“Aku mau kita cerai, Daru.”
Tangis Renya terdengar memilukan di telinga Daru, tangis seorang ibu yang haknya diambil hanya demi status sosial dan martabat keluarga. Hanya demi itu semuanya, Bramantya memorak-porandakan kehidupan anak satu-satunya dan Daru. Egois.
“Nya, kamu yakin?” tanya Daru sambil berusaha menenangkan Renya yang menangis.
Renya mencoba menghirup napas dalam-dalam, Daru memeluknya dengan erat memberikan rasa aman pada Renya. “Aku nggak tahu, Daru. Tapi, aku ingin mengurus dan mencintai anak aku.”
“Nya.”
“Aku nggak bisa kaya gini, aku mau urus malaikat kecil aku, Ru. Dia cantik, dia mirip aku.” Renya mencengkeram kemejanya berjuang untuk meredakan rasa sakit yang membalutnya dengan sempurna. Sakit yang ia dapat karena merasa gagal menjadi seorang ibu, ia merasa tidak mampu mengurus anaknya. Menelantarkannya.
“Sabar, Renya ... kita nggak bisa bercerai begitu saja, kamu tahu kan, apa yang akan orang tua kamu lakukan kala
Siang menjelang sore Daru tiba di Jakarta, dia langsung menuju apartemennya untuk menemui Ella di sana. Entah Ella ada atau tidak, tapi setidaknya dia harus pergi kesana memeriksa apakah Ella tidak berbuat yang aneh-aneh pada anak yang ada di rahim gadis itu. Astaga, Ella hamil ... Ella hamil anak aku gumam Daru menangkup bibirnya. Melepaskan pandangannya keluar jendela taksi yang membawanya menuju pada Ella. Daru bergegas turun dari taksi, melangkah lebar memasuki unit apartemen miliknya, dia berharap Ella ada di sana, menunggunya datang. Akses pintu apartemen berbunyi, apartemen itu terlihat sepi saat Daru masuk ke dalam. Tidak dia dapati gadis itu di sana, Daru melangkah lagi menuju ke kamarnya, dia bisa bernafas lega saat melihat Ella meringkuk di atas tempat tidur. Daru ikut berbaring di sisi gadis itu, Daru pandangi wajah Ella, helaian rambut yang menutupi wajahnya, Daru sematkan ke balik telinga gadis itu. W
Renya hilir mudik di dalam kamar yang disiapkan Daru di rumahnya. Di tangannya tergenggam beberapa lembar kertas formulir pengajuan perceraian. Ia sedang bimbang. Haruskah ia mengurus perceraian itu sendiri? Atau ia memerlukan jasa pengacara? Bukan biaya yang menjadi masalahnya. Ia khawatir dikenali. Informasi simpang siur bakal mudah singgah ke telinga orangtuanya. TOK. TOK. TOK. Renya menoleh pintu kamar. “Masuk,” pintanya kemudian. Tak lama, pintu terbuka. Daru muncul masih dengan pakaiannya ke kantor. Renya melirik jam di atas nakas. Sudah pukul sepuluh malam, tapi sepertinya Daru baru tiba. “Kamu baru pulang?” tanya Renya. Daru mengangguk kemudian masuk ke kamar dan merebahkan tubuhnya di ranjang. Renya menarik bangku kecil dari bawa meja rias. “Udah nemuin Bayu? Kamu harus biasain buat nanya dia ngapain aja seharian. Kasian,” kata Renya. “Aku baru nyampe. Dan aku
Waktu berjalan begitu lambat. Renya dan David terdiam di dalam taksi seakan sedang mengeja detik. Pertemuan itu memang bukan sesuatu yang harus dipenuhi layaknya janji. Mereka tak pernah menjanjikan apapun yang terucap. Karena mereka sadar, saat berjanji ada kepercayaan yang dipertaruhkan. Yang sekali tercederai mungkin nodanya akan membekas dan tak mudah hilang. Taksi memasuki halaman salah satu resor paling mahal di Nusa Dua. Renya sudah melirik David yang menoleh dan terlihat sedikit gelisah. Ia menduga sesaat lagi pria itu pasti akan mengungkapkan kesungkanannya. Bisa dibilang, dulu Renyalah yang mengejar cinta David. Pria kalem yang tidak banyak bicara dan tak pernah mengambil kesempatan mendekati para wanita yang sengaja berlama-lama mengobrol dengannya. Lima tahun yang lalu Renya mengintainya. Mendatangi showroom sesering mungkin dan mengatakan bahwa mobilnya terus bermasalah. Ia sampai khawatir kalau David
Mengenang Desahan “Ah ....” Suara desahan Renya terdengar merdu di kuping David, melecut hasrat David untuk meminta lebih. Hingga .... “Bapak, Ibu ....” Renya dan David terdiam mendengar suara Renata dari kamar sebelah, menghentikan kegiatan mereka. “Renata?” bisik Renya di telinga David pelan, Renya enggan melepaskan pelukannya, seandainya saja bukan Renata yang mengganggu mereka memadu kasih mungkin Renya sudah marah. “Iya, Renata.” David tertawa pelan. “Ibu, Bapak, Renata sendirian ini, mau tidur sama Ibu dan Bapak,” rengek Renata yang sepertinya belum terlalu nyenyak saat David meninggalkannya. “Aku ke sana, kamu pakai baju dulu, Nya,” usul David sambil mengusap pipi Renya pelan, “Boleh aku cium?” “Boleh, David boleh,” ucap Renya sambil menautkan bibirnya, menyesap manis bibir David. “Bapak, Renata takut.” Terdengar lagi suara Renata yang tampak tidak nyaman dengan r
Pagi hadir memberikan senyuman berbeda kali ini. Renya masih terlelap di sisi lelaki yang selama ini menjadi alasannya bertahan dari segala bentuk intimidasi sang Ayah. Ya, lelaki itu sekarang kembali lagi dalam pelukannya. David memandangi wajah cantik seorang Renya, wanita itu semakin cantik dan dewasa, dua tahun melihatnya hanya di dalam mimpi, dan sekarang siapa sangka wanita yang membuatnya merasakan hidup begitu menderita hadir kembali menjanjikan kebahagiaan untuknya dan Renata anak mereka. David menyematkan helai demi helai rambut yang setengah menutup wajah kekasihnya, ah David sendiri bingung akan status mereka sekarang. Kekasih jelas hubungan itu sudah lama tak terjalin. Istri? Ikatan itu pun tidak pernah terjadi. Masa bodo dengan semua itu, yang sekarang terjadi adalah Renya kembali padanya. Renya menggeliat, merubah posisi tidurnya, semakin merapatkan tubuhnya pada tubuh David. Sementara David kembali
“Ella, kamu nggak makan?” tanya Diana yang kesal melihat Ella dari tadi hanya memutar-mutar sendoknya di atas nasi.Ella langsung mengalihkan pandangannya dari nasi ke wajah Diana. Detik itu juga, Ella langsung merasakan rasa bersalah yang menyelusup ke hatinya, Ella benar-benar masih bingung kapan dan di mana ia harus mengungkapkan pada Ibunya mengenai keadaannya.“Kamu kenapa, Nak?” tanya Diana yang mulai melihat gelagat yang tidak biasa pada Ella. Sudah, hampir beberapa hari ini perilaku Ella mulai aneh dan meresahkan dirinya.Ella langsung menyuapkan nasi ke mulutnya dan menelannya dengan susah payah, rasa nasi dan soto itu benar-benar pahit di mulutnya. Enek.“Nggak papa, Bu. Aku cuman kecapean saja, kemarin tugas aku banyak banget,” dusta Ella sambil berjuang memberikan senyuman terbaiknya, walaupun Ella sadar itu semua percuma karena wajahnya yang pias sudah menjelaskan kalau hidupnya sedang tidak baik-baik saja.
"Daru, jemput aku." "Kamu dimana? Kamu baik-baik kan?" "Jemput aku, aku gak tahan ... rasanya gak enak banget." Ella meringis memegangi perutnya. "Tunggu aku." Daru mengakhiri sambungan teleponnya, meraih kunci mobil di atas meja kerjanya. "Yas ... aku ada urusan di luar, hold semua kerjaan, ini penting ... jadwal gak ada meeting kan?" "Gak ada," jawab Tyas. "Kemana?" "Urgent." Daru melangkah lebar menuju lift, lalu menghilang dari pandangan mata Tyas. Mobil melaju kencang menuju salah satu universitas terkemuka di kota itu, Daru menghentikan mobilnya ketika melihat Ella, duduk di pinggiran trotoar dengan kaki menekuk dan tangan yang berada di perutnya. Daru membunyikan klakson mobilnya, lalu bergegas turun. Ella berdiri dengan wajah yang pucat, gadis itu benar-benar terlihat ringkih. "Mual banget?" tanya Daru. "Iya, isinya keluar semua tadi," ujar Ella berjalan menuju mobil dengan lengan yang di pegangi oleh Daru
Menghancurkan Hatinya “Sini kamu!” Diana mencengkeram lengan Ella dan membawanya ke ruang makan. Ia khawatir bisa berteriak dan memaki anaknya itu sewaktu-waktu. Kamar Ella berbatasan langsung dengan halaman samping tetangga mereka. “Sekarang kamu ngaku. Siapa ayah bayi kamu? Siapa!!” teriak Diana. “I-ibu … ibu … jangan teriak gitu. A-aku takut,” isak Ella. Air matanya langsung luruh melihat mendengar teriakan ibunya. “Jadi Ibu harus ngomong gimana?! Jawab!!” teriak Diana. “Selama ini ibu selalu percaya, kamu pacaran sama Andi. Ibu percaya, Ella!! Ibu percaya laki-laki itu bisa jaga kamu. Sekarang kenyataannya apa??! Apa?!!” Diana gemetar merenggut kerah bajunya. “Ibu … Ibu tenang dulu,” ucap Ella, melangkah mendekati ibunya. “Jangan berani dekat-dekat Ibu. Jauh kamu,” pinta Diana, mengibaskan tangannya. Ia berpegangan pada sandaran kursi. “Ib