Pagi itu Renya menyiapkan segala sesuatunya di atas meja makan. Ini adalah sarapan pertama mereka sebagai suatu keluarga, meski penuh kepalsuan tapi setidaknya Renya juga ingin merasakan mempunyai keluarga yang sempurna.
Daru baru saja keluar dari kamarnya, begitu juga Bayu. Dua lelaki tampan berbeda umur berjalan menuruni tangga bersamaan menuju ke arah Renya. Renya memberikan senyum pada mereka, dia telah menantikan keduanya di sana.
"Hari ini kegiatan kamu apa, Nya?" tanya Daru menarik kursi.
"Hari ini ... hari pertama aku kembali bekerja di departemen store, seperti dulu lagi ... Head accounting. Aku pengen punya aktivitas Ru, kan gak mungkin aku seharian nungguin kamu pulang," ujarnya sambil memoles roti. "Bayu, mau selai apa?" tanya Renya pada Bayu yang baru saja meneguk susunya.
"Coklat," jawab Daru masih canggung.
"Kamu gak mau cobain nasi goreng buatan Tante?"
Daru masih berdiri menatap Ella dengan berbagai pikiran melintas di kepalanya. Seorang pria yang tak dikenalnya sedang berada bersama Ella. Siapa laki-laki itu, dari mana asalnya, dan sejak kapan Ella bersama laki-laki itu, Daru tak punya bayangan sama sekali. Laki-laki yang baru saja memberikan selembar tisu pada Ella, menatap wanita itu penuh rasa khawatir. Daru terhenyak. Ella kenapa? “La, aku mau ngomong.” Daru memandang Ella yang masih berdiri dengan tisu di mulutnya. “Aku nggak bisa. Kamu nggak liat aku lagi kedatangan tamu?” ketus Ella, melewati dua orang pria dan pergi ke ruang makan. “Kamu siapanya Ella? Kalo boleh tau?” Fahri menatap Daru. Kedua pria itu belum beranjak dari depan kamar mandi. “Aku—Daru. Pacar Ella,” jawab Daru. “Ngaco!” teriak Ella, dari ruang makan. Ternyata wanita itu mendengar perkataan Daru barusan.
Daru menelan ludahnya perlahan. Nyaris tanpa suara. Ia khawatir Ella mendengar hasrat yang terpercik dalam suaranya. Pemandangan yang tadi dilihatnya dalam bentuk kilasan, kini ingin ia buktikan dengan nyata. Tatapan Daru beranjak. Meninggalkan sepasang tumit halus yang sedang menanggalkan selembar kain kecil. Naik, menuju betis mungil berwarna putih gading tanpa noda. Daru melihat Ella memajukan letak tubuhnya. Terlihat sedang mengaduk-ngaduk isi lemarinya. Wanita itu telihat tergesa-gesa. Namun, Daru malah menikmati ketergesaan wanita itu. Ia kini sedang menatap bokong Ella yang tengah menunduk. Daru sedikit memalingkan wajah karena Ella tiba-tiba bergerak meraba-raba bagian belakang punggungnya. Lalu wanita itu melepaskan branya. Gerakan Ella cukup cepat. Namun, bagi Daru pemandangan itu begitu lambat hingga ia merasa tersiksa tiap detiknya. Kini ia menoleh terang-terangan. Melihat garis lengkung punggung Ella yang pernah menunduk di
Ella mundur beberala langkah, ia ingin menjauhkan wajah Daru dari perutnya. Menjauhkan lelaki itu sejauh-jauhnya dari tubuhnya.“Ella.”“Kamu kadang suka ngaco yah,” ucap Ella sambil mencoba menghirup udara sebanyak-banyaknya. Mendengar perkataan Daru membuat Ella sesak napas. Hamil? Apa maksud Daru!?“Kenapa aku ngaco, La. Aku liat kamu muntah tadi,” ungkap Daru sambil berusaha mendekati Ella yang sudah berjalan mondar mandir.“Muntah bukan indikasi orang hamil, Daru!?” Ella menatap mata Daru dengan tatapan yang siap mencabik-cabik wajah Daru.“Kamu bilang tadi kamu lapar dan kamu mun—““Aku manusia Daru!? Mahluk hidup, tentu aja aku lapar dan mungkin aja aku masuk angin.” Ella memijat kepalanya yang tiba-tiba sakit. Astaga …
Sore itu Daru baru saja kembali dari kantornya, dia mendapati Bayu sedang bermain basket di halaman samping. Anak lelaki yang menginjak masa remaja itu hanya melambaikan tangan padanya.Daru memasuki rumah, nampak sepi seperti biasa. Rumah ini akan ramai dengan suara jika Anneke, ibu nya datang berkunjung. Sudah hampir dua minggu ini wanita paruh baya itu berada di Belanda.Daru melangkah menaiki anak tangga menuju kamarnya melintasi kamar dimana Renya berada. Pintu kamar itu tidak tertutup rapat, Daru yakin wanita itu sedang berada di dalam sana.Daru mengetuk pintu itu, sedikit melongokkan kepalanya, dia mendapati Renya sedang duduk di sisi tempat tidur, sepertinya batu saja mendapatkan telepon dari seseorang.“Gimana, udah dapet yang kamu cari di Bali kemarin?” tanya Daru yang ikut duduk bersebelahan dengan Renya.Renya menggeleng. “Belum.”“Apa yang bisa aku bantu buat kamu?”Renya menghela nafa
Brak! Ella melemparkan sepuluh alat tes kehamilan ke lantai kamarnya, Ella lalu berjalan hilir mudik seperti orang kurang waras di kamarnya. Kenapa semuanya sama? Kenapa hasilnya positif? Kenapa ia harus hamil?! Brak! Saking frustrasinya Ella menendang alat tes kehamilan tersebut hingga berserakan di lantai. Pikirannya kalut, rasa cemas langsung merayapi dirinya membuat Ella tiba-tiba merasakan tubuh yang mengigil. Bukan ... bukan karena merasa kedinginan, ia menggigil karena merasakan rasa cemas yang benar-benar memporak porandakan hidupnya. “Bagaimana kalau ibu tahu?” tanya Ella pada dirinya sendiri sambil menggigiti kuku jempolnya terus menerus, seakan dengan menggerogoti kukunya itu membuat kehidupannya menjadi lebih baik lagi. Setelah kemarin ia mencek apakah dirinya hamil atau tidak, hari ini ia mencoba mencek kembali dengan membeli beberapa buah alat tes kehamilan, lima belas buah lebih tepatnya. Bahkan pemilik apotek sampai kebingungan
Pagi itu, Daru masih menutup matanya, jika saja suara ketukan di balik pintu kamarnya itu tidak mengganggunya mungkin dia akan meneruskan tidurnya hingga siang nanti. Oh ayolah, dia masih berada di Bali, tempat dimana semua orang menghabiskan waktu bersantai menghilangkan segala penat. Rasanya Daru adalah salah satu diantara mereka yang ingin sekali saja mengistirahatkan tubuh dan otaknya. Ketukan itu semakin keras, masih mengenakan celana boxer tanpa kaos di tubuhnya, Daru membuka pintu kamar itu. Renya nampak sudah rapih dengan tampilan yang begitu santai, celana jeans dan kaos ketat yang melekat ditubuhnya. Ya, mereka tidur berbeda kamar, setelah kejadian malam pertama mereka yang gila itu. “Ru, baru bangun?” tanyanya masuk ke dalam tanpa menghiraukan Daru. “Iya ... badan aku capek banget, Nya.” “Tapi kita kan udah janji mau datengin bengkel itu, jangan bilang kamu lupa.” “Aku gak lupa, Nya ... aku kira kita pergi nanti sekitar jam 10 dan s
Hai, Renata “Aku udah bilang kemarin. Kamu nggak percaya—jangan panik. Tenang dulu ya. Aku di luar kota. Nanti, nyampe Jakarta, aku jemput kamu ke rumah. Kita ngobrol di apartemen aja. Ada yang mau aku sampein.” Daru terdiam sejenak mendengar jawaban Ella di telepon. “Jangan susah tidur. Jangan terlalu dipikirin. Maaf … Iya, kalo mau nunggu di apartemen juga nggak apa-apa. Jangan nangis, ya … nanti kamu malah sakit.” Tak lama, Daru mengakhiri pembicaraan dan kembali menoleh pada bengkel kecil di mana Renya berada. Daru sudah menebak apa yang akan dikatakan Ella di telepon. Entah kenapa, itu memang tidak terlalu mengejutkan. Tapi perasaan kalut yang dirasakannya saat berada di Jakarta perlahan mulai reda. Renya sudah menemukan apa yang dicarinya selama ini. Renya memandang David dan Renata bergantian. Lalu ia menoleh ke belakang tempat
“Aku mau kita cerai, Daru.” Tangis Renya terdengar memilukan di telinga Daru, tangis seorang ibu yang haknya diambil hanya demi status sosial dan martabat keluarga. Hanya demi itu semuanya, Bramantya memorak-porandakan kehidupan anak satu-satunya dan Daru. Egois. “Nya, kamu yakin?” tanya Daru sambil berusaha menenangkan Renya yang menangis. Renya mencoba menghirup napas dalam-dalam, Daru memeluknya dengan erat memberikan rasa aman pada Renya. “Aku nggak tahu, Daru. Tapi, aku ingin mengurus dan mencintai anak aku.” “Nya.” “Aku nggak bisa kaya gini, aku mau urus malaikat kecil aku, Ru. Dia cantik, dia mirip aku.” Renya mencengkeram kemejanya berjuang untuk meredakan rasa sakit yang membalutnya dengan sempurna. Sakit yang ia dapat karena merasa gagal menjadi seorang ibu, ia merasa tidak mampu mengurus anaknya. Menelantarkannya. “Sabar, Renya ... kita nggak bisa bercerai begitu saja, kamu tahu kan, apa yang akan orang tua kamu lakukan kala
Sewaktu kecil Ella tak pernah merasakan bagaimana memiliki seorang ayah. Dia anak yang tumbuh besar dari ibu tunggal yang membesarkannya dengan menyingkir dari kecaman keluarga dan omongan orang terdekat. Sudah tak heran lagi kalau kebanyakan manusia selalu menganggap dirinya yang paling benar dan sempurna. Sehingga merasa lebih mudah untuk menghakimi kehidupan orang lain. Satu perasaan yang selalu Ella syukuri adalah bahwa ia dibesarkan oleh seorang wanita tangguh yang mengorbankan masa muda dan mampu mengalahkan egonya untuk tidak menikah lagi. Dulu Ella tak mengerti. Ia menganggap kalau apa yang dilakukan ibunya memang suatu keharusan. Membesarkannya, merawatnya, memberinya jajan yang cukup, pakaian bagus dan pendidikan mahal. Ella tak pernah bertanya uangnya dari mana. Dan ia tak pernah menyangka kalau sebagian besar apa yang diperolehnya berasal dari seorang pria yang ternyata diam-diam masih bertanggungjawab
Hidup itu selalu tentang pilihan. Tentang baik dan yang buruk, tentang kesulitan dan kemudahan, tentang berjuang atau memasrahkan, juga tentang menjadi baik atau tidak. Semuanya tentang pilihan. Tentu saja semua orang ingin hidupnya berjalan dengan baik. Namun, seringnya yang terjadi malah jauh melenceng dengan yang direncanakan. Begitu pula Andi yang sejak dulu merencanakan memiliki kehidupan rumah tangga yang bahagia bersama Ella. Gadis yang menjadi kekasihnya selama bertahun-tahun, namun hubungan itu kandas karena perselingkuhan yang dilakukan oleh wanita itu. Andi tetaplah manusia biasa. Laki-laki yang jauh dari kata sempurna. Ia marah, murka, membalas, puas, kemudian melampiaskan semuanya dalam satu waktu. Andi yang menjaga dirinya menjadi sosok lelaki berengsek, malah berubah menjadi sosok itu. Bagi Ella, Andi pernah menjadi lelaki berengsek. Bagi Andi, Ella juga pernah menjadi wanita berengsek yang mengkhian
"Oke ... mengejan sekali lagi ya Ibu Ella, sedikit lagi kepalanya sudah kelihatan ya ... siap ya, hitungan ketiga," ujar Dokter Sarah yang membantu persalinan Ella. "Satu ... dua ... tiga ... sekarang Bu Ella," titah sang Dokter. Ella mengejan sekuat tenaga, semampu yang dia bisa. Genggaman tangan Ella semakin erat menggenggam tangan Daru, Daru meringis menahan sakit kala genggaman itu mencengkeram semakin kuat seakan akan mematahkan jari jemari Daru. "Iya ... terus Ibu, bagus ...." Suara tangis bayi memenuhi ruangan persalinan, bayi mungil yang masih ditempeli sisa-sisa plasenta itu menangis begitu keras. "Sempurna, ya ... semua lengkap, perempuan, cantik, berat badan dan tinggi semuanya baik," ucap dokter Sarah. "Selamat Bapak Daru dan Ibu Ella," ujar Dokter Sarah. Ella meneteskan air matanya, saat bayi mungil mereka berada di atas dadanya, mencari-cari puting susu sang Ibu. "Cantik," ujar Daru menatap bayi mereka. "Benar
Daru membuka pintu kamarnya perlahan, dia membawakan susu hangat sesuai permintaan Ella tadi. Istrinya itu sedang duduk bersandar pada headboard, menggulir layar ponselnya. Ya, belakangan ini Ella memang lebih tertarik dengan ponselnya di banding yang lain. Berlama-lama melihat online shop lebih menarik dan menjadi salah satu hobi terbaru Ella. "Susunya di minum dulu, Miss Ella," ujar Daru yang sengaja memanggil Ella dengan sebutan Miss seperti dulu saat mereka pertama kali bertemu. "Terimakasih, Pak Daru." Ella pun tersenyum, menyesap susu yang diberikan oleh Daru. Dari duduk di sebelah istrinya, sambil mengusap-usap perut yang semakin membesar itu. "Kamu pasti belanja baju bayi lagi, ya?" tanya Daru yang melihat Ella sedang memilah-milah jumper untuk bayi mereka. "Lucu-lucu, Mas ... nggak mungkin aku lewatkan." "Iya, tapi kan sayang kalo ke pakenya cuma sebentar, itu yang kemarin kamu belanja sama ibu aja belum ka
Lalu lintas sore itu cukup padat, Arya melirik jamnya berkali-kali khawatir ia terlambat untuk makan di restoran. Tempat yang diminta Arya datangi oleh Papahnya. Sambil menatap lampu merah yang lama, Arya teringat dengan pembicaraan dengan Papanya tiga hari yang lalu. Saat di mana Papanya tiba-tiba memanggilnya dan memberikan satu pertanyaan yang tidak pernah Arya duga sebelumnya. “Arya, bolehkan Papa menikah lagi?” Arya mengenang pertanyaan Ayahnya, pertanyaan yang paling simple, paling to the point dan pertanyaan yang paling tidak di duga oleh dirinya. Mengingat selama dua tahun Papanya menjadi seorang duda, sibuk dengan dunia politik. Papanya tidak pernah membicarakan tentang pendamping hidup semenjak kepergian Ibunya. Arya tahu bahwa orang tuanya dinikahkan melalui jalan perjodohan tapi, selama mereka hidup sebagai pasangan suami istri, mereka adalah rekan, partner, rekan dan sahabat baik. Ibu Arya memang selalu tidak sehat, kesehatannya memang ti
Dulu, Diana sangat terkesima dengan sosok Syarif Chalid muda yang begitu gagah dan penuh kharisma. Seorang angkatan bersenjata dengan karir yang cemerlang. Usia mereka bertaut cukup jauh, dan Diana muda yang naif begitu singkat dalam berfikir. “Ella memang lagi di rumah?” tanya Chalid di dalam mobil, menoleh ke arah Diana yang pandangannya mengarah ke luar kaca jendela mobil. “Iya, Ella nunggu hari kelahirannya. Belakangan dia sering nginep di rumah bawa Bayu. Aku juga minta dia di rumah sementara ini. Khawatir ... Daru kerja kadang pulangnya larut malam,” sahut Diana, menoleh sekilas ke arah Chalid kemudian mengembalikan tatapannya ke depan. “Jadi, Bayu juga lagi di rumah?” tanya Chalid lagi. “Iya, Mas. Tadi malah katanya mau ikut kalau dia belum makan. Tapi, kayaknya dia keburu makan sop,” ujar Diana tertawa. Ia menoleh ke arah Chalid dan bertemu pandang sesaat. Tawanya langsung lenyap berg
Diana sudah berdiri di depan kaca selama setengah jam. Wanita 45 tahun itu sudah tiga kali berganti pakaian. Pertama tadi dia hanya mengenakan celana panjang dan kemeja santai. Beberapa langkah keluar pintu kamar, ia kembali ke dalam dan kembali mematut diri.Sekarang Diana telah mengenakan terusan berwarna kuning muda yang menutup hingga ke betisnya. Rasa-rasanya ia sudah sangat lama tidak mengenakan jenis pakaian seperti itu.Alasannya bukan karena tidak suka, tapi lebih ke tidak adanya kesempatan atau tempat yang cocok untuk ia bisa mengenakannya. Tak ada pergaulan yang sangat penting yang terjadi dalam hidupnya setelah ia memiliki Ella.Setelah pernikahan yang amat singkat dengan Chalid, ayah kandung Ella, Diana membelanjai dirinya sendiri dengan memanfaatkan sedikit uang peninggalan orangtuanya. Diana berinvestasi kecil-kecilan di perusahaan temannya. Hasilnya memang tak banyak, tapi setidaknya ia bisa menjaga egony
"Em ... karena—" Ratih tercekat, ternyata nyalinya juga belum cukup kuat untuk mengatakan sejujurnya pada kedua orangtuanya. "Jadi gini, Om ... Tante. Saya dan Ratih, kami ...." Andi menguatkan hatinya. "Kami memohon restu dari Om dan Tante, saya ingin menikahi Ratih putri Om," ujar Andi tegas. "Maksudnya gimana ini, Ibu gak ngerti." Retno duduk di sisi suaminya. "Ratih akan berhenti bekerja, Bu ... kami minta restu dari Ayah sama Ibu, Andi ingin Ratih menjadi istrinya." "Sudah berapa lama?" tanya Ridwan menatap Andi. "Kami kenal sudah enam bulan kurang lebih, Yah." Ratih menjawab cepat. "Ayah tanya pacar kamu." Ekspresi datar dari seorang Ridwan, pensiunan polisi itu. "Enam bulan, Om ... sudah enam bulan." "Pekerjaan kamu?" "Baru selesai ambil spesialis, Om." "Dokter?" "Iya, Om." "Kamu bisa pastikan anak saya bahagia? Dengan latar belakang dia, kehidupan dia bahkan masa lalunya?"
"Oh? Hanya oh?" Ratih berjalan cepat tanpa memikirkan perutnya, troli yang berisi barang belanjaan mereka dia tinggalkan begitu saja. Andi yang serba salah menyusul Ratih hingga meja kasir, wanita hamil itu melenggang begitu saja membiarkan Andi kesusahan membawa barang belanjaan mereka. "Tih ... ya ampun Tih, jangan cepet-cepet jalannya, ingat kamu lagi hamil." Andi meringis melihat Ratih berjalan cepat tanpa menoleh ke belakang. "Buka pintunya," ujar Ratih dengan ekspresi wajah kesal. "Astaga, Tih!" Andi membuka pintu mobilnya. Andi benar-benar harus menahan amarahnya menghadapi Ratih yang selalu sensitif selama masa kehamilannya. Ratih masih dengan mode diamnya, pandangannya dia alihkan keluar jendela mobil. Sementara Andi, merasa kikuk dengan tingkah Ratih yang selalu membuat serba salah. "Maaf ya," ujar Andi yang akhirnya mengalah. Ratih masih terdiam. "Kamu kan tau, hampir tiga bulan ini aku sibuk dengan pro