Teriakan berhenti dari pengawal itu membuat semua mulut dan tubuh ikut berhenti, seperti terkena tompol pause. Menatap tuan besar bersamaan. Masih saling pegang dan dorong.Sambungan terhubung, suara Argen terdengar. Bahkan sepertinya orang-orang menahan nafas termasuk Miria. Demi mendengar percakapan antara kakek dan cucu itu."Aku baik-baik saja. Cuma mau bilang begitu." Suara acuh Argen seperti biasanya."Aku tahu." Kakek yang sok sama dinginnya menjawab. "Jadi jangan berlebihan menghukum mereka." Wajah kakek masam melihat ke arah para pelaku dan sopir yang terkulai tak berdaya. "Suruh Miria pulang, jangan sampai dia melihat Kakek melakukan hal mengerikan, kau bisa menakutinya.""Cucu kurang ajar.""Aku baik-baik saja Kek, pengawalmu juga selamat.""Memang siapa juga yang mau membunuh anak-anaknya sendiri.""Cih." Dengan kurang ajarnya Argen menjawab."Pokoknya aku tidak mau para bibi-bibi itu datang ke kantorku untuk memohon-mohon aku mengampuni suami mereka! Sudah, aku mau tidur
Miria berdiri di depan pintu. Mengeryit beberapa kali. Bahkan dia ikut mengusap tengkuknya agar fokus menarik nafas dalam.Sementara yang ada di dalam ruangan. Setelah terdengar erangan dan benda jatuh, keheningan yang menyiksa keduanya tercipta.Wiliam duduk berlutut, kakinya nyeri ditendang Argen tiga kali. Kalau dia tidak roboh, mungkin akan berlanjut keempat kalinya. Untuk menyelamatkan sendinya dia memilih ambruk. Bibirnya pecah, darah jatuh merembes di bajunya yang berwarna biru. Terlihat karena kontras dengan jas dokter yang dia pakai. Dia meringis menahan sakit. Sementara Argen beberapa kali menghela nafas masih menekan emosinya.Entahlah dia marah karena apa. Karena Wiliam mengkhianati kepercayaannya. Karena cuma dia yang terlihat menyedihkan dalam situasi ini. Si bodoh itu juga pastilah sudah tahu kenyataannya. Kakek juga pasti tahu, bahkan ibunya juga sudah pasti tahu.Pantas saja mengorek masa lalu Anggara tidak membuahkan hasil apa-apa, membongkar transaksi apa yang suda
"Aku tidak berhak memintamu menerimanya." Wiliam bicara lagi dengan suara pelan. "Aku hanya ingin kau tahu, dia sudah berjuang untuk ada di sampingmu." Wiliam menggigit bibirnya saat mendengar gerakan tubuh Argen. Kakinya nyeri hanya melihat Argen bangun dari duduknya. "Dia menyayangimu Gen, sama seperti aku menyayangi dan menghormati mu." Wiliam menciut."Keluar! Jangan ada yang masuk sebelum aku memberi izin." Berdiri membelakangi Wiliam."Gen.""Keluar Will!""Baik." Wiliam menyeret kakinya keluar dari ruangan. Tersenyum menahan nyeri saat melihat Miria yang berdiri di depan pintu. Wanita ini pasti mendengar semuanya gumam Wiliam."Anda tidak apa-apa Dokter?" Tanya Miria dengan wajah datar."Haha, bukannya aneh kalau sampai aku tidak apa-apa setelah membuat Argen marah.""Maaf." Miria menundukkan kepalanya. Tapi tidak merubah eksperinya."Sudahlah, ini salahku juga mau bagaimana lagi, dia tidak mematahkan kakiku sudah bagus." Wiliam berjalan, baru beberapa langkah dia berbalik. "J
"Kalau kakak belum mau menceritakannya, nggak papa kok. Aku akan menunggu." Ana membasuh lembut kepala Argen dengan tangannya. "Sampai Kakak siap menceritakannya, aku akan menunggu."Argen dusel-dusel sebelum mengangkat kepalanya. Wajahnya muram, dia akan bicara sepertinya."Ayahku punya anak dari wanita lain."Saking terkejutnya Ana cuma bisa membelalak sambil membuka mulutnya. "Jangankan kamu, aku saja terkejut, ayah yang pengecut begitu bisa mengkhianati ibu dan kakek." Ana mengusap wajah Argen, mendorong rambut laki-laki itu."Kakak marah karena ayah kakak, atau kemunculan saudara kakak?" Hati-hati Ana bicara, sambil menyusuri pipi Argen dengan jemarinya. "Adik kakak dimana sekarang?"Bukan adik, dia kakakku. Huh! Sekarang aku jadi berfikir, ayah duluan menikah dengan siapa ya, dengan ibuku atau ibu si bodoh itu. Argen jadi berkubang dengan pikirannya. Berapa selisih umur kami ya? Dia menghela nafas jengah, selama ini dia tidak terlalu perduli pada Anggara, sampai tidak tahu ber
Kejadian ini berlangsung sebelum Argen mendatangi vila pinggir pantai milik kakek.Mobil memasuki halaman sebuah rumah, cukup besar, walaupun tidak terbilang mewah. Hampir sama dengan rumah-rumah yang ada di sebelahnya. Saat mobil sudah berdecit. Argen keluar setelah Miria membuka pintu mobil. Sopir memundurkan mobil keluar dari halaman rumah, menepi di dekat tepi jalan. Tidak keluar dari mobil.Pemilik rumah yang terkejut saat mengintip di jendela, tergopoh keluar. Dialah orangtua Wiliam. Bibi menelepon anaknya kenapa sampai Argen datang setelah mengintip di jendela tadi, namun, Wiliam yang sedang ada di ruang operasi tentu tidak bisa menjawab panggilannya. Kedua orang itu pun berjalan mendekat terlihat pias. Bibi menggandeng lengan suaminya."Argen..." Paman menyapa sambil menundukkan kepala. "Ada keperluan apa sampai Anda datang kemari?"Keluarga mereka memang berdiri di belakang Argen. Bukan sebagai pelindung, namun sebagai keluarga yang menggantungkan hidup dari tangan dan belas
Nama wanita itu adalah Mutiara. Orang-orang di rumah kakek memanggilnya Tia. Seorang gadis lugu dan ceria yang berasal dari desa. Dia dibawa paman dan bibinya yang sudah bekerja pada kakek selama bertahun-tahun. Dia seperti kuncup bunga yang menanti sinar matahari untuk mekar. Gadis kecil lugu dari desa yang beranjak dewasa. Dia bukan gadis pandai dan berpendidikan rendah. Namun, Tia anak yang sopan, cantik, dan ramah dengan cepat menarik hati para pelayan yang lain. Baik laki-laki atau perempuan. Merasa ingin melindungi gadis kecil itu. Sudah mereka anggap seperti anak sendiri.Nenek juga menyukai Tia yang bekerja dengan cekatan dan rapi. Gadis itu mudah paham jika diajari, sekali dua kali dia diajari dia paham dan selanjutnya bisa melakukannya dengan baik. Dia menjadi teman nenek bicara. Dan hari itu untuk pertama kalinya mereka berpapasan. Tia dengan tuan muda (ayah Argen muda). Entahlah, itu jatuh cinta pada pandangan pertama atau apa. Namun, bagi Tia, melihat tuan muda yang han
Bibi kembali bicara. Setelah mengingat-ingat, membongkar semua ingatan di kepalanya. Ibu Argen yang masih menyimpan curiga, akhirnya mengerahkan pengawal untuk membuntuti suaminya."Ibumu menemukan fakta kalau ayahmu masih berhubungan dengan istri pertamanya." Tangan bibi gemetar. "Dan karena gelap mata dan cemburu dia ingin membunuh Tia dan anaknya." Argen bisa merasakan kesedihan dan kemarahan dalam cerita yang bibi katakan. Bibi bersimpati pada Mutiara, namun juga tidak bisa menyalahkan ibu Argen yang merasa terkhianati."Bodoh!" Suara Argen menggema."Maaf Argen, Bibi memang bodoh." Saking takutnya saat Argen bicara, bibi jadi asal menjawab."Ayahku yang bodoh!""Ia ayahmu memang bodoh!" Paman langsung menutup tangan bibi yang keceplosan ikut memaki. "Maaf, bukan maksud bibi. Bagaimana ini?" Bertanya pada suaminya."Teruskan cerita Bibi." Sedikit lega karena Argen tidak mempermasalahkan dia memaki ayahnya tadi. Bibi pun melanjutkan cerita."Ayahmu bisa mencegah ibumu melakukan
Halaman rumah vila di tepi pantai.Angin laut berhembus diantara pepohonan. Tercium aroma lautan luas yang terbawa deburan ombak yang menampar pantai. Argen melihat ke arah jendela kamar kakek, tirainya terbuka. Tapi tidak terlihat ada siapa pun di sana. Namun dia merasa kakek sudah melihat semuanya. Alasan kedatangannya siang ini untuk apa."Di mana kakek?"Pertanyaan itu Argen tujukan untuk bibi. Wanita itu benar-benar mirip Miria. Tidak menunjukkan rasa takutnya dengan situasi yang sedang dia hadapi. Mungkin karena dia sudah makan asam garam kehidupan ketika melayani kakek semasa mudanya. Wanita itu saksi kejayaan hidup kakek sebagai Presdir Domaz Group."Tuan muda sebaiknya Anda menenangkan diri sebelum bertemu tuan besar." Bibi bicara dengan tenang, walaupun tangannya terkatup di depan dadanya.Tidak terbayangkan apa yang akan terjadi kalau dua pasak tinggi penopang Domaz Group, yang sama-sama kuat dan keras kepala bertemu dalam situasi seperti saat ini. Tuan muda yang masih mele
Meja mereka memang tidak memiliki nomor, namun diatur berdasarkan nama keluarga. Kakek berjalan menuju mejanya, Ana tersenyum hangat saat kakek mendekat. Gadis itu dan Argen duduk di meja kakek. Ale dan Miria bergabung bersama Gara dan ibunya.Saat kakek menggerakkan tangannya mereka semua duduk dengan teratur. Setelah semua orang duduk, kakek mengambil sendok dan membenturkannya ke gelas. Suara dentingan itu membuat suasana senyap."Apa kalian menyukai suasana baru makan malam kali ini?"Hening, tidak ada yang berani menjawab. "Kalian pasti merasa aneh, apalagi saat melihat banyak sekali yang hadir di acara makan malam kali ini. Kalian semua adalah anak-anak dan cucu-cucuku, aku mengundang kalian semua tanpa terlewat satupun." Kakek mengedarkan pandangan. "Kedepannya aku akan mengundang kalian semua juga."Hening... Hati semua orang berdebar."Jadi, jangan saling bertengkar dan menjatuhkan. Dukung Argen membangun Domaz Group dan mempertahankan kejayaan Domaz Group. Jangan ada dari k
Perjamuan makan malam bulan ini di rumah vila tepi pantai, akan sangat berbeda dengan perjamuan bulan yang lalu atau bulan-bulan sebelumya. Karena bulan ini bertepatan dengan ulang tahun kakek. Perayaan ulang tahun kakek disiapkan bibi dengan sepenuh hati. Wanita itu bahkan menawarkan apakah tuan besar juga ingin membuat pesta kembang api seperti kejutan yang diberikan Tuan muda. Kakek menghardik bibi dengan marah."Maaf Tuan, karena saya melihat Anda menyukainya jadi saya pikir Anda ingin melakukannya. Apa Anda menyukainya karena itu kejutan dari tuan muda?" Kakek tidak mau menjawabnya. Tapi terlihat sekali, kalau dia menikmati kembang api yang diberikan cucu kepada cucu menantunya.Perjamuan makan malam seperti apa yang disiapkan bibi untuk merayakan ulang tahun kakek?Mari kita lihat, sedikit persiapan yang dilakukan orang-orang yang akan datang ke perjamuan makan malam. Rumah Gara.Pengantin baru itu terlihat kaget saat menerima undangan yang dikirimkan seorang pengawal ke rumah
Gadis di depan Gara tersenyum malu. Mereka tidak saling memberi tahu isi dari janji pernikahan, bukan untuk kejutan, namun karena mereka ingin menunjukkan ketulusan. Bahwa janji pernikahan yang mereka buat bukan sekedar membaca tulisan, namun memang curahan isi hati terdalam mereka."Rene, terimakasih sudah melihatku dengan cara yang berbeda saat pertama kali kita bertemu. Aku bukan siapa-siapa saat pertama kali melihatmu. Tapi entah kenapa, kau bahkan sudah tersenyum padaku saat itu." Tangan keduanya semakin tergenggam dengar erat. "Semakin aku mengenalmu, semakin aku tahu, kau gadis yang luar biasa. Tanpa ayah dan ibu, kau membesarkan adik-adikmu dengan penuh cinta. Bagiku kau adalah berlian terindah Rene, terimakasih sudah menerima sebongkah batu tak berharga ini dalam hidupmu. Aku mencintaimu Rene dengan sepenuh hatiku. Aku akan membahagiakanmu dan melindungimu." Kecupan manis mengakhiri janji pernikahan Gara.Airmata menetes membasahi pipi Rene. Saat mic yang dipegang Gara tersod
Dan akhirnya, hari yang sudah dinantikan oleh semua orang. Mereka sudah duduk ditempat yang telah disediakan. Deretan kursi sudah ditempati para tamu. Musik dengan tim yang di bawa WO dari ibu kota. Para pelayan yang merapikan hidangan serta mengecek semua kelengkapan untuk terakhir kali.Sepupu Miria menggangkat tangannya, sebagai isyarat acara dimulai.Acara pernikahan Gara dan Rene pun dimulai.Ruben maju ke atas podium, dia ditunjuk sebagai MC acara. Ya, kemampuan bicaranya memang cukup baik. Dia pun mengajukan diri saat WO bertanya apakah dari pihak keluarga yang menentukan MC acara. Sebenarnya dalam hati kecilnya, dia ingin terlihat di antara banyaknya orang. Terlihat oleh kakek.Ruben mengetuk mik di depannya. Menyapukan pandangan pada orang-orang yang ada di depannya. Dia mencari sosok seseorang. Apa kakek tidak ada gumamnya, melihat lagi memastikan. Sekilas tertangkap rasa kecewa di matanya, namun buru-buru dia tersenyum. Karena tugasnya jauh lebih penting sekarang. Ternyata
Hari pernikahan Gara dan Rene.Untuk sampai pada hari ini, seorang laki-laki bernama Anggara, telah melewati banyak hal, jalan yang tidak mudah. Namun, seperti janji Tuhan, Dia menjawab setiap usaha dan doa manusia, hari ini laki-laki itu merasakan kebahagiaan yang teramat sangat. Memetik buah dari usahanya selama ini.Ibu yang ia sayangi, telah masuk ke dalam keluarga Domaz Group, bukan hanya sebagai wanita pelayan yang menggoda majikan, namun sebagai ibu dari cucu sang pendiri Domaz Group.Adik laki-laki yang dulu dia panggil tuan muda, dengan manisnya memanggilnya kakak. Itu adalah buah dari kesabaran seorang laki-laki bernama Anggara. Membayar semua pengorbanan yang sudah dia lakukan.Kesibukan pagi sudah dimulai sejak sebelum matahari terbit, memperbaiki dekorasi yang kurang atau kelengkapan yang lainnya dilakukan oleh para panitia WO. Waktu bergerak perlahan, ditengah semua orang bersiap.Langit hari ini berwarna biru, secerah hati calon mempelai yang akan mengikat janji. Mataha
Siang hari kesibukan di halaman vila mulai terlihat untuk persiapan acara besok. WO acara saudara Miria sudah datang. Mereka dengan cekatan menata setiap sudut taman menjadi sangat indah. Para karyawan toko Daisy sudah datang juga. Amira juga ikut. Dokter William akan menyusul dan sampai malam hari, karena masih ada pekerjaan yang tidak bisa dia wakilkan. Semoga dia bisa menemani Amira saat pesta kembang api nanti malam. Setelah meletakan barang masing-masing, mereka terlihat membantu ini dan itu. Ada yang menata bunga-bunga, ada yang memberi pita pada kursi. Setelah selesai membantu dekorasi mereka lari ke pantai, bermain di laut dan menikmati liburan gratis yang diberikan Kak Ale, memakai uang Argen tentunya. Semua orang bahagia, pesta pernikahan sederhana Gara dan Rene memberi kebahagiaan pada semua orang. Bahkan Ben menyapa takut-takut menyapa kakek, dengan perantara Argen. Kakek tidak bereaksi, namun dia menanyakan kepada bibi siapa nama orangtua Ben.Begitulah hari ini berlal
Bibi sempat menolak, tapi bukan Ana kalau tidak bisa memohon cenderung memaksa. Kalau nanti bibi dimarahi, biar aku gantikan dimarahi kakek. Begitulah, akhirnya Ana dan Rene bisa masuk ke kamar kakek."Pasti dia acuh dan bilang tidak perlu berterimakasih, karena dia sebenarnya mau membuang perhiasan itu." Argen yang menyahut, sekarang ana yang terkejut. Walaupun tidak sama persis seperti yang Kak Argen katakan tapi memang yang kakek ucapkan agak mirip seperti itu.Kakek merestui Kak Rene tapi tidak ingin terlalu terlihat kalau di memperdulikan dan menantikan pernikahan Kak Rene dan Kak Gara. Begitu yang ditangkap Ana dari sikap acuh kakek."Kakek kan suka menyebalkan kalau bicara." Argen mengangkat bahu sambil mengejek."Gen...""Kak..."Gara dan Ana bersamaan bicara."Ia, ia, aku nggak boleh bilang begitu. Dia kakekku. Cih. Kalian ini kompak sekali." Ana mangut-mangut mengusap pipi suaminya.Argen menatap Gara, tatapannya artinya pengusiran, menyuruh kakaknya keluar dari kamar. Yang
Masih di hari yang sama dengan waktu kedatangan mereka ke vila, tempat berlangsungnya pernikahan Gara dan Rene.Malam hari setelah makan malam. Dua kakak beradik sedang ada di dalam kamar, sedangkan Ana tertahan menemani kakek selepas makan malam.Argen duduk dengan mengangkat kakinya ke pijakan meja, dari mulutnya terdengar dia mengomel yang entah ditujukan untuk siapa. Mungkin pada alam yang tidak bersahabat dengan rencananya, atau kecewa pada Gara yang tidak bisa mewujudkan keinginannya. Masih terdengar dia mengomel sambil menyandarkan kepala malas.Wajah muram Argen melihat kakaknya yang sedang berdiri di dekat jendela.Gara menghela nafas perlahan, dia menyibak tirai dengan tangan kiri, berharap cuaca akan segera berganti. Tapi hujan yang jatuh dari langit selepas senja telah menghancurkan rencana malam ini. Sekarang saja masih gerimis. Tangannya mengusap jendela, masih terasa dingin. Uap air memang tidak merembes ke telapak tangannya, tapi dia bisa memprediksi hujan belum akan
"Suruh mereka kesini, dan berangkat bersama kita." Kakek menjawab singkat, lalu berlalu, senyum bahagia tertangkap sekilas dibibirnya.Dasar, sesenang itu kau mendengar Ale mau mempunyai anak. Kalau Ana sampai hamil, bisa-bisa kau menari dengan bibi di teras rumah. Argen melihat punggung kakek yang berjalan menuju pesawat. Pilot dan pramugari menundukkan kepala saat kakek berjalan mendekat.Kakek bahkan menelepon dokter pribadinya, untuk datang dan ikut dalam penerbangan.Kabar kehamilan Miria memang sungguh diluar dugaan, bahkan gadis itu tidak merasakan keanehan dalam tubuhnya. Sehari setelah kecurigaan Ale dia membeli alat tes kehamilan, saat dia menunjukkan garis dua di alat tes itu Ale memegangnya dengan tangan gemetar. Airmata kebahagiaan langsung bercucuran. Calon ayah itu sangat berbahagia.Ale menelepon Ana sambil menangis, saking kagetnya Ana dia berlari masuk lift turun ke lantai bawah, tanpa mendengar penjelasan Ale berikutnya. Gadis itu yang awalnya ketakutan karena mend