Ella akhirnya memilih untuk turun dari taksi, memasuki pelataran gedung itu pandangannya mengedar pada banyaknya karangan bunga berbentuk ucapan selamat untu Daru dan Renya. Ella berjalan gontai, memasuki gedung itu. Gedung yang di dekorasi dengan banyaknya taburan bunga di sepanjang jalan sampai ke pelaminan. Untaian bunga-bunga di sepanjang jalan masuk, pelaminan yang indah.
Tamu-tamu berdatangan memenuhi ruangan itu, bisik-bisik terdengar dari mereka ketika kedua mempelai masuk menyusuri jalan hingga sampai ke pelaminan.
Daru dengan gagahnya memakai tuksedo berwarna putih, dan wanita cantik yang selalu melemparkan senyum itu begitu anggun dengan dress berwarna senada.
Ella memandangi keduanya, seharusnya dia yang berada di pelaminan itu bersama Daru, laki-laki yang dia cintai itu. Namun, semua hanyalah mimpi untuk Ella, untuk menggapainya saja sudah tak lagi Ella sanggup. Daru sudah memporak porandakan hatinya, luka y
Saat berpacaran dengan Ella, Andi sudah memperkenalkan image-nya sebagai lelaki baik-baik. Sering terlintas di pikirannya untuk meneruskan cumbuan terhadap Ella, hingga berujung pada hubungan intim. Namun, hubungannya yang semakin dekat dengan wanita yang melahirkan kekasihnya, membuat Andi malu pada dirinya sendiri. Tak jarang Ella hampir membuatnya kelepasan. Namun, semuanya berujung pada wajah kecewa wanita itu menatapnya. Padahal, ia sering membayangkan hal-hal erotis bersama wanita itu. Dan sekarang, kehidupan percintaan mereka hancur lebur. Sejak Ella mengakui kehilangan keperawanannya dengan seorang laki-laki lain. Ia sangat terpukul. Sangat sakit hati. Hingga berujung pada pertemuannya dengan Ratih. Ratih memang bukan wanita suci seperti Ella. Namun, menghabiskan malam bersama Ratih, membuatnya kembali menjadi pria seutuhnya. Ratih begitu memujanya. Lembut, keibuan, dan liar di ranjang.
Daru menggeram saat merasakan bagian kejantanannya dilumat dan dihisap oleh Renya. Detik itu juga langsung merasakan, kenikmatan yang menjalar dari bagian kejantanannya hingga ke seluruh tubuhnya. Sialan Renya benar-benar membuat dirinya merasakan kenikmatan yang membangkitkan setiap inci tubuhnya. Renya bukan Ella yang pasrah dan menurut semua keinginannya. Renya adalah tipe perempuan yang haus akan sex dan tukang perintah. Baiklah, kalau ini keinginan Renya, dia ingin sex Daru akan berikan sex yang Renya inginkan.
Andi kembali mengingat kepergian Ella beberapa hari lalu, tatapan gadis itu masih teringat jelas di ingatan Andi, jujur Andi menjadi merasa bersalah pada gadis itu. Tidak seharusnya dia malah membuat wanita itu bertambah sakit hatinya karena perbuatannya saat ini. Ratih baru saja membersihkan dirinya, memakai bathrobe Ratih melangkah mendekati Andi yang sedang berdiri di jendela apartemen itu. "Apa gak sebaiknya kamu temui dia ... Ella," ujar Ratih. Andi menghela nafas panjang, dia menyugar rambutnya, di satu sisi memang sebaiknya dia menemui Ella, namun di sisi lain Andi juga harus memikirkan perasaan Ratih. "Jangan pikirin aku, aku gak papa ... selesaikan masalah kamu lebih cepat lebih baik," ujar Ratih yang sudah melingkarkan tangannya di leher Andi. "Kenapa kamu begitu baik?" "Karena aku pernah berada di posisi Ella dan pernah bera
Daru tak perlu meminta izin dua kali pada Bramantya untuk membawa Renya pindah dari kediaman orangtuanya. Saat Bramantya dan Yuni tak ada di rumah, Daru meminta Renya lekas-lekas berkemas untuk segera berangkat. Wanita itu hanya membawa dua koper pakaian keluar dari rumah.“Kamu bisa pamit ke orang tua kamu,” ucap Daru seraya menyalakan mesin mobilnya.“Enggak apa-apa. Enggak usah. Papa udah tau, kalo aku bakal tinggal di rumah mertua,” sahut Renya. Ia telah duduk di sebelah Daru dan menatap rumahnya. Mobil perlahan mundur dan memutar. Meninggalkan halaman dan rumah besar menyerupai mansion tempatnya menghabiskan sebagian besar usianya.“Aku harap kamu betah di rumahku. Kamu nggak usah ragu dan khawatir akan Mama-ku. Mama paling mendukung pernikahan ini. Sama dengan kedua orang tua kamu. Mama bahkan nggak pernah nanya gimana perasaan aku,” ucap Daru.“Ru &hel
Ella melangkahkan kakinya menyelusuri lorong supermarket. Hampir satu jam dia berputar-putar di sana, entah apa yang dia cari sebenarnya. Ia hanya ingin menenangkan pikirannya yang makin hari makin ruwet dan carut marut. Berdiam diri di rumah bukanlah jawabannya, dia lelah menerima tatapan kekecewaan dari ibunya. Ibunya hanya sesekali menanyakan tentang hubungannya dengan Andi yang kandas namun, Ella tau kalau ibunya menyalahkan dirinya akan semua itu. Apakah ini salahnya? Apakah hubungan ini kandas karena kesalahan dirinya sendiri? Ah ... sudahlah, Ella lelah dengan itu semua. Kepalanya hampir meledak bila memikirkan kehidupan percintaannya. Ella terus mendorong trolly yang tidak ada isinya itu dengan pandangan kosong dan tidak menyadari apa pun di sekitarnya. Hingga .... Brak!
"Jadi ...." "Jadi apa?" "Udah bisa dong aku chat kamu gitu? di bales ya ... jangan cuma di baca, takut gak baik buat kesehatan," ujar Fahri. "Bisa aja kamu ... kamu gak pulang?" "Ngusir ini ceritanya?" "Ya gak juga sih ...." "Aku mau nemenin kamu, sayang gadis kayak kamu jalan sendiri, makan sendiri, ngapa-ngapain sendiri ... kan mending aku temenin." "Kamu dari lahir udah gini ya?" "Gini gimana?" "Ngomongnya banyak ... gak berenti-berenti dari tadi." Ella tertawa. Percakapan konyol antara Ella dan teman barunya berlanjut hingga hari mulai sore. Fahri membukakan pintu taksi itu untuk Ella. "Jangan lupa, chat aku di bales, telpon aku di angkat ... aku takut kamu—" "Apa?" "Tiba-tiba kangen a
Daru masih berdiri mematung saat Ella mengusirnya pulang. Ella baru saja melewatinya dan masuk ke dalam rumah. Sedangkan ibu wanita itu, berdiri dan menatapnya dengan raut penasaran. Daru menelan ludah.“Bu … bisa saya bicara sebentar dengan Ella?” Daru menatap lurus mata Diana.“Tadi kamu denger sendiri Ella minta ibu buat usir kamu,” kata Diana. “Kamu siapa? Pacarnya?” Diana penasaran dengan laki-laki yang berdiri di depannya.“Saya Daru.”“Saya udah tau. Kamu, kan, tadi bilang udah bilang.” Diana menelisik Daru dengan tatapannya. Ia lalu menoleh berkeliling. Melihat apakah ada yang mendengar perkataannya barusan. “Mending pulang aja, deh.”“Bu, saya mau ngomong sama Ella. Saya cuma mau pamit ke Ella,” kata Daru.“Kamu masuk dulu, deh. Nanti ngomong begini, malah
Daru menyentuh bibirnya, masih ia rasakan sensasi bibir ranum Ella. Bibir Ella yang manis dan hangat benar-benar masih Daru rasakan di bibirnya. Ia berjalan lambat-lambat menyelusuri lorong rumahnya, dilihatnya jam di tangannya. Ini sudah pukul sebelas malam, Daru yakin Bayu dan Renya sudah tidur. Klik …. Daru membuka pintu kamarnya dan mendapati Renya sedang tertidur pulas, senyumannya merekah saat melihat Renya. Entah kenapa, semenjak Renya mengizinkan Daru mengejar Ella lagi, Daru merasa lebih menghargai Renya. Bagaimana pun Renya adalah istrinya, wanita yang sudah halal baginya. “Nya, tidur kamu?” tanya Daru sambil membenarkan selimut Renya dan mengusap pipi Renya yang mulus. Pertanyaan bodoh, ta
Sewaktu kecil Ella tak pernah merasakan bagaimana memiliki seorang ayah. Dia anak yang tumbuh besar dari ibu tunggal yang membesarkannya dengan menyingkir dari kecaman keluarga dan omongan orang terdekat. Sudah tak heran lagi kalau kebanyakan manusia selalu menganggap dirinya yang paling benar dan sempurna. Sehingga merasa lebih mudah untuk menghakimi kehidupan orang lain. Satu perasaan yang selalu Ella syukuri adalah bahwa ia dibesarkan oleh seorang wanita tangguh yang mengorbankan masa muda dan mampu mengalahkan egonya untuk tidak menikah lagi. Dulu Ella tak mengerti. Ia menganggap kalau apa yang dilakukan ibunya memang suatu keharusan. Membesarkannya, merawatnya, memberinya jajan yang cukup, pakaian bagus dan pendidikan mahal. Ella tak pernah bertanya uangnya dari mana. Dan ia tak pernah menyangka kalau sebagian besar apa yang diperolehnya berasal dari seorang pria yang ternyata diam-diam masih bertanggungjawab
Hidup itu selalu tentang pilihan. Tentang baik dan yang buruk, tentang kesulitan dan kemudahan, tentang berjuang atau memasrahkan, juga tentang menjadi baik atau tidak. Semuanya tentang pilihan. Tentu saja semua orang ingin hidupnya berjalan dengan baik. Namun, seringnya yang terjadi malah jauh melenceng dengan yang direncanakan. Begitu pula Andi yang sejak dulu merencanakan memiliki kehidupan rumah tangga yang bahagia bersama Ella. Gadis yang menjadi kekasihnya selama bertahun-tahun, namun hubungan itu kandas karena perselingkuhan yang dilakukan oleh wanita itu. Andi tetaplah manusia biasa. Laki-laki yang jauh dari kata sempurna. Ia marah, murka, membalas, puas, kemudian melampiaskan semuanya dalam satu waktu. Andi yang menjaga dirinya menjadi sosok lelaki berengsek, malah berubah menjadi sosok itu. Bagi Ella, Andi pernah menjadi lelaki berengsek. Bagi Andi, Ella juga pernah menjadi wanita berengsek yang mengkhian
"Oke ... mengejan sekali lagi ya Ibu Ella, sedikit lagi kepalanya sudah kelihatan ya ... siap ya, hitungan ketiga," ujar Dokter Sarah yang membantu persalinan Ella. "Satu ... dua ... tiga ... sekarang Bu Ella," titah sang Dokter. Ella mengejan sekuat tenaga, semampu yang dia bisa. Genggaman tangan Ella semakin erat menggenggam tangan Daru, Daru meringis menahan sakit kala genggaman itu mencengkeram semakin kuat seakan akan mematahkan jari jemari Daru. "Iya ... terus Ibu, bagus ...." Suara tangis bayi memenuhi ruangan persalinan, bayi mungil yang masih ditempeli sisa-sisa plasenta itu menangis begitu keras. "Sempurna, ya ... semua lengkap, perempuan, cantik, berat badan dan tinggi semuanya baik," ucap dokter Sarah. "Selamat Bapak Daru dan Ibu Ella," ujar Dokter Sarah. Ella meneteskan air matanya, saat bayi mungil mereka berada di atas dadanya, mencari-cari puting susu sang Ibu. "Cantik," ujar Daru menatap bayi mereka. "Benar
Daru membuka pintu kamarnya perlahan, dia membawakan susu hangat sesuai permintaan Ella tadi. Istrinya itu sedang duduk bersandar pada headboard, menggulir layar ponselnya. Ya, belakangan ini Ella memang lebih tertarik dengan ponselnya di banding yang lain. Berlama-lama melihat online shop lebih menarik dan menjadi salah satu hobi terbaru Ella. "Susunya di minum dulu, Miss Ella," ujar Daru yang sengaja memanggil Ella dengan sebutan Miss seperti dulu saat mereka pertama kali bertemu. "Terimakasih, Pak Daru." Ella pun tersenyum, menyesap susu yang diberikan oleh Daru. Dari duduk di sebelah istrinya, sambil mengusap-usap perut yang semakin membesar itu. "Kamu pasti belanja baju bayi lagi, ya?" tanya Daru yang melihat Ella sedang memilah-milah jumper untuk bayi mereka. "Lucu-lucu, Mas ... nggak mungkin aku lewatkan." "Iya, tapi kan sayang kalo ke pakenya cuma sebentar, itu yang kemarin kamu belanja sama ibu aja belum ka
Lalu lintas sore itu cukup padat, Arya melirik jamnya berkali-kali khawatir ia terlambat untuk makan di restoran. Tempat yang diminta Arya datangi oleh Papahnya. Sambil menatap lampu merah yang lama, Arya teringat dengan pembicaraan dengan Papanya tiga hari yang lalu. Saat di mana Papanya tiba-tiba memanggilnya dan memberikan satu pertanyaan yang tidak pernah Arya duga sebelumnya. “Arya, bolehkan Papa menikah lagi?” Arya mengenang pertanyaan Ayahnya, pertanyaan yang paling simple, paling to the point dan pertanyaan yang paling tidak di duga oleh dirinya. Mengingat selama dua tahun Papanya menjadi seorang duda, sibuk dengan dunia politik. Papanya tidak pernah membicarakan tentang pendamping hidup semenjak kepergian Ibunya. Arya tahu bahwa orang tuanya dinikahkan melalui jalan perjodohan tapi, selama mereka hidup sebagai pasangan suami istri, mereka adalah rekan, partner, rekan dan sahabat baik. Ibu Arya memang selalu tidak sehat, kesehatannya memang ti
Dulu, Diana sangat terkesima dengan sosok Syarif Chalid muda yang begitu gagah dan penuh kharisma. Seorang angkatan bersenjata dengan karir yang cemerlang. Usia mereka bertaut cukup jauh, dan Diana muda yang naif begitu singkat dalam berfikir. “Ella memang lagi di rumah?” tanya Chalid di dalam mobil, menoleh ke arah Diana yang pandangannya mengarah ke luar kaca jendela mobil. “Iya, Ella nunggu hari kelahirannya. Belakangan dia sering nginep di rumah bawa Bayu. Aku juga minta dia di rumah sementara ini. Khawatir ... Daru kerja kadang pulangnya larut malam,” sahut Diana, menoleh sekilas ke arah Chalid kemudian mengembalikan tatapannya ke depan. “Jadi, Bayu juga lagi di rumah?” tanya Chalid lagi. “Iya, Mas. Tadi malah katanya mau ikut kalau dia belum makan. Tapi, kayaknya dia keburu makan sop,” ujar Diana tertawa. Ia menoleh ke arah Chalid dan bertemu pandang sesaat. Tawanya langsung lenyap berg
Diana sudah berdiri di depan kaca selama setengah jam. Wanita 45 tahun itu sudah tiga kali berganti pakaian. Pertama tadi dia hanya mengenakan celana panjang dan kemeja santai. Beberapa langkah keluar pintu kamar, ia kembali ke dalam dan kembali mematut diri.Sekarang Diana telah mengenakan terusan berwarna kuning muda yang menutup hingga ke betisnya. Rasa-rasanya ia sudah sangat lama tidak mengenakan jenis pakaian seperti itu.Alasannya bukan karena tidak suka, tapi lebih ke tidak adanya kesempatan atau tempat yang cocok untuk ia bisa mengenakannya. Tak ada pergaulan yang sangat penting yang terjadi dalam hidupnya setelah ia memiliki Ella.Setelah pernikahan yang amat singkat dengan Chalid, ayah kandung Ella, Diana membelanjai dirinya sendiri dengan memanfaatkan sedikit uang peninggalan orangtuanya. Diana berinvestasi kecil-kecilan di perusahaan temannya. Hasilnya memang tak banyak, tapi setidaknya ia bisa menjaga egony
"Em ... karena—" Ratih tercekat, ternyata nyalinya juga belum cukup kuat untuk mengatakan sejujurnya pada kedua orangtuanya. "Jadi gini, Om ... Tante. Saya dan Ratih, kami ...." Andi menguatkan hatinya. "Kami memohon restu dari Om dan Tante, saya ingin menikahi Ratih putri Om," ujar Andi tegas. "Maksudnya gimana ini, Ibu gak ngerti." Retno duduk di sisi suaminya. "Ratih akan berhenti bekerja, Bu ... kami minta restu dari Ayah sama Ibu, Andi ingin Ratih menjadi istrinya." "Sudah berapa lama?" tanya Ridwan menatap Andi. "Kami kenal sudah enam bulan kurang lebih, Yah." Ratih menjawab cepat. "Ayah tanya pacar kamu." Ekspresi datar dari seorang Ridwan, pensiunan polisi itu. "Enam bulan, Om ... sudah enam bulan." "Pekerjaan kamu?" "Baru selesai ambil spesialis, Om." "Dokter?" "Iya, Om." "Kamu bisa pastikan anak saya bahagia? Dengan latar belakang dia, kehidupan dia bahkan masa lalunya?"
"Oh? Hanya oh?" Ratih berjalan cepat tanpa memikirkan perutnya, troli yang berisi barang belanjaan mereka dia tinggalkan begitu saja. Andi yang serba salah menyusul Ratih hingga meja kasir, wanita hamil itu melenggang begitu saja membiarkan Andi kesusahan membawa barang belanjaan mereka. "Tih ... ya ampun Tih, jangan cepet-cepet jalannya, ingat kamu lagi hamil." Andi meringis melihat Ratih berjalan cepat tanpa menoleh ke belakang. "Buka pintunya," ujar Ratih dengan ekspresi wajah kesal. "Astaga, Tih!" Andi membuka pintu mobilnya. Andi benar-benar harus menahan amarahnya menghadapi Ratih yang selalu sensitif selama masa kehamilannya. Ratih masih dengan mode diamnya, pandangannya dia alihkan keluar jendela mobil. Sementara Andi, merasa kikuk dengan tingkah Ratih yang selalu membuat serba salah. "Maaf ya," ujar Andi yang akhirnya mengalah. Ratih masih terdiam. "Kamu kan tau, hampir tiga bulan ini aku sibuk dengan pro