Usai kejadian itu, kini hari sudah memasuki Minggu. Sudah dua hari Laras dan Bian tidak saling bicara. Mereka sama-sama membisu. Bertarung dengan isi kepalanya sendiri. "Mau sampai kapan Mas diemin aku kaya gini?" tanya Laras saat sang suami berhasil menuruni anak tangga. Keduanya saling berhadapan. "Saya ada urusan," ujar Bian. "Urusan apa? Kantor?" tanya Laras dengan nada sewot. Bian memalingkan wajahnya. Menarik napas di sana. Entah kenapa, Laras yang melihat itu muak sendiri. Bian, benar-benar berubah. Pria itu banyak menghindar. "Saya ada urusan kantor yang nggak bisa ditinggal," balasnya berusaha menjelaskan. Laras membuka mulutnya, "Di hari Minggu?""Laras .... " Ia pun memalingkan wajahnya ke arah lain. Kesal. Bian sungguh tidak mengerti. Pria itu terlalu mementingkan pekerjaan bahkan di hari libur sekalipun. Tiba-tiba suara bel terdengar nyaring di segala penjuru ruangan, Bi Sri dengan cepat berjalan ke luar melihat siang tamu di pagi hari. "Maaf Pak/Bu, di luar ada
Di pagi harinya, Laras sudah berada di dapur. Ia dibantu Bi Sri menyiapkan sarapan pagi. Hari ini hari Senin, ia berniat membawakan bekal untuk Bian ke kantor. "Bi ayamnya jangan lupa digoreng ya, saya mau ke atas dulu," ujar Laras. "Baik, Bu."Kemudian Laras menaiki anak tangga menuju kamar Bian yang kini ia tempati juga. Ya, Laras sudah resmi tidur bersama dengan sang suami. Ia tersenyum kecil menatap pintu di depannya. Melupakan kejadian semalam, ia akan lebih berhati-hati terutama menjaga mood suaminya. Namun, saat tangannya hendak membuka pintu tersebut, seseorang dari dalam sana sudah lebih dulu membukanya. "Pagi, Mas," sapa Laras dengan senyuman. "Oh, iya, aku lagi nyiapin sarapan di bawah. Mas mandi dulu aja, atau mau aku siapkan bajunya?" Laras menawarkan diri. "Saya bisa sendiri," balasnya terkesan ketus. Ia pun bingung sendiri. "Emm ... kalau gitu aku ke bawah lagi, ya, Mas."Sesekali wanita itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Menoleh ke belakang dan tersenyum
"Saya—" Laras langsung memotong ucapan Bian. "Atas dasar apa Mas bilang kaya gitu?" Pria itu tampak menghela napas sebentar. Menatap Laras tidak kalah tegas. Memilah milih kalimat apa yang hendak ia ucapkan supaya Laras menerimanya dengan hati lapang. "Saya minta maaf, Laras.""Aku nggak butuh permintaan maaf dari kamu, Mas. Aku butuh penjelasan. Apa yang salah dari pernikahan kita?" tanya Laras terdengar menggebu-gebu. Laras membuang napas kasar. Ini yang ia tidak suka dari Bian. Pria itu hanya diam dan menatapnya tanpa bicara. "Aku datang ke sini, pagi-pagi masak bawain kamu sarapan ke kantor. Tapi apa balasan kamu, Mas? Kamu nolak aku secara terang-terangan."Sungguh pilu. Laras merasakan dadanya makin sesak. Bian bahkan tidak bergerak sama sekali. Lindahnya kelu. Bukankah itu terlihat menyakitkan? "Berhari-hari, berhari-hari aku mikirin pernikahan kita, Mas. Berhari-hari aku narik perhatian kamu. Berharap kamu bisa terbuka. Berharap kita bisa makin deket satu sama lain."Lar
"Kayanya lo terlalu posesif jadi suami, Bro." Bima menyeruput kopinya dengan santai. "Yang gue lakuin demi kebaikan Jelita. Gue nggak mau dia stress, apalagi dia lagi hamil muda," balas Pandu. "Bukan karena Laras 'kan?" tuding Bima sengaja.Lama Pandu terdiam akhirnya pria itu menjawab, "Mungkin itu salah satunya. Gue menghindari pertengkaran di antara mereka.""Gue setuju si. Ya, kalau dipikir-pikir kisah kalian berempat tuh unik juga.""Unik?"Bima mengangguk dengan tatapan mengarah ke sang partner kerja. "Lo sama Jelita. Laras sama Pak Bian. Kalian, kaya tukeran pasangan. Tapi dunia sempit banget buat kalian berempat.""Mungkin nggak kalau Laras sama Pak Bian itu nikah sirih?" celetuk Bima tiba-tiba. "Omongan lo itu yang selalu nyebar gosip nggak jelas, Bim." Pandu seolah sedang menerawang sesuatu. "Yang gue liat, kayanya Pak Bian emang ada rasa sama Laras.""Karena dia sempat jadi bodyguard-nya Laras?" Pandu mengangguk setuju. "Karena setiap kali gue jalan sama Laras, dia sela
"Gimana, Bro, kepanasan nggak?" tanya seseorang dari balik telepon. Bian mendapat pesan berupa foto di mana Laras dan Pandu berada di kantor dengan tangan pria itu mencekal lengan Laras. Bukannya apa, hanya saja Bian bingung sendiri, kenapa Laras masih saja dekat dengan mantan yang telah meninggalkannya? Padahal ia sudah melarang wanita itu sebelumnya. "Biasa aja. Mereka lagi bahas kerjaan kayanya," balas Bian menebak-nebak. "Bahas kerjaan masa sambil pegangan gitu," kompor Hendra yang tidak lain adalah Bos Laras sendiri. Hendra pun melirik kedua manusia yang tidak sengaja ia pergoki tersebut. Ia seakan menguping kemudian melaporkannya kepada Bian, sahabatnya. "Mereka lagi bahas Jelita, gue denger nama Jelita disebut," ujar Hendra. Bian berdiri dari tempak duduknya, lalu menahan satu tangannya di atas meja kerja. Apalagi yang terjadi, kenapa Jelita dibawa-bawa? Pikir pria itu. "Terus bilang apalagi mereka?" tanya Bian makin penasaran. Waktu Hendra hendak menoleh kembali, Laras
Sesampainya di depan rumah. "Aku masuk dulu. Mas langsung berangkat lagi aja," ujar Laras membuka pintu mobil dan meninggalkan Bian di dalam sana. Ia tahu Bian hari ini lembur, ia juga masih kesal perkara bentakan tadi. Apalagi pria itu sama sekali tidak meminta maaf. Itu lah alasan kenapa Laras buru-buru masuk ke dalam rumah. *Malam harinya. "Udah jam 8, kenapa masih di sini?" tanya Ibu Laras menghampiri sang anak yang sedang melamun di kamarnya. Kamar yang dulu ia tempati sebelum menikah dengan Bian. Laras menoleh, menatap sang Ibu dengan tatapan penuh. Ia terdiam sejenak. Seolah memberitahu sang Ibu bahwa dirinya sedang kelelahan melalui tatapannya. "Lagi ada masalah sama Bian?" tanyanya. "Laras sama Mas Bian baik-baik aja, Ma." Ia pun meneliti isi kamarnya. "Kamar Laras masih sama, ya, nggak ada yang berubah."Tangannya mengelus kasur lembut miliknya itu. "Seprei masih sama. Nggak pernah Mama ganti, ya?""Semenjak kamu nggak tinggal sama kita, Mama jarang ke kamar kamu. Mam
Beberapa waktu ke belakang, Laras menyadari bahwa perasaannya terhadap Pandu sudah menghilang. Ia seakan mati rasa. Perasaan yang menggebu-gebu itu telah pudar seiring berjalannya waktu. Yang ia rasakan saat ini hanya bagaimana mempertahankan hubungan pernikahan dengan Bian.Laras sudah jatuh hati pada pria itu. Pada suaminya sendiri. Suami kontraknya. Suami yang tidak pernah memperjuangkan dirinya. Suami yang bahkan tak pernah menunjukan rasa cinta dan kasih sayang. Dingin. Laras merasa hanya ia yang berjuang, sedangkan Bian tidak cukup mengerti. Pria itu seolah tak tersentuh. "Mau ke mana?" Bian berdiri tegak melihat Laras yang hendak keluar dari kamar mereka. Laras menatap suaminya dengan tatapan dingin. Setelahnya berlalu keluar kamar. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Mau ke mana wanita itu? Pikir Bian. Ia mengikuti Laras sampai di kamar sebelah. Pikirnya makin kacau. Tidak mungkin wanita itu tidur di kamar ini kan? "Laras—""Aku mau tidur di sini," ungkap wanita i
Pukul sebelas siang. "Laras bahenol!" teriak Bima dengan berkas di tangannya. Laras sontak menghentikan langkahnya. Menyipitkan mata melihat Bima yang tengah berjalan ke arahnya. Ada apa? Pikirnya. "Udah ketemu sama suami lo?" tanya Bima tiba-tiba. "Mas Bian maksud kamu?" Bima kemudian mengangguk cepat. "Iya. Tadi dia ke sini, nanyain lo. Lagian lo pergi kenapa nggak izin dulu sama suami coba.""Kamu nggak jawab yang aneh-aneh kan?" "Nggak. Cuma gue bilang lo nggak di kantor, izin masuk siang. Kenapa si, lo emang dari mana jam segini baru datang," cecer Bima. "Makasih infonya, Bim." Bima mengerutkan keningnya heran. Laras memang ada aja tingkahnya. Wanita itu terlihat santai sekali. Ia bahkan menggelengkan kepalanya. "Ras, akhirnya datang juga kamu." Sarah menghampiri sahabatnya itu. "Kamu ditunggu Pak Hendra di ruangannya.""Kenapa, bukannya rapat nanti siang jam 1 ya?" tanya Laras kebingungan sendiri. "Laporan terakhir itu, udah selesaikan?" tanya Sarah ikut menerka. "Uda
—Beberapa bulan kemudian. "Mas ... Mas Bian bangun." Laras menepuk-nepuk pipi suaminya pelan.Tidak lama pria itu membuka matanya usai mendapat satu kecupan di pipi. Mungkin itu jimat ketika Bian susah dibangunkan."Mas aku berangkat duluan, ya? Hari ini ada meeting," ujar Laras di jam 8 pagi.Bian yang masih tertidur di atas ranjang pun sontak terbangun. Ini masih pagi, kenapa sang istri sudah mau berangkat kerja?"Cium dulu," balas Bian setengah sadar.Laras memandang malas. Ia sudah mau telat, tetapi Bian malah meminta hal aneh yang pasti berujung memakan waktu lama.Cup! Ciuman itu mendarat di pipi untuk yang kedua kalinya."Udah. Aku berangkat, ya."Namun, baru saja hendak bangkit tangan Laras dicekal oleh Bian sehingga wanita itu kembali jatuh ke ranjang."Mas," gerutu Laras.Sayangnya Bian tidak peduli, pria itu malah menunjuk bibirnya dengan ibu jari. Menyodorkan pada sang istri seolah meminta lebih."Aku udah mau telat, Mas. Nanti aja, ya?"Akhirnya aksi tawar-menawaran Lara
"Dari bibir kamu lebih manis," goda Bian.Laras refleks memukul tubuh sang suami. "Mas Bian!"Sayangnya pria itu justru terkekeh geli. Seolah hal yang paling menyenangkan adalah menganggu dan membuat istrinya marah."Muka kamu lucu," celetuk Bian. Laras pun merenggut. "Jangan kaya gitu lagi.""Kenapa?" Bian kembali mengikis jarak dengan sang istri. "Di sini aman. Mau nyoba lagi?"Tiba-tiba kedua orang tua Bian datang membuat keduanya berdiri dengan posisi normal. Laras merasa lega karena merasa diselamatkan."Kalian masih mau di sini atau ikut pulang bareng kami?" tanya Ibu Bian.Laras melirik ke arah Bian. Kemudian memamerkan senyum tipisnya. "Kita juga mau pulang, Bu. Takut hujan."Kedua orang tua Bian mengangguk lirih, berjalan lebih dulu meninggalkan kedua pasutri yang tengah berlibur tersebut. Entah sejak kapan Bian menjadi pria yang hangat dan romantis. Namun yang jelas Laras tidak henti tersenyum. Seperti saat ini, pria itu berjalan seraya menautkan jari-jemarinya dengan mili
Usai berganti pakaian kedua pasangan suami istri tersebut menuruni anak tangga dengan senyum rekah di bibirnya. "Gibran?" panggil Laras saat sampai di bawah."Ibu sama ayah di mana?" tanyanya."Oh ... ibu sama ayah kayanya pergi ke kebun," balas Gibran.Tentu saja Laras kebingungan sendiri. Bukankah kesibukan kedua orang tua Bian adalah mengurus perusahaan mereka? Karena selama tinggal satu komplek yang ia tahu Bian ini dari keluarga berada. Ayahnya saja pemilik perusahaan tempat pria itu bekerja. "Ibu sama ayah saya memang urus perkebunan di sini, lebih tepatnya ibu. Karena hobinya berkebun," jelas Bian.Kemudian Gibran kembali membuka suara. "Kata ibu, Kak Bian disuruh ajak Kak Laras jalan-jalan. Jangan di rumah terus.""Makasih Gibran. Kamu pengertian, deh," celetuk Laras.Bian pun melirik ke samping. "Memangnya kamu nggak capek?""Stamina tubuh aku itu kuat, Mas. Jangan diragukan. Gimana kalau kita susul ibu sama ayah. Aku pengen liat-liat," ucap Laras tampak bersemangat. Gibra
Setelah beberapa hari menghabiskan waktu di Bali, kini Laras dan Bian sudah berada di Taxi usai menempuh perjalanan pulang dari Bali—Bandung yang menghabiskan waktu sekitar satu jam lebih. "Mas, udah hubungi Ibu kalau kita udah perjalanan ke rumah?" tanya Laras di dalam mobil. Bian pun mengangguk. "Udah. Kenapa, kamu kok keliatannya seneng banget?""Aku nggak sabar ketemu orang tua Mas Bian. Apalagi ini pertama kalinya aku diajak berkunjung langsung setelah kita nikah," jujur Laras tidak lupa menebarkan senyum.Bian ikut senang karena sang istri terlihat bahagia dengan hal-hal kecil yang akan ia jumpai setelah. Ia tidak hentinya tersenyum. Kemudian tangan lembut itu mengusap rambut Laras dengan sayang. "Laras ...."Laras menoleh lalu membalas, "Kenapa, Mas?""Nggak apa-apa. Saya seneng aja liat kamu senyum lebar kaya gini," ungkapnya."Emang selama ini aku jarang senyum?" tanya Laras kebingungan. Lagi lagi Bian menggeleng lirih. Istrinya itu selalu saja membuat gemas. Tidak ayal
Beberapa hari berlalu. Kini, Laras dan Bian sedang berkunjung ke salah satu pantai yang menyediakan penginapan dengan nuansa pantai pasir putih yang terletak di kota Denpasar, Bali. Kedua pasangan suami istri itu sedang bersiap-siap karena sebentar lagi langit akan berganti warna jingga. "Kamu beneran honeymoon ke Bali, Ras?" tanya Sarah dari balik telepon. Laras pun mengangguk dengan wajah menghadap ke cermin hias. Memoles tipis riasan agar wajahnya tidak terlalu pucat. "Aku kangen pantai, Sar. Kebetulan kita mau berkunjung ke rumah mertua, jadi biar sekalian aja pulang dari Bali ke Bandung," balas Laras. "Astaga, Ras. Kamu istrinya Direktur, loh, minta honeymoon ke Eropa, kek. Jangan nanggung-nanggung, mau keliling dunianya juga Bian duitnya nggak bakalan abis," celetuk Sarah sengaja. "Perjalanan jauh yang bikin capek, Sar. Mending yang deket-deket aja lebih menghemat tenaga," jelas Laras apa adanya. "Padahal kapan lagi jalan-jalan jauh sebelum punya anak, nanti kalo udah ada
Laras mendatangi Bian dengan langkah tergesa. Pria itu tidak kenal kerja kali, ya? Bahkan di jam harus bergulat dengan komputer pun malah pria itu mengganggunya. "Astaga Mas Bian ... ngapain ke sini?" tanya Laras menghampiri sang suami. Pria itu mengangkat kedua tangannya, menunjukkan plastik yang ia tenteng tersebut. Senyum manisnya justru membuat Laras ingin sekali menghajarnya. "Ngapain bawa makanan sebanyak itu?" ucap Laras dengan nada sedikit tidak suka. Bian menurunkan kedua tangannya dengan lesu. "Kamu kan belum sarapan tadi pagi. Ini saya belikan sekalian sama temen-temen kamu juga.""Tapi ini berlebihan Mas Bian."Pria itu seakan tidak peduli, lalu memindahkan kedua kantong plastik itu hingga beralih tangan kepada Laras. "Kalau nggak habis bisa dimakan lagi nanti siang. Terima, ya? Apa mau saya pesankan yang lain?"Mendengar itu Laras refleks menggeleng kuat. "Cukup. Ini aja udah banyak, Mas.""Ya udah sini," ucapnya cukup ambigu. Sedangkan Laras menatap heran. Sini mak
"Laras!"Dengan kepanikan yang ada ia terus berjalan menuju lift, menekan tombol tersebut dengan tergesa berharap pintu lift cepat terbuka. Sungguh, ia tidak ingin bertemu dengan Pandu . Pria yang terus mengejarnya itu merupakan suami Jelita. "Laras," cegah Pandu berhasil menarik tangan Laras sehingga wanita itu tidak jadi masuk lift. Sayangnya Laras menepis cekalan itu dengan kasar. Menatap Pandu dengan tatapan tajam. Di dalam sorot matanya terlihat aura kebencian muncul di sana. Apakah benar pria di depannya itu Pandu yang ia kenal? Pandu yang tidak pernah menaikan nada bicara apalagi sampai bermain fisik. Apakah yang berdiri di hadapannya itu sosok Pandu yang berhati lembut? "Tolong jangan ganggu aku," tegas Laras. Kembali Pandu mencekal lengan wanita itu, menghentikan pergerakan Laras. Menatapnya cukup dalam"Ras," lirih Pandu. "Aku nggak mau berurusan lagi sama kamu, Mas," tekan Laras. Pandu menatap tidak percaya atas apa yang barusan wanita itu ucapkan. Bukankah dulu baik-
"Morning," kecup Bian di kening sang istri. Laras justru menggeliat geli, wanita itu membuka matanya secara perlahan. Di sampingnya sudah ada Bian yang tengah tersenyum hangat dengan posisi dada masih telanjang. Rasa lelah selepas tempur kemarin terasa membekas pagi ini, Laras seakan malas beranjak dari tempat tidur. "Kenapa tidur lagi, kamu nggak kerja?" tanya Bian melihat Laras memejamkan matanya. Wanita itu membalas, "Masih ngantuk, Mas.""Ya udah nggak usah kerja. Kamu di rumah aja istirahat, pasti capek karena semalam, ya?" goda Bian sengaja. Laras mendengus sebal. Pagi-pagi gini masih saja membahas soal semalam. Lagipula, siapa yang tidak capek melayani orang gila macam Bian? Ia bahkan baru bisa tidur di jam 2 pagi. Melelahkan memang. "Mas mandi duluan sana, aku mau tidur 15 menitan lagi," ujar Laras. Bian makin mendekatkan wajahnya. "Mandi bareng aja, gimana?""Mas!" kesal Laras langsung mendorong pria itu menjauh. Ia pun mengganti posisinya menjadi duduk dengan selimut y
Usai kejadian di rumah sakit tadi sore, saat ini Laras dan Bian sudah kembali ke rumah. Bian tidak dirawat inap karena lukanya tergolong ringan, ia diperbolehkan pulang dengan tangan yang mengharuskan di gips. "Saya ke atas dulu, mau ganti baju," ujar Bian tidak biasanya izin. Laras tidak mengangguk juga mengiyakan. Bian sudah lebih dulu berlalu sebelum mendapat jawaban dari si lawan bicara. Yang bisa Laras lakukan hanya diam menatap pria itu menaiki tangga dengan tangan kanan yang cedera. Tersadar, ia pun ikut naik ke atas. Tidak mungkin Bian mampu mengganti pakaiannya sendiri dengan kondisi tangan seperti itu, pasti akan terasa sulit dan juga sakit jika salah pergerakan. Laras pun memasuki kamar. "Biar aku bantu, Mas."Kakinya berjalan menuju lemari putih tersebut, lalu mengambil kaos berwarna hitam di dalam. Hampir, hampir semua isi lemari pria itu berwarna gelap semua. Setelah dapat, ia pun mendekati Bian dengan perasaan gugup. Rasanya seperti adu adrenalin. Tiba-tiba merasa g