"Saya—" Laras langsung memotong ucapan Bian. "Atas dasar apa Mas bilang kaya gitu?" Pria itu tampak menghela napas sebentar. Menatap Laras tidak kalah tegas. Memilah milih kalimat apa yang hendak ia ucapkan supaya Laras menerimanya dengan hati lapang. "Saya minta maaf, Laras.""Aku nggak butuh permintaan maaf dari kamu, Mas. Aku butuh penjelasan. Apa yang salah dari pernikahan kita?" tanya Laras terdengar menggebu-gebu. Laras membuang napas kasar. Ini yang ia tidak suka dari Bian. Pria itu hanya diam dan menatapnya tanpa bicara. "Aku datang ke sini, pagi-pagi masak bawain kamu sarapan ke kantor. Tapi apa balasan kamu, Mas? Kamu nolak aku secara terang-terangan."Sungguh pilu. Laras merasakan dadanya makin sesak. Bian bahkan tidak bergerak sama sekali. Lindahnya kelu. Bukankah itu terlihat menyakitkan? "Berhari-hari, berhari-hari aku mikirin pernikahan kita, Mas. Berhari-hari aku narik perhatian kamu. Berharap kamu bisa terbuka. Berharap kita bisa makin deket satu sama lain."Lar
"Kayanya lo terlalu posesif jadi suami, Bro." Bima menyeruput kopinya dengan santai. "Yang gue lakuin demi kebaikan Jelita. Gue nggak mau dia stress, apalagi dia lagi hamil muda," balas Pandu. "Bukan karena Laras 'kan?" tuding Bima sengaja.Lama Pandu terdiam akhirnya pria itu menjawab, "Mungkin itu salah satunya. Gue menghindari pertengkaran di antara mereka.""Gue setuju si. Ya, kalau dipikir-pikir kisah kalian berempat tuh unik juga.""Unik?"Bima mengangguk dengan tatapan mengarah ke sang partner kerja. "Lo sama Jelita. Laras sama Pak Bian. Kalian, kaya tukeran pasangan. Tapi dunia sempit banget buat kalian berempat.""Mungkin nggak kalau Laras sama Pak Bian itu nikah sirih?" celetuk Bima tiba-tiba. "Omongan lo itu yang selalu nyebar gosip nggak jelas, Bim." Pandu seolah sedang menerawang sesuatu. "Yang gue liat, kayanya Pak Bian emang ada rasa sama Laras.""Karena dia sempat jadi bodyguard-nya Laras?" Pandu mengangguk setuju. "Karena setiap kali gue jalan sama Laras, dia sela
"Gimana, Bro, kepanasan nggak?" tanya seseorang dari balik telepon. Bian mendapat pesan berupa foto di mana Laras dan Pandu berada di kantor dengan tangan pria itu mencekal lengan Laras. Bukannya apa, hanya saja Bian bingung sendiri, kenapa Laras masih saja dekat dengan mantan yang telah meninggalkannya? Padahal ia sudah melarang wanita itu sebelumnya. "Biasa aja. Mereka lagi bahas kerjaan kayanya," balas Bian menebak-nebak. "Bahas kerjaan masa sambil pegangan gitu," kompor Hendra yang tidak lain adalah Bos Laras sendiri. Hendra pun melirik kedua manusia yang tidak sengaja ia pergoki tersebut. Ia seakan menguping kemudian melaporkannya kepada Bian, sahabatnya. "Mereka lagi bahas Jelita, gue denger nama Jelita disebut," ujar Hendra. Bian berdiri dari tempak duduknya, lalu menahan satu tangannya di atas meja kerja. Apalagi yang terjadi, kenapa Jelita dibawa-bawa? Pikir pria itu. "Terus bilang apalagi mereka?" tanya Bian makin penasaran. Waktu Hendra hendak menoleh kembali, Laras
Sesampainya di depan rumah. "Aku masuk dulu. Mas langsung berangkat lagi aja," ujar Laras membuka pintu mobil dan meninggalkan Bian di dalam sana. Ia tahu Bian hari ini lembur, ia juga masih kesal perkara bentakan tadi. Apalagi pria itu sama sekali tidak meminta maaf. Itu lah alasan kenapa Laras buru-buru masuk ke dalam rumah. *Malam harinya. "Udah jam 8, kenapa masih di sini?" tanya Ibu Laras menghampiri sang anak yang sedang melamun di kamarnya. Kamar yang dulu ia tempati sebelum menikah dengan Bian. Laras menoleh, menatap sang Ibu dengan tatapan penuh. Ia terdiam sejenak. Seolah memberitahu sang Ibu bahwa dirinya sedang kelelahan melalui tatapannya. "Lagi ada masalah sama Bian?" tanyanya. "Laras sama Mas Bian baik-baik aja, Ma." Ia pun meneliti isi kamarnya. "Kamar Laras masih sama, ya, nggak ada yang berubah."Tangannya mengelus kasur lembut miliknya itu. "Seprei masih sama. Nggak pernah Mama ganti, ya?""Semenjak kamu nggak tinggal sama kita, Mama jarang ke kamar kamu. Mam
Beberapa waktu ke belakang, Laras menyadari bahwa perasaannya terhadap Pandu sudah menghilang. Ia seakan mati rasa. Perasaan yang menggebu-gebu itu telah pudar seiring berjalannya waktu. Yang ia rasakan saat ini hanya bagaimana mempertahankan hubungan pernikahan dengan Bian.Laras sudah jatuh hati pada pria itu. Pada suaminya sendiri. Suami kontraknya. Suami yang tidak pernah memperjuangkan dirinya. Suami yang bahkan tak pernah menunjukan rasa cinta dan kasih sayang. Dingin. Laras merasa hanya ia yang berjuang, sedangkan Bian tidak cukup mengerti. Pria itu seolah tak tersentuh. "Mau ke mana?" Bian berdiri tegak melihat Laras yang hendak keluar dari kamar mereka. Laras menatap suaminya dengan tatapan dingin. Setelahnya berlalu keluar kamar. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Mau ke mana wanita itu? Pikir Bian. Ia mengikuti Laras sampai di kamar sebelah. Pikirnya makin kacau. Tidak mungkin wanita itu tidur di kamar ini kan? "Laras—""Aku mau tidur di sini," ungkap wanita i
Pukul sebelas siang. "Laras bahenol!" teriak Bima dengan berkas di tangannya. Laras sontak menghentikan langkahnya. Menyipitkan mata melihat Bima yang tengah berjalan ke arahnya. Ada apa? Pikirnya. "Udah ketemu sama suami lo?" tanya Bima tiba-tiba. "Mas Bian maksud kamu?" Bima kemudian mengangguk cepat. "Iya. Tadi dia ke sini, nanyain lo. Lagian lo pergi kenapa nggak izin dulu sama suami coba.""Kamu nggak jawab yang aneh-aneh kan?" "Nggak. Cuma gue bilang lo nggak di kantor, izin masuk siang. Kenapa si, lo emang dari mana jam segini baru datang," cecer Bima. "Makasih infonya, Bim." Bima mengerutkan keningnya heran. Laras memang ada aja tingkahnya. Wanita itu terlihat santai sekali. Ia bahkan menggelengkan kepalanya. "Ras, akhirnya datang juga kamu." Sarah menghampiri sahabatnya itu. "Kamu ditunggu Pak Hendra di ruangannya.""Kenapa, bukannya rapat nanti siang jam 1 ya?" tanya Laras kebingungan sendiri. "Laporan terakhir itu, udah selesaikan?" tanya Sarah ikut menerka. "Uda
Sore hari."Aku nggak bisa, Mas." Jelita menatap Bian sungguh-sungguh. "Aku nggak bisa lagi bertahan sama Mas Pandu," lirihnya. Bian membuang napas ke arah lain. Saat ini mereka sedang bertemu di sebuah taman yang terdapat jembatan di dalamnya. "Kamu harus ingat anak yang kamu kandung Jelita," ucap Bian cukup tegas, tetapi tersirat rasa khawatir di dalamnya. Jelita menunduk lemah. Ia tahu Bian pasti marah akan keputusannya itu. Namun, bertahan dengan Pandu begitu sulit. Ia merasa Pandu tidak sesayang itu padanya. "Aku bisa besarin anakku sendiri," ucapnya pelan. Entah kenapa, Bian merasa jengah sendiri. Mendengar hal itu dari mulut wanita di depannya membuat gejolak amarah hampir meledak, tetapi sebisa mungkin ia tahan. "Saya bantu kamu bicara sama Pandu," putus Bian. Jelita menahan. Ia menggelengkan kepala. "Aku mohon, Mas. Aku nggak mau balik lagi sama Mas Pandu."Wajah memelas itu membuat Bian merasa iba. Entah sudah berapa kali Jelita memohon padanya. Wanita itu bahkan ter
Di dalam rumah. Pukul 8 malam. "Mandinya udah?" tanya Bian melihat Laras yang sudah rapi menuruni anak tangga. Laras pun mengangguk lirih. Ia berjalan menuju dapur, mengecek apakah ada bahan baku yang bisa ia masak untuk makan malam nanti. Sedangkan sang suami yang sedang duduk di ruang tamu dengan televisi menyala pun ikut berjalan ke arah dapur. "Mau masak?" Lagi, lagi Bian bertanya. Laras tanpa mengeluarkan kalimat hanya bisa mengangguk seperti biasa. Wanita itu mengeluarkan sayur, telur juga mi instan. Ia berniat memasak mi pedas. "Mas mau makan mi?" tawar Laras biar sekalian ia buatkan. FYI, Bi Sri sedari siang sudah pulang lebih dulu karena sang anak jatuh sakit. Itu sebabnya tidak ada makan malam hari ini. Bian pun ikut mengecek bahan baku di dalam kulkas. "Saya lagi kepengen makan nasi goreng ayam suir. Kamu bisa buatkan?" Tangannya berhenti di dekat kompor. Air sudah ia rebus. Mi juga sudah dibuka. Kenapa tiba-tiba pria itu request menu makanan yang biasanya tinggal m
Di dalam rumah. Pukul 8 malam. "Mandinya udah?" tanya Bian melihat Laras yang sudah rapi menuruni anak tangga. Laras pun mengangguk lirih. Ia berjalan menuju dapur, mengecek apakah ada bahan baku yang bisa ia masak untuk makan malam nanti. Sedangkan sang suami yang sedang duduk di ruang tamu dengan televisi menyala pun ikut berjalan ke arah dapur. "Mau masak?" Lagi, lagi Bian bertanya. Laras tanpa mengeluarkan kalimat hanya bisa mengangguk seperti biasa. Wanita itu mengeluarkan sayur, telur juga mi instan. Ia berniat memasak mi pedas. "Mas mau makan mi?" tawar Laras biar sekalian ia buatkan. FYI, Bi Sri sedari siang sudah pulang lebih dulu karena sang anak jatuh sakit. Itu sebabnya tidak ada makan malam hari ini. Bian pun ikut mengecek bahan baku di dalam kulkas. "Saya lagi kepengen makan nasi goreng ayam suir. Kamu bisa buatkan?" Tangannya berhenti di dekat kompor. Air sudah ia rebus. Mi juga sudah dibuka. Kenapa tiba-tiba pria itu request menu makanan yang biasanya tinggal m
Sore hari."Aku nggak bisa, Mas." Jelita menatap Bian sungguh-sungguh. "Aku nggak bisa lagi bertahan sama Mas Pandu," lirihnya. Bian membuang napas ke arah lain. Saat ini mereka sedang bertemu di sebuah taman yang terdapat jembatan di dalamnya. "Kamu harus ingat anak yang kamu kandung Jelita," ucap Bian cukup tegas, tetapi tersirat rasa khawatir di dalamnya. Jelita menunduk lemah. Ia tahu Bian pasti marah akan keputusannya itu. Namun, bertahan dengan Pandu begitu sulit. Ia merasa Pandu tidak sesayang itu padanya. "Aku bisa besarin anakku sendiri," ucapnya pelan. Entah kenapa, Bian merasa jengah sendiri. Mendengar hal itu dari mulut wanita di depannya membuat gejolak amarah hampir meledak, tetapi sebisa mungkin ia tahan. "Saya bantu kamu bicara sama Pandu," putus Bian. Jelita menahan. Ia menggelengkan kepala. "Aku mohon, Mas. Aku nggak mau balik lagi sama Mas Pandu."Wajah memelas itu membuat Bian merasa iba. Entah sudah berapa kali Jelita memohon padanya. Wanita itu bahkan ter
Pukul sebelas siang. "Laras bahenol!" teriak Bima dengan berkas di tangannya. Laras sontak menghentikan langkahnya. Menyipitkan mata melihat Bima yang tengah berjalan ke arahnya. Ada apa? Pikirnya. "Udah ketemu sama suami lo?" tanya Bima tiba-tiba. "Mas Bian maksud kamu?" Bima kemudian mengangguk cepat. "Iya. Tadi dia ke sini, nanyain lo. Lagian lo pergi kenapa nggak izin dulu sama suami coba.""Kamu nggak jawab yang aneh-aneh kan?" "Nggak. Cuma gue bilang lo nggak di kantor, izin masuk siang. Kenapa si, lo emang dari mana jam segini baru datang," cecer Bima. "Makasih infonya, Bim." Bima mengerutkan keningnya heran. Laras memang ada aja tingkahnya. Wanita itu terlihat santai sekali. Ia bahkan menggelengkan kepalanya. "Ras, akhirnya datang juga kamu." Sarah menghampiri sahabatnya itu. "Kamu ditunggu Pak Hendra di ruangannya.""Kenapa, bukannya rapat nanti siang jam 1 ya?" tanya Laras kebingungan sendiri. "Laporan terakhir itu, udah selesaikan?" tanya Sarah ikut menerka. "Uda
Beberapa waktu ke belakang, Laras menyadari bahwa perasaannya terhadap Pandu sudah menghilang. Ia seakan mati rasa. Perasaan yang menggebu-gebu itu telah pudar seiring berjalannya waktu. Yang ia rasakan saat ini hanya bagaimana mempertahankan hubungan pernikahan dengan Bian.Laras sudah jatuh hati pada pria itu. Pada suaminya sendiri. Suami kontraknya. Suami yang tidak pernah memperjuangkan dirinya. Suami yang bahkan tak pernah menunjukan rasa cinta dan kasih sayang. Dingin. Laras merasa hanya ia yang berjuang, sedangkan Bian tidak cukup mengerti. Pria itu seolah tak tersentuh. "Mau ke mana?" Bian berdiri tegak melihat Laras yang hendak keluar dari kamar mereka. Laras menatap suaminya dengan tatapan dingin. Setelahnya berlalu keluar kamar. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Mau ke mana wanita itu? Pikir Bian. Ia mengikuti Laras sampai di kamar sebelah. Pikirnya makin kacau. Tidak mungkin wanita itu tidur di kamar ini kan? "Laras—""Aku mau tidur di sini," ungkap wanita i
Sesampainya di depan rumah. "Aku masuk dulu. Mas langsung berangkat lagi aja," ujar Laras membuka pintu mobil dan meninggalkan Bian di dalam sana. Ia tahu Bian hari ini lembur, ia juga masih kesal perkara bentakan tadi. Apalagi pria itu sama sekali tidak meminta maaf. Itu lah alasan kenapa Laras buru-buru masuk ke dalam rumah. *Malam harinya. "Udah jam 8, kenapa masih di sini?" tanya Ibu Laras menghampiri sang anak yang sedang melamun di kamarnya. Kamar yang dulu ia tempati sebelum menikah dengan Bian. Laras menoleh, menatap sang Ibu dengan tatapan penuh. Ia terdiam sejenak. Seolah memberitahu sang Ibu bahwa dirinya sedang kelelahan melalui tatapannya. "Lagi ada masalah sama Bian?" tanyanya. "Laras sama Mas Bian baik-baik aja, Ma." Ia pun meneliti isi kamarnya. "Kamar Laras masih sama, ya, nggak ada yang berubah."Tangannya mengelus kasur lembut miliknya itu. "Seprei masih sama. Nggak pernah Mama ganti, ya?""Semenjak kamu nggak tinggal sama kita, Mama jarang ke kamar kamu. Mam
"Gimana, Bro, kepanasan nggak?" tanya seseorang dari balik telepon. Bian mendapat pesan berupa foto di mana Laras dan Pandu berada di kantor dengan tangan pria itu mencekal lengan Laras. Bukannya apa, hanya saja Bian bingung sendiri, kenapa Laras masih saja dekat dengan mantan yang telah meninggalkannya? Padahal ia sudah melarang wanita itu sebelumnya. "Biasa aja. Mereka lagi bahas kerjaan kayanya," balas Bian menebak-nebak. "Bahas kerjaan masa sambil pegangan gitu," kompor Hendra yang tidak lain adalah Bos Laras sendiri. Hendra pun melirik kedua manusia yang tidak sengaja ia pergoki tersebut. Ia seakan menguping kemudian melaporkannya kepada Bian, sahabatnya. "Mereka lagi bahas Jelita, gue denger nama Jelita disebut," ujar Hendra. Bian berdiri dari tempak duduknya, lalu menahan satu tangannya di atas meja kerja. Apalagi yang terjadi, kenapa Jelita dibawa-bawa? Pikir pria itu. "Terus bilang apalagi mereka?" tanya Bian makin penasaran. Waktu Hendra hendak menoleh kembali, Laras
"Kayanya lo terlalu posesif jadi suami, Bro." Bima menyeruput kopinya dengan santai. "Yang gue lakuin demi kebaikan Jelita. Gue nggak mau dia stress, apalagi dia lagi hamil muda," balas Pandu. "Bukan karena Laras 'kan?" tuding Bima sengaja.Lama Pandu terdiam akhirnya pria itu menjawab, "Mungkin itu salah satunya. Gue menghindari pertengkaran di antara mereka.""Gue setuju si. Ya, kalau dipikir-pikir kisah kalian berempat tuh unik juga.""Unik?"Bima mengangguk dengan tatapan mengarah ke sang partner kerja. "Lo sama Jelita. Laras sama Pak Bian. Kalian, kaya tukeran pasangan. Tapi dunia sempit banget buat kalian berempat.""Mungkin nggak kalau Laras sama Pak Bian itu nikah sirih?" celetuk Bima tiba-tiba. "Omongan lo itu yang selalu nyebar gosip nggak jelas, Bim." Pandu seolah sedang menerawang sesuatu. "Yang gue liat, kayanya Pak Bian emang ada rasa sama Laras.""Karena dia sempat jadi bodyguard-nya Laras?" Pandu mengangguk setuju. "Karena setiap kali gue jalan sama Laras, dia sela
"Saya—" Laras langsung memotong ucapan Bian. "Atas dasar apa Mas bilang kaya gitu?" Pria itu tampak menghela napas sebentar. Menatap Laras tidak kalah tegas. Memilah milih kalimat apa yang hendak ia ucapkan supaya Laras menerimanya dengan hati lapang. "Saya minta maaf, Laras.""Aku nggak butuh permintaan maaf dari kamu, Mas. Aku butuh penjelasan. Apa yang salah dari pernikahan kita?" tanya Laras terdengar menggebu-gebu. Laras membuang napas kasar. Ini yang ia tidak suka dari Bian. Pria itu hanya diam dan menatapnya tanpa bicara. "Aku datang ke sini, pagi-pagi masak bawain kamu sarapan ke kantor. Tapi apa balasan kamu, Mas? Kamu nolak aku secara terang-terangan."Sungguh pilu. Laras merasakan dadanya makin sesak. Bian bahkan tidak bergerak sama sekali. Lindahnya kelu. Bukankah itu terlihat menyakitkan? "Berhari-hari, berhari-hari aku mikirin pernikahan kita, Mas. Berhari-hari aku narik perhatian kamu. Berharap kamu bisa terbuka. Berharap kita bisa makin deket satu sama lain."Lar
Di pagi harinya, Laras sudah berada di dapur. Ia dibantu Bi Sri menyiapkan sarapan pagi. Hari ini hari Senin, ia berniat membawakan bekal untuk Bian ke kantor. "Bi ayamnya jangan lupa digoreng ya, saya mau ke atas dulu," ujar Laras. "Baik, Bu."Kemudian Laras menaiki anak tangga menuju kamar Bian yang kini ia tempati juga. Ya, Laras sudah resmi tidur bersama dengan sang suami. Ia tersenyum kecil menatap pintu di depannya. Melupakan kejadian semalam, ia akan lebih berhati-hati terutama menjaga mood suaminya. Namun, saat tangannya hendak membuka pintu tersebut, seseorang dari dalam sana sudah lebih dulu membukanya. "Pagi, Mas," sapa Laras dengan senyuman. "Oh, iya, aku lagi nyiapin sarapan di bawah. Mas mandi dulu aja, atau mau aku siapkan bajunya?" Laras menawarkan diri. "Saya bisa sendiri," balasnya terkesan ketus. Ia pun bingung sendiri. "Emm ... kalau gitu aku ke bawah lagi, ya, Mas."Sesekali wanita itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Menoleh ke belakang dan tersenyum