"Kalau kakak belum mau menceritakannya, nggak papa kok. Aku akan menunggu." Ana membasuh lembut kepala Argen dengan tangannya. "Sampai Kakak siap menceritakannya, aku akan menunggu."Argen dusel-dusel sebelum mengangkat kepalanya. Wajahnya muram, dia akan bicara sepertinya."Ayahku punya anak dari wanita lain."Saking terkejutnya Ana cuma bisa membelalak sambil membuka mulutnya. "Jangankan kamu, aku saja terkejut, ayah yang pengecut begitu bisa mengkhianati ibu dan kakek." Ana mengusap wajah Argen, mendorong rambut laki-laki itu."Kakak marah karena ayah kakak, atau kemunculan saudara kakak?" Hati-hati Ana bicara, sambil menyusuri pipi Argen dengan jemarinya. "Adik kakak dimana sekarang?"Bukan adik, dia kakakku. Huh! Sekarang aku jadi berfikir, ayah duluan menikah dengan siapa ya, dengan ibuku atau ibu si bodoh itu. Argen jadi berkubang dengan pikirannya. Berapa selisih umur kami ya? Dia menghela nafas jengah, selama ini dia tidak terlalu perduli pada Anggara, sampai tidak tahu ber
Kejadian ini berlangsung sebelum Argen mendatangi vila pinggir pantai milik kakek.Mobil memasuki halaman sebuah rumah, cukup besar, walaupun tidak terbilang mewah. Hampir sama dengan rumah-rumah yang ada di sebelahnya. Saat mobil sudah berdecit. Argen keluar setelah Miria membuka pintu mobil. Sopir memundurkan mobil keluar dari halaman rumah, menepi di dekat tepi jalan. Tidak keluar dari mobil.Pemilik rumah yang terkejut saat mengintip di jendela, tergopoh keluar. Dialah orangtua Wiliam. Bibi menelepon anaknya kenapa sampai Argen datang setelah mengintip di jendela tadi, namun, Wiliam yang sedang ada di ruang operasi tentu tidak bisa menjawab panggilannya. Kedua orang itu pun berjalan mendekat terlihat pias. Bibi menggandeng lengan suaminya."Argen..." Paman menyapa sambil menundukkan kepala. "Ada keperluan apa sampai Anda datang kemari?"Keluarga mereka memang berdiri di belakang Argen. Bukan sebagai pelindung, namun sebagai keluarga yang menggantungkan hidup dari tangan dan belas
Nama wanita itu adalah Mutiara. Orang-orang di rumah kakek memanggilnya Tia. Seorang gadis lugu dan ceria yang berasal dari desa. Dia dibawa paman dan bibinya yang sudah bekerja pada kakek selama bertahun-tahun. Dia seperti kuncup bunga yang menanti sinar matahari untuk mekar. Gadis kecil lugu dari desa yang beranjak dewasa. Dia bukan gadis pandai dan berpendidikan rendah. Namun, Tia anak yang sopan, cantik, dan ramah dengan cepat menarik hati para pelayan yang lain. Baik laki-laki atau perempuan. Merasa ingin melindungi gadis kecil itu. Sudah mereka anggap seperti anak sendiri.Nenek juga menyukai Tia yang bekerja dengan cekatan dan rapi. Gadis itu mudah paham jika diajari, sekali dua kali dia diajari dia paham dan selanjutnya bisa melakukannya dengan baik. Dia menjadi teman nenek bicara. Dan hari itu untuk pertama kalinya mereka berpapasan. Tia dengan tuan muda (ayah Argen muda). Entahlah, itu jatuh cinta pada pandangan pertama atau apa. Namun, bagi Tia, melihat tuan muda yang han
Bibi kembali bicara. Setelah mengingat-ingat, membongkar semua ingatan di kepalanya. Ibu Argen yang masih menyimpan curiga, akhirnya mengerahkan pengawal untuk membuntuti suaminya."Ibumu menemukan fakta kalau ayahmu masih berhubungan dengan istri pertamanya." Tangan bibi gemetar. "Dan karena gelap mata dan cemburu dia ingin membunuh Tia dan anaknya." Argen bisa merasakan kesedihan dan kemarahan dalam cerita yang bibi katakan. Bibi bersimpati pada Mutiara, namun juga tidak bisa menyalahkan ibu Argen yang merasa terkhianati."Bodoh!" Suara Argen menggema."Maaf Argen, Bibi memang bodoh." Saking takutnya saat Argen bicara, bibi jadi asal menjawab."Ayahku yang bodoh!""Ia ayahmu memang bodoh!" Paman langsung menutup tangan bibi yang keceplosan ikut memaki. "Maaf, bukan maksud bibi. Bagaimana ini?" Bertanya pada suaminya."Teruskan cerita Bibi." Sedikit lega karena Argen tidak mempermasalahkan dia memaki ayahnya tadi. Bibi pun melanjutkan cerita."Ayahmu bisa mencegah ibumu melakukan
Halaman rumah vila di tepi pantai.Angin laut berhembus diantara pepohonan. Tercium aroma lautan luas yang terbawa deburan ombak yang menampar pantai. Argen melihat ke arah jendela kamar kakek, tirainya terbuka. Tapi tidak terlihat ada siapa pun di sana. Namun dia merasa kakek sudah melihat semuanya. Alasan kedatangannya siang ini untuk apa."Di mana kakek?"Pertanyaan itu Argen tujukan untuk bibi. Wanita itu benar-benar mirip Miria. Tidak menunjukkan rasa takutnya dengan situasi yang sedang dia hadapi. Mungkin karena dia sudah makan asam garam kehidupan ketika melayani kakek semasa mudanya. Wanita itu saksi kejayaan hidup kakek sebagai Presdir Domaz Group."Tuan muda sebaiknya Anda menenangkan diri sebelum bertemu tuan besar." Bibi bicara dengan tenang, walaupun tangannya terkatup di depan dadanya.Tidak terbayangkan apa yang akan terjadi kalau dua pasak tinggi penopang Domaz Group, yang sama-sama kuat dan keras kepala bertemu dalam situasi seperti saat ini. Tuan muda yang masih mele
Kakek masih duduk tenang, walaupun cucunya sudah berteriak marah dengan geramnya. Miria mau melangkah mendekat, namun tangan seniornya menghalangi. Bibi kepala pelayan itu menggeleng. Ini bukan sesuatu yang bisa mereka campuri begitu bisiknya. Kemarahan jilid tiga sebentar lagi meledak magmanya. Itu yang diprediksi Miria.Argen duduk dengan tegak. Melihat kakeknya yang belum mengendur egonya."Ayah sudah meninggal dengan menyedihkan, apa kakek sama sekali tidak merasa bersalah? Dia mati karena kakek, karena keegoisan kakek!" Prank!Meja kaca itu benar pecah berkeping. Saat teriakan Argen seirama dengan tendangan kakinya. Kakek hanya melihat serpihan kaca lalu menggeser kaki menjauhi meja yang berantakan. Menatap Argen yang di penuhi kemarahan. Pandangannya turun ke kaki cucunya. Memastikan kaki itu tidak terluka.Argen menyandarkan bahu, menatap entah ke mana."Kakek tahu aku selalu bertanya-tanya dulu, kenapa ayah keras mendidikku, dia tidak pernah menunjukkan cinta atau kasih sayan
Kakek menatap Argen dengan penuh selidik. Apa Argen benar-benar sudah membuka hati untuk kakaknya. "Undang ibunya ke pertemuan keluarga Kek." Akhirnya Argen bicara lagi setelah menunggu, kakek sama sekali tidak memberinya jawaban yang memuaskan."Argen.""Atau aku akan membuang kakek dan Domaz Group." Dia bangun, menendang bantal kursi. Menginjak pecahan kaca. Mendekati lemari kakek, tempat laki-laki itu meletakkan koleksi pajangan berharganya. Miria sudah mulai panik. Benda-benda yang ada di dalamnya, nilai dan harganya bisa melebihi harga rumahnya di kali tiga. Argen membuka pintu lemari. Mengambil satu benda. Memegangnya. Lalu melepaskan pegangannya, benda itu jatuh membentur lantai. Miria menjerit tanpa suara."Biasanya kakek yang membuang cucu atau anak kakek yang tidak berguna kan?" Argen tersenyum sambil mengambil satu benda lagi. Dia melakukan hal yang sama. Mengangkatnya, lalu melepaskan tangannya. Benda koleksi kakek satu lagi berhamburan di lantai.Kakek hanya melihat, sa
Daisy Bakery Shop.Lila cekatan memasukan roti yang sudah dipilih seorang pelangan dari nampan ke dalam kotak kertas. Setelah menerima pembayaran dia memberikan struk belanja dan kembalian. "Datang lagi ya Kak, aku kasih bonus roti beruang isi cream chesee, karena kakak pelanggan setia kami. Roti bentuk beruang ini lucu kan? Hehe." Ada saja kelakuan Lila menggaet pelanggan.Roti beruang adalah roti berbentuk beruang, dengan warna roti yang coklat seperti kulit beruang. Isinya creamcheese yang creami dan lembut, lumer di mulut. Tidak terlalu manis, cocok bagi yang suka roti yang tidak terlalu manis."Terimakasih Lila," Pelanggan bahkan sudah hafal dengan nama Lila. "Adikku seneng banget roti beruang, oh ya hari ini kau semakin ceria saja." Dia memang selalu datang ke toko roti ini setiap dua hari sekali. Lila yang memang sok akrab pada para pembeli."Hehe, aku kan selalu bahagia Kak." Pelanggan wanita itu cuma tertawa menanggapi. Melambaikan tangan dan keluar dari toko.Begitu seterus
Meninggalkan Argen dan Ale berdua dalam ruangan tunggu."Kau tegang?" Argen mendekat menghampiri Ale. Meninju lengan sahabatnya. "Bagaimana perasaanmu hari ini?" Dia ingin menggoda Ale yang terlihat berdiri dengan kikuk. Beberap kali merapikan rambut yang memang sudah rapi."Senang, bahagia, aku sudah tidak sabar. Gen...""Apa?""Tapi aku gemetar tahu." Mencengkeram bahu Argen. Dia memang sok keren di depan Ana dan bilang baik-baik saja, padahal dadanya berdebar kencang. "Kau tegang tidak waktu mau menikah dengan Ana." Ada peluh yang merembes di kening Ale."Kau itu nggak ngapa-ngapain aja gemetar." Argen menjawab acuh seperti Argen biasanya."Dasar sialan!" Tapi Ale tertawa juga mendengarnya. Membuat kegelisahannya sedikit mencair. Mereka duduk di sofa sekarang. Ale masih terlihat gelisah. Beberapa kali mengusap wajahnya. Janji pernikahan, dia sudah hafal diluar kepala. Sudah dia ulang-ulang juga tadi. Dia tidak mau mengulangnya lagi, karena takut malah panik dan lupa semuanya.Ah,
Laki-laki itu menjatuhkan kepalanya di meja. Menyesali kebodohannya yang salah stategi. Dia terlalu jumawa. Diambilnya lagi undangan Miria. Dieja perlahan nama Aleando dengan sedikit geram seperti orang mengumpat. Dia laki-laki seperti apa ya, sampai bisa membuat Miria jatuh cinta.Pengacara itu sangat penasaran.šššSetelah melalui proses persiapan yang melelahkan, yang lelah tentu yang berjibaku menyiapkan pesta, akhirnya hari pernikahan Miria dan Ale datang juga.Sebelumnya sempat terjadi keributan kecil karena orangtua Miria berharap gadis itu bisa pergi bulan madu setelah menikah. Orangtua Miria berharap, anaknya tidak menunda-nunda punya anak. Mumpung baru menikah, gejolak cinta masih membara."Sat set, terjang Nak Ale dan segera lahirkan anak untuknya. Kau kan tahu Miria, kami ini sudah tidak muda lagi. Yang lain di keluarga kita bahkan sudah memiliki beberap cucu. Jadi jangan menunda-nunda." Ibu bicara seenaknya membandingkan dirinya dan saudara yang sudah punya cucu."Ibu
Ada banyak hal yang harus disiapkan untuk pesta pernikahan. Memang. Miria juga tahu itu, karena gadis itu sudah berpengalaman menyiapkan pesta pernikahan yang bahkan skalanya jauh lebih besar. Pesta Tuan Argen dan Ana. Hingga gadis itu tahu bagaimana repotnya semua tim yang terlibat.Namun, kebahagiaan orangtua Miria karena anak sulungnya akan menikah, seperti menjadi tenaga ekstra untuk mereka. Adiknya yang sekolah di luar negri pun berencana akan pulang selama beberap hari. Damar, malah jadi jarang menyambangi toko Daisy, karena dia sudah jadi sopir khusus ibunya mengurus ini dan itu. Ayah Miria, masih datang ke toko mengawasi toko. Dia akan ikut membantu kalau akhir pekan.Seperti itulah yang terjadi, demi kebahagiaan putri yang tadinya katanya tidak tertarik untuk menikah. Mereka dengan suka cita melakukan ini dan itu.Apa yang orangtua Miria pernah katakan, kalau ada uang maka semua bisa berjalan jauh lebih gampang. Apalagi perkara mempersiapkan pernikahan. Benar-benar terbukti.
Selain karena kakek. Gumam Argen. Orangtua itu masih saja berfikir menyuruhku menikah dengan wanita berstatus sosial dan memiliki keluarga yang berkuasa. Cih, apa dia pikir aku masih anak-anak yang tidak bisa memimpin Domaz Group dengan tanganku sendiri. Argen masih merasa kakek belum sepenuhnya percaya pada kepemimpinannya mengelola Domaz Group. Hingga perlu bantuan orang lain. Dia takut, kalau Ana hamil malah akan menyusahkan gadis itu saja.Ana belum menjawab. Apa yang diucapkan Argen menyentuh keharuan hatinya. Dia memarahi dirinya sendiri. Padahal suaminya sangat memikirkannya, bisa-bisanya dia berfikir Kak Argen akan seperti kakek atau ayahnya. Mereka berpelukan, Ana minta maaf lagi sudah meragukan kesetiaan suaminya."Aku mencintaimu Ana, sangat, kau bahkan harus berhati-hati karena aku sangat mencintaimu."Aku akan melakukan apa pun untukmu. Kau bahkan sudah tahu apa yang bisa kulakukan untuk mendapatkannya kan. Bagaimana dia memperjuangkan hatinya untuk Ana, bagaimana cara d
"Apa sekarang aku harus menggantinya jadi tuan muda. Tapi dia marah, saat aku bersikap sopan padanya. Ah, entahlah. Tapi, aku penasaran, mereka ngapain sebenarnya di kamar sampai sesiang ini ya."Tegukan kopi habis, dan tirai kamar lantai atas belum terbuka.šššDi bibir pantai. Ada sepatu wanita dan laki-laki tertabrak ombak. Sopir yang biasanya membisu selama bertugas mengangkat dua pasang sepatu itu, menjauhkan dari bibir pantai. Lalu dia duduk di atas pasir di dekat dua pasang sepatu itu.Sementara pemilik sepatu, sedang berjalan menyusuri pantai. Argen menggulung celananya, kaki mereka menapak pasir putih yang basah. Untuk pertama kalinya bagi Argen, sepanjang dia datang ke vila kakek, dia berada sedekat ini dengan air laut.Tangan keduanya saling terpaut. Melangkah diantara riak air yang menyentuh ujung kaki. Ombak berkejaran ke bibir pantai, suara deburan ombak terdengar menambar bebatuan di bagian pantai yang berbatu cadas."Kakak, kita duduk di sana yuk?"Argen belum menja
Matahari terbit di ufuk timur, berkas sinar keemasan memancar seperti naik ke cakrawala. Matahari seperti sejajar dengan lautan. Pemandangan matahari terbit di tepi laut memang sungguh terlihat menawan. Membius mata siapa pun yang memandang.Ana duduk bersandar dengan kaki selonjoran, dia bersandar dalam dekapan Argen yang bidang, bergelung di bawah satu selimut. Sebenarnya selimut menutupi tubuh Argen, namun karena dia dipeluk jadi ikut terselimuti. Angin pagi menerobos melalui jendela yang mereka buka, membawa angin laut yang dingin masuk ke dalam kamar. Walaupun agak dingin, namun melihat matahari keemasan yang muncul dari lautan, sudah cukup membayar rasa dingin yang mereka rasakan."Indahnya Kak." Ana memutar kepalanya, melihat wajah Argen yang memeluknya dari belakang. "Melihat matahari terbit, bersama Kakak, itu yang jauh lebih membahagiakan," ujarnya sambil memberi kecupan singkat dibibir Argen. Lalu memutar kepala lagi melihat pemandangan indah di luar sana."Hemm, kau senan
"Saya suka wanita yang umurnya lebih tua dari saya Kek." Will menyambar sebelum ayahnya menjawab.Kenapa kakek tertarik dengan pernikahan cucu yang sudah dibuangnya. Pikir Will.Secepat kilat ayah Will memukul kepala anaknya karena sudah lancang menjawab. Tatapan ayah Will menusuk tajam, membuat Will menghela nafas."Maaf Kek, saya pikir kakek mau menjodohkan saya. Jadi saya mengatakan kriteria wanita idaman saya. Saya ingin menikah dengan wanita yang lebih tua dengan saya."Ayah mencubit pinggang Will. "Karena bergaul dengan Argen kau jadi pintar bicara ya." Kakek sepertinya tidak marah dengan sikap kurang ajar Will. Mungkin di mata kakek di kening Will tertulis nama sahabat Argen. Jadi Will sedikit mendapat keistimewaan. "Aku tahu banyak yang sudah kau lakukan untuk Argen."Deg. Will mulai takut. Kakek ini seperti harimau pengintai. Cuma berlaku untuk Argen. Dia mencaritahu semua orang yang ada di sekeliling Argen. Membiarkan kalau berguna untuk Argen. Menghancurkannya kalau dia cu
Sampailah mereka ke tempat yang mereka tuju. Ramai, banyak muda mudi, sedang memilih makanan mana yang akan mereka makan.Ale bilang ingin makan mi, jadilah mereka makan di kedai mi. Duduk sambil beratap langit malam. Tempat ini pasti bubar kalau hujan jatuh dari langit. Karena payung lebar di atas mereka tidak mungkin bisa menangkal air dan angin yang menerjang bersamaan."Miria..."Miria mengangguk sambil menyeruput kuah mi yang masih panas. Mengusap bibirnya dengan tisyu. Menunggu perkataan Ale selanjutnya."Rumahku yang di gang sempit itu apa aku jual saja ya. Uangnya bisa kita pakai membeli rumah baru?" Ale cuma sesekali pulang, walaupun sebenarnya dia sayang dengan rumah itu. "Tapi, aku juga belum bertanya pada Ana." Bingung sendiri dia. Meneguk air putih di gelasnya.Rumah kenangan orangtuanya, namun dia pun tidak mau tinggal di rumah itu sendiri karena merasa kesepian. Hingga sekarang toko Daisy adalah rumahnya."Ale, apa kau mau tinggal diapartemen? Dibawah rumah Tuan Argen d
Di waktu yang bersamaan di toko roti Daisy.Ruben sedang duduk di belakang kasir, karena Lila pulang cepat hari ini dia menggantikan gadis itu. Ada keperluan keluarga begitu izin Lila pada Ale, hanya mengatakan alasan aslinya pada Ale. Sementara pada Ben dia hanya bilang ada urusan dengan orangtuanya.Dia melamun, saat tidak ada pembeli roti. Mengelap kaca etalase yang sebenarnya sudah kinclong dari tadi. Membayangkan, saat ini apa yang terjadi di rumah vila kakek ya. Apa Argen sudah bisa makan dengan lahap ya sekarang? karena ada istri yang sepertinya sangat dicintainya itu, sepertinya dia baik-baik saja.Hah! Dia menghela nafas sambil menggosok meja kasir sekarang. Kuat-kuat. Kenapa juga mengkhawatirkan Argen pikirnya. Bocah itu tetap hidup bahagia dan sempurna tanpa perlu kau cemaskan Ben. Begitu hatinya ditampar kesadaran.Tapi, dia kan sudah sebaik itu pada keluargaku. Wajarlah aku khawatir, ini bentuk teimakasihku pada semua bantuannya. Ah, entahlah. Ben berhenti memikirkan pe