Sore itu Daru baru saja kembali dari kantornya, dia mendapati Bayu sedang bermain basket di halaman samping. Anak lelaki yang menginjak masa remaja itu hanya melambaikan tangan padanya.
Daru memasuki rumah, nampak sepi seperti biasa. Rumah ini akan ramai dengan suara jika Anneke, ibu nya datang berkunjung. Sudah hampir dua minggu ini wanita paruh baya itu berada di Belanda.
Daru melangkah menaiki anak tangga menuju kamarnya melintasi kamar dimana Renya berada. Pintu kamar itu tidak tertutup rapat, Daru yakin wanita itu sedang berada di dalam sana.
Daru mengetuk pintu itu, sedikit melongokkan kepalanya, dia mendapati Renya sedang duduk di sisi tempat tidur, sepertinya batu saja mendapatkan telepon dari seseorang.
“Gimana, udah dapet yang kamu cari di Bali kemarin?” tanya Daru yang ikut duduk bersebelahan dengan Renya.
Renya menggeleng. “Belum.”
“Apa yang bisa aku bantu buat kamu?”
Renya menghela nafa
Brak! Ella melemparkan sepuluh alat tes kehamilan ke lantai kamarnya, Ella lalu berjalan hilir mudik seperti orang kurang waras di kamarnya. Kenapa semuanya sama? Kenapa hasilnya positif? Kenapa ia harus hamil?! Brak! Saking frustrasinya Ella menendang alat tes kehamilan tersebut hingga berserakan di lantai. Pikirannya kalut, rasa cemas langsung merayapi dirinya membuat Ella tiba-tiba merasakan tubuh yang mengigil. Bukan ... bukan karena merasa kedinginan, ia menggigil karena merasakan rasa cemas yang benar-benar memporak porandakan hidupnya. “Bagaimana kalau ibu tahu?” tanya Ella pada dirinya sendiri sambil menggigiti kuku jempolnya terus menerus, seakan dengan menggerogoti kukunya itu membuat kehidupannya menjadi lebih baik lagi. Setelah kemarin ia mencek apakah dirinya hamil atau tidak, hari ini ia mencoba mencek kembali dengan membeli beberapa buah alat tes kehamilan, lima belas buah lebih tepatnya. Bahkan pemilik apotek sampai kebingungan
Pagi itu, Daru masih menutup matanya, jika saja suara ketukan di balik pintu kamarnya itu tidak mengganggunya mungkin dia akan meneruskan tidurnya hingga siang nanti. Oh ayolah, dia masih berada di Bali, tempat dimana semua orang menghabiskan waktu bersantai menghilangkan segala penat. Rasanya Daru adalah salah satu diantara mereka yang ingin sekali saja mengistirahatkan tubuh dan otaknya. Ketukan itu semakin keras, masih mengenakan celana boxer tanpa kaos di tubuhnya, Daru membuka pintu kamar itu. Renya nampak sudah rapih dengan tampilan yang begitu santai, celana jeans dan kaos ketat yang melekat ditubuhnya. Ya, mereka tidur berbeda kamar, setelah kejadian malam pertama mereka yang gila itu. “Ru, baru bangun?” tanyanya masuk ke dalam tanpa menghiraukan Daru. “Iya ... badan aku capek banget, Nya.” “Tapi kita kan udah janji mau datengin bengkel itu, jangan bilang kamu lupa.” “Aku gak lupa, Nya ... aku kira kita pergi nanti sekitar jam 10 dan s
Hai, Renata “Aku udah bilang kemarin. Kamu nggak percaya—jangan panik. Tenang dulu ya. Aku di luar kota. Nanti, nyampe Jakarta, aku jemput kamu ke rumah. Kita ngobrol di apartemen aja. Ada yang mau aku sampein.” Daru terdiam sejenak mendengar jawaban Ella di telepon. “Jangan susah tidur. Jangan terlalu dipikirin. Maaf … Iya, kalo mau nunggu di apartemen juga nggak apa-apa. Jangan nangis, ya … nanti kamu malah sakit.” Tak lama, Daru mengakhiri pembicaraan dan kembali menoleh pada bengkel kecil di mana Renya berada. Daru sudah menebak apa yang akan dikatakan Ella di telepon. Entah kenapa, itu memang tidak terlalu mengejutkan. Tapi perasaan kalut yang dirasakannya saat berada di Jakarta perlahan mulai reda. Renya sudah menemukan apa yang dicarinya selama ini. Renya memandang David dan Renata bergantian. Lalu ia menoleh ke belakang tempat
“Aku mau kita cerai, Daru.” Tangis Renya terdengar memilukan di telinga Daru, tangis seorang ibu yang haknya diambil hanya demi status sosial dan martabat keluarga. Hanya demi itu semuanya, Bramantya memorak-porandakan kehidupan anak satu-satunya dan Daru. Egois. “Nya, kamu yakin?” tanya Daru sambil berusaha menenangkan Renya yang menangis. Renya mencoba menghirup napas dalam-dalam, Daru memeluknya dengan erat memberikan rasa aman pada Renya. “Aku nggak tahu, Daru. Tapi, aku ingin mengurus dan mencintai anak aku.” “Nya.” “Aku nggak bisa kaya gini, aku mau urus malaikat kecil aku, Ru. Dia cantik, dia mirip aku.” Renya mencengkeram kemejanya berjuang untuk meredakan rasa sakit yang membalutnya dengan sempurna. Sakit yang ia dapat karena merasa gagal menjadi seorang ibu, ia merasa tidak mampu mengurus anaknya. Menelantarkannya. “Sabar, Renya ... kita nggak bisa bercerai begitu saja, kamu tahu kan, apa yang akan orang tua kamu lakukan kala
Siang menjelang sore Daru tiba di Jakarta, dia langsung menuju apartemennya untuk menemui Ella di sana. Entah Ella ada atau tidak, tapi setidaknya dia harus pergi kesana memeriksa apakah Ella tidak berbuat yang aneh-aneh pada anak yang ada di rahim gadis itu. Astaga, Ella hamil ... Ella hamil anak aku gumam Daru menangkup bibirnya. Melepaskan pandangannya keluar jendela taksi yang membawanya menuju pada Ella. Daru bergegas turun dari taksi, melangkah lebar memasuki unit apartemen miliknya, dia berharap Ella ada di sana, menunggunya datang. Akses pintu apartemen berbunyi, apartemen itu terlihat sepi saat Daru masuk ke dalam. Tidak dia dapati gadis itu di sana, Daru melangkah lagi menuju ke kamarnya, dia bisa bernafas lega saat melihat Ella meringkuk di atas tempat tidur. Daru ikut berbaring di sisi gadis itu, Daru pandangi wajah Ella, helaian rambut yang menutupi wajahnya, Daru sematkan ke balik telinga gadis itu. W
Renya hilir mudik di dalam kamar yang disiapkan Daru di rumahnya. Di tangannya tergenggam beberapa lembar kertas formulir pengajuan perceraian. Ia sedang bimbang. Haruskah ia mengurus perceraian itu sendiri? Atau ia memerlukan jasa pengacara? Bukan biaya yang menjadi masalahnya. Ia khawatir dikenali. Informasi simpang siur bakal mudah singgah ke telinga orangtuanya. TOK. TOK. TOK. Renya menoleh pintu kamar. “Masuk,” pintanya kemudian. Tak lama, pintu terbuka. Daru muncul masih dengan pakaiannya ke kantor. Renya melirik jam di atas nakas. Sudah pukul sepuluh malam, tapi sepertinya Daru baru tiba. “Kamu baru pulang?” tanya Renya. Daru mengangguk kemudian masuk ke kamar dan merebahkan tubuhnya di ranjang. Renya menarik bangku kecil dari bawa meja rias. “Udah nemuin Bayu? Kamu harus biasain buat nanya dia ngapain aja seharian. Kasian,” kata Renya. “Aku baru nyampe. Dan aku
Waktu berjalan begitu lambat. Renya dan David terdiam di dalam taksi seakan sedang mengeja detik. Pertemuan itu memang bukan sesuatu yang harus dipenuhi layaknya janji. Mereka tak pernah menjanjikan apapun yang terucap. Karena mereka sadar, saat berjanji ada kepercayaan yang dipertaruhkan. Yang sekali tercederai mungkin nodanya akan membekas dan tak mudah hilang. Taksi memasuki halaman salah satu resor paling mahal di Nusa Dua. Renya sudah melirik David yang menoleh dan terlihat sedikit gelisah. Ia menduga sesaat lagi pria itu pasti akan mengungkapkan kesungkanannya. Bisa dibilang, dulu Renyalah yang mengejar cinta David. Pria kalem yang tidak banyak bicara dan tak pernah mengambil kesempatan mendekati para wanita yang sengaja berlama-lama mengobrol dengannya. Lima tahun yang lalu Renya mengintainya. Mendatangi showroom sesering mungkin dan mengatakan bahwa mobilnya terus bermasalah. Ia sampai khawatir kalau David
Mengenang Desahan “Ah ....” Suara desahan Renya terdengar merdu di kuping David, melecut hasrat David untuk meminta lebih. Hingga .... “Bapak, Ibu ....” Renya dan David terdiam mendengar suara Renata dari kamar sebelah, menghentikan kegiatan mereka. “Renata?” bisik Renya di telinga David pelan, Renya enggan melepaskan pelukannya, seandainya saja bukan Renata yang mengganggu mereka memadu kasih mungkin Renya sudah marah. “Iya, Renata.” David tertawa pelan. “Ibu, Bapak, Renata sendirian ini, mau tidur sama Ibu dan Bapak,” rengek Renata yang sepertinya belum terlalu nyenyak saat David meninggalkannya. “Aku ke sana, kamu pakai baju dulu, Nya,” usul David sambil mengusap pipi Renya pelan, “Boleh aku cium?” “Boleh, David boleh,” ucap Renya sambil menautkan bibirnya, menyesap manis bibir David. “Bapak, Renata takut.” Terdengar lagi suara Renata yang tampak tidak nyaman dengan r