"Kak, seperti apa sebuah hubungan kedepannya kan tidak ada yang tahu akan seperti apa." Ana beringsut mendekat. Menyentuh kedua pipi Argen. "Kalau kita bertengkar dan marah, kalau aku marah dan kecewa pada Kakak, mungkin saja hal seperti itu akan terjadi." Ana mendaratkan kecupan tiba-tiba di bibir Argen. "Yang harus kita lakukan kan mempertahankan cinta kita." Menjatuhkan kepala ke dada Argen, dan memeluk tubuh Argen. "Kalau aku ngambek, kakak peluk aku seperti ini, lalu usap kepalaku, dan bisikan kata. Ana, aku mencintaimu. Karena aku mencintaimu maka aku melakukan itu. Jadi, karena aku mencintaimu bisakah kau berhenti marah dan memaafkan ku." Mendongak, melihat wajah Argen yang terlihat membeku. "Aku janji, walaupun marah, aku akan mendengarkan alasan kakak."Ana mundur dan menyentuh pipi Argen lagi. "Kakak berdebar-debar kan?" Semua hal yang ia lakukan secara spontan tadi seperti di tuntun Tuhan secara langsung. Ana sampai tercengang, karena dia bisa melakukannya dengan sangat n
Pelataran kampus. Para mahasiswa yang mengisi jeda waktu kuliah dengan mengobrol, bermain dengan hp masing-masing, atau yang berkutat dengan tugas kuliah yang sudah mendekati deadline. Mereka mengisi waktu dengan cara mereka masing-masing.Seperti ketiga gadis yang sekarang selalu bersama itu.Padahal cuma dua orang, tapi polusi suara yang disebabkan obrolan mereka rasanya memenuhi udara. Pepohonan menggoyangkan dedaunannya. Melambai ke kanan dan ke kiri. Ikut menikmati cerita Ana. Gadis manis itu terlihat tersipu, sesaat kemudian tertawa, jauh lebih sering menutup wajahnya dengan tangan. Menyembunyikan kebahagiaan yang bercampur rasa malu.Amira yang paling ngotot, tidak membiarkan Ana beranjak dari sampingnya sebelum menyelesaikan cerita misi sat set, dorong dan terjang yang diajarkan Amira. Setelah mendengar cerita yang sebenarnya tidak dibeberkan dengan gamblang oleh Ana, gadis itu ikut memerah wajahnya. Apalagi kalau Ana menceritakannya tanpa filter, pasti sudah membuat Amira pa
"Mira, mau kan?""Ah mau donk,"Mereka pun membuat janji untuk datang ke rumah Rene. Lalu berjalan beriringan menuju kelas. Para mahasiswa yang lain pun terlihat berjalan di depan atau belakang mereka. Pergantian kelas membuat koridor ramai. Ada yang masih berkerumun di depan kelas, belum masuk."Senior!" Amira memanggil ketika bertemu di simpang koridor dengan senior Alvin. Wajah laki-laki itu pias ketika melihat Ana. Dia langsung membuang muka. Ana menangkap perubahan sikap itu dan seperti Dejavu.Apa sih, kenapa sikapnya begitu padaku. Seperti teman laki-lakiku di SMU."Amira, maaf ya, aku mau ke kelas dulu." Dia bahkan tidak menyapa Ana dan langsung berlalu. Rene melihat senior Alvin yang berjalan cepat tanpa menoleh menyunggingkan seringai kecil di bibirnya. "Kenapa dia? Kalian bertengkar?" Ana menoleh sekilas lalu memalingkan wajah lagi."Hah! Kenapa aku bertengkar dengan senior Alvin." Mereka mempercepat langkah saat sudah semakin dekat dengan kelas."Lho, bukannya kalian seda
Sementara itu di kantor Domaz Group.Miria yang sudah memberikan makan siang Argen membawa kotak bekalnya sendiri ke kantin kantor. Ramai. Beberapa orang menunduk hormat saat berpapasan dengannya. Miria menggangukan kepala, duduk di meja yang kosong. Biasanya dia makan siang sendirian, karena jarang ada karyawan lain yang mendekat. Kecuali satu orang ini. Laki-laki berwajah cerita tapi memiliki sejuta muslihat di otaknya. Pengacara Domaz Group. Laki-laki itu duduk tanpa meminta izin terlebih dahulu. Miria mendongak sebentar, lalu tak acuh lagi. Fokus melihat makanan yang ada di kotak bekal.Aaaaa, bagaimana ini aku mulai terbiasa. Kenapa Ale bisa membuat bekal yang berbeda setiap hari si. Aaaaa, aku jadi jatuh cinta setengah mati karenanya."Ternyata benar ya, gosip yang aku dengar selama beberapa hari ini." Pengacara itu mebuka suara.Cih, jangan bicara denganku. Aku sedang menikmati bekal makan siang buatan pacarku. Nasinya pulen dan nikmat, aromanya harum dan menggugah selera. Miri
Di rumah sederhana yang dihuni oleh 7 orang. Ada 4 kamar tidur di dalamnya. Dapur, dua kamar mandi dan satu ruang keluarga yang selalu mereka pakai berkumpul setiap harinya. Ruang tamu kecil dengan sofa yang sudah tampak lusuh, meja bundar kaca yang dihiasi taplak meja motif bunga.Dan di akhir pekan ini ada sedikit yang berbeda. Sedari pagi para penghuni rumah sudah berjibaku, bahu membahu bersama membereskan sudut rumah. Merapikan halaman rumah yang tidak terlalu luas. Mereka dengan giat melakukannya bersama, untuk menyambut kedatangan teman ibu. Teman lama ibu dulu, yang beberapa kali ditemui Rene saat remaja. Yang kata ibu setiap bulan selalu mengirimkan uang donasi untuk anak-anak. Bahkan ketika ibu sudah meninggal, Rene selalu mendapati uang transferan setiap bulan di hari yang sama tanpa terlewat sekalipun. Dan hari ini adalah hari yang sangat penting bagi mereka semua, setelah sekian lama, Rene dan adik-adiknya berkesempatan untuk berterimaksih pada orang baik itu.Saat wakt
Di sebuah restoran, dua laki-laki sedang duduk berhadapan. Menikmati hidangan yang ada di piring mereka masing-masing. Salah satu pria terlihat cukup tegang dan tidak tenang. Beberapa kali dia melirik, dari irisan daging di piringnya berpindah melihat reaksi pria yang duduk di depannya. Aleando Munaf nama laki-laki itu. Berbeda dengannya, laki-laki di depannya terlihat menikmati irisan daging yang sesuap demi sesuap masuk ke mulutnya, dengan wajah tenang. Laki-laki berwajah tenang itu adalah Argen Davino Wijaya.Aleando sekali lagi tertunduk, berusaha menimati lumernyan daging lembut di mulutnya. Namun tetap tidak terasa nikmat di lidahnya. Hari ini dengan pikiran kacau dan keraguan dia memberanikan diri untuk bertemu dengan Argen. Ah, mereka memang teman, namun selalu ada tiang tinggi menjulang yang Argen bangun di sekelilingnya. Agar tidak sembarang orang melewati batas itu.Argen adalah puncak bisnis di negri ini. Pemilik perusahaan ternama Domaz Group. Perusahaan multi nasional ya
"Hanya ada satu jalan aku membantu toko rotimu."Pikiran Aleando loading, namun tiba-tiba tring, matanya mengerjap menemukan jawaban."Berbeda kalau kau jadi keluargaku, aku akan membantumu. Bukan hanya toko roti, kalau kau mau aku bisa buatkan pabrik roti. Resep warisan orangtuamu akan bisa dinikmati penduduk negri ini. Pabrik roti terbesar di negara ini. Roti milikmu akan bersanding dengan Domaz Group."Siapa yang minta pabrik roti, dasar gila!Helaan nafas berat terdengar, walaupun ini candaan rasanya mengesalkan. Kalau kau bukan Argen sudah pasti kita akan adu mulut. Adu tinju kalau tidak ada pengawal setiamu itu."Argen, berhenti bercanda.""Aku serius," ucapan Argen terdengar lagi. "Kau bilang akan melakukan apa pun kan, jadi nikahhkan aku dengan adikmu.""Kau sudah gila ya, dia masih sekolah."Argen mengangkat tangannya, menahan gerakan pengawalnya. Mata Aleando melotot panik.Kalian berdua benar-benar menakutkan! Aku kan hanya memakinya gila. Aku bahkan tidak menyentuh ujung b
Wajah Aleando masih berkerut. Memikirkan tawaran Argen untuk menikah dengan adik perempuannya.Kenangan bagaimana persahabatan Aleandro dan Argen dimulai, persahabatan mereka sudah terjalin sejak mereka di SMA. Kembali muncul dengan jelas dipikiran Aleando.Dulu, Aleando adalah spesialisasi ketua kelas. Sebagai ketua kelas dia bersikap layaknya ketua kelas yang baik dan bertanggung jawab. Menjalankan tugas-tugas umum di kelasnya dan juga berusaha menyatukan seisi penghuni kelas. Menyapa semua penghuni kelas. Tanpa terkecuali.Dia satu kelas dengan Argen ketika kelas 2 SMU. Sewaktu kelas satu dia pernah mendengar desas desus tentang Argen yang ramai dibicarakan. Terutama oleh siswa perempuan. Hanya sebatas itu, dia baru melihat langsung dari dekat siswa yang paling banyak dibicarakan itu.Argen anak yang dingin dan cuek, hanya menatap tanpa ekspresi kalau disapa. Jangankan menyapa balik, membalas sapaan hanya dia lakukan sekenanya. Tidak mau berbaur dengan murid yang lainnya. Dia membu
Di rumah sederhana yang dihuni oleh 7 orang. Ada 4 kamar tidur di dalamnya. Dapur, dua kamar mandi dan satu ruang keluarga yang selalu mereka pakai berkumpul setiap harinya. Ruang tamu kecil dengan sofa yang sudah tampak lusuh, meja bundar kaca yang dihiasi taplak meja motif bunga.Dan di akhir pekan ini ada sedikit yang berbeda. Sedari pagi para penghuni rumah sudah berjibaku, bahu membahu bersama membereskan sudut rumah. Merapikan halaman rumah yang tidak terlalu luas. Mereka dengan giat melakukannya bersama, untuk menyambut kedatangan teman ibu. Teman lama ibu dulu, yang beberapa kali ditemui Rene saat remaja. Yang kata ibu setiap bulan selalu mengirimkan uang donasi untuk anak-anak. Bahkan ketika ibu sudah meninggal, Rene selalu mendapati uang transferan setiap bulan di hari yang sama tanpa terlewat sekalipun. Dan hari ini adalah hari yang sangat penting bagi mereka semua, setelah sekian lama, Rene dan adik-adiknya berkesempatan untuk berterimaksih pada orang baik itu.Saat wakt
Sementara itu di kantor Domaz Group.Miria yang sudah memberikan makan siang Argen membawa kotak bekalnya sendiri ke kantin kantor. Ramai. Beberapa orang menunduk hormat saat berpapasan dengannya. Miria menggangukan kepala, duduk di meja yang kosong. Biasanya dia makan siang sendirian, karena jarang ada karyawan lain yang mendekat. Kecuali satu orang ini. Laki-laki berwajah cerita tapi memiliki sejuta muslihat di otaknya. Pengacara Domaz Group. Laki-laki itu duduk tanpa meminta izin terlebih dahulu. Miria mendongak sebentar, lalu tak acuh lagi. Fokus melihat makanan yang ada di kotak bekal.Aaaaa, bagaimana ini aku mulai terbiasa. Kenapa Ale bisa membuat bekal yang berbeda setiap hari si. Aaaaa, aku jadi jatuh cinta setengah mati karenanya."Ternyata benar ya, gosip yang aku dengar selama beberapa hari ini." Pengacara itu mebuka suara.Cih, jangan bicara denganku. Aku sedang menikmati bekal makan siang buatan pacarku. Nasinya pulen dan nikmat, aromanya harum dan menggugah selera. Miri
"Mira, mau kan?""Ah mau donk,"Mereka pun membuat janji untuk datang ke rumah Rene. Lalu berjalan beriringan menuju kelas. Para mahasiswa yang lain pun terlihat berjalan di depan atau belakang mereka. Pergantian kelas membuat koridor ramai. Ada yang masih berkerumun di depan kelas, belum masuk."Senior!" Amira memanggil ketika bertemu di simpang koridor dengan senior Alvin. Wajah laki-laki itu pias ketika melihat Ana. Dia langsung membuang muka. Ana menangkap perubahan sikap itu dan seperti Dejavu.Apa sih, kenapa sikapnya begitu padaku. Seperti teman laki-lakiku di SMU."Amira, maaf ya, aku mau ke kelas dulu." Dia bahkan tidak menyapa Ana dan langsung berlalu. Rene melihat senior Alvin yang berjalan cepat tanpa menoleh menyunggingkan seringai kecil di bibirnya. "Kenapa dia? Kalian bertengkar?" Ana menoleh sekilas lalu memalingkan wajah lagi."Hah! Kenapa aku bertengkar dengan senior Alvin." Mereka mempercepat langkah saat sudah semakin dekat dengan kelas."Lho, bukannya kalian seda
Pelataran kampus. Para mahasiswa yang mengisi jeda waktu kuliah dengan mengobrol, bermain dengan hp masing-masing, atau yang berkutat dengan tugas kuliah yang sudah mendekati deadline. Mereka mengisi waktu dengan cara mereka masing-masing.Seperti ketiga gadis yang sekarang selalu bersama itu.Padahal cuma dua orang, tapi polusi suara yang disebabkan obrolan mereka rasanya memenuhi udara. Pepohonan menggoyangkan dedaunannya. Melambai ke kanan dan ke kiri. Ikut menikmati cerita Ana. Gadis manis itu terlihat tersipu, sesaat kemudian tertawa, jauh lebih sering menutup wajahnya dengan tangan. Menyembunyikan kebahagiaan yang bercampur rasa malu.Amira yang paling ngotot, tidak membiarkan Ana beranjak dari sampingnya sebelum menyelesaikan cerita misi sat set, dorong dan terjang yang diajarkan Amira. Setelah mendengar cerita yang sebenarnya tidak dibeberkan dengan gamblang oleh Ana, gadis itu ikut memerah wajahnya. Apalagi kalau Ana menceritakannya tanpa filter, pasti sudah membuat Amira pa
"Kak, seperti apa sebuah hubungan kedepannya kan tidak ada yang tahu akan seperti apa." Ana beringsut mendekat. Menyentuh kedua pipi Argen. "Kalau kita bertengkar dan marah, kalau aku marah dan kecewa pada Kakak, mungkin saja hal seperti itu akan terjadi." Ana mendaratkan kecupan tiba-tiba di bibir Argen. "Yang harus kita lakukan kan mempertahankan cinta kita." Menjatuhkan kepala ke dada Argen, dan memeluk tubuh Argen. "Kalau aku ngambek, kakak peluk aku seperti ini, lalu usap kepalaku, dan bisikan kata. Ana, aku mencintaimu. Karena aku mencintaimu maka aku melakukan itu. Jadi, karena aku mencintaimu bisakah kau berhenti marah dan memaafkan ku." Mendongak, melihat wajah Argen yang terlihat membeku. "Aku janji, walaupun marah, aku akan mendengarkan alasan kakak."Ana mundur dan menyentuh pipi Argen lagi. "Kakak berdebar-debar kan?" Semua hal yang ia lakukan secara spontan tadi seperti di tuntun Tuhan secara langsung. Ana sampai tercengang, karena dia bisa melakukannya dengan sangat n
Ana pelan-pelan membuka pintu. Tidak mau menimbulkan suara. Hening, yang ditangkap matanya hanya ruang kosong. Kak Argen tidak terlihat di manapun. Apa! Jadi dia benar-benar mandi dan tidur!Sekarang Ana membanting pintu dengan keras. Bodo amat mau Kak Argen dengar atau tidak. Kalau laki-laki itu dengar malah lebih baik pikir Ana. Gadis itu menggerutu, menyambar baju tidur asal-asalan. Masuk ke kamar mandi, mencuci muka dan menggosok gigi. Gubrak, rak tempat sabun jatuh. Hah! Memang apa si yang aku harapkan.Setelah wajahnya tersapu air, sepertinya otaknya menjadi lebih jernih sekarang. Lembut aliran udara terpompa. Ana mengambil buket bunga membawanya ke tempat tidur. Mendekapnya dalam pelukan dan jatuh terlentang menatap langit-langit. Pikirannya blank sekarang. Momen berharga yang sudah dia nantikan sepertinya akan terlewat begitu saja.Kak Argen bodoh! Seharusnya kan tidak begini!Ana memukul-mukul bunga dalam pelukannya. Lalu dia belai-belai lagi penuh sayang. Rencananya kan, d
Sedang persiapan maksimal. Ana kembali merapikan rambut. Mencoba beberapa gaya, tapi pada akhirnya rambut lurusnya tetap dia biarkan jatuh tergerai. Sekali lagi memastikan meja makan bersih sempurna. Meletakkan dua lilin dengan aroma bunga di atas meja makan. Sekuntum bunga Daisy dalam vas. Dia sengaja memilih yang kelopaknya kecil-kecil saat di toko bunga tadi."Hallo Kak Miria, Kak Argen hari ini tidak lembur kan?" Memastikan sekali lagi. Dia sudah berdandan dengan maksimal, apa jadinya kalau orang yang ditunggu datang, saat dia sudah tenggelam dalam selimut mimpi. Semua perjuanganku kan jadi sia-sia. Hiks."Benar ya, syukurlah kalau begitu. Terimakasih infonya Kak." Kegirangan mencuat setelah mendengar jawaban Miria. Ana duduk, melepas kegelisahan, lalu memilin kelopak bunga Daisy di tangan kiri. Ehm, berdehem sebentar. Setelah Miria selesai bicara, Ana pun sudah menyiapkan kalimat yang sudah sekian lama ia simpan, untuk siapa pun orangnya, yang akan dipilih Kak Ale. Dan dia ingi
Ale meneguk minumannya. Kenapa aku sering mendadak gatal tenggorokan begini si, akhir-akhir ini. Apa ada orang yang memakiku di belakangku.Dia berjongkok, memeriksa isi kulkas. Ana bilang mau memasak untuk makan malam nanti, bahan makanan masih ada apa ya. Satu persatu di periksa Ale. Masih lengkap gumamnya sambil duduk di kursi. Dia sedang menunggu roti di panggang. Tangannya meraih hp. Seutas senyum malu-malu muncul.Aku sudah berkencan dengan Miria kan. Ah, malunya aku, kenapa dia yang menyatakan cinta duluan si. Ale, kau memang tidak berguna. "Kau pasti sedang sibuk ya? Aku sedang memanggang roti.""Kau tidur dengan nyenyak?""Selamat bekerja. Aku akan mengirim makan siang ke kantormu. Berikan untuk Argen juga, jadi jangan merasa terbebani.""Selamat bekerja 😘"Aku harus memaklumi dia membalas pesan sedikit lebih lama. Dia juga sudah bilang kan. Hiiii, aku merinding seperti sedang melihat Argen memelototi ku.Ale belum cerita dengan Ana. Lebih-lebih dia belum mau mengatakannya
"Tahulah, karena dia tahu aku suka pada Kak Argen makanya Kak Ale menerima tawaran Kakak. Sebenarnya aku sedikit memaksanya si. Hehe." Jawaban Ana membuat hati Argen menjerit.Kakak sialan! Kau tahu segila apa aku beberapa hari ini saat bersama adikmu. membayangkan aku menyentuh Ana dan mengatakan padamu membuatku frustasi. Apalagi kalau sampai membuat Ana marah dan jijik karena aku menginginkannya. Kau benar-benar kakak sialan ya!Hah! Sebenarnya kenapa aku bisa sebodoh ini. Argen menampar dirinya sendiri. Benar juga, setelah dipikirkan ini terasa masuk akal. Kalau dia Ale, tidak mungkin dia akan membiarkan Ana menikah. Karena Argen tahu sesayang apa Ale pada adiknya. Tawaran toko roti tidak akan dia terima kalau dia tidak yakin Ana akan menyukai pernikahan ini.Dasar bodoh! Kenapa aku tidak terpikir sampai ke sana.Sedikit bengong karena mengutuki kebodohannya, Argen mengikuti Ana, setelah gadis itu mengambil tas dan buku-bukunya. Ana sudah selesai memakai sepatu. Argen memakai sepa