Gavin mendebas. Napasnya berembus keras. Poninya yang menjuntai dia tiup-tiup ke atas. Netra cokelatnya mengawasi layar ponsel yang terus menyala. Nama ibunya terus berkedip di sana. Sudah beberapa hari ini dia melarikan diri dari sang mama. Bosan mendengar wanita yang sudah melahirkannya itu terus mendesak perkara kencan bersama Talia. "Pak, itu ponselnya geter terus loh. Nggak mau diangkat aja?" tanya Vania yang kebetulan masuk membawa setumpuk berkas. "Biarin aja lah, Van. Saya tahu apa yang akan mama katakan." Vania meringis sambil menaruh tumpukan berkas ke atas meja Gavin. "Ya udah kalau gitu Pak Gavin tanda tangan ini dulu aja. Sudah ditunggu sama orang HRD." Dengan malas, Gavin menarik berkas itu. Dia menarik pena dan mulai membuka lembar pertama. "By the way, Mbak Talia itu cantik loh, Pak," ujar Vania tiba-tiba, tapi langsung merapatkan mulut ketika mata Gavin melirik tajam. Dia meringis dan bergerak mundur. "Habis ini nggak ada kerjaan urgent kan?" tanya lelaki itu sa
Selama perjalanan menuju restoran, Revita tidak banyak bicara. Satu mobil bersama Gavin lagi setelah sekian lama membuatnya terlempar di jaman ketika keduanya masih memiliki hubungan spesial. Biasanya Revita akan menunggu lelaki itu di gerbang depan perumahan agak jauh dari rumah besar keluarga Adhiyaksa. Karena kalau ketahuan ibu dia berangkat bersama anak majikan, bisa-bisa kena omel tiga hari tiga malam. "Nanti pulang jam berapa?" tanya Gavin saat itu setelah Revita menaiki kursi di sebelah kemudi. "Kayaknya bakal sampe sore," sahut Revita sembari memikirkan jadwal kuliahnya hari itu. "Aku jemput ya. Kita nonton, bentar lagi kan kamu semesteran. Jadi harus refresh otak dulu." Ingin rasanya mengiyakan ajakan itu. Namun, kalau sampai pulang terlambat Revita yakin ibunya akan menceramahinya habis-habisan. "Nggak deh. Aku langsung pulang aja, Mas. Aku harus bantuin ibu." "Sesekali, Re. Memang kamu nggak mau kencan sama aku?" Gavin masih terus membujuk. Usahanya tidak pernah gagal
Revita pikir, Gavin akan segera pulang setelah mengantar pulang. Namun, lelaki itu malah mencegah Revita turun. Keduanya berdiam di mobil untuk beberapa lama. Lampu di dalam rumah masih menyala. Dari luar Revita bisa melihat. Sebenarnya dia sedikit cemas kalau-kalau dari rumah muncul sosok ibunya."Jadi, kamu tinggal di rumah ini?" tanya Gavin memperhatikan rumah yang memiliki halaman luas tidak jauh dari tempatnya sekarang. Rumah dengan dinding berwarna putih itu sejenis rumah tua berarsitektur Belanda. Memiliki atap berbentuk limas dengan pintu kayu berwarna kuning gading. Jendela rumahnya juga sangat klasik. Bagian atas jendela berbuku-buku dan bagian bawahnya papan kayu biasa. Memiliki teras yang mengelilingi rumah dengan dua tiang besi penyangga. Di tengah teras tersebut terdapat jalan yang lurus ke arah pintu. "Iya. Bukan rumah kami. Kami hanya menyewa saja," sahut Revita, menunduk. Dua tangannya memeluk tas dan bungkusan martabak pesanan putrinya. "Mas, aku harus masuk. Kamu
Gavin menemukan Reina. Anak tujuh tahun itu sedang mengenakan kaus kaki saat mobilnya berhasil terparkir dengan apik di pelataran rest area SPBU. Pria itu keluar dari mobil setelah sebelumnya mengambil sebuah paper bag di kursi belakang. Dengan senyum yang mengembang pria bermata cokelat itu berjalan menghampiri Reina yang sepertinya belum sadar akan kedatangannya. "Halo, Nana," sapa Gavin, langsung duduk di sebelah anak itu. Anak perempuan berkucir kuda itu menoleh. "Oh, Om Ganteng," gumamnya lantas kembali ke aktivitasnya mengenakan sepatu. "Om punya sesuatu buat kamu." Senyum Gavin sumringah ketika memindahkan paper bag ke sisi anak itu. Lagi-lagi bocah yang memiliki iris mata serupa dirinya menoleh. Bola matanya turun melirik paper bag itu. Dia bisa melihat ada sebuah boneka kucing dengan bulu yang tampak lembut. Gavin mendapat informasi dari Revita kalau anak itu menyukai kucing. Jadi, dia berpikir untuk membelikan boneka yang serupa kucing asli. "Kenapa Om kasih ini ke aku
Sedikit pun tidak pernah terlintas dalam benak Revita bahwa dirinya dan Reina akan berdiri di sini. Di sebuah lobi salah satu mall ibukota untuk memenuhi janji jalan bersama Gavin. Rasanya aneh dan cukup membuatnya berdebar. Harusnya memang dia tidak perlu ikut. Bukankah yang lelaki itu butuhkan cuma Reina? Lalu kenapa sekarang dirinya ikut latah ada di salah satu mall terbesar ini? Jika bukan karena rengekan Reina yang terus memintanya turut serta, menikmati Minggu dengan secangkir kopi adalah pilihan terbaik. Gavin belum datang. Sepertinya masih ada kesempatan untuk kabur dari pertemuan ini. Dia melirik Reina yang hari ini tampil cantik dengan setelan celana panjang dan kaus bergambar Spongebob Squarepants berukuran besar. Revita memikirkan alasan yang tepat untuk berpamitan agar anak itu setuju. Reina tipe anak kritis yang tidak mudah dikibuli. Di sini Revita harus benar-benar memberi alasan yang masuk akal. Sedetik, dua detik dia belum bisa menemukan ide apa pun. Hingga detik ke
"Aku mau semuanya sampai di sini aja, Mas." Revita mengatakan itu seraya meletakkan kunci rumah dan kunci kendaraan yang biasa dia bawa. Dua benda penting itu adalah pemberian Mahesa, lelaki yang sudah satu tahun ini dekat dengannya. Wajah tampan di hadapannya cukup terkejut. Mungkin pria itu tidak menyangka kalau wanita itu bisa mengembalikan semua itu dengan raut tenang. Mahesa menyaksikan Revita membuka dompet. Dari benda persegi itu, wanita itu mengambil dua buah kartu berwarna hitam dan gold. Spontan Mahesa menghela napas panjang. "Aku juga mau balikin ini. Isi di dalamnya masih utuh. Kamu bisa pastikan itu." "Kenapa harus sampai gini sih, Re?" Pria berkumis tipis itu menatap Revita putus asa. Entah sudah berapa kali dia memohon agar wanita itu tetap tinggal. "Memang harus gini kan, Mas? Aku nggak bisa lanjutin semua. Bakal banyak yang tersakiti.""Tersakiti apa sih, Re?" Mahesa mengacak rambut frustrasi. "Aku udah bilang kan kalau aku sedang menjalani proses cerai?" Wajah
Gavin meninggalkan kesibukannya sesaat ketika interkomnya berbunyi. Dengan mata yang masih separuh fokus kepada dokumen di tangan, dia bersuara. "Ada apa, Van?" tanya Gavin sambil lalu."Ada tamu, Pak. Beliau Pak Mahesa." Suara Vania menyahut. Mendengar nama Mahesa disebut, senyum Gavin terbit. "Langsung antar masuk aja, Van.""Oke, Pak." Tidak lama Mahesa masuk ke ruangan Gavin yang luas itu. Kepala Gavin terangkat, lalu tersenyum lebar. Dia segera berdiri dan menyambut kedatangan pamannya itu. "Akhirnya Om datang ke kantorku." Gavin langsung memeluk Mahesa. "Gila, sih. Udah berapa tahun coba? Lima apa enam tahun ya? Apa Surabaya sudah mengalihkan segalanya?" tanya Gavin, menggoda. Mahesa tertawa. "Enam tahun sepertinya." Lantas tertawa lagi. Gavin mempersilakan Mahesa duduk. Paman dan ponakan itu memang sudah lama tidak bertemu. Mahesa terlalu sibuk di Surabaya, sementara Gavin sibuk mengambil S2 di luar negeri sebelum kembali ke Jakarta untuk mengurus bisnis keluarga. "Aku b
Refleks Revita berdiri. Bukan untuk mendekat, tapi menjauh. Dia menoleh dan melihat langit kota masih kelabu. Tidak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Dia suka hujan, tapi untuk saat ini pengecualian. Lantaran hujan sore ini menahannya lebih lama di halte bus. Terlebih sekarang dia harus berhadapan dengan Mahesa. Orang yang paling tidak ingin dia temui."Rumah kamu di mana? Biar aku antar." Suara Mahesa terdengar begitu ramah. Masih sama seperti dulu yang Revita tahu. "Makasih. Tapi itu nggak perlu." Pria berkumis tipis itu mendongak. Menatap hujan yang makin deras. "Kayaknya bakal lama hujannya. Kamu yakin nggak mau aku antar?" "Aku menunggu hujan reda." "Oke. Kalau begitu aku akan menemani kamu." Mahesa itu lantas duduk. "Itu juga nggak perlu." Rasa tak nyaman menyelusup. Revita merasa ini akan sulit. Mahesa juga tipe lelaki yang sulit diusir, nyaris sama seperti Gavin. Apa hubungan darah di antara mereka mempengaruhi? "Jadi kamu kerja di kantor Gavin? Itu suatu kebetulan en
Berjalan sambil bergandengan tangan di Charless street pada musim gugur akan menjadi momen romantis yang tidak akan pernah Revita lupa. Berbaur di pemandangan jalan yang mempesona si kawasan pinggir kota paling tua dan makmur, Boston. Untuk ke-empat kalinya Gavin mengajak Revita dan anak-anak ke kota ini dan wanita itu akui tidak pernah bosan berada di tempat ini. "Ini kali pertama kita ke sini pas musim gugur. Kalau tau bakal seindah ini aku pasti sudah minta ke sini di bulan-bulan musim gugur sebelumnya," ujar Revita dengan bibir maju. Sudah empat kali berkunjung, dan dia baru melihat musim secantik ini. Kakinya yang terbungkus boots panjang berjalan menapaki trotoar yang terbuat dari batu kerikil. Matanya mengedar dengan senyum yang mengembang memperhatikan barisan rumah bergaya federal. Yang menarik, rumah-rumah di sini memiliki pengetuk pintu dari kuningan yang dipoles alih-alih bel wifi atau listrik. Gavin bilang itu adalah simbol tak resmi kawasan pinggir kota ini. "Musim g
Begitu membuka pintu kosan, Revita langsung melihat wajah putrinya yang tersenyum lebar. Anak itu segera menghambur ke pelukannya. Di belakang Reina, Gavin melambaikan tangan seraya tersenyum manis. "Mama udah siap?" tanya Reina, kepalanya meneleng untuk melihat barang-barang di belakang punggung ibunya. Hanya ada satu koper besar dan tas jinjing berukuran sedang. "Isi rumah nggak dibawa, Ma?" Revita terkekeh sembari menggeleng. "Barang-barang itu kan bukan milik kita, Na. Ada-ada aja kamu."Gavin sendiri langsung mengambil alih bawaan sang istri dan segera memasukkannya ke bagasi mobil. Akhirnya hari yang dia tunggu tiba. Revita dan Reina akan tinggal bersamanya menjadi satu keluarga utuh. "Itu apa?" tanya Gavin melihat kotak dengan ukuran lumayan besar yang dibungkus kado. Revita mengikuti arah pandang Gavin. "Itu dari teman-teman di pabrik. Belum aku buka sih." "Dibawa juga?" "Iya. Kado perpisahan." Selain koper milik dirinya, ada juga koper milik Reina di bagasi mobil Gavin
Mata Revita mengerjap. Mungkin yang Indila katakan benar, tapi wanita itu tidak boleh pesimis. Mahesa hanya belum melupakan Revita, tapi bukan berarti tidak bisa melupakan. Revita tersenyum menatap wanita manis di depannya. "Dengan lo terus di sampingnya, gue yakin dia bisa segera lupain gue. Apalagi lo deket sama Dony. Sekedar informasi, meski dia dulu deketin gue, dia nggak pernah loh ngenalin anaknya ke gue. Tapi ke lo? Nah itu tandanya dia serius sama lo." Wajah mendung Indila hilang seketika. Berganti dengan wajah penuh senyum. "Lo bisa aja, Re," katanya cengengesan. "Gue yakin sih bentar lagi lo bakal dilamar," goda Revita seraya menaik-turunkan alisnya. "Nggaklah. Gue bakal kasih waktu ke dia buat terima kenyataan bahwa lo itu milik keponakannya." Kedua wanita itu lantas tertawa. Lalu saling berpelukan. Tepat saat itu Revita seolah menyadari sesuatu. "Tunggu-tunggu." Revita melepas pelukannya dan mengangkat tangan sejenak. Dia merasa ada yang aneh di sini. "Jadi, lo mau p
Perombakan kesekretariatan ternyata lumayan mengundang perhatian. Bukan hanya itu, Gavin juga memecat beberapa sekretaris yang diduga berkomplot menjebak dirinya, termasuk Ferial. Tidak peduli dikatakan presdir kejam atau apa. Baginya perbuatan Ferial dan teman-temannya sudah melampaui batas. Kejadian mabuknya Ferial membuat Gavin tahu betapa busuknya perempuan itu. Paginya, begitu wanita itu sadar, Gavin memintanya untuk pulang ke Indonesia. Sempat ada drama dan permohonan maaf dari Ferial, tapi Gavin tak peduli dan tetap mengirim wanita itu kembali ke Jakarta. Alhasil seminar dua hari dan rapat terakhir dia lakukan sendiri tanpa dampingan sekretaris. "Jadi, apa yang bikin kamu memecat mereka?" tanya Mahesa saat pria itu berkunjung ke kantor Gavin. Kabar itu cukup bikin heboh. "Mereka kerjanya tidak becus," sahut Gavin sambil terus menandatangani dokumen di mejanya. Menarik kursi di depan meja, Mahesa pun duduk. "Apa yang mereka lakukan?" "Aku yakin Om sudah tau apa yang terjadi
"Mas?" Rasa kantuk dan kesal hilang seketika saat Revita menemukan suaminya sudah berdiri di depan pintu kosan. Dia mengucek mata untuk memastikan penglihatannya tidak salah. Ini sudah hampir pukul satu malam. Kenapa Gavin ada di sini? "Kaget ya? Biarin aku masuk dulu, Re. Aku capek." Gavin hendak masuk kamar, tapi segera Revita tahan. "Tunggu-tunggu, kamu beneran Mas Gavin, kan? Bukan demit yang nyamar jadi suamiku?" Detik berikutnya Revita terpekik karena mendapat sentilan di dahi. Dia segera mengusap dahinya yang kesakitan. "Demit mana ada yang seganteng suami kamu." Dengan pelan Gavin mendorong Revita masuk, begitu pun dirinya yang lantas ikut masuk dan menutup pintu kamar kosan. "Tapi, Mas. Kamu kan lagi ada di Malaysia. Kok sekarang udah ada di sini aja? Mana malam-malam lagi datangnya." Rasanya Revita belum puas mendapat jawaban dari pria itu. "Kamu kabur ya?" Melepas sepatu, Gavin pun juga melepas kemeja beserta celana panjangnya. "Seminar sudah selesai. Bu
"Berapa hari?" Selain meeting ada seminar kewirausahaan yang harus Gavin hadiri selama dua hari. Kebetulan dia akan menjadi salah satu pengisi materi di hari kedua seminar yang diadakan di Kuala Lumpur tersebut. "Mungkin 3 sampai 4 hari, Sayang." "Hm, lama." Reina cemberut. "Mama weekend katanya masuk kerja. Masa papa juga belum balik?"Gavin menyentuh kepala Reina. "Papa usahakan weekend sudah kembali," ucapnya tersenyum. "Pak, sudah waktunya berangkat!" Di dekat mobil, Ferial kembali mengingatkan. Mata cokelat Reina langsung melirik tak suka. "Ih, aku nggak suka sama sekretaris papa yang itu. Kenapa bukan Tante Vania aja sih?" "Tante Vania ada pekerjaan lain.""Ya ganti aja jangan yang itu. Kelihatannya genit. Mentang-mentang cantik. Papa nggak takut mama cemburu?" "Uhm—""Papa mau ke Malaysia bareng dia kan?"Gavin mengangguk ragu. Semoga ini bukan masalah. "Tapi kami ke sana cuma bekerja. Dia di sana cuma membantu pekerjaan papa. Sekaligus papa lagi nguji dia layak atau ngg
Alis Gavin naik sebelah ketika melihat sekretaris bernama Ferial datang menjemputnya. Dia tidak berharap orang baru yang akan menemani perjalanan bisnisnya. Namun sepertinya dia tidak memiliki pilihan lain. Anggap saja ini ujian pertama sekretaris itu. Jika gagal, Gavin bisa punya alasan untuk mendepaknya dari kesekretariatan. "Tidak ada yang memberitahu saya kalau kamu yang akan menemani saya ke Malaysia," ucap Gavin seraya masuk ke mobil mewah fasilitas kantor. Ferial tersenyum manis, lalu ikut masuk ke mobil setelah memastikan bosnya itu duduk nyaman di dalam sana. "Saya sudah memberitahukan itu ke Pak Gavin. Di reminder juga ada. Mungkin Pak Gavin lupa."Sekilas Gavin memindai outfit yang wanita muda itu kenakan. Wanita itu mengenakan floral dress sebatas lutut yang dilapisi blazer hitam. Dress dengan potongan flowly itu agak naik ke atas saat dia duduk. Warna krem dress itu seolah tengah berlomba dengan warna kulit putih Ferial yang secerah mutiara. Gavin tidak mengerti kenapa
"Selamat pagi, Pak."Gavin mengangkat wajah dari tumpukan kertas yang sedang dia baca ketika sapaan asing seseorang terdengar. Di depannya berdiri seorang wanita muda yang terlihat cantik dan energik. Alisnya terangkat sebelah karena tidak mengenali sosok itu. "Kamu siapa?" tanya Gavin tanpa membalas sapaan wanita muda itu. "Saya Ferial, Pak. Saya di sini menggantikan Mbak Vania." "Memang Vania ke mana?" "Mbak Vania mendampingi CEO baru kita, Pak." Gavin mengangguk ragu. Sejujurnya dia masih ingin Vania yang menemaninya di posisi sekarang sebagai presdir baru. Ya rapat pemegang saham menunjuknya menjadi presdir menggantikan Melinda yang dulu menjabat sebagai presdir pasif. Gavin sendiri memilih tetap ngantor karena masih banyak yang harus dia pastikan keberlangsungan beberapa proyeknya. "Selain saya ada tiga sekretaris lain yang akan membantu pekerjaan Anda, Pak.""Ya, terima kasih," sahut Gavin lantas kembali memperhatikan kertas-kertas di mejanya. Dia pikir sekretaris bernama
*WARNING 21+*===========Pangkal alis Revita berkedut. Bibirnya menggeram lirih lalu lama-lama badannya menggeliat. Entah sekarang pukul berapa. Yang jelas sudah larut, karena kesunyian terasa begitu pekat. Setengah sadar dia menyingkirkan tangan tak sopan yang membuat tidurnya terganggu. "Aku ngantuk, Mas," gumamnya tak jelas, lalu kembali terlelap. Tidak ada sahutan, tapi tangan itu makin tak mau berhenti bergerak. Ketika Revita mengubah posisi menjadi miring, tangan itu pun ikut mengejar. Mencari celah agar bisa menyusup ke balik piyama yang wanita itu kenakan. "Mas," gumam Revita lagi, ketika tangan itu berhasil menyusup masuk dan meremas payudaranya. Karena masih sangat mengantuk, akhirnya Revita membiarkan saja. Tapi lama-lama pergerakan itu membuat Revita tak nyaman. Apalagi ketika puncak dadanya dimainkan. Tubuhnya yang sensitif sontak bereaksi. Dia melenguh pelan. Dalam tidur berusaha menikmati apa yang suaminya lakukan. "Bangun, Sayang," bisik Gavin, sembari terus memb