap tajam ke arahnya dengan ekspresi siap membunuh. Dalam hatinya terus berdoa supaya tidak ada gosip yang tersebar luas mengenai razia yang terjadi di kelab malam tadi karena masih banyak mimpi yang harus ia wujudkan. Bukan hanya impiannya sendiri, tapi juga impian ibunya.
***
Zahra memandang berkeliling kamar perawatan ibunya di rumah sakit. Bukan hanya bisa dibilang bagus, tapi sangat mewah. Di sudut ruangan terdapat sebuah kitchen set dengan desain elegan dilengkapi lemari pendingin dua pintu berukuran besar. Tak hanya itu, di sana juga terdapat satu set meja makan berbentuk persegi dengan sebuah kursi bersandaran tinggi di setiap sisinya.Di sudut lain ruangan, Zahra melihat sebuah ruangan lain dengan pintu geser yang sedang terbuka. Dari tempatnya duduk saat ini, ia bisa melihat di dalam ruangan itu terdapat sebuah tempat tidur berukuran single untuk penunggu pasien. Sementara di depan pintu geser itu pun disediakan satu set sofa berwarna khaki dengan meja oval di tengahnya untuk menerima tamu yang datang menjenguk.Zahra mengembuskan napas panjang melihat semua kemewahan ini. Ia tak bisa membayangkan berapa tarif di dalam kamar ini per harinya. Bahkan mungkin gajinya sebagai pelayan di kela
Setelah menghentikan mobilnya di bawah sebuah pohon rindang depan gedung perkuliahan Zahra, Aaro mengirim pesan kepada istrinya itu untuk memberitahu bahwa dirinya sudah sampai di depan dan meminta gadis itu supaya bergegas.Sebetulnya Aaro enggan sekali dengan urusan jemput menjemput ini. Namun apa daya, jika sudah kepala suku yang memberi titah, maka itulah yang harus dilaksanakan. Di sinilah ia sekarang, menjemput Zahra kemudian mengantar gadis itu ke kelab untuk mengemasi barang-barangnya karena mulai sekarang dia akan tinggal di kediaman Blackstone.Aaro menarik napas panjang seraya memejamkan mata. Sampai detik ini, dirinya masih menyesali pernikahan Alea, tapi anehnya beberapa hari belakangan ini semenjak dirinya disibukkan dengan urusan Zahra dan ibunya yang berada di rumah sakit, dirinya hampir tak memiliki waktu untuk memikirkan Alea. Bahkan rasa sakit karena ditinggal menikah oleh Alea pun sudah tak sesakit sebelumnya. Semua i
Zahra mendesah dengan bahu terkulai. Hari ini adalah hari bersejarah yang tidak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya. Akhirnya, ia dan ibunya bisa meninggalkan kelab yang merupakan impian dan cita-cita mereka sejak lama. Meski tidak tinggal bersama, tapi Zahra tetap merasa bersyukur karena setelah ini, ibunya tak perlu lagi menderita dan mendapat perlakuan buruk dari orang-orang di kelab.Awalnya, Zahra merasa berat untuk berpisah dengan ibunya. Ia menangis dan memaksa untuk ikut tinggal bersama dengan ibunya, tapi ibunya menolak dengan alasan Zahra sudah memilik suami dan wajib mengikuti suaminya. Selain itu, ruko yang disediakan oleh keluarga Blackstone untuk ditempati ibunya juga jaraknya terlalu jauh dengan kampus Zahra.Zahra mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar. Saat ini, ia sudah berada di kamar Aaro atau bisa dibilang sekarang ini juga kamarnya. Sesaat tadi dirinya sempat mengira bahwa Aaro menunjukkan ruangan yang sa
Zahra meratakan bedak bayi ke seluruh wajah dan memoleskan sedikit lipgloss warna untuk membuat wajahnya yang pucat agar terlihat lebih segar. Ia menatap bayangan wajahnya sendiri dalam cermin yang balas menatapnya dengan ekspresi murung. Hatinya masih sakit dengan tuduhan yang diarahkan Aaro padanya semalam. Besar kepala, sok ikut campur dan berusaha menggantikan posisi Alea di hatinya?Andai Aaro tahu bahwa dirinya juga tidak menyukai pernikahan ini.Memang awalnya Zahra menerima pernikahan ini dengan penuh rasa syukur karena selain bisa terbebas dari kehidupan di kelab, ayah mertuanya juga mengatakan akan mengambil alih segala bentuk tanggung jawab atas dirinya dari ibunya. Tentu saja Zahra merasa senang karena itu berarti dirinya tak perlu membebani ibunya lebih lama lagi. Ia ingin ibunya bisa merasakan kebebasan untuk bahagia. Namun, ucapan Aaro semalam membuat Zahra sadar bahwa tidak seharusnya dirinya memanfaatkan pernikahan ini.
Jam dinding di kamar Aaro sudah mengaum sepuluh kali, itu artinya waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Namun, Zahra sepertinya tidak menyadari itu. Ia terlalu larut dalam pekerjaannya mengoreksi tugas dari murid-muridnya di sekolah yang sangat menguras tenaga dan pikiran. Jawaban yang diberikan oleh murid-muridnya kebanyakan berupa narasi panjang yang berputar-putar dan tidak langsung pada pokoknya."Sudah larut," ujar Aaro yang sejak tadi menunggui Zahra. Tidak hanya menunggui, Aaro bahkan mengamati setiap gerak gerik Zahra tanpa sepengetahuan gadis itu—seakan tidak ada pekerjaan yang lebih menyenangkan selain itu—sambil duduk di atas sofa, sementara Zahra bersila di lantai."Belum selesai," gumam Zahra tanpa menatap Aaro. Dahinya berkerut dengan bibir mengerucut beberapa senti ke depan saat membaca jawaban salah satu muridnya yang sungguh memeras otak."Aku ngantuk." Aaro menjulurkan kakinya unt
"Mana dia?" Aaro yang baru saja menghambur ke dalam ruang makan bertanya karena tidak melihat ada Zahra di sana."Zahra? Dia sudah berangkat beberapa menit yang lalu," Carmila tersenyum keibuan kemudian berdiri menyambut sang putra."Jalan ke halte?" tanya Aaro dengan nada jengkel sekaligus marah. Bukan marah kepada bundanya, tapi kesal pada dirinya sendiri yang bangun kesiangan dan yang menjengkelkan adalah Zahra sama sekali tidak berusaha membangunkan dirinya.Aaro mengerang pelan sambil mengusap wajah dengan telapak tangannya. Ia tahu apa yang mereka lakukan semalam adalah kali pertama untuk Zahra, jadi pasti akan terasa tidak nyaman bagi Zahra. Apalagi jika dia sampai harus berjalan jauh dari rumahnya ke halte."Tadi Om Damian mampir sebentar untuk mengambil beberapa berkas yang harus dibawa ke luar kota. Jadi, Ayah meminta tolong untuk mengantar Zahra sekalian. Kebetulan satu arah kan?" Aidan menjawab san
"Aa, ini di sekolah," desah Zahra di sela-sela ciuman Aaro yang terus menuntut. Bukannya menjawab, Aaro justru semakin menyudutkan dirinya hingga punggungnya menyentuh besi tempat tidur yang dingin.Masih sambil mencium bibir Zahra, Aaro membungkuk sedikit agar bisa mengangkat tubuh Zahra dan mendudukkannya ke atas tempat tidur. Kebutuhannya sudah mendesak dan menuntut pemuasan dengan segera, tapi ia tak bisa terburu-buru karena semua ini masih memerlukan penyesuaian bagi Zahra. Ia harus memastikan istrinya itu betul-betul sudah siap sebelum menyatukan diri.Zahra menancapkan kukunya pada lengan telanjang Aaro ketika cumbuan suaminya itu mulai turun dari wajah ke leher dan semakin turun hingga bagian bawah dirinya. Ia menggigit bibirnya dengan kuat—mencegah teriak kenikmatan lolos dari bibirnya—ketika Aaro menyentuh daerah sensitifnya dan ketika sentuhan itu semakin intens, ia seperti hilang akal dengan terus meracau memi
Zahra mengelap gelas terakhir yang ada di dapur dan memasukkannya ke dalam rak dengan gerakan yang sangat pelan. Ia berharap untuk bisa berlama-lama di dapur keluarga Blackstone karena tidak ingin segera kembali ke kamar.Zahra sedang ingin menjaga jarak dengan Aaro. Pikirannya selalu kacau dan terpedaya ketika berada dekat dengan suami brondongnya itu, seakan bukan dirinya saja. Namun, sejak sepulang sekolah sampai saat malam tadi, Aaro terus saja menempel padanya. Ke mana pun dirinya bergerak, pemuda itu mengekor di belakangnya membuat dirinya risih dan gelisah.Desah tertahan lolos dari dalam dadanya ketika mengingat sikap Aaro yang menjadi begitu berbeda padanya dibanding saat awal pernikahan mereka dulu.Apakah ini karena Aaro merasa dirinya mudah untuk dimanfaatkan?Bahunya terkulai mengingat bagaimana cara Aaro menatapnya saat makan malam tadi. Begitu intens dan tidak berpaling sedetik pun membuatnya salah ting
Tangan mereka saling bertautan saat berjalan beriringan untuk menyapa kerabat dan Sabahat yang datang di acara resepsi pernikahan sederhana mereka ini. Resepsi yang diadakan secara dadakan oleh ayah mereka, Rommy dan Aidan. Bertempat di sebuah resort di pinggiran kota Batam yang berhadapan langsung dengan negara Singapura.Siang ini, rombongan sahabat dan keluarga mendarat di bandara Hang Nadim dan langsung menuju ke resort yang sudah dibooking seluruhnya. Kamar-kamar pun sudah dibagi dan sore ini, perayaan mereka digelar outdoor di dermaga resort. Suara debur ombak, suasana senja dan kelap kelip lampu dari Singapura yang terlihat jelas menjadi latar yang sangat untuk acara ini.Aaro membimbing Zahra untuk mengucapkan terima kasih atas kehadiran dan doa yang diberikan oleh keluarga dan sahabat-sahabat keluarga mereka. Sungguh membahagiakan mereka semua bisa hadir meski undangan yang dikirim ayahnya begitu mendadak. Bukan undangan, teta
Rommy mengetuk kamar Zahra beberapa kali untuk membangunkan putrinya itu, tapi belum juga ada jawaban. Ia mulai khawatir terjadi sesuatu dengan putri tirinya itu mengingat apa yang sering terjadi sebelumnya. Ia pun mencoba membuka pintu kamar Zahra yang ternyata dikunci dari dalam.Rommy heran karena tidak biasanya Zahra tidur dengan pintu kamar terkunci. Untungnya, dirinya selalu antisipasi dengan menyediakan kunci cadangan. Tanpa pikir panjang, Rommy mengambil kunci cadangan yang ia simpan di lemari penyimpanan khusus dakam kamarnya.Perasaannya sudah tak karuan saat kembali melangkah cepat ke kamar Zahra dan membuka pintunya. Kamar Zahra gelap karena semua korden masih tertutup rapat hingga Rommy pun menyalakan lampu terlebih dahulu sebelum melangkah ke jendela dan membuka semua kordennya. Setelahnya, ia membalikkan badan dengan maksud membangunkan Zahra, tapi pemandangan di tempat tidur yang ia lihat sungguh membuatnya terkejut.Rommy tak perlu bert
Aaro menunggu Zahra kembali dari kamar mandi sambil bersembunyi di balik pintu kamar Zahra. Kamar Zahra tidak dilengkapi dengan kamar mandi dalam karena memang bukan kamar utama.Sesekali, Aaro mengintip untuk melihat apakah Zahra sudah akan kembali ke kamar, tapi rupanya dia masih berada di dalam kamar mandi.Baru beberapa menit, Aaro sudah berdecak tak sabar dan hampir saja berderap menerobos ke dalam kamar mandi untuk menyusul Zahra jika saat itu dirinya tak melihat bahwa Rommy sedang menonton TV di ruang tengah.Aaro menyandarkan punggungnya ke dinding di belakang pintu sambil merapatkan kedua lengannya ke samping tubuhnya. Ia takut jika tiba-tiba saja dirinya nekat keluar dari tempat persembunyiannya dan menyongsong Zahra di depan kamar mandi. Ohh, rasa rindu yang sudah menggelegak di dalam dirinya membuat akal sehatnya sulit untuk dikendalikan.Setelah hampir tiga puluh menit berlalu, Aaro bersorak dalam
Aaro terjengkang ke belakang saat Zahra tiba-tiba berdiri dan mendorongnya dengan keras. Selama beberapa saat dirinya hanya bisa diam dan terkejut. Namun, saat menyadari bahwa Zahra berusaha kabur darinya, ia pun bergegas berdiri dan berlari mengejar."Cinta!" Aaro berteriak sambil berlari cepat mengejar Zahra yang sudah berada jauh di depannya dan menghilang dari pandangan. Aaro mempercepat larinya agar bisa menyusul sang istri, tapi saat sampai di belokan, ia tak lagi bisa melihat Zahra.Aaro mengatur napas sambil mengedarkan pandangan ke sekitar. Zahra tak mungkin pergi jauh. Ia yakin sekali jika istrinya itu masih berada di sekitarnya dan bersembunyi karena ia sudah hafal betul bahwa Zahra tak mungkin bisa kabur dengan dengan cepat tanpa jatuh atau tersandung kakinya sendiri. Jadi, saat ini Aaro berdiri diam sambil mengamati area di sekelilingnya, mencari tempat yang sangat memungkinkan untuk dijadikan persembunyian istrinya itu. Namun,
Aaro menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur selepas berendam air hangat untuk melepas penat. Ia melipat kedua tangan di belakang kepala sambil menatap langit-langit kamar. Bayangan Zahra terbaring di kamar mandi bersimbah darah terus menghantui pikirannya. Seharusnya, saat ini ia masih terus mencari tahu keberadaan Zahra, bukan malah buang-buang waktu dengan datang ke pulau kecil ini. Bisa jadi, ketika dirinya berhenti mencari, Zahra akan pergi semakin jauh dan tak terjangkau.Tiba-tiba saja Aaro sadar, bahwa dirinya tak bisa tinggal lebih lama lagi di Batam. Ia harus segera kembali dan mulai melacak keberadaan Zahra. Huft! Aaro mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya kemudian bangkit dari tempat tidur untuk mengambil ponsel yang masih ada meja depan TV.Aaro menghubungi sang ayah dan mengatakan bahwa dirinya ingin pulang saja besok. Ia menyampaikan banyak alasan yang semua tentunya berhubungan dengan pencarian Zahra, tapi sial, a
"Melamun lagi?"Zahra meboleh dan melihat ayah tirinya melangkah pelan menghampirinya. Zahra tersenyum malu karena sekali lagi terpergok melamun."Bosan ya?" Rommy terkekeh sambil duduk di kursi di hadapan Zahra. Saat ini mereka berada di Batam, selain untuk mempermudah akses saat Zahra harus melakukan kontrol ke Singapura, juga karena Rommy baru saja menerima sebuah tawaran kontrak di salah satu rumah sakit di Batam. Ia tak pikir panjang dan langsung menerima tawaran itu karena memang untuk sementara waktu dirinya belum bisa kembali ke Korea Selatan untuk mendampingi proses pemulihan Zahra. Dari Batam, hanya membutuhkan waktu kurang lebih tiga puluh menit saja untuk menyeberang ke Singapura. Ditambah saat ini istrinya, Fatma sedang hamil muda dan sering mengalami mual yang hebat hingga belum memungkinkan untuk melakukan perjalanan jauh."Kurang nyaman ya apartemennya?" Rommy bertanya dengan nada meminta maaf, "di sini yang l
Rommy mengepalkan sebelah tangannya dengan wajah geram melihat Zahra terbaring lemah di IGD, sementara sebelah tangannya yang lain masih merangkul pundak istrinya yang bergetar oleh tangis. Zahra mengalami pendarahan hebat hingga kehilangan bayinya. Beruntung rumah sakit ini menyediakan golongan darah yang sesuai untuknya, sehingga bisa segera diberikan transfusi. Bagaimana jadinya jika tidak ada? Itulah mengapa Fatma masih begitu terpukul melihat kondisi putrinya.Siang ini mereka baru saja sampai dari Korea Selatan untuk menjenguk Zahra yang katanya harus bed rest karena kandungan lemah, tapi yang mereka dapati ternyata jauh lebih parah daripada itu. Tentu saja ini membuat Fatma begitu sedih dan Rommy sebagai ayah tiri Zahra--sudah menganggapnya seperti putri kandung sendiri-- murka.Kepala Rommy memutar berbagai rencana dan juga apa-apa saja yang harus dilakukan demi kesembuhan dan pemulihan Zahra baik fisik maupun psikis. Diriny
Satu bulan lebih sudah berlalu, Aaro masih merasa sangat berduka. Setiap harinya hanya ia habiskan dengan melamun, menangis dan menyalahkan diri sendiri. Terkadang ia sampai tak sadarkan diri akibat terlalu tertekan oleh rasa sedih dan juga rasa bersalah.Selama itu, semua bisnis dan tanggung jawab Aaro diambil alih pengelolaannya oleh ayah dan juga kakak-kakak lelakinya. Entah sampai kapan, karena Aaro terlihat tak lagi memiliki semangat hidup. Bahkan ketika ia diminta menjaga Alea di klinik pun, ia melakukannya hanya sambil lalu saja. Kebanyakan dia hanya diam dan terus merindukan Zahra. Kesedihan karena kondisi Alea yang masih belum juga membaik ternyata tak sesakit saat mengetahui Zahra tak ada lagi bersamanya.Aaro melangkah tanpa arah di dalam rumah ayahnya—selama masa berduka ini, dirinya masih tinggal bersama orangtuanya dan belum kembali ke bengkel—dan sampailah di garasi. Tatapannya jatuh pada motor miliknya yang khusus ia beli agar lebih sesuai dengan Zahra. I
Tubuh Aaro lemas. Rasanya tak ada lagi tenaga dan semangat yang tersisa. Ia jatuh berlutut di lantai, di samping sosok tubuh yang terbaring di atas tempat tidur di ruang IGD dengan seluruh tubuh mulai kaki sampai ujung kepala tertutup kain putih.Tak ada air mata dan isak tangis. Hanya rasa kebas dan hampa seakan seluruh organ dalam tubuhnya telah dicabut paksa. Syok. Ia ingin berdiri dan memeluk tubuh yang terbujur kaku itu, tapi seluruh sel dalam tubuhnya seakan mati dan berhenti bekerja.Saat dua orang mengapit lengannya dan membawanya keluar dari ruang IGD, ia tak kuasa melawan. Dirinya masih terlalu terkejut dengan keadaan yang ada. Rasanya, baru beberapa jam yang lalu dirinya bersama dengan Zahra, tapi sekarang ...."Apa instruksi Aidan?" Seseorang berbicara dari sebelah kiri Aaro."Sebentar, aku bacakan lagi pesannya." Pria di sebelah kanan Aaro menjawab sambil merogoh saku celananya untuk mengeluarkan