Banyak hal yang terjadi dalam beberapa hari ini. Miria dan keluarga mulai sibuk mempersiapkan pernikahan. Ale dan Ana juga demikian. Mengabarkan pada keluarga mereka tentang kabar baik ini. Serta membuat daftar barang-barang yang akan dibawa Ale untuk hadiah pernikahan."Nak Ale, nggak usah repot-repot, kamu menikahi anak kami Miria saja sudah menjadi hadiah terbesar dan kebahagiaan untuk kami selalu orangtua Miria. Tenang saja, kami yang akan mempersiapkan pernikahan kalian." Suatu sore ibu Miria bicara dengan Ale di telepon.Begitulah pasangan itu mempersiapkan hari bahagia mereka.Sementara di tempat lain.Gara datang ke RS untuk melakukan cek up, hanya bersama sopir yang merangkap pengawalnya. Satuan keamanan Domaz Group. Ibu yang harus menemani adik-adik tidak bisa ikut. Seperti yang pernah dikatakan Dokter William, kalau yang terjadi padanya adalah keajaiban. Begitu pula proses penyembuhan lengannya. Gara merasa beruntung, fisik tubuhnya yang memang kuat, membantu proses pem
Pertama orang-orang yang mendukung Argen dan tunduk padanya karena tahu, posisi Argen sudah tidak bisa digeser siapa pun. Kedua, orang-orang yang menundukkan kepala, namun tidak menyerahkan kepatuhan sepenuhnya pada Argen. Bagi mereka, keputusan kakek masih menjadi yang utama. Ketiga, orang-orang bermuka dua, yang paling menunggu kehancuran Argen. Mereka ingin merebut posisi tertinggi di Domaz Group. Entah itu dipicu rasa iri atau murni ingin kekuasaan dan harta yang berlimpah."Mungkin saja akan ada yang mendekatimu, bagaimana pun, darah nyonya besar ada dalam tubuhmu." Will menunjuk dada Gara. "Kakek mengundangmu, terlepas apa alasannya, bagi mereka menjadi angin segar. Mungkin mereka akan berusaha menghasutmu untuk merebut milik Argen.""Anda tahu kan saya tidak akan melakukannya." Gara menyambar cepat. Dia tahu apa maksud pembicaraan William. "Tentu, karena kalau kau berani memikirkannya saja, aku yang akan menghancurkanmu. Kau masih ingat kan yang aku katakan."Gara menepuk tang
"Ana aku datang! Penggangu sudah pergi!" Suaranya berubah riang dan jenaka.Padahal orang yang dikatai penggangu masih berdiri di ruang tamu. Melihatnya menghilang di balik pintu.Bagaimana bisa aku tidak menyayangimu Gen, walaupun aku pernah membenci dan iri padamu, tapi, setelah aku mengenalmu, hanya ada rasa sayang pada seorang adik yang tertinggal sekarang. Karena kau memang sebaik ini.Gara keluar dari rumah Argen. 🍓🍓🍓Makam yang selama ini mereka kunjungi diam-diam. Tanpa buket bunga, karena tidak ingin meninggalkan jejak apa pun. Sekarang, ibu dan anak itu membawa bunga dan buket bunga dalam pelukan mereka masing-masing. Membersihkan dedaunan pohon yang gugur dan jatuh di pusara. Menebarkan kelopak bunga di atas pusara."Ayah, ibu datang hari ini, sebagai istrimu dan menantu Domaz Group." Airmata ibu menetes jatuh ke pusara. Wanita itu mengusap ujung matanya yang sudah berair bahkan saat mobil memasuki gerbang pemakaman. Saat kakinya berjalan mendekat tetesan airmata itu
Saat langit mulai berwarna keemasan.Mobil milik Argen terlihat di gerbang utama. Para penjaga gerbang berdiri dari duduk, lalu menundukkan kepala mereka saat mobil itu melaju bahkan tanpa membuka kaca mobil. Bibi pengurus rumah dan seorang pelayan wanita sudah berdiri di dekat area parkir di mana mobil Argen terparkir. Menunggu, kedatangan Argen.Argen menggandeng tangan Ana, gadis itu tersenyum. Sambil mempererat genggaman. Ana membalas sapaan bibi pengurus rumah, Argen sama sekali tidak bereaksi. Laki-laki itu mungkin tidak akan pernah memaafkan bibi. Bahkan melihat wanita itu saja dia sudah malas."Selamat datang Tuan Muda. Mohon ikuti saya, tuan besar sudah menunggu Anda di ruang kerja." Bibi menundukkan kepalanya, bicara tanpa melihat wajah Argen. "Mohon maaf untuk nona muda, Anda bisa mengikuti pelayan ke ruang jamu....""Kau sudah gila ya." Argen memotong kata-kata bibi pengurus rumah. Lalu meraih tangan Ana. "Aku akan memberi salam pada kakek bersama Ana."Beraninya dia, tat
Argen menjejakkan kaki dan menendang meja. Kaca meja bergetar, foto-foto diatasnya begesek. Bibi pengurus rumah mulai gelisah. Kakek masih setenang langit malam, yang tidak bergeming melihat kemarahan cucunya."Aku bukan ayah Kek, sadarlah!" Saat Argen mengungkit tentang ayahnya terlihat kakek sedikit tersentak. "Aku tidak akan menghancurkan hidup seorang wanita hanya demi keserakanku, kau pikir setelah aku tahu bagaimana ibuku menderita dan wanita yang dicintai ayahku hidup, apa kakek pikir aku akan memberikan hidup seperti di neraka itu pada Ana."Persetan dengan status sosial dan nama baik keluarga. Bukankah pemimpin yayasan Domaz Group seharusnya orang yang memiliki hati dipenuhi belas kasih. Begitulah yang Argen percaya, bahkan dia sendiri berfikir ibunya tidak pantas menjabat posisi itu. Ibu bahkan terlihat akrab dengan anak-anak hanya saat pengambilan foto. Cih."Argen!""Aku mencintai Ana!""Argen!""Kalau kakek bersikeras memaksaku menikah lagi, kakek akan melihatku melawan
Suara berdengung dari orang yang ada di meja makan. Bisik-bisik mereka membicarakan hubungan Gara dan Argen. Mereka sedang menebak-nebak."Gen, duduklah di kursi mu, sebentar lagi tuan besar akan masuk." Gara bicara setengah berbisik. "Jangan membuat keributan." Sambil bicara Gara memegang tangan ibunya. Wanita beberapa kali bersitatap dengan wajah ibunya Argen."Siapa yang menyuruhmu duduk di sana?" Argen menatap pelayan laki-laki yang tadi bicara dengannya. Meminta penjelasan. Pelayan itu tidak berani menjawab. Tapi keluar jawaban dari saudara Argen yang ada di meja makan."Tempat duduk di atur kakek, tempat duduk sesuai dengan undangan yang kami terima." Salah satu bicara dengan suara agak keras membuat Argen menoleh padanya. Sepertinya salah satu orang yang mengejek Gara di halaman tadi. "Kakek yang menentukan nomor kursi sesuai nomor undangan." Dia bicara lagi."Benar Argen, kakek yang menentukan tempat duduk." Ada yang menambahi. "Sama dengan nomor undangan.""Duduklah Argen,
Di waktu yang bersamaan di toko roti Daisy.Ruben sedang duduk di belakang kasir, karena Lila pulang cepat hari ini dia menggantikan gadis itu. Ada keperluan keluarga begitu izin Lila pada Ale, hanya mengatakan alasan aslinya pada Ale. Sementara pada Ben dia hanya bilang ada urusan dengan orangtuanya.Dia melamun, saat tidak ada pembeli roti. Mengelap kaca etalase yang sebenarnya sudah kinclong dari tadi. Membayangkan, saat ini apa yang terjadi di rumah vila kakek ya. Apa Argen sudah bisa makan dengan lahap ya sekarang? karena ada istri yang sepertinya sangat dicintainya itu, sepertinya dia baik-baik saja.Hah! Dia menghela nafas sambil menggosok meja kasir sekarang. Kuat-kuat. Kenapa juga mengkhawatirkan Argen pikirnya. Bocah itu tetap hidup bahagia dan sempurna tanpa perlu kau cemaskan Ben. Begitu hatinya ditampar kesadaran.Tapi, dia kan sudah sebaik itu pada keluargaku. Wajarlah aku khawatir, ini bentuk teimakasihku pada semua bantuannya. Ah, entahlah. Ben berhenti memikirkan pe
Sampailah mereka ke tempat yang mereka tuju. Ramai, banyak muda mudi, sedang memilih makanan mana yang akan mereka makan.Ale bilang ingin makan mi, jadilah mereka makan di kedai mi. Duduk sambil beratap langit malam. Tempat ini pasti bubar kalau hujan jatuh dari langit. Karena payung lebar di atas mereka tidak mungkin bisa menangkal air dan angin yang menerjang bersamaan."Miria..."Miria mengangguk sambil menyeruput kuah mi yang masih panas. Mengusap bibirnya dengan tisyu. Menunggu perkataan Ale selanjutnya."Rumahku yang di gang sempit itu apa aku jual saja ya. Uangnya bisa kita pakai membeli rumah baru?" Ale cuma sesekali pulang, walaupun sebenarnya dia sayang dengan rumah itu. "Tapi, aku juga belum bertanya pada Ana." Bingung sendiri dia. Meneguk air putih di gelasnya.Rumah kenangan orangtuanya, namun dia pun tidak mau tinggal di rumah itu sendiri karena merasa kesepian. Hingga sekarang toko Daisy adalah rumahnya."Ale, apa kau mau tinggal diapartemen? Dibawah rumah Tuan Argen d
Meninggalkan Argen dan Ale berdua dalam ruangan tunggu."Kau tegang?" Argen mendekat menghampiri Ale. Meninju lengan sahabatnya. "Bagaimana perasaanmu hari ini?" Dia ingin menggoda Ale yang terlihat berdiri dengan kikuk. Beberap kali merapikan rambut yang memang sudah rapi."Senang, bahagia, aku sudah tidak sabar. Gen...""Apa?""Tapi aku gemetar tahu." Mencengkeram bahu Argen. Dia memang sok keren di depan Ana dan bilang baik-baik saja, padahal dadanya berdebar kencang. "Kau tegang tidak waktu mau menikah dengan Ana." Ada peluh yang merembes di kening Ale."Kau itu nggak ngapa-ngapain aja gemetar." Argen menjawab acuh seperti Argen biasanya."Dasar sialan!" Tapi Ale tertawa juga mendengarnya. Membuat kegelisahannya sedikit mencair. Mereka duduk di sofa sekarang. Ale masih terlihat gelisah. Beberapa kali mengusap wajahnya. Janji pernikahan, dia sudah hafal diluar kepala. Sudah dia ulang-ulang juga tadi. Dia tidak mau mengulangnya lagi, karena takut malah panik dan lupa semuanya.Ah,
Laki-laki itu menjatuhkan kepalanya di meja. Menyesali kebodohannya yang salah stategi. Dia terlalu jumawa. Diambilnya lagi undangan Miria. Dieja perlahan nama Aleando dengan sedikit geram seperti orang mengumpat. Dia laki-laki seperti apa ya, sampai bisa membuat Miria jatuh cinta.Pengacara itu sangat penasaran.🍓🍓🍓Setelah melalui proses persiapan yang melelahkan, yang lelah tentu yang berjibaku menyiapkan pesta, akhirnya hari pernikahan Miria dan Ale datang juga.Sebelumnya sempat terjadi keributan kecil karena orangtua Miria berharap gadis itu bisa pergi bulan madu setelah menikah. Orangtua Miria berharap, anaknya tidak menunda-nunda punya anak. Mumpung baru menikah, gejolak cinta masih membara."Sat set, terjang Nak Ale dan segera lahirkan anak untuknya. Kau kan tahu Miria, kami ini sudah tidak muda lagi. Yang lain di keluarga kita bahkan sudah memiliki beberap cucu. Jadi jangan menunda-nunda." Ibu bicara seenaknya membandingkan dirinya dan saudara yang sudah punya cucu."Ibu
Ada banyak hal yang harus disiapkan untuk pesta pernikahan. Memang. Miria juga tahu itu, karena gadis itu sudah berpengalaman menyiapkan pesta pernikahan yang bahkan skalanya jauh lebih besar. Pesta Tuan Argen dan Ana. Hingga gadis itu tahu bagaimana repotnya semua tim yang terlibat.Namun, kebahagiaan orangtua Miria karena anak sulungnya akan menikah, seperti menjadi tenaga ekstra untuk mereka. Adiknya yang sekolah di luar negri pun berencana akan pulang selama beberap hari. Damar, malah jadi jarang menyambangi toko Daisy, karena dia sudah jadi sopir khusus ibunya mengurus ini dan itu. Ayah Miria, masih datang ke toko mengawasi toko. Dia akan ikut membantu kalau akhir pekan.Seperti itulah yang terjadi, demi kebahagiaan putri yang tadinya katanya tidak tertarik untuk menikah. Mereka dengan suka cita melakukan ini dan itu.Apa yang orangtua Miria pernah katakan, kalau ada uang maka semua bisa berjalan jauh lebih gampang. Apalagi perkara mempersiapkan pernikahan. Benar-benar terbukti.
Selain karena kakek. Gumam Argen. Orangtua itu masih saja berfikir menyuruhku menikah dengan wanita berstatus sosial dan memiliki keluarga yang berkuasa. Cih, apa dia pikir aku masih anak-anak yang tidak bisa memimpin Domaz Group dengan tanganku sendiri. Argen masih merasa kakek belum sepenuhnya percaya pada kepemimpinannya mengelola Domaz Group. Hingga perlu bantuan orang lain. Dia takut, kalau Ana hamil malah akan menyusahkan gadis itu saja.Ana belum menjawab. Apa yang diucapkan Argen menyentuh keharuan hatinya. Dia memarahi dirinya sendiri. Padahal suaminya sangat memikirkannya, bisa-bisanya dia berfikir Kak Argen akan seperti kakek atau ayahnya. Mereka berpelukan, Ana minta maaf lagi sudah meragukan kesetiaan suaminya."Aku mencintaimu Ana, sangat, kau bahkan harus berhati-hati karena aku sangat mencintaimu."Aku akan melakukan apa pun untukmu. Kau bahkan sudah tahu apa yang bisa kulakukan untuk mendapatkannya kan. Bagaimana dia memperjuangkan hatinya untuk Ana, bagaimana cara d
"Apa sekarang aku harus menggantinya jadi tuan muda. Tapi dia marah, saat aku bersikap sopan padanya. Ah, entahlah. Tapi, aku penasaran, mereka ngapain sebenarnya di kamar sampai sesiang ini ya."Tegukan kopi habis, dan tirai kamar lantai atas belum terbuka.🍓🍓🍓Di bibir pantai. Ada sepatu wanita dan laki-laki tertabrak ombak. Sopir yang biasanya membisu selama bertugas mengangkat dua pasang sepatu itu, menjauhkan dari bibir pantai. Lalu dia duduk di atas pasir di dekat dua pasang sepatu itu.Sementara pemilik sepatu, sedang berjalan menyusuri pantai. Argen menggulung celananya, kaki mereka menapak pasir putih yang basah. Untuk pertama kalinya bagi Argen, sepanjang dia datang ke vila kakek, dia berada sedekat ini dengan air laut.Tangan keduanya saling terpaut. Melangkah diantara riak air yang menyentuh ujung kaki. Ombak berkejaran ke bibir pantai, suara deburan ombak terdengar menambar bebatuan di bagian pantai yang berbatu cadas."Kakak, kita duduk di sana yuk?"Argen belum menja
Matahari terbit di ufuk timur, berkas sinar keemasan memancar seperti naik ke cakrawala. Matahari seperti sejajar dengan lautan. Pemandangan matahari terbit di tepi laut memang sungguh terlihat menawan. Membius mata siapa pun yang memandang.Ana duduk bersandar dengan kaki selonjoran, dia bersandar dalam dekapan Argen yang bidang, bergelung di bawah satu selimut. Sebenarnya selimut menutupi tubuh Argen, namun karena dia dipeluk jadi ikut terselimuti. Angin pagi menerobos melalui jendela yang mereka buka, membawa angin laut yang dingin masuk ke dalam kamar. Walaupun agak dingin, namun melihat matahari keemasan yang muncul dari lautan, sudah cukup membayar rasa dingin yang mereka rasakan."Indahnya Kak." Ana memutar kepalanya, melihat wajah Argen yang memeluknya dari belakang. "Melihat matahari terbit, bersama Kakak, itu yang jauh lebih membahagiakan," ujarnya sambil memberi kecupan singkat dibibir Argen. Lalu memutar kepala lagi melihat pemandangan indah di luar sana."Hemm, kau senan
"Saya suka wanita yang umurnya lebih tua dari saya Kek." Will menyambar sebelum ayahnya menjawab.Kenapa kakek tertarik dengan pernikahan cucu yang sudah dibuangnya. Pikir Will.Secepat kilat ayah Will memukul kepala anaknya karena sudah lancang menjawab. Tatapan ayah Will menusuk tajam, membuat Will menghela nafas."Maaf Kek, saya pikir kakek mau menjodohkan saya. Jadi saya mengatakan kriteria wanita idaman saya. Saya ingin menikah dengan wanita yang lebih tua dengan saya."Ayah mencubit pinggang Will. "Karena bergaul dengan Argen kau jadi pintar bicara ya." Kakek sepertinya tidak marah dengan sikap kurang ajar Will. Mungkin di mata kakek di kening Will tertulis nama sahabat Argen. Jadi Will sedikit mendapat keistimewaan. "Aku tahu banyak yang sudah kau lakukan untuk Argen."Deg. Will mulai takut. Kakek ini seperti harimau pengintai. Cuma berlaku untuk Argen. Dia mencaritahu semua orang yang ada di sekeliling Argen. Membiarkan kalau berguna untuk Argen. Menghancurkannya kalau dia cu
Sampailah mereka ke tempat yang mereka tuju. Ramai, banyak muda mudi, sedang memilih makanan mana yang akan mereka makan.Ale bilang ingin makan mi, jadilah mereka makan di kedai mi. Duduk sambil beratap langit malam. Tempat ini pasti bubar kalau hujan jatuh dari langit. Karena payung lebar di atas mereka tidak mungkin bisa menangkal air dan angin yang menerjang bersamaan."Miria..."Miria mengangguk sambil menyeruput kuah mi yang masih panas. Mengusap bibirnya dengan tisyu. Menunggu perkataan Ale selanjutnya."Rumahku yang di gang sempit itu apa aku jual saja ya. Uangnya bisa kita pakai membeli rumah baru?" Ale cuma sesekali pulang, walaupun sebenarnya dia sayang dengan rumah itu. "Tapi, aku juga belum bertanya pada Ana." Bingung sendiri dia. Meneguk air putih di gelasnya.Rumah kenangan orangtuanya, namun dia pun tidak mau tinggal di rumah itu sendiri karena merasa kesepian. Hingga sekarang toko Daisy adalah rumahnya."Ale, apa kau mau tinggal diapartemen? Dibawah rumah Tuan Argen d
Di waktu yang bersamaan di toko roti Daisy.Ruben sedang duduk di belakang kasir, karena Lila pulang cepat hari ini dia menggantikan gadis itu. Ada keperluan keluarga begitu izin Lila pada Ale, hanya mengatakan alasan aslinya pada Ale. Sementara pada Ben dia hanya bilang ada urusan dengan orangtuanya.Dia melamun, saat tidak ada pembeli roti. Mengelap kaca etalase yang sebenarnya sudah kinclong dari tadi. Membayangkan, saat ini apa yang terjadi di rumah vila kakek ya. Apa Argen sudah bisa makan dengan lahap ya sekarang? karena ada istri yang sepertinya sangat dicintainya itu, sepertinya dia baik-baik saja.Hah! Dia menghela nafas sambil menggosok meja kasir sekarang. Kuat-kuat. Kenapa juga mengkhawatirkan Argen pikirnya. Bocah itu tetap hidup bahagia dan sempurna tanpa perlu kau cemaskan Ben. Begitu hatinya ditampar kesadaran.Tapi, dia kan sudah sebaik itu pada keluargaku. Wajarlah aku khawatir, ini bentuk teimakasihku pada semua bantuannya. Ah, entahlah. Ben berhenti memikirkan pe