Nah loh, Revita! (≧▽≦)
Gavin menemukan Reina. Anak tujuh tahun itu sedang mengenakan kaus kaki saat mobilnya berhasil terparkir dengan apik di pelataran rest area SPBU. Pria itu keluar dari mobil setelah sebelumnya mengambil sebuah paper bag di kursi belakang. Dengan senyum yang mengembang pria bermata cokelat itu berjalan menghampiri Reina yang sepertinya belum sadar akan kedatangannya. "Halo, Nana," sapa Gavin, langsung duduk di sebelah anak itu. Anak perempuan berkucir kuda itu menoleh. "Oh, Om Ganteng," gumamnya lantas kembali ke aktivitasnya mengenakan sepatu. "Om punya sesuatu buat kamu." Senyum Gavin sumringah ketika memindahkan paper bag ke sisi anak itu. Lagi-lagi bocah yang memiliki iris mata serupa dirinya menoleh. Bola matanya turun melirik paper bag itu. Dia bisa melihat ada sebuah boneka kucing dengan bulu yang tampak lembut. Gavin mendapat informasi dari Revita kalau anak itu menyukai kucing. Jadi, dia berpikir untuk membelikan boneka yang serupa kucing asli. "Kenapa Om kasih ini ke aku
Sedikit pun tidak pernah terlintas dalam benak Revita bahwa dirinya dan Reina akan berdiri di sini. Di sebuah lobi salah satu mall ibukota untuk memenuhi janji jalan bersama Gavin. Rasanya aneh dan cukup membuatnya berdebar. Harusnya memang dia tidak perlu ikut. Bukankah yang lelaki itu butuhkan cuma Reina? Lalu kenapa sekarang dirinya ikut latah ada di salah satu mall terbesar ini? Jika bukan karena rengekan Reina yang terus memintanya turut serta, menikmati Minggu dengan secangkir kopi adalah pilihan terbaik. Gavin belum datang. Sepertinya masih ada kesempatan untuk kabur dari pertemuan ini. Dia melirik Reina yang hari ini tampil cantik dengan setelan celana panjang dan kaus bergambar Spongebob Squarepants berukuran besar. Revita memikirkan alasan yang tepat untuk berpamitan agar anak itu setuju. Reina tipe anak kritis yang tidak mudah dikibuli. Di sini Revita harus benar-benar memberi alasan yang masuk akal. Sedetik, dua detik dia belum bisa menemukan ide apa pun. Hingga detik ke
"Aku mau semuanya sampai di sini aja, Mas." Revita mengatakan itu seraya meletakkan kunci rumah dan kunci kendaraan yang biasa dia bawa. Dua benda penting itu adalah pemberian Mahesa, lelaki yang sudah satu tahun ini dekat dengannya. Wajah tampan di hadapannya cukup terkejut. Mungkin pria itu tidak menyangka kalau wanita itu bisa mengembalikan semua itu dengan raut tenang. Mahesa menyaksikan Revita membuka dompet. Dari benda persegi itu, wanita itu mengambil dua buah kartu berwarna hitam dan gold. Spontan Mahesa menghela napas panjang. "Aku juga mau balikin ini. Isi di dalamnya masih utuh. Kamu bisa pastikan itu." "Kenapa harus sampai gini sih, Re?" Pria berkumis tipis itu menatap Revita putus asa. Entah sudah berapa kali dia memohon agar wanita itu tetap tinggal. "Memang harus gini kan, Mas? Aku nggak bisa lanjutin semua. Bakal banyak yang tersakiti.""Tersakiti apa sih, Re?" Mahesa mengacak rambut frustrasi. "Aku udah bilang kan kalau aku sedang menjalani proses cerai?" Wajah
Gavin meninggalkan kesibukannya sesaat ketika interkomnya berbunyi. Dengan mata yang masih separuh fokus kepada dokumen di tangan, dia bersuara. "Ada apa, Van?" tanya Gavin sambil lalu."Ada tamu, Pak. Beliau Pak Mahesa." Suara Vania menyahut. Mendengar nama Mahesa disebut, senyum Gavin terbit. "Langsung antar masuk aja, Van.""Oke, Pak." Tidak lama Mahesa masuk ke ruangan Gavin yang luas itu. Kepala Gavin terangkat, lalu tersenyum lebar. Dia segera berdiri dan menyambut kedatangan pamannya itu. "Akhirnya Om datang ke kantorku." Gavin langsung memeluk Mahesa. "Gila, sih. Udah berapa tahun coba? Lima apa enam tahun ya? Apa Surabaya sudah mengalihkan segalanya?" tanya Gavin, menggoda. Mahesa tertawa. "Enam tahun sepertinya." Lantas tertawa lagi. Gavin mempersilakan Mahesa duduk. Paman dan ponakan itu memang sudah lama tidak bertemu. Mahesa terlalu sibuk di Surabaya, sementara Gavin sibuk mengambil S2 di luar negeri sebelum kembali ke Jakarta untuk mengurus bisnis keluarga. "Aku b
Refleks Revita berdiri. Bukan untuk mendekat, tapi menjauh. Dia menoleh dan melihat langit kota masih kelabu. Tidak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Dia suka hujan, tapi untuk saat ini pengecualian. Lantaran hujan sore ini menahannya lebih lama di halte bus. Terlebih sekarang dia harus berhadapan dengan Mahesa. Orang yang paling tidak ingin dia temui."Rumah kamu di mana? Biar aku antar." Suara Mahesa terdengar begitu ramah. Masih sama seperti dulu yang Revita tahu. "Makasih. Tapi itu nggak perlu." Pria berkumis tipis itu mendongak. Menatap hujan yang makin deras. "Kayaknya bakal lama hujannya. Kamu yakin nggak mau aku antar?" "Aku menunggu hujan reda." "Oke. Kalau begitu aku akan menemani kamu." Mahesa itu lantas duduk. "Itu juga nggak perlu." Rasa tak nyaman menyelusup. Revita merasa ini akan sulit. Mahesa juga tipe lelaki yang sulit diusir, nyaris sama seperti Gavin. Apa hubungan darah di antara mereka mempengaruhi? "Jadi kamu kerja di kantor Gavin? Itu suatu kebetulan en
Revita memejamkan mata saat Arum mengonfirmasi tentang kejadian lift pagi tadi. Dengan wajah kepo maksimal, wanita satu anak itu mencondongkan badannya ke dekat meja Revita. "Gue nggak mau gosip di belakang lo. Jadi gue nanya langsung," kilah wanita itu dengan wajah serius. Revita menggigit bibir bawah. Ujung matanya melirik Dona dan Ilham yang tampak tengah saling bercanda di depan mikroskop. Sementara Dany dan Rafa menopang dagunya dengan sebelah tangan satu sama lain, seakan menunggu jawaban Revita. "Iya, tapi itu nggak seperti yang kalian pikir," ucap Revita akhirnya. Dia mendesah lelah melihat tatapan para rekan kerjanya. Tiba-tiba saja Arum menarik tangan perempuan itu dan menatapnya dengan serius. "Dengar, Re. Kalau pun di antara lo dan Pak Gavin ada sesuatu, kami semua di sini dukung lo 100 persen. Ya nggak, Gaes?" Dua alis Revita terangkat dan sontak bingung melihat para temannya mengangguk kompak. Apa maksudnya? "Demi apa pun kalian cocok. Cuma memang agak berat sih. De
"Kalau kamu terus begini kita jadi seperti punya hubungan kucing-kucingan."Gavin mengatakan itu seraya membuka pintu restoran dan membiarkan Revita masuk lebih dulu. Bukan tanpa sebab Gavin mengatakan itu. Pasalnya untuk berangkat bersama menuju restoran ini, dia bersama mobilnya harus menunggu jauh dari area kantor atas permintaan Revita. "Kita nggak punya hubungan seperti itu," tukas Revita. Jika bukan karena atasannya, dia tidak mau diajak makan siang pria itu. Revita hanya tidak mau membuat masalah yang nanti bisa menyusahkannya. "Meja kita ada di sana." Gavin mempersilakan Revita duduk setelah menarik salah satu kursi. Ini bukan pertama kali Gavin mengajaknya makan siang di tempat prestisius begini. Dulu ketika mereka masih menjalin hubungan, Gavin kerap mengajaknya makan di restoran yang harga menunya bisa bikin Revita migrain seketika. "Kamu tenang aja." Gavin duduk di sebelah wanita itu. "Ada yang mau traktir kita," katanya seraya mengedipkan sebelah mata. Secara refleks
Revita mengerutkan kening menatap pria yang duduk di seberangnya. Jarinya yang tengah mengutak-atik ponsel menggantung. Dia tidak paham maksud Mahesa mengatakan itu di depan Gavin. Lumayan dekat pria itu bilang? Demi apa pun! Meskipun Gavin pernah menorehkan luka, tapi Mahesa-lah yang sudah menikamnya paling tajam. "Maaf, kita nggak sedekat itu, Pak," ucap Revita dengan wajah datar. Beruntung pesanan mereka akhirnya datang sehingga Revita tidak perlu mendengar omong kosong Mahesa lebih lanjut. Dan Gavin yang seolah tahu ketidak-nyamanan Revita pun akhirnya mengalihkan topik pembicaraan tentang perusahaan. Sepanjang makan siang itu, Revita tidak banyak komentar. Gavin pun segera mengajak wanita itu pergi setelah selesai makan siang dengan alasan ada meeting yang harus dia hadiri. "Kamu sepertinya nggak suka sama Om Mahes. Apa dulu dia bukan atasan yang baik?" tanya Gavin ketika mereka dalam perjalanan kembali menuju kantor. "Saya harap ini terakhir kalinya Pak Gavin mengajak saya
Suara orang mengaji masih bisa Revita dengar sayup-sayup, dikalahkan berbagai pikiran yang berkecamuk di kepalanya. Wanita itu masih duduk terpekur dengan Reina yang terus menangis sesenggukan di atas pangkuannya, menemani jasad yang terbujur kaku di depan mereka. Ini bagaikan mimpi buruk. Tidak terlintas dalam benak Revita ibunya akan meninggalkannya seperti ini. Semalam dia masih yakin Ayun hanya terjatuh di kamar mandi dan akan baik-baik saja. Bahkan saat membawanya ke rumah sakit dengan taksi yang dia pesan, Revita masih merasakan genggaman tangan sang ibu. Namun, keadaan dengan cepat berbalik ketika Ayun mendapat tindakan medis dan tak berapa lama dokter mengatakan bahwa pasien sudah mengembuskan napas terakhir saat masih dalam perjalanan. Meski rasanya tidak percaya karena kejadiannya begitu tiba-tiba, Revita berusaha menerima kenyataan. Tuhan lebih sayang ibunya. Tidak akan ada lagi seseorang yang mengeluhkan betapa banyak obat yang harus diminum. Tuhan langsung mengangkat sa
Reina tertegun di tempat saat melihat Revita duduk di tepi ranjang sambil mengusap air mata. Dia yang berencana menunjukkan hasil gambarnya urung melihat kesedihan di wajah sang ibu. Gadis kecil itu menggigit bibir, dan memutuskan mendekat setelah menimbang-nimbang. "Mama kenapa?" Revita terkesiap, dan kontan mengusap pipinya yang basah. Dia buru-buru mengubah ekspresi dan menatap Reina sembari tersenyum. "Hei, kamu kok belum tidur?" Perlahan Reina duduk di sebelah Revita, mata cokelatnya terus mengamati raut sang ibu. "Om Gavin nyakitin Mama?" tanyanya hati-hati. "Hah? E-enggak kok," elak Revita menggeleng. Bibirnya masih terus berusaha melengkung. Namun itu jelas tidak bisa Reina percaya begitu saja. Meskipun masih kecil, dia tidak mudah dibohongi. Gadis kecil itu mendesah, tatapnya melirik ke tablet yang dia bawa. "Kupikir Om Gavin benar-benar suka sama Mama dan nggak akan nyakitin Mama. Kalau tahu dia bikin mama sedih begini, aku nggak akan pernah kasih izin dia buat deketin
"Makasih ya, Pak! Sering-sering aja begini!" Lalu tawa berderai diikuti satu per satu langkah memasuki lobi. "Doakan saja saya banyak rezeki." "Oh pasti dong, Pak!" Gavin menoleh sejenak ke arah rombongan staf yang baru saja masuk. Dirinya dan beberapa orang-orangnya yang tengah sibuk dengan klien penting sedikit terdistraksi oleh suara-suara tersebut. Tatap cokelatnya melihat rombongan staf RnD yang tengah berjalan sambil bercanda. Terlihat Revita berada juga di antara mereka. Namun yang membuat matanya lantas menyipit, ada Mahesa di belakang wanita itu sejajar dengan langkah Ferdy. "Eh, itu Pak Gavin," seru salah seorang dari mereka. Itu suara Dany, pria yang sampai saat ini gigih mengajak Vania kencan, meski belum ada hasil. "Jangan ribut woy. Kalem, suara lo pada, bisa ganggu," cetus Ilham memperingatkan. "Rev..." Arum di sisi Revita menyikut lengan wanita itu. "Pak Gavin," bisiknya. "kok sekarang dia jarang ke kantor kita?" Revita melirik sejenak ke arah rombongan Gavin d
"Ma?" Wanita dengan tatanan rambut rapi itu menoleh dengan wajah cemas saat Gavin datang. Ada kekhawatiran yang tercetak kental di matanya. "Ada apa?" tanya Gavin sembari mendekat. Tidak biasanya dia melihat ibunya gelisah. Melinda seorang wanita angkuh yang tidak takut apa pun. "Mama hampir tak percaya ini," ucap Melinda. "Rencanaku bisa kacau kalau berita ini menyebar." Gavin menyipitkan mata. Tidak mengerti maksud ucapan Nyonya Besar keluarga Adhiyaksa itu. "Kamu sengaja menutupi ini dari mama kan?" Kali ini mata berbulu lentik itu menyorot Gavin tajam. Sorot kegelisahan itu berubah dalam sekejap menjadi sorot penuh amarah. "Apa yang Mama bicarakan?" tanya Gavin bingung. Namun detik berikutnya dia cukup terkesiap saat Melinda melempar sebuah dokumen ke arahnya. Dahi Gavin mengernyit, menatap dokumen itu. Akan tetapi sejurus kemudian dia langsung paham apa yang terjadi. Gavin tidak menyangka sang mama bisa secepat ini mendapat informasi tentang Reina. "Wanita itu pasti senga
"Kamu nggak mau main itu? Mumpung sepi loh." Reina menyorot indoor playground yang tak jauh dari tempatnya duduk dengan alis mengerut. "Plese deh, Om. Aku udah tujuh tahun dan mau delapan tahun. Masa disuruh main playground? Memangnya aku anak Tk?" sahut Reina dengan bibir maju. Membuat Gavin serta merta tertawa melihat wajah lucu gadis itu. Saat ini keduanya berada di salah satu restoran keluarga yang juga menyediakan arena playground. Gavin memesan chicken steak dengan lelehan saus pedas di atasnya. Sementara Reina memilih mix plate karena dia bilang perutnya masih kenyang. "Om lupa kalau kamu udah besar. Jadi sekarang kamu sukanya apa?" tanya Gavin sembari memotong steak di depannya. "Uhm, aku sekarang lagi belajar menggambar digital, Om." "It sounds great. Pakai media apa?" Reina mencomot sosis dan mencoleknya ke wadah saus tomat. "Di sekolah pake tablet. Tapi kalau di rumah pinjam HP mama." "Pake HP kurang maksimal dong." Reina mengangguk. "Tapi cuma itu yang ada di
"Pak, ponselnya geter terus tuh!" Suara Vania membuyarkan lamunan Gavin. Pria bermata cokelat itu melirik sekilas ponsel yang tergeletak di meja. Lantas menghela napas ketika tahu yang melakukan panggilan telepon ibunya. "Hari ini ada meeting penting lagi yang harus saya hadiri, Van?" tanya Gavin, mengabaikan panggilan telepon itu. "Pukul dua siang ntar ada rapat bersama tim marketing membahas tentang pencapaian promo yang sedang berjalan, Pak. Bisa diundur kalau Anda ada keperluan lain," sahut Vania. Beberapa hari belakangan bosnya itu seperti orang yang kehilangan gairah. Meski tidak pernah melakukan kesalahan dalam tugas, tapi ekspresi pria itu benar-benar terlihat suram. Gavin mengangguk lantas menutup pena setelah menandatangani halaman terakhir sebuah dokumen yang dia pekuri. "Oke. Pending sampai besok. Saya harus pergi sekarang," ujarnya lantas berdiri dan menyambar jasnya di hanging stand yang terletak di belakang kursi. "Anda mau pergi bersama Revita?" tanya Vania lagi.
Revita menarik napas panjang beberapa kali. Mencoba menekan kesedihannya. Berulang kali dia merapal dalam hati, meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja. Meski ucapan Gavin masih terus terngiang dan bikin hatinya berdenyut nyeri. Dari awal dirinya tahu resiko ini. Revita hanya tidak menyangka saja pikiran Gavin padanya sesempit itu. Revita baru akan membuka aplikasi taksi online ketika sebuah mobil tampak menepi, secara refleks kakinya mundur. Dahinya mengernyit saat mobil berjenis sedan itu akhirnya berhenti tepat di depan tempatnya berdiri. Saat kaca mobil itu turun, lampu penerangan dalam mobil membuatnya tahu wajah seseorang di balik kemudi. "Revita, kamu ngapain malam-malam sendirian di sini?" tanya pria berkacamata yang tak lain adalah manajernya, Ferdy. "Pak Ferdy?" "Ayo masuk. Saya antar kamu balik. Bahaya perempuan malam-malam sendirian.""Tapi saya mau pesan taksi online.""Lebih aman ikut mobil saya, Revita."Wanita itu tercenung sejenak sebelum akhirnya memut
Revita meremas tangannya dengan pandangan menunduk. Gavin sudah tahu semua sebelum dia menjelaskan. Ada sesuatu yang terasa meremas hati Revita, mendapat pandangan dingin dari pria yang dia cintai. Revita sadar dirinya bukan orang suci, hanya saja mendapat tatapan penghakiman dari orang yang dia percaya, hatinya terasa begitu nyeri. "Aku bisa menjelaskan," ucap Revita, menelan ludah. Dia tahu segalanya tidak akan berakhir baik. "Menjelaskan kalau kamu pernah menjalin hubungan dengan pria beristri yang ternyata pamanku?" tukas Gavin cepat. "Demi Tuhan aku nggak pernah tahu kalau dia lelaki beristri. Kalau aku tahu aku nggak akan pernah menerimanya." Terlepas dari itu, rasa cemburu terus mengganggu Gavin. Tahu bahwa Revita mau membuka hati lagi untuk pria lain itu artinya wanita itu sudah sukses melupakannya. Tidak seperti dirinya yang terjebak perasaannya sendiri selama delapan tahun ini. "Do you love him?" tanya Gavin dengan suara lirih. "Jangan bilang tidak. Satu tahun kamu bers
BEBERAPA HARI LALU==============Mendadak Gavin muak dengan senyum yang Mahesa tunjukkan. Siang ini dia menyambangi ruangan pamannya itu. Dan sepertinya pria berkumis tipis itu tahu tujuan Gavin mendatanginya. Mahesa tetap terlihat ramah seperti biasa. Seolah tidak sedang melakukan sesuatu yang membuat Gavin jengkel. "Ada yang bisa aku bantu, Keponakan?" tanya Mahesa, lalu mempersilakan Gavin duduk di sofanya. Dia sendiri langsung duduk menyilangkan kaki, menatap sang ponakan sambil terus mempertahankan senyum ramah. "Apa hubungan Om Mahes dan Revita?" tanya Gavin to the point. "Jangan bilang cuma mantan atasan dan bawahan." Senyum Mahesa surut secara perlahan. Dia sudah menduga, Gavin akan menanyakan tentang Revita cepat atau lambat. Dan Mahesa tidak berniat menyembunyikan apa pun lagi. "Revita pacarku saat dia di Surabaya." Mahesa mengucapkan itu dengan nada tenang. Meski begitu dia bisa melihat dua tangan Gavin tampak mengepal erat. "Revita sudah tiga tahun ini di Jakarta. It